SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL
Dosen Pembimbing:
Yusi Sofiyah M. Kep Ns. Sp. Kep. An
disusun oleh:
Kelompok 3
1. Aulia Rizkyah NIM. 032015005
2. Diana Anwar NIM. 032015009
3. Evie Oktaviani NIM. 032015014
4. Ghitha Faridha NIM. 032015019
5. Meisa Sri Rahayu NIM. 032015027
6. Nia Fitnurillah NIM. 032015031
7. Rahmi Nurul Istiqamah NIM. 032015038
8. Rika Aryanti NIM. 032015042
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari
neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk
mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala psikosis mempunyai
mekanisme memblok reseptor dari dopamin, khususnya reseptor D2 dopamin.
Selain dari pengurangan gejala psikosis, penggunaan obat-obat antipsikosis
juga mempunyai efek samping yang berkaitan dengan neurotransmiter
dopamin. Efek samping ekstrapiramidal merupakan efek samping dari obat-
obat antipsikosis yang sering muncul dan sangat mengganggu pasien
sehingga dapat menurunkan ketaatan pasien untuk teratur mengkonsumsi
obat, yang mana akan menyebabkan sulitnya gejala-gejala psikosis untuk
berkurang atau hilang.
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Definisi dari Sindrom Ekstrapiramidal!
2. Sebutkan Etiologi dari Sindrom Ekstrapiramidal!
3. Jelaskan Patofisiologi dari Sindrom Ekstrapiramidal!
4. Sebutkan Manifestasi Klinis dari Sindrom Ekstrapiramidal!
5. Sebutkan Pemeriksaan Diagnostik dari Sindrom Ekstrapiramidal!
6. Jelaskan Penatalaksanaan dari Sindrom Ekstrapiramidal?
7. Jelaskan Penanganan dari Sindrom Ekstrapiramidal!
8. Sebutkan Diagnosis Banding dari Sindrom Ekstrapiramidal!
9. Sebutkan Komplikasi dari Sindrom Ekstrapiramidal!
10. Jelaskan Konsep Asuhan Keperawatan dari Sindrom Ekstrapiramidal?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi dari Sindrom Ekstrapiramidal
2. Untuk mengetahui Etiologi dari Sindrom Ekstrapiramidal
3. Untuk mengetahui Patofisiologi dari Sindrom Ekstrapiramidal
4. Untuk mengetahui Manifestasi Klinis dari Sindrom Ekstrapiramidal
5. Untuk mengetahui Pemeriksaan Diagnostik dari Sindrom
Ekstrapiramidal
6. Untuk mengetahui Penatalaksanaan dari Sindrom Ekstrapiramidal
7. Untuk mengetahui Penanganan dari Sindrom Ekstrapiramidal
8. Untuk mengetahui Diagnosis Banding dari Sindrom Ekstrapiramidal
9. Untuk mengetahui Komplikasi dari Sindrom Ekstrapiramidal
10. Untuk mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan dari Sindrom
Ekstrapiramidal
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari
medikasi antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi
transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi
dikorpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai
sindrom ekstrapiramidal.
3
4
akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari
striatum-subtansia nigra-striatum.
C. Etiologi
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik
yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi
asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antipsikotik dengan efek samping gejala
ekstrapiramidalnya sebagai berikut
Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai
berikut :
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +
D. Patofisiologi
Umumnya semua neuroleptic menyebabkan beberapa derajat disfungsi
ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergic di ganglia
basalis. Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya
terjadi disfungsi pada sitem dopamine sehingga antipsikotik tipikal berfungsi
9
Jalur ini mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade dari reseptor dopamin
pada jalur ini akan menyebabkan peningkatan level prolactin sehingga
menimbulkan laktasi yang tidak pada waktunya, disebut galaktorea.
E. Manifestasi Klinis
Akut
Efek samping muncul setelah pemakaian obat antipsikotik dalam hitungan
hari sampai minggu.
1. Parkinsonism yang diinduksi obat
Sindrom parkinsonism timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal,
lebih sering terjadi pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan :
laki-laki = 2:1. Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism
adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinsonism sebelumnya,
dan kerusakan ganglia basalis.
Manifestasi klinis yaitu gerakan spontan yang menurun
(bradikinesia), meningkatkan tonus otot (muscular rigidity) dan resting
tremor.
2. Distonia
Distonia adalah kontraksi otot yang singkat atau lama, biasanya
menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal, termasuk krisis
okulorigik, prostrusi lidah, trismus, tortikolis, distonia laring-faring, dan
postur distonik pada anggota gerak dan batang tubuh.
Distonia lebih banyak diakibatkan oleh APG I terutama yang
mempunyai potensi tinggi, dan umumnya terjadi di awal pengobatan
(beberapa jam sampai beberapa hari pengobatan) atau pada peningkatan
dosis secara bermakna.
Gejala distonia berupa gerakan distonik yang disebabkan oleh
kontraksi atau spasme otot, onset yang tiba-tiba dan terus menerus, hingga
terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol. Otot yang paling sering
mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang
(trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion, memuntir) atau spasme
pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik.
11
Kronik (late)
1. Tardive dyskinesia
Terjadi setelah menggunakan antipsikotik minimal selama 3 bulan
atau setelah pemakaian antipsikotik dihentikan selama 4 minggu untuk
oral dan 8 minggu untuk injeksi depot, maupun setelah pemakaian dalam
jangka waktu yang lama (umumnya setelah 6 bulan atau lebih). Penderita
yang menggunakan APG I dalam jangka waktu yang lama sekitar 20-
13
F. Pemeriksaan Diagnosis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan
fisik neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien
dengan distonia simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk
14
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan
mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan
antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti
trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6minggu. Setelah itu dosis
diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat
apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping
sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai
dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan seperti
difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan
norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik
dalam plasma sehingga absorbs reseptor dopamine berkurang dan efek gejala
ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang. Gejala ekstrapiramidal
dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk memberikan terapi
profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat pernah
mengalami sindrom ekstrapiramidal sebelumnya atau pada pasien yang
mendapat neuroleptic poten dosis tinggi. Umumnya disarankan bahwa suatu
usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-
ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap
15
kembalinya gejala. Pasien yang mengalami reaksi dystonia akut harus segera
ditangani. Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai
penyebab reaksi harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi
antikolinergik merupakan terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia
akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih
praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak
tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. Penatalaksanaan akatisia dengan
memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan pemberian proanolol dan
benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam. Untuk sindrom Parkinson
diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive dyskinesia ditangani
dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis
medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson
idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat.
Namun penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan
involunter pada banyak pasien.
H. Penanganan
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli
menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien
dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis
tinggi. Medikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik.
Hal tersebut disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara
dopamin dan asetilkolin pada jalur dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron
dopamin pada jalur nigrostriatal mempunyai koneksi postsinaps dengan
neuron kolinergik. Secara normal, dopamin menghambat pelepasan
asetilkolin dari postsinaps jalur kolinergik nigrostriatal. Obat antipsikosis
menghambat dopamine sehingga menyebabkan aktivitas asetilkolin yang
berlebih. Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan
antikolinergik. Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan
antikolinergik untuk mencegah adanya efek samping ekstrapiramidal.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat
menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan
16
I. Diagnosis Banding
Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:
1. Sindroma putus obat
2. Parkinson disease
3. Tetanus Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
4. Distonia primer
Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding
meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham
J. Komplikasi
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu
sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan
gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami
fraktur. Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat
menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya
menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi
dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat
diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat
transmisi dopamine dijalur striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi
dopaminergic diganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus
striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada
pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.
23
24
ekstrapiramidal akibat obat antipsikosis dapat ditekan dan pasien dapat lebih
teratur mengkonsumsi obat antipsikosis dan diharapkan dapat meningkatkan
kesembuhan dari pasien.
B. Saran
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat
memperbaiki prognosis. Namun penanganan yang terlambat dapat
memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian.
DAFTAR PUSTAKA