BAB I
PENDAHULUAN
A. Lalatar Belakang
Pernikahan adalah sebuah pilihan untuk menyatukan dua individu dalam satu visi dan
misi kehidupan, dalam kenyataannya penyatuan dua insan ini memang tidak mudah, karena
visi dan misi masing-masing pribadi sudah tentu beda sehingga yang dibutuhkan adalah
sinkronisasi diantara keduanya, kuncinya adalah kesabaran, keikhlasan dalam melakukan
proses sinkronisasi tersebut.
Patut menjadi renungan mengapa sebuah pernikahan bisa bertahan lama sampai akhir
hayat bahkan ada juga yang hanya berusia tidak sampai hitungan tahun, bulan atau minggu.
Tentu semua terjadi karena ada faktor penyebabnya? bisa saja karena proses menuju
sinkronisasi tersebut ternyata tidak sesuai dengan harapan, apalagi kalau masing-masing
individu, sebelumnya tidak ada sikap saling terbuka, benarkah kita mencintainya dengan
tulus, siapkah kita menerima kelebihan dan kekurangan dari masing-masing individu? Kasus
seperti ini biasanya terjadi pada pasangan yang belum lama berkomunikasi tetapi sudah ingin
segera menikah atau dipaksakan menikah.
November silam, publik Indonesia disuguhi oleh dua berita mengenai tokoh publik
yang dekat dengan kekuasaan namun harus terguncang oleh perempuan. Satu di luar negeri,
tepatnya di AS, David Petraeus, mantan jenderal bintang empat yang juga Direktur Badan
Intelejen Pusat Amerika Serikat (CIA), harus menamatkan karirnya akibat skandal
perselingkuhannya dengan Paula Broadwell, penulis biografinya.
Satu lagi mengenai tokoh Aceng Fikri, yang saat ini menjabat sebagai Bupati Garut.
Bupati yang berusia 40 tahun itu dikabarkan menikahi seorang gadis berusia 18 tahun pada
14 Juli 2012. Namun, yang menjadi topik hangat di publik ialah kasus perceraiannya dengan
FO, istrinya. Aceng menceraikan istrinya itu hanya dalam rentang waktu empat hari.
Banyak alasan mengapa Aceng mau menikahi Fani, begitu juga banyak alasan
mengapa seorang Fani yang terpaut usia sangat jauh mau menikah dengan Bupati Aceng.
Jodoh memang tidak ada yang bisa menebak namun proses perceraian pun juga tidak ada
yang bisa menebak. Usia pertemuan mereka sangat singkat hampir sama dengan usia
pernikahan mereka yang juga teramat singkat. Jadi wajar saja kalau proses untuk menuju
sinkronisasi menjadi terhambat atau boleh dikatakan gagal sama sekali, yang lebih
menyakitkan justru terjadi ketika proses perceraian tersebut hanya dilakukan lewat SMS saja.
Aceng langsung menjatuhkan talak, pada hari keempat pernikahannya dengan alasan Fani
sudah tidak perawan lagi.
Padahal sebelumnya Aceng sempat mengumbar janji-janji gombal, kalau bersedia
menikah dengannya, Fani akan diberangkatkan umroh dan kuliah, parahnya ketika semua
sudah terenggut, jangankan umroh, keluarga Fani malah mendapat intimidasi, dari bupati
Garut itu melalui pesan SMS. Padahal menurut keluarga Fani, pernikahan anaknya dengan
Aceng Fikri sah secara agama. Dan disertai dengan surat pernyataan. Bahkan Bupati berjanji
akan menggelar resepsi pernikahan secepatnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan menganalisis kasus Bupati Aceng
ini melalui tulisan makalah ini, juga sebagai tugas tambahan mata kuliah Kapita Selekta
Hukum Keluarga yang di bombing oleh Yth. Bapak Dr. Abdul Halim, MA.
B. Rumusan Masalah
Berdasar latang belakang yang telah diuraikan dalam kasus diatas, agar terarahnya
penulisan makalah ini, maka akan dirumuskan rumusan masalah tersebut sebagai berikut:
1. Apa argumentasi pencatatan perkawinan sebagai syarat sah pernikahan?
2. Apa argumentasi pernikahan di luar pengadilan di anggap tidak sah?
3. Apa argumentasi kebolehan poligami kecuali dengan syarat-syarat tertentu?
4. Pelanggaran terhadap kode etik dan moral bisa dijadikan alasan pemecatan pejabat publik?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui argumentasi pencatatan perkawinan sebagai syarat sah pernikahan.
2. Mengetahui argumentasi pernikahan di luar pengadilan di anggap tidak sah
3. Mengetahui argumentasi kebolehan poligami kecuali dengan syarat-syarat tertentu
4. Mengetahui Pelanggaran terhadap kode etik dan moral bisa dijadikan alasan pemecatan
pejabat publik.
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya : Apabila wali-wali itu menolak untuk menikahkannya, maka pemerintah (raja)
yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, dalam riwayat hadits lain
disebutkan Nabi yang menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai
wali adalah Nabi Saw sendiri, dalam hal ini Nabi Saw berkedudukan sebagai pemimpin, atau
sulthan (pemerintah) atau disebut juga dengan wali hakim. Jika kita kontekskan dengan
kondisi di Indonesia, pengertian sulthan dalam negara kesatuan Republik Indonesia bisa
diartikan Presiden, jadi yang berhak untuk menikahkan wanita yang tidak memiliki wali
adalah Presiden, akan tetapi di Indonesia Presiden telah mendelegasikan kekuasaanya bagi
yang beragama Islam kepada Departemen Agama dalam hal ini Kantor Urusan Agama
(KUA).
Dengan demikian Wilayatul Hukmi Linnikah (kekuasaan hukum untuk
menikahkan) ada pada Kantor Urusan Agama, oleh karena itu tidak sah nikah seorang wanita
yang dilakukan oleh tokoh masyarakat atau ulama tertentu disuatu daerah, karena mereka
tidak memiliki wilayatul hukmi linnikah. Begitu juga tidaklah sah seorang wali yang
memiliki kekuasaan untuk menikahkan putrinya mewakilkan kepada tokoh masyarakat atau
ulama, kecuali dilakukan dihadapan Pejabat Pencatat Nikah (KUA) dan atas izin Pejabat
tersebut. Sedangkan dua orang saksi yang dimaksud disini adalah dua orang saksi yang adil.
Untuk mengetahui serta menilai apakah saksi-saksi itu bisa berbuat adil atau tidak, dalam hal
ini harus ada suatu lembaga/institusi yang bertugas untuk mengontrol keadilan saksi-saksi
tersebut. Oleh karena itu KUA adalah suatu lembaga yang sah untuk mengontrol dan
menetapkan saksi-saksi dalam pernikahan, karena lembaga ini telah diberi wewenang oleh
Sulthan (Presiden) untuk menyelesaikan masalah pernikahan bagi orang yang beragama
Islam. Dengan demikian dua orang saksi dalam pernikahan bukan sembarang saksi, tetapi
saksi-saksi yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Petugas Pencatat Nilkah Kantor Urusan
Agama pada saat akad pernikahan.
Imam Syafii menjelaskan pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang
adil, apabila hanya satu saja saksi yang hadir maka pernikahan tersebut adalah bathal, saksi-
saksi tersebut adalah saksi-saksi yang telah ditunjuk oleh sulthan, bukan sembarang saksi,
karena sembarang saksi tidak bisa dijamin keadilannya.20[20]
Dari uraian tersebut di atas, pada dasarnya rukun perkawinan yang lima sebagaimana
telah dijelaskan di atas, tidak disepakati oleh imam mazhab, hanya ijab qabul saja yang telah
disepakati sebagai rukun perkawinan oleh sebagian besar ulama mazhab, sedangkan yang
lainya masih diperselisihkan. Oleh karena masih diperselisihkan, akibatnya dapat
disimpulkan rukun perkawinan yanglimaitu belum final (masih ijtihadi), oleh karenanya ada
kemungkinan rukun pernikahan bisa bertambah atau bisa berkurang dari yanglima, sesuai
dengan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia, khususnya masyarakatIndonesia. Inilah
yang dimaksud dengan perubahan hukum sesuai dengan perubahan maslahah.
Atas dasar itu menurut hemat penulis rukun perkawinan itu ada enam, dengan
menambahkan pencatatan sebagai rukun perkawinan. Dasar pencatatan sebagai rukun
perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah dalamsuratAn-Nisa ayat 59 yang berbunyi :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah
pemerintah (Pemimpin), baik pemerintah pusat ataupun menerintah dibawahnya, dimana
tugasnya adalah memelihara kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian aturan-aturan
yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan manusia wajib ditaati selama aturan-aturan
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.21[21] Menurut Mujahid, Atha
dan Hasan Basri yang dimaskud dengan Ulil amri adalah pemimpin yang ahli dalam
agama. Oleh karena itu aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang ahli dalam agama
wajib ditaati, sedangkan aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasulnya
tidak perlu ditaati, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim yang artinya Sesungguhnya taat itu hanya untuk yang baik sedangkan
untuk kemaksiatan tidak wajib taat22[22]
Dengan demikian yang dimaksud dengan Ulil Amri Minkum adalah pemimpin-
pemimpin yang diangkat oleh masyarakat itu sendiri atau yang dinobatkan sebagai raja, untuk
mengatur kehidupan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin atau raja untuk
kemaslahatan manusia harus ditaati, selama aturan-aturan itu tidak bertentangan dengan Al-
Quran dan Sunnah. Aturan-aturan yang dimaksud adalah yang dibuat oleh pemenitah/raja,
atau aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu/para ulama yang kemudian
dijadikan sebagai kebijakan dalam pemerintahannya. Kalau dilihat dari ilmu ushul fiqh,
firman Allah tersebut di atas mengandung arti Amr (perintah), yaitu perintah untuk mentaati
Allah, mentaati Rasul dan mentaati Pemimpin, sedangkan amr (perintah) ada yang
mengandung wajib, ada yang mengandung Nadb dan ada juga yang mengandung kebolehan.
Untuk mengatahui katagori perintah apakah mengandung wajib, mengandung Nadb
atau mengandung kebolehan, hal ini perlu diketahui dari kepentingan perintah itu sendiri, jika
perintah itu dijalankan akan membawa kemaslahatan kepada umat manusia dan kalau
ditinggalkan akan membawa kemadlaratan serta kekacauan kepada umat manusia, maka amr
(perintrah) itu menunjukan wajib. Sedangkan jika perintah itu ada qarinah lain yang
menunjukan tidak mendesak dan tidak membawa kemadlaratan kalau titinggalkan, maka amr
(perintah) itu menunjukan kepada nadb atau kebolehan. Dengan demikian karena perintah
pencatatan dalam perkawinan akan membawa kepada kemaslahatan bagi umat manusia serta
akan membawa kepada kemadlaratan jika ditinggalkan, maka dapat ditafsirkan perintah
mentaati ulil amri dalam firman Allah tersebut di atas menunjukan kepada wajib.
2. Sunnah Rasul Banyak Sunnah Nabi yang menerangkan tentang perintah mentaati pemimpin,
diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra.
Artinya : Barang siapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, barang siapa yang
membantah kepadaku maka ia telah membantah kepada Allah, barang siapa yang mentaati
pemimpin maka ia telah mentaatiku, dan barang siapa yang membantah pemimpin maka ia
telah membantah kepadaku.
Hadits-hadits yang menerangkan tentang perintah mentaati pemimpin pada umumnya
masih besifat umum, tetapi sudah dapat dipastikan yang dimaksud dengan mentaati
pemimpin disini adalah apabila perintah-perintah itu tidak bertenangan dengan Al-Quran dan
As-Sunnah. Ulama telah sepakat bahwa aturan-aturan yang telah di buat oleh pemimpin
Muslim di negara yang mayoritas penduduknya Muslim wajib ditaati apabila perintah itu
untuk kemaslahatan manusia serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah,
sedangkan terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang non Muslim, ulama
berbeda pendapat, sebagian golongan ada yang berpendapat boleh mentaati aturan-aturan
yang dibuat oleh pemimpin yang non Muslim jika aturan tersebut tidak bertentangan dengan
Al-Quran dan Sunnah, sedangkan sebagian lagi berpendapat tidak boleh mentaati aturan-
aturan yang dibuat oleh pemimpin non Muslim sekalipun aturan-aturan tersebut tidak
bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, karena aturan-aturan yang dibuat oleh Non
Muslim adalah bathal.
Dengan demikian dapat disimpulkan aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah
Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama RI, yang mana aturan-aturan tersebut dibuat
oleh orang-orang Muslim untuk kemaslahatan Umat Islam, maka peraturan-peraturan itu
wajib untuk ditaati.
4. Untuk Kemaslahatan Umat Manusia Pada jaman Rasulullah Saw. setiap kejadian pernikahan,
thalak, ruju dan lain sebagainya selalu diahadapkan kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah
menghukum begini dan begitu, ini menandakan bahwa setiap peristiwa perkawinan dan
perceraian selalu diketahui oleh Rasulullah, karena kedudukan Rasulullah sebagai Ulama dan
Umara. Memang pada jaman Rasulullah perkawinan dan perceraian tidak dicatatkan, hal itu
dapat dimaklumi karena pada waktu itu umat Islam masih sedikit dan cukup hanya diingat
saja oleh Rasulullah.
Sedangkan pada jaman sekarang penduduk manusia sudah banyak sekali, maka jika
perkawinan itu tidak dicatatkan akan terjadi kekacauan dan kemadaratan yang akan menimpa
umat manusia, karena kemungkinan besar perkawinan itu tidak akan terkontrol, banyak orang
kawin cerai-kawin cerai, atau telah berkali-kali menikah akan mengaku belum pernah
menikah, yang pada akhirnya mengakibatkan kemadaratan yang amat besar bagi anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan, serta tidak diketahui siapa ayah
kandung yang sebenarnya, karena tidak akan bisa diingat lagi siapa yang sudah menikah dan
yang belum menikah, tetapi kalau dicatatkan akan diketahui pernikahan seseorang dan akan
terkontrol serta dapat diketahui pula nama orang tua seseorang.
Pada jaman kekuasaan kerajaan Islam semakin luas dan umat Islam semakin banyak,
permasalahan-permasalahan umat Islam baik menganai Pidana maupun Perdata selalu
dihadapkan kepada pemerintah (raja), maka sejak jaman kerajaan Umaiyyah maupun
Abasiyah sudah memulai pencatatan mengenai keperdataan serta menyelesaikannya melalui
Pengadilan, terbukti dengan putusan-putusan Qadi Syureh mengenai perdata, karena jika
tidak dicatatkan dengan baik dan rapi akan menimbulkan kemadaratan bagi kelangsungan
kehidupan rumah tangga. Oleh karena pencatatan pernikahan dapat menegakan kemaslahatan
bagi umat manusia, maka sudah sepatutnya pencatatan pernikahan dijadikan sebagai rukun
perkawinan pada jaman sekarang ini, karena pada dasarnya pencatatan perkawinan itu ada
dasar hukumnya dari Al-Quran dan As-Sunnah serta dapat menegakan kemaslahatan bagi
umat manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah penulis paparkan diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan:
1. Pada dasarnya rukun perkawinan yang lima sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak
disepakati oleh imam mazhab, hanya ijab qabul saja yang telah disepakati sebagai rukun
perkawinan oleh sebagian besar ulama mazhab, sedangkan yang lainya masih diperselisihkan.
Oleh karena masih diperselisihkan, akibatnya dapat disimpulkan rukun perkawinan yang lima
itu belum final (masih ijtihadi), oleh karenanya ada kemungkinan rukun pernikahan bisa
bertambah atau bisa berkurang dari yang lima, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan
umat manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan perubahan
hukum sesuai dengan perubahan maslahah. Atas dasar itu menurut hemat penulis rukun
perkawinan itu ada enam, dengan menambahkan pencatatan sebagai rukun perkawinan.
2. Alasan penulis yang tidak mensahkan perceraian yang tidak diikrarkan di depan sidang
pengadilan agama di atas dengan jelas didasarkan kepada konsep malaah, yaitu
menghindari mafsadah sekaligus memberikan perlindungan kepada para pihak, khususnya
seseorang dari ketidakadilan oleh salah satu pihak dalam suatu perceraian yang diinisiasi oleh
suami. Ketidakadilan ini terjadi disebabkan ikrar talak merupakan kewenangan suami.
Dengan kewenangan ini, maka suami bila hendak menceraikan istrinya dapat melakukan
kapan saja bila ia menghendaki. Dengan keadaan seperti ini, seorang istri tidak memiliki daya
sama sekali untuk melakukan penolakan atas inisiasi suami yang mentalaknya.
3. Hukum poligami boleh akan tetapi harus di sertai dengan syarat-syarat tertentu agar tidak
menimbulkan permasalahan di kemudian hari yang merugikan pihak wanita. UU Perkawinan
tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan
monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan
bukan menghapus sama sekali sistem poligami.
4. Pelanggaran terhadap kode etik dan peraturan, kemungkinan besar Bupati Garut Aceng akan
lengser dari jabatannya (di pecat tidak hormat) atau kalau dia legowo, maka dia akan
mengundurkan diri dari jabatannya sebagi seorang pejabat publik.
B. Saran
Tulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, jika ada kesalahan dalam
penulisan makalah ini mohon kiranya bapak Dr. Abdul Halim, MA untuk menegoreksinya,
untuk dijadikan pengalaman sebagai penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
36[1] Said Rahman al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah, (Beirut: Dar al-Fikr) hlm.27.
37[2] Lihat Ahmad ar-Raisuni, Nazhariyyah al-Maqashid Inda asy-Syathibi, (Riyadh: Dar al-
Alamiyah, 1992), hlm. 234.
38[3] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syariah, Juz II, (Beirut: dar al-Marifah), hlm. 6.
39[4] Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tanzhim al-Islam li al-Mujtama, hlm. 54.
40[5] Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa min ilm al-Ushul,
Juz I, hlm. 266.
41[6] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syariah, Juz II, (Beirut: dar al-
Marifah), hlm. 25-26.
42[7] Lihat Izzudin ibnu Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I, (Beirut: Muassasah ar-
Rayyan), hlm. 7 dan Ahmad ibnu Idris al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, (Mesir: Maktabah al-Kulliyah al-
azhariyyah, 1973), hlm. 38.
43[8] Izzudin ibnu Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I, hlm. 10.
44[9] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syariah, Juz II, (Beirut: dar al-Marifah), hlm. 25-28.
45[10] Lihat Ibnu Qayyim al-jauziyah, Ilam al-Muwaqqiin an rabb al-Alamin, Juz II,
(Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), hlm. 11.
46[11] Lihat Faisal Oman, Islam dan Perkembangan Masyarakat, (Utusan Publication
&Distributors SDN BHD, 1997), hlm. 129.
47[12] Abdul Gani Abdullah Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama
. PT. Intermasa: tahun 1991. Hal. 187
48[13] Hzairin, Kewarisan Bilateral, Menurut al-Quran dan Hadits, Penerbit Tintamas,Jakarta
1hlm. 9.
49[14] Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ke empat,Jakarta, PT
Kinta, 1964, hlm. 201.
50[15] Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: 2001. Hal 321.
51[16] Abd, Rahman Ghazaly. Fiqh Munakahat. Prenada Media.Jakarta: Th. 2003. Hal. 47-48.
52[17] Abu Yahya Zakariya Al-Anshari. Fathul Wahab. Darul Fikri: Juz 2. hlm. 347
53[18] Muhammad Ibnu Rusy- .Bidayatul Mujtahid . Darul Fikri. Bairut Libanon. Juz 2. Hal.
9.
54[19] Muhammad Ismail Al-Kahlani. Subulus Salam. Dahlan Bandung. Juz 3, Hal 18.
55[20] Muhammad Idris As-Syafii. Al-umm. Dsarul Fikri Bairut: Libanon . Jilid 3. Hal 24.
56[21] Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Al-Maktabah At-Tijariyah.
Makkatul Mukaramah: Jiilid 2. Juz.5. Hal 72.
57[22] Ismail Ibnu Katsir. Tafsri Quran Ibnu Katsir. Sirkatun Nuur Asiya.Surabaya: Juz 1
Hal. 518
58[23] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), hlm.
11.
59[24] Ibn Qayyim, I`lm al-Muwaqqi`n, Juz III, hlm. 31.
60[25] John Rawls, A Theory of Justice, hlm. 85.
61[26] Dr. Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Nahwa Saqafah Islamiyah Asilatan, Cet. Ke
12 (al-Urdun, Dadun Nafais, 2002), hal. 150
62[27] Drs. Humaidi Tatapangara, Hakekat Poligami dalam Islam (Surabaya: Usaha
Nasional, t.th), hal. 12
63[28] Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Saukani, Fathul Qadir, Cet. Ke I, (ar-Riyadh: Maktabatur-
Rusyd: 2001), hal.319
64[29] Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Saukani, Fathul Qadir, Cet. Ke I, (ar-Riyadh: Maktabatur-
Rusyd: 2001), hal.318
65[30] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwainy. Sunan Ibnu Majah, Jilid I, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1995), hal. 618
66[31] Sayyid Sabiq, Figh Sunnah, Cet. Ke 4 Jilid II, ( Bairut: Darul Fikri, 1983), hal. 108
67[32] Di akses pada tanggal 15 Desemebr 2012
http://www.menegpp.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=105:poligami-
-tanggapan-atas-keputusan-mahkamah-konstitusi-&catid=49:artikel-gender&Itemid=116
68[33] As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Quran al-Hakim as-Syahir bitafsir
al-Manar,(Bairut: Libanon: Dar al-Fikr, tth), 349
69[34] As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Quran al-Hakim as-Syahir bitafsir
al-Manar., 287
70[35] UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, ps. 4 ayat 2.
Diposkan oleh ROUF IBNU MU'THI di Minggu, Desember 23, 2012
Label: HUKUM KELUARGA