Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS KASUS ACENG HM.

FIKRI DARI SEGI PENCATATAN


PERKAWINAN, POLIGAMI, CERAI DI LUAR SIDANG PENGADILAN, DAN
PELANGGARAN KODE ETIK DAN PERATURAN SEBAGAI ALASAN
PEMECATAN DARI JABATAN PUBLIK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Lalatar Belakang
Pernikahan adalah sebuah pilihan untuk menyatukan dua individu dalam satu visi dan
misi kehidupan, dalam kenyataannya penyatuan dua insan ini memang tidak mudah, karena
visi dan misi masing-masing pribadi sudah tentu beda sehingga yang dibutuhkan adalah
sinkronisasi diantara keduanya, kuncinya adalah kesabaran, keikhlasan dalam melakukan
proses sinkronisasi tersebut.
Patut menjadi renungan mengapa sebuah pernikahan bisa bertahan lama sampai akhir
hayat bahkan ada juga yang hanya berusia tidak sampai hitungan tahun, bulan atau minggu.
Tentu semua terjadi karena ada faktor penyebabnya? bisa saja karena proses menuju
sinkronisasi tersebut ternyata tidak sesuai dengan harapan, apalagi kalau masing-masing
individu, sebelumnya tidak ada sikap saling terbuka, benarkah kita mencintainya dengan
tulus, siapkah kita menerima kelebihan dan kekurangan dari masing-masing individu? Kasus
seperti ini biasanya terjadi pada pasangan yang belum lama berkomunikasi tetapi sudah ingin
segera menikah atau dipaksakan menikah.
November silam, publik Indonesia disuguhi oleh dua berita mengenai tokoh publik
yang dekat dengan kekuasaan namun harus terguncang oleh perempuan. Satu di luar negeri,
tepatnya di AS, David Petraeus, mantan jenderal bintang empat yang juga Direktur Badan
Intelejen Pusat Amerika Serikat (CIA), harus menamatkan karirnya akibat skandal
perselingkuhannya dengan Paula Broadwell, penulis biografinya.
Satu lagi mengenai tokoh Aceng Fikri, yang saat ini menjabat sebagai Bupati Garut.
Bupati yang berusia 40 tahun itu dikabarkan menikahi seorang gadis berusia 18 tahun pada
14 Juli 2012. Namun, yang menjadi topik hangat di publik ialah kasus perceraiannya dengan
FO, istrinya. Aceng menceraikan istrinya itu hanya dalam rentang waktu empat hari.
Banyak alasan mengapa Aceng mau menikahi Fani, begitu juga banyak alasan
mengapa seorang Fani yang terpaut usia sangat jauh mau menikah dengan Bupati Aceng.
Jodoh memang tidak ada yang bisa menebak namun proses perceraian pun juga tidak ada
yang bisa menebak. Usia pertemuan mereka sangat singkat hampir sama dengan usia
pernikahan mereka yang juga teramat singkat. Jadi wajar saja kalau proses untuk menuju
sinkronisasi menjadi terhambat atau boleh dikatakan gagal sama sekali, yang lebih
menyakitkan justru terjadi ketika proses perceraian tersebut hanya dilakukan lewat SMS saja.
Aceng langsung menjatuhkan talak, pada hari keempat pernikahannya dengan alasan Fani
sudah tidak perawan lagi.
Padahal sebelumnya Aceng sempat mengumbar janji-janji gombal, kalau bersedia
menikah dengannya, Fani akan diberangkatkan umroh dan kuliah, parahnya ketika semua
sudah terenggut, jangankan umroh, keluarga Fani malah mendapat intimidasi, dari bupati
Garut itu melalui pesan SMS. Padahal menurut keluarga Fani, pernikahan anaknya dengan
Aceng Fikri sah secara agama. Dan disertai dengan surat pernyataan. Bahkan Bupati berjanji
akan menggelar resepsi pernikahan secepatnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan menganalisis kasus Bupati Aceng
ini melalui tulisan makalah ini, juga sebagai tugas tambahan mata kuliah Kapita Selekta
Hukum Keluarga yang di bombing oleh Yth. Bapak Dr. Abdul Halim, MA.

B. Rumusan Masalah
Berdasar latang belakang yang telah diuraikan dalam kasus diatas, agar terarahnya
penulisan makalah ini, maka akan dirumuskan rumusan masalah tersebut sebagai berikut:
1. Apa argumentasi pencatatan perkawinan sebagai syarat sah pernikahan?
2. Apa argumentasi pernikahan di luar pengadilan di anggap tidak sah?
3. Apa argumentasi kebolehan poligami kecuali dengan syarat-syarat tertentu?
4. Pelanggaran terhadap kode etik dan moral bisa dijadikan alasan pemecatan pejabat publik?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui argumentasi pencatatan perkawinan sebagai syarat sah pernikahan.
2. Mengetahui argumentasi pernikahan di luar pengadilan di anggap tidak sah
3. Mengetahui argumentasi kebolehan poligami kecuali dengan syarat-syarat tertentu
4. Mengetahui Pelanggaran terhadap kode etik dan moral bisa dijadikan alasan pemecatan
pejabat publik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Argumentasi Pencatatan Perkawinan Sebagai Syarat Sah Pernikahan


Hukum islam yang diyakini sebagai institusi yang tidak bisa diubah karena berasal
dari otoritas teks yang sakral, akan tetapi dalam realitasnya perbenturannya dengan tradisi
hukum yang hidup dalam suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan begitu saja, Sebagai salah
satu fenomena hukum keagamaan, hukum islam juga mempunyai tawaran tradisinya sendiri
untuk menangkap kualitas kesakralan namun-bersifat-lokal dalam yurisprudensi. Fiqih
dibangun di atas landasan sejumlah ilmu pengetahuan yang memungkinkan hakim atau ahli
hukum berpartisipasi dalam proses pembuatan hukum, dalam arti bahwa hukum islam itu
bersifat dinamis. Hal tersebut disebabkan dari tujuan hukum Islam yang ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia (al-Maslahah).
Sejauhmana arti penting sebuah maslahat, sehingga ia dapat berpengaruh pada
perubahan praktik hukum akan diuraikan sebagai berikut.
1. Maslahah Sebagai Acuan Formal Hukum Islam Dan Positif
Bila kita teliti semua suruhan dan larangan Allah dalam al-Quran, begitu pula suruhan
dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqih, akan terlihat bahwa
semuanya mempunyai tujaun tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai
hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana ditegaskan
dalam beberapa ayat al-Quran, diantaranya surat al-Anbiya (21): 107.
a. Pengertian dan Batasan Maslahah
Secara etimologis, maslahah mempunyai makna yang identik dengan manfaat,
keuntungan, kenikmatan, kegembiraan, atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal
itu.1[1] Namun dalam terminology syariat, ulama ushul fiqh berbeda pendapat mengenai
batasan dan definisi maslahah. Tetapi pada tataran substansi, mereka boleh dibilang sampai
pada suatu kesimpulan bahwa maslahah adalah suatu kondisi dari upaya untuk mendatangkan
sesuatu yang berdampak positif (manfaat) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang
berdimensi negative (madharat).2[2] Dalam kaitan ini, asy-Syathibi (W. 790 H) dalam
karyanya Al-Muwafaqat, menandaskan bahwa disyariatkannya ajaran islam tidak lain
hanyalah untuk memelihara ke-maslahatan umat manusia didunia dan diakhirat.3[3]
Statemen as-Syathibi yang argumentatif-rasional ini telah mengakhiri perdebatan
panjang dikalangan ahli ushul fiqh mengenai talil al-ahkam: apakah hukum-hukum Tuhan
mempunyai hubungan kausalitas dengan kepentingan hamba? Apakah hukum-hukum yang
tidak disebutkan secara tersurat oleh teks (nash) ajaran agama dapat dianalogikan dengan
nash yang mempunyai illat hukum sama? Apakah seorang mujtahid boleh memberikan
kesimpulan hukum karena pertimbangan maslahah dengan tanpa pijakan nash?
Statemen asy-Syathibi bukan hanya telah menyentuh premis-premis tersebut,
melainkan ia juga dapat ditangkap sebagai sitesis yang mampu mengekomodir perdebatan
pendapat dikalangan ahli ushul mengenai talil al-ahkam, dengan tanpa menimbulkan
polarisasi.
Yang menarik kemudian adalah substansi manfaat (maslahah) dan madharat
(mafsadah) itu sendiri. Para filsuf dan moralis Barat tidak mencapai kata sepakat dalam
meletakkan ukuran (nilai) bagi maslahah yang mesti diperoleh manusia. Ada yang
mengatakan bahwa nilai dari perbuatan manusia mesti diukur oleh kesempurnaan absolute,
namun ada pula yang menetapkan pengetahuan, kedilan, keberanian, serta harga diri sebagai
ukuran bagi nilai dari perbuatan manusia. Filsuf lain mensyaratkan bahwa nilai yang
diupayakan mencapai derajat maslahah harus diperoleh melalui pengetahuan yang lurus, dan
ada pula yang menetapkan bahwa yang menjadi ukuran bagi nilai perbuatan manusia adalah
kemoderata diantara dua kutub yang dianggap berbahaya.4[4] Dalam islam, tolak ukur
(miyar) manfaat ataupun madharat, sebagaimana dinyatakan al-Gahazali (W. 505 H), tidak
dapat dikembalikan pada penilaian manusia karena rentan akan pengaruh dorongan nafsu
insaniyah. Sebaliknya, tolak ukur manfaat dan madharat harus dikembalikan pada kehendak
atau tujuan syariat (maqashid asy-syariah) yang pada intinya terangkum dalam al-mabadi
al-khamsah, yaitu perlindungan terhadap agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa
(hifzh an-nafs), perlindungan terhadap akal pikiran (hifzh al-aql), perlindungan terhadap
keturunan (hifzh an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda (hifzh al-mal). Maka
segala hal yang mengandung unsur perlindungan terhadap lima hal diatas, disebut maslahah.
Sebaliknya semua yang menafikannya bisa disebut mafsadah.5[5] Tidak adanya tolak ukur
yang pasti untuk menentukan sesuatu sebagai maslahah itulah yang sesuangguhnya membuat
diskursus diseputar topik maslahah selalu menarik. Dalam kaitannya dengan ini, asy-Syatibi
membuat penyataan yang sangat filosofis: Tidak ditemukan disunia ini suatu maslahah tanpa
dibarengi mafsadah, sebagaimana juga tidak tergambarkan adanya mafsadah tanpa
mengandung unsur-unsur maslahah didalamnya. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah
sebuah peristiwa hukum masuk dalam kategori maslahah atau mafsadah, hal itu harus
dikembalikan atau dilihat unsure mana yang menunjukkan angka dominant diantara
keduanya.6[6]
Asy-Syathibi sebenarnya bukan orang pertaama yang membuat formulasi teori
maslahah dengan pendekatan falsafi. Izzudin ibnu Abdissalam (W. 660 H) dan muridnya Al-
Qarafi (W. 684 H), sebelumnya juga telah membuat penyataan senada menyangkut teori
maslahah dunyawiyyah.7[7] Al-Qarafi mendasarkan teorinya pada QS. al-Baqarah (2): 219 :
Lebih jauh Izzudin menyatakan bahwa akal harus diikut sertakan dalam upayanya
menelusuri segi-segi yang dominant diantara maslahah dan mafsadah pada suatu peristiwa
hukum, terkecuali pada kasus-kasus tertentu yang memang merupakan dari ibadah murni.8[8]
Meskipun asy-Syathibi bukan orang pertama yang momformulasikan konsep
maslahah dengan pendekatan falsafi, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia adalah orang
pertama yang mengupas teori maslahah-mafsadah sampai pada struktut terdalamnya dengan
tolak ukur maqoshid asy-syariah. Simplifikasi pengamatan asy-Syatibi dalam masalah ini
boleh dibilang sampai pada kesimpulan akhir bahwa maslahah sebagai pijakan perintah
syara dan mafsadah sebagai landasan larangan syara tidaklah dapat tercampuri satu sama
lainnya. Kalaupun terdapat kadar mafsadah dalam suatu maslahah dan atau sebaliknya itu
tidak lebih sekedar hukum kebiasaan dalam upaya menelusuri segi-segi keduanya. Pada
hakikatnya, unsure yang tidak dominant tersebut sama sekali diluar frame maksud
pensyariatan ajaran islam.
Sikap seperti ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih antara
perintah disatu sisi dan larangan disisi lain. Sebab percampuran antara perintah dan larangan
bukan saja tidak rasional dalam tataran implementasinya, melainkan juga berada diluar batas
kemampuan manusia untuk menjalankan taklif (pembebanan) berupa perintah sekaligus
laragan dalam waktu bersamaan.9[9]

b. Perubahan Hukum Karena Perubahan Maslahah


Dalam menyikapi kebenaran sebuah produk hukum, pendapat ahli hukum islam
terbelah menjadi dua aliran pemikiran :
1. Aliran kelompok pembenar, yakni aliran yang cenderung menganggap benar semua istinbath
hukum para mujtahid. Bagi aliran pertama ini, hukum Allah terjadi (turun) pada setiap terjadi
peng-istinbath-an hukum. Oleh karena itu, seluruh hasil instinbath hukum mereka sungguh
pun telah terjadi kontradiksi satu sama lain, dapat mencapai tingkat kebenaran hakiki karena
itulah hukum Tuhan. Munculnya perdebatan dan perbedaan tajam tidak dapat dimaknai
dengan rendahnya derajat hasil ijtihad yang satu disbanding yang lain. Sebaliknya, perbedaan
tersebut lebih tidak samanya visi para mujtahid dalam peng-istinbat-an kandungan maslahah
pada setiap peristiwa hukum yang terjadi. Dengan kata lain aliran ini mengabsahkan
pluralisme hukum pada setiap peristiwa hukum yang terjadi karena perbedaan pengamatan
seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya manyangkut kadar maslahah yang dikandungnya.
2. Aliran kelompok pengeliru, yakni aliran yang beranggapan bahwa kebenaran dari suatu
istinbath hukum yang dilakukan oleh para mujtahid hanyalah satu, sementara hasil istinbath
hukum lainnya dianggap keliru walaupun secara akademik masih dapat dipertanggung
jawabkan. Aliran ini mendasarkan argumennya pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa
seorang mujtahid yang benar dalam melakukan istinbath hukum akan mendapatkan dua
pahala, sementara yang keliru hanya mendapatkan satu pahala.
Aliran kedua tidak mengakui adanya pluralisme hukum. Bagi aliran ini, sebelum para
mujtahid melakukan istinbath hukum, Allah (sebagai pembuat syariat) telah menggariskan
sebuah ketentuan hukum bagi setiap kejadian maupun peristiwa. Oleh karena itu menurut
aliran ini, diferensiasi pendapat para mujtahid bukan berarti secara otomatis membenarkan
adanya pluralisme hukum. Sebaliknya, hukum tuhan melekat pada setiap peristiwa tetaplah
tunggal. Jadi yang memicu perbedaan adalah metode yang digunakan oleh para mujtahid
dalam meng-istisbath-kan hukum dan juga perbedaan antar mereka dalam bergumul dengan
sumber-sumber ajaran agama maupun realitas yang ada dilapangan.
Dari uraian diatas, baik aliran pertama maupun kedua sesungguhnya sama-sama
mengakui prinsip perbedaan hukum karena perbedaan maslahah. Sebab, betapapun aliran
kedua menolak pluraliseme hukum, namun mereka tetap menghargai perbedaan hasil ijtihad
sebagai wacana pemikiran yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan kata lain relativitas
maslahah telah menjadi pemicu bagi munculnya perbedaan persepsi diantara para mujtahid
dalam melahirkan produk ijtihadnya. Dalam konteks ini, perbedaan sosio-historis yang
mengitari juga turut mempengaruhi terjadinya perbedaan diatas.
Dalam kaitan ini, Ibnu Qayyim al-jauziyah (W. 751 H), pernah membuat statemen
yang kemudian amat popular yakni, Perubahan fatwa disebabkan karena terjadinya
perubahan waktu, tempat dan keadaan.10[10]
Dalam sejarah hukum islam sering kita temui perubahan ketetapan hukum karena
pertimbangan maslahah. Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz miaslnya, ketika menjabat
Gubernur di Madinah ia hanya mau memberi keputusan hukum bagi gugatan penggugat bila
ia dapat mengajukan dua orang saksi atau seorang saksi yang disertai dengan sumpah
penggugat. Sumpah tersebut dimaksudkan sebagai pengganti dari kedudukan seorang saksi
yang lain. Akan tetapi, setelah beliau menjabat khalifah yang berkedudukan di Ibu Kota
Negara Syam, dia enggan memberikan ketetapan hukum atas pengajuan formula saksi yang
sama. Ketika ditanya tentang pendiriannya tersebut, ia menjawab: Kami melihat orang Syam
berbeda dengan orang Madinah.
Imam asy-Syafii dalam pengembaraan ilmunya pernah meninggalkan pendapat
lamanya (qaul qadim) yang dengan susah payah ia bangun sewaktu berada di Baghdad Irak.
Namun setelah hijrah ke Mesir, ia membangun paradigma fiqh baru yang kemudian lazim
disebut qaul jaded. Perbedaan kedua paradigma fiqh ini tidak lepas dari pengaruh
pengamatan Imam asy-Syafii terhadap kandungan maslahah pada setiap komunitas maupun
lingkungan yang berbeda.
Pada masa sahabat, Khalifah Umar bin Khattab adalah orang yang sering
menggunakan ketetapan hukum berdasarkan pertimbangan maslahah. Hal ini, bisa dilihat dari
kebijakan Umar bin Khattab yang tidak menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri.
Kebijakan Umar tersebut tentu bertentangan dengan zhair Nash al-Quran yang secara tegas
menyatakan bahwa hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan. Bahkan ayat ini
juga diperkuat dengan sunnah filiyyah, yakni bahwa Rasulullah sendiri pernah melakukan
praktik hukum potong tangan bagi para pencuri. Pertimbangan Umar dengan tidak
menerapkan jenis hukuman ini adaalah bahwa kondisi masyarakat pada saat itu tidak
memungkinkan diterapkannyahukum potong tangan. Dengan kata lain, maslahah yang
menjadi pijakan ketetapan hukum menuntut adanya jenis hukuman lain untuk londisi yang
serba kekurangan.11[11]
Berbagai contoh aplikatif diatas menyisakan sebuah refleksi dan renungan bagi kita
semua. Sejak periode awal islam, semangat dan ruh ajaran agama sudah ditegakkan untuk
mengantisipasi kandungan maslahah yang tidak sama pada setiap peristiwa hukum yang
terjadi dimasyarakat. Oleh karena itu, pada abad teknologi informasi saat ini, dimana laju
perubahan masyaraakat begitu cepat, semangat untuk berpegang teguh pada ruh ajaran agama
harus tetap dipegang teguh. Sebab perkembangan masyarakat dan dunia iptek akan
berimplikasi pada dinamisasi maslahah yang melekat pada setiap peristiwa hukum.

2. Merumuskan Maslahah Sebuah Telaah Kasus Perkawinan Di Bawah Tangan


Sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar diatas, Allah Swt dalam al-Quran surat
An-Nisa ayat 3 menyatakan seorang laki-laki boleh melaksanakan perkawinan dengan dua,
tiga, atau empat wanita sekaligus, tetapi jika khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup
satu saja. Begitu juga dalam hadits Nabi Saw. yang berbunyi Nikah itu adalah sunahku,
barang siapa yang tidak mencintai sunahku maka dia bukan termasuk golonganku. Dengan
demikian jika ditanyakan apa motif beristri lebih dari satu orang, kebanyakan orang akan
menjawab adalah sunnah Nabi, karena Nabi juga beristri lebih dari satu orang. Argumentasi
tersebut, hanya sekedar untuk membela diri untuk beristri lebih dari satu orang, kalau diteliti
secara mendalam, Nabi bersitri lebih dari satu orang hanya untuk berdawah mengembangkan
agama Islam atau melindungi hak-hak wanita setelah ditingal mati suaminya dari medan
perang.
Perkawinan Nabi dengan Siti Khadijah, karena Siti Khadijah orang kaya dan
terpandang yang bisa dijadikan sebagai tulang punggung untuk berdakwah, perkawinan Nabi
dengan Siti Aisyah, karena Siti Aisyah orang yang cerdas dan masih muda, sehingga dari Siti
Aisyah diharapkan bisa melahirkan keturunan, dari Siti Aisyah pula terkumpul hadits-hadits
hukum. Perkawinan Nabi dengan Mariah Al-Qibtiyah adalah untuk menjalin hubungan
persahabatan dengan kerajaan Romawi di Mesir, karena Mariyah Al-Qibtiyah adalah hadiah
dari Gubernur Mukaukis di Mesir, dengan hubungan persahabatan tersebut yang akhirnya
Islam begitu mudah masuk Mesir. Begitu juga perkawinan Nabi dengan Siti Saodah, hanya
sekedar melindungi hak-haknya karena Siti Saodah telah ditinggal mati oleh suaminya
dimedanperang.
Jika kita dapat dengan bijak memahami dari perkawinan Nabi tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa pekawinan Nabi Saw. lebih dari satu wanita (pilogami) bukan karena
seks, tetapi karena ada tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk berdakwah, memajukan Islam dan
memperkuat barisan Islam, karena pada saat itu umat muslim masih sedikit. Sedangkan
perkawinan lebih dari satu wanita yang dilakukan pria sekarang hanya karena seks, hal itu
bisa dilihat karena pria sekarang yang melakukan perkawinan lebih dari satu wanita biasanya
memilih wanita yang lebih muda atau lebih cantik dari istri pertama. Oleh karena itu tujuan
poligami yang dilakukan oleh pria sekarang berbeda dengan tujuan poligami pada jaman
Nabi. Saw. Begitu juga poligami yang diajarkan oleh Nabi bersifat terbuka, artinya
perkawinan-perkawinan Nabi selalu diketahui dan diizinkan oleh istri-istri sebelumnya,
sedangkan poligami pria sekarang biasanya untuk istri ke dua, ke tiga dan seterusnya secara
sembunyi-sembunyi (tidak dicatatkan di KUA), yang istilah populernya disebut dengan
perkawinan di bawah tangan/kawin siri.
Persoalan nikah sirri ini, menjadi sebuah problematika hukum apabila kasus ini
menjadi gejala massif dan bersinggungan dengan keadilan. Sebagaimana telah disebutkan
dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, yaitu tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu
juga pada pasal 4 dan 5 dalam undang-undang yang sama berbunyi Dalam hal seorang
suami akan beristri lebih dari seorang (poligami), maka ia wajib mengajukan permohonan ke
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan ketentuan jika istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang sulit untuk
disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan, disamping itu harus ada persetujuan
dari istri pertaman. Atau ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-
anak mereka.12[12]
Selama ini perkawinan di bawah tangan (kawin siri) banyak terjadi diIndonesia, baik
dikalangan masyarakat biasa, para pejabat ataupun para artis, istilah populernya disebut istri
simpanan. Kaitannya dengan kasus Bupati Garut Aceng, maka beliau merupakan salah satu
dari pejabat publik yang melakukan Nikah Siri sekaligus Poligami yang bertentangan dengan
peraturan perkawinan di Indonesia. Sesungguhnya Perkawinan di bawah tangan sebenarnya
tidak sesuai dengan maqashid asy-syariyah, karena ada beberapa tujuan syariah yang
dihilangkan, diantaranya:
1. Perkawinan itu harus diumumkan (diketahui halayak ramai), maksudnya agar orang-orang
mengetahui bahwa antara A dengan B telah terikat sebagai suami istri yang syah, sehingga
orang lain dilarang untuk melamar A atau B, tetapi dalam perkawinan di bawah tangan, selalu
disembunyikan agar tidak diketahui orang lain, sehingga perkawinan antara A dengan B
masih diragukan,
2. Adanya perlindungan hak untuk wanita, dalam perkawinan di bawah tangan pihak wanita
banyak dirugikan hak-haknya, karena kalau terjadi perceraian pihak wanita tidak
mendapatkan apa-apa dari mantan suaminya,
3. Untuk kemaslahatan manusia, dalam perkawinan di bawah tangan lebih banyak madlaratnya
dari pada maslahatnya, seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan dibawah tangan lebih
tidak terurus, sulit untuk bersekolah atau untuk mencari pekerjaan karena orang tuanya tidak
mempunyai surat nikah dan seandainya ayahnya meninggal dunia/cerai, anak yang lahir di
bawahtangan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menuntut harta waritsan dari ayahnya,
4. Harus mendapat izin dari istri pertama, perkawinan ke dua, ke tiga dan seterusnya yang tidak
mendapat izin dari istri pertama biasanya dilakukan di bawahtangan, sehingga istri pertama
tidak mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi dengan wanita lain, rumah tangga
seperti ini penuh dengan kebohongan dan dusta, karena suami selalu berbohong kepada istri
pertama, sehingga perkawinan seperti ini tidak akan mendapat rahmat dari Allah.
Kalau kita telusuri eksistensinya secara luas dan mendalam, serta direnungkan dalam
konteks kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, baik secara sosiologis, psikologis,
maupun yuridis dengan segala akibat hukum dan konsekwensinya, tentu sangat luas obyek
yang ditimbulkan dari model pernikahan dibawah tangan/ nikah sirri yang berpengaruh besar
dalam perkembangan peradaban manusia dengan teknologi dewasa ini, baik dalam hubungan
anggota masyarakat, bahkan dapat mempengaruhi bentuk masyarakat serta suatu Negara.
Karena hukum menentukan bentuk masyarakat, masyarakat yang belum dikenal dapat dicoba
mengenalnya dengan mempelajari hukum yang berlaku dalam masyarakat itu, sebab hukum
mencerminkan masyarakat. Dari seluruh sistem hukum, maka perkawinan yan menentukan
dan mencerminkan sistem kekeluargaan dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.13[13]
Suatu bentuk perkawinan yang telah menjadi model masa kini yang timbul dan
berkembang diam-diam pada sebagian masyarakat islam di Indonesia yakni nikah dibawah
tangan, dimana mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan
pelaksanaan perkawinan menurut UU No. 01 tahun 1974, yang terlalu birokratis dan berbelit-
belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara tersendiri yang tidak
bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam ilmu hukum cara seperti itu dikenal dengan istilah
penyelundupan hukum, yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang
ditentukan oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan
bersangkutan dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk
mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki.14[14]
Kebanyakan orang meyakini bahwa perkawinan di bawah tangan sah menurut Islam
karena telah memenuhi rukun dan syaratnya, sekalipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan
di Kantor Urusan Agama, atau perceraian itu telah sah apabila telah memenuhi rukun dan
syarat-syaratnya, sekalipun perceraian itu dilakukan di luar sidang Pengadilan. Akibat
pemahaman tersebut maka timbul dualisme hukum yang berlaku di negara Indonesia ini,
yaitu di satu sisi perkawinan itu harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan disisi lain
tanpa dicatatkanpun tetap berlaku dan diakui dimasyarakat, atau di satu sisi perceraian itu
hanya sah bila dilakukan di depan sidang Pengadilan, di sisi lain perceraian di luar sidang
Pengadilan tetap berlalu dan diakui di masyarakat. Kemudian pertanyaannya adalah, Apakah
benar rukun perkawinan yang berlaku dan diyakini sekarang ini mutlak adanya, atau ia masih
ada kemungkinan dapat berubah? Apakah benar perkawinan dan perceraian di bawah tangan
sesuai dengan tujuan-tujuan hukum Islam yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya yakni
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia (al-Maslahah)? Kemudian siapakah
sebenarnya yang berwenang untuk menikahkan atau menceraikan seseorang yang melakukan
perkawinan menurut hukum Islam ?
3. Berdialektika Dalam Rukun Dan Syarat Perkawinan
Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, untuk dikatakan sahnya perkawinan,
adalah apabila perkawinan itu telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Berikut adalah
Rukun perkawinan yang tercantum dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai
berikut:
1. Calon mempelai suami
2. Calon mempelai istri
3. Wali Nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab kabul.15[15]
Sedangkan Syarat perkawinan sebagai mana tercantum dalam pasal 6 UU. RI. Nomor
1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1. Perkawina harus didasarkan atas persetujuan ke dua calon mempelai
2. Kedua mempelai mencapai umur 21 tahun, jika kurang dari umur 21 tahun harus mendapat
izin dari ke dua orang tua, jika wanita kurang dari umur 16 tahun dan pria kurang dari umut
19 tahun, maka harus mendapat izin dari Pengadilan (dispensasi kawin)
3. Tidak ada larangan menurut hukum Islam.
Masyarakat Muslim Indonesia sangat meyakini bahwa rukun perkawinan adalah
sebagaimana tersebut di atas, sehingga perkawinan (pernikahan) yang sudah memenuhi rukun
tersebut di atas, maka perkawinan tersebut sudah dikatakan syah menurut hukum Islam,
padahal ulama mazhab berbeda pendapat mengenai rukun perkawinan itu sendiri seperti telah
diuraikan diatas, perbedaan itu diantaranya:
1) Menurut Imam Malik rukum pernikahan ada lima, diantaranya 1). Wali dari pihak
perempuan, 2). Mahar (maskawin), 3). Calon mempelai laki-laki, 4). Calon mempelai
perempuan, 5). Sighat akad nikah.16[16]
2) Menurut Ulama Syafiiyyah rukun pernikahan ada lima, diantaranya 1). Calon mempelai
laki-laki, 2). Calon mempelai perempuan, 3). Wali, 4). Dua orang saksi, 5). Sighat akad
nikah.17[17]
3) Menurut Ulama Hanafiyah rukun perkawinan hanya ijab dan qabul saja.
Imam Malik menjadikan mahar sebagai rukun perkawinan sedangkan saksi bukan
sebagai rukun pekwinan, ulama Syafiiyah dua orang saksi dijadikan sebagai rukun
pernikahan sedangkan mahar bukan sebagai rukun pernikahan, begitu juga ulama Hanafiyah
yang menyatakan bahwa rukun perkawinan hanya ijab qabul saja, sedangkan yang lainnya
bukan sebagai rukun perkawinan. Imam Syafii sendiri dalam Al-Umm tidak menjelaskan
tentang rukun pekawinan.
Secara sederhana dapat diketahui bahwa diantara ulama Mazhab sendiri tidak ada
kesepakatan tentang rukun perkawinan, oleh karena itu rukun perkawinan yang sudah
masyhur di masyarakat atau segaimana yang tercantum pada pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam bukanlah suatu hal yang sudah final, akan tetapi ada kemungkinan untuk berubah baik
ditambah atau dikurang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan bagi masyarakat itu
sendiri. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dijadikan sebagai rukun
perkawinan, bukan karena ada petunjuk dari Al-Quran atau Al-Sunnah, akan tetapi semata-
mata hasil ijtihad ulama, Al-Quran dan Al-Sunnah tidak menjelaskan adanya calon mempelai
pria dan calon mempelai wanita yang mengarah untuk dijadikan sebagai rukun pernikahan.
Oleh karena itu Imam Hanafi tidak menjadikan calon mempelai pria dan calon mempelai
wanita sebagai rukun perkawinan.
Sedangkan wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi dijadikan sebagai rukun
perkawinan karena ada petunjuk hadits Nabi yang berbunyi:18[18]
) (
Artinya : Tidak syah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil.
Ulama Syafiiyyah dan Imam Hambali menerima hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, dan menurut mereka hadits tersebut kuat, oleh karena itu wali dan dua orang
saksi dijadikan sebagai rukun perkawinan, tetapi Imam Malik hanya menerima hadits tentang
wali dan tidak menerima hadits tentang saksi, oleh karena itu Imam Malik menyatakan saksi
tidak termasuk rukun perkawinan. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan hadist tersebut
kurang kuat, oleh karena itu Imam Hanafi menyatakan wali nikah dan dua orang saksi tidak
dijadikan sebagai rukun perkawinan. Ulama Syafiiyah telah menjadikan wali dan dua orang
saksi sebagai rukun perkawinan serta Imam Malik menjadikan wali sebagai rukun
perkawinan, oleh karena itu perlu dijelaskan pengertian wali dan dua orang saksi itu sendiri.
Wali menurut bahasa artinya amat dekat atau yang melindungi, sedangkan yang dimaksud
wali nikah adalah orang yang berhak untuk menikahkan seorang perempuan kepada pria
pilihannya karena ada hubungan darah. Oleh karena itu orang yang tidak mempunyai
hubungan darah tidak berwenang atau tidak berhak untuk menikahkan seseorang perempuan
dengan pilihannya. Sebagaimana telah disepakati para ulama fiqh, urutan wali adalah dari
yang paling dekat seperti ayah, kakek, saudara pria sekandung, saudara pria sebapak dan
seterusnya, yang kesemuanya itu dari garis keturunan pria.
Yang jadi masalah adalah bagaimana jika wanita itu tidak mempunyai wali, maka
sesuai hadits Nabi dari Siti Aisyah yang berbunyi :19[19]
) (

Artinya : Apabila wali-wali itu menolak untuk menikahkannya, maka pemerintah (raja)
yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, dalam riwayat hadits lain
disebutkan Nabi yang menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai
wali adalah Nabi Saw sendiri, dalam hal ini Nabi Saw berkedudukan sebagai pemimpin, atau
sulthan (pemerintah) atau disebut juga dengan wali hakim. Jika kita kontekskan dengan
kondisi di Indonesia, pengertian sulthan dalam negara kesatuan Republik Indonesia bisa
diartikan Presiden, jadi yang berhak untuk menikahkan wanita yang tidak memiliki wali
adalah Presiden, akan tetapi di Indonesia Presiden telah mendelegasikan kekuasaanya bagi
yang beragama Islam kepada Departemen Agama dalam hal ini Kantor Urusan Agama
(KUA).
Dengan demikian Wilayatul Hukmi Linnikah (kekuasaan hukum untuk
menikahkan) ada pada Kantor Urusan Agama, oleh karena itu tidak sah nikah seorang wanita
yang dilakukan oleh tokoh masyarakat atau ulama tertentu disuatu daerah, karena mereka
tidak memiliki wilayatul hukmi linnikah. Begitu juga tidaklah sah seorang wali yang
memiliki kekuasaan untuk menikahkan putrinya mewakilkan kepada tokoh masyarakat atau
ulama, kecuali dilakukan dihadapan Pejabat Pencatat Nikah (KUA) dan atas izin Pejabat
tersebut. Sedangkan dua orang saksi yang dimaksud disini adalah dua orang saksi yang adil.
Untuk mengetahui serta menilai apakah saksi-saksi itu bisa berbuat adil atau tidak, dalam hal
ini harus ada suatu lembaga/institusi yang bertugas untuk mengontrol keadilan saksi-saksi
tersebut. Oleh karena itu KUA adalah suatu lembaga yang sah untuk mengontrol dan
menetapkan saksi-saksi dalam pernikahan, karena lembaga ini telah diberi wewenang oleh
Sulthan (Presiden) untuk menyelesaikan masalah pernikahan bagi orang yang beragama
Islam. Dengan demikian dua orang saksi dalam pernikahan bukan sembarang saksi, tetapi
saksi-saksi yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Petugas Pencatat Nilkah Kantor Urusan
Agama pada saat akad pernikahan.
Imam Syafii menjelaskan pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang
adil, apabila hanya satu saja saksi yang hadir maka pernikahan tersebut adalah bathal, saksi-
saksi tersebut adalah saksi-saksi yang telah ditunjuk oleh sulthan, bukan sembarang saksi,
karena sembarang saksi tidak bisa dijamin keadilannya.20[20]
Dari uraian tersebut di atas, pada dasarnya rukun perkawinan yang lima sebagaimana
telah dijelaskan di atas, tidak disepakati oleh imam mazhab, hanya ijab qabul saja yang telah
disepakati sebagai rukun perkawinan oleh sebagian besar ulama mazhab, sedangkan yang
lainya masih diperselisihkan. Oleh karena masih diperselisihkan, akibatnya dapat
disimpulkan rukun perkawinan yanglimaitu belum final (masih ijtihadi), oleh karenanya ada
kemungkinan rukun pernikahan bisa bertambah atau bisa berkurang dari yanglima, sesuai
dengan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia, khususnya masyarakatIndonesia. Inilah
yang dimaksud dengan perubahan hukum sesuai dengan perubahan maslahah.
Atas dasar itu menurut hemat penulis rukun perkawinan itu ada enam, dengan
menambahkan pencatatan sebagai rukun perkawinan. Dasar pencatatan sebagai rukun
perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah dalamsuratAn-Nisa ayat 59 yang berbunyi :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah
pemerintah (Pemimpin), baik pemerintah pusat ataupun menerintah dibawahnya, dimana
tugasnya adalah memelihara kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian aturan-aturan
yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan manusia wajib ditaati selama aturan-aturan
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.21[21] Menurut Mujahid, Atha
dan Hasan Basri yang dimaskud dengan Ulil amri adalah pemimpin yang ahli dalam
agama. Oleh karena itu aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang ahli dalam agama
wajib ditaati, sedangkan aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasulnya
tidak perlu ditaati, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim yang artinya Sesungguhnya taat itu hanya untuk yang baik sedangkan
untuk kemaksiatan tidak wajib taat22[22]
Dengan demikian yang dimaksud dengan Ulil Amri Minkum adalah pemimpin-
pemimpin yang diangkat oleh masyarakat itu sendiri atau yang dinobatkan sebagai raja, untuk
mengatur kehidupan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin atau raja untuk
kemaslahatan manusia harus ditaati, selama aturan-aturan itu tidak bertentangan dengan Al-
Quran dan Sunnah. Aturan-aturan yang dimaksud adalah yang dibuat oleh pemenitah/raja,
atau aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu/para ulama yang kemudian
dijadikan sebagai kebijakan dalam pemerintahannya. Kalau dilihat dari ilmu ushul fiqh,
firman Allah tersebut di atas mengandung arti Amr (perintah), yaitu perintah untuk mentaati
Allah, mentaati Rasul dan mentaati Pemimpin, sedangkan amr (perintah) ada yang
mengandung wajib, ada yang mengandung Nadb dan ada juga yang mengandung kebolehan.
Untuk mengatahui katagori perintah apakah mengandung wajib, mengandung Nadb
atau mengandung kebolehan, hal ini perlu diketahui dari kepentingan perintah itu sendiri, jika
perintah itu dijalankan akan membawa kemaslahatan kepada umat manusia dan kalau
ditinggalkan akan membawa kemadlaratan serta kekacauan kepada umat manusia, maka amr
(perintrah) itu menunjukan wajib. Sedangkan jika perintah itu ada qarinah lain yang
menunjukan tidak mendesak dan tidak membawa kemadlaratan kalau titinggalkan, maka amr
(perintah) itu menunjukan kepada nadb atau kebolehan. Dengan demikian karena perintah
pencatatan dalam perkawinan akan membawa kepada kemaslahatan bagi umat manusia serta
akan membawa kepada kemadlaratan jika ditinggalkan, maka dapat ditafsirkan perintah
mentaati ulil amri dalam firman Allah tersebut di atas menunjukan kepada wajib.
2. Sunnah Rasul Banyak Sunnah Nabi yang menerangkan tentang perintah mentaati pemimpin,
diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra.


Artinya : Barang siapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, barang siapa yang
membantah kepadaku maka ia telah membantah kepada Allah, barang siapa yang mentaati
pemimpin maka ia telah mentaatiku, dan barang siapa yang membantah pemimpin maka ia
telah membantah kepadaku.
Hadits-hadits yang menerangkan tentang perintah mentaati pemimpin pada umumnya
masih besifat umum, tetapi sudah dapat dipastikan yang dimaksud dengan mentaati
pemimpin disini adalah apabila perintah-perintah itu tidak bertenangan dengan Al-Quran dan
As-Sunnah. Ulama telah sepakat bahwa aturan-aturan yang telah di buat oleh pemimpin
Muslim di negara yang mayoritas penduduknya Muslim wajib ditaati apabila perintah itu
untuk kemaslahatan manusia serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah,
sedangkan terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang non Muslim, ulama
berbeda pendapat, sebagian golongan ada yang berpendapat boleh mentaati aturan-aturan
yang dibuat oleh pemimpin yang non Muslim jika aturan tersebut tidak bertentangan dengan
Al-Quran dan Sunnah, sedangkan sebagian lagi berpendapat tidak boleh mentaati aturan-
aturan yang dibuat oleh pemimpin non Muslim sekalipun aturan-aturan tersebut tidak
bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, karena aturan-aturan yang dibuat oleh Non
Muslim adalah bathal.
Dengan demikian dapat disimpulkan aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah
Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama RI, yang mana aturan-aturan tersebut dibuat
oleh orang-orang Muslim untuk kemaslahatan Umat Islam, maka peraturan-peraturan itu
wajib untuk ditaati.
4. Untuk Kemaslahatan Umat Manusia Pada jaman Rasulullah Saw. setiap kejadian pernikahan,
thalak, ruju dan lain sebagainya selalu diahadapkan kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah
menghukum begini dan begitu, ini menandakan bahwa setiap peristiwa perkawinan dan
perceraian selalu diketahui oleh Rasulullah, karena kedudukan Rasulullah sebagai Ulama dan
Umara. Memang pada jaman Rasulullah perkawinan dan perceraian tidak dicatatkan, hal itu
dapat dimaklumi karena pada waktu itu umat Islam masih sedikit dan cukup hanya diingat
saja oleh Rasulullah.
Sedangkan pada jaman sekarang penduduk manusia sudah banyak sekali, maka jika
perkawinan itu tidak dicatatkan akan terjadi kekacauan dan kemadaratan yang akan menimpa
umat manusia, karena kemungkinan besar perkawinan itu tidak akan terkontrol, banyak orang
kawin cerai-kawin cerai, atau telah berkali-kali menikah akan mengaku belum pernah
menikah, yang pada akhirnya mengakibatkan kemadaratan yang amat besar bagi anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan, serta tidak diketahui siapa ayah
kandung yang sebenarnya, karena tidak akan bisa diingat lagi siapa yang sudah menikah dan
yang belum menikah, tetapi kalau dicatatkan akan diketahui pernikahan seseorang dan akan
terkontrol serta dapat diketahui pula nama orang tua seseorang.
Pada jaman kekuasaan kerajaan Islam semakin luas dan umat Islam semakin banyak,
permasalahan-permasalahan umat Islam baik menganai Pidana maupun Perdata selalu
dihadapkan kepada pemerintah (raja), maka sejak jaman kerajaan Umaiyyah maupun
Abasiyah sudah memulai pencatatan mengenai keperdataan serta menyelesaikannya melalui
Pengadilan, terbukti dengan putusan-putusan Qadi Syureh mengenai perdata, karena jika
tidak dicatatkan dengan baik dan rapi akan menimbulkan kemadaratan bagi kelangsungan
kehidupan rumah tangga. Oleh karena pencatatan pernikahan dapat menegakan kemaslahatan
bagi umat manusia, maka sudah sepatutnya pencatatan pernikahan dijadikan sebagai rukun
perkawinan pada jaman sekarang ini, karena pada dasarnya pencatatan perkawinan itu ada
dasar hukumnya dari Al-Quran dan As-Sunnah serta dapat menegakan kemaslahatan bagi
umat manusia.

B. Argumentasi Thalak Di Luar Pengadilan Tidak Sah (Lewat SMS)


Pernikahan merupakan perintah ajaran Islam. Tujuan pernikahan adalah untuk
selamanya. Namun, dalam perjalanan pernikahan sering dijumpai problem yang bisa jadi
membuat kehidupan rumah tangga dalam suatu pernikahan menjadi tidak harmonis lagi.
Dalam kondisi ketidakharmonisan ini diperlukan pranata sosial yang mampu menyelesaikan
perselisihan, persengketaan dan bentuk pertentangan lainnya. Sejarah Islam mencatat tiga
cara mengakhiri ketidakharmonisan dalam rumah tangga tersebut.23[23] Cara pertama
dilakukan melalui rekonsiliasi antara suami istri dengan kehendak dari orang yang berselisih,
yaitu secara sukarela datang dari suami istri yang berselisih itu sendiri.
Cara kedua dilakukan melalui mediasi pihak ketiga, misalnya keluarga masing-
masing mengutus seseorang sebagai juru damai atas perselisihan dan persengkataan. Tugas
pihak ketiga ini bisanya mencari titik temu dari konflik yang dialami suami istri keluarga
masing-masing. Cara ketiga dilakukan secara paksa kepada kedua belah pihak yang
berkonflik oleh negara yang dalam hal ini melalui pengadilan. Cara ketiga ini biasanya
ditempuh jika cara melalui inisiatif sendiri secara sukarela dan mediasi pihak ketiga menemui
jalan buntu, maka langkah terakhir adalah melalui pengadilan, yang kalau di Indonesia, bagi
orang Muslim adalah di pengadilan agama.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, Undang-undang Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam
dengan jelas menyatakan bahwa perceraian antara orang Islam harus diucapkan di depan
sidang pengadilan agama. Perceraian dapat diajukan oleh pihak istri atau suami. Jika istri
yang mengajukan cerai maka disebut dengan cerai gugat, sebaliknya, perceraian yang
diajukan oleh suami, maka disebut dengan cerai talak. Konsep perceraian dalam tata
perundang-undangan di Indonesia memberikan posisi yang seimbang antara suami dan istri
dalam mengajukan permohonan atau gugatan perceraian. Untuk dapat dikabulkan
permohonan cerai talak atau cerai gugatnya, harus didasarkan pada alasan yang jelas. Di
dalam peraturan ini sudah diberikan alasan-alasan yang bisa dijadikan dasar untuk
mengajukan cerai, baik itu dilakukan oleh suami maupun istri.
Sahnya perceraian yang harus di depan sidang pengadilan agama di atas dimaksudkan
sebagai upaya menghindari keputusan sepihak dari salah satu pihak, baik suami atau istri
yang bermaksud bercerai. Di samping itu, konsep perceraian di Indonesia agaknya
diusahakan untuk dihindari. Hal ini dapat dilihat dari setiap persidangan di pengadilan agama,
pada saat hakim memulai setiap sidangnya untuk kasus perceraian selalu menawarkan
perdamaian. Karena itu, tugas utama hakim pengadilan agama di Indonesia adalah
melaksanakan perlindungan ini sehingga ikrar talak tidak dijatuhkan kapan dan di mana saja
suami menjatuhkannya. Penetapan sahnya perceraian yang berbeda dengan fikih klasik ini
tidak menyalahi penetapan hukum Islam, sebab dalam kaidah fikih disebutkan bahwa hukum
dapat berubah sesuai dengan adanya perubahan waktu. Perhatikan kaidah fikih dan
pernyataan dari Ibn Qaiyyim berikut ini:
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Juga
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat,
keadaan, niat dan adat istiadat.24[24]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat di dibuat kesimpulan bahwa pertama,
perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, baik cerai talak maupun
cerai gugat untuk menemukan keseimbangan meskipun ikrar talak tetap dilakukan oleh suami
di depan sidang pengadilan, dan bila suami tidak mengucapkan ikrar talak disebabkan cerai
gugat, maka ikrar talak dibacakan oleh hakim. Kedua, perceraian yang dilakukan di luar
sidang pengadilan dinyatakan tidak sah. Oleh karena tidak sah, meskipun suami telah
mengucapkan atau menjatuhkan talak kepada istrinya di luar sidang pengadilan, suami istri
masih terikat dalam pernikahan termasuk hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Alasan penulis yang tidak mensahkan perceraian yang tidak diikrarkan di depan
sidang pengadilan agama di atas dengan jelas didasarkan kepada konsep malaah, yaitu
menghindari mafsadah sekaligus memberikan perlindungan kepada para pihak, khususnya
seseorang dari ketidakadilan oleh salah satu pihak dalam suatu perceraian yang diinisiasi oleh
suami. Ketidakadilan ini terjadi disebabkan ikrar talak merupakan kewenangan suami.
Dengan kewenangan ini, maka suami bila hendak menceraikan istrinya dapat melakukan
kapan saja bila ia menghendaki. Dengan keadaan seperti ini, seorang istri tidak memiliki daya
sama sekali untuk melakukan penolakan atas inisiasi suami yang mentalaknya.
Sebab, mensahkan ikrar talak di luar sidang pengadilan cenderung menimbulkan
kemudaratan, khususnya kepada istri dan hanya memberikan tekanan manfaat pada seorang
suami. Dengan kata lain, kemudaratan kepada pihak lain dan keuntungan bagi kalangan
tertentu harus dihindari dalam hukum Islam, khususnya dalam persoalan perceraian. Dengan
tidak sahnya perceraian di luar pengadilan seperti dijelaskan di atas, Majlis Tarjih ingin
menempatkan posisi yang sejajar antara seorang istri dengan suami dalam konteks perceraian.
Seorang istri harus diposisikan dalam keadaan yang sama dengan suami dalam menentukan
perceraian. Jadi, cerai di luar sidang pengadilan dalam konteks kehidupan di Indonesia adalah
didasarkan pada konsep malaah.
Setiap hukum, termasuk hukum Islam yang memberikan kesempatan yang tidak
seimbang, seperti sahnya perceraian di luar pengadilan, dalam konsep keadilan John Rawls
jelas harus dihindari karena hal demikian tidak mencerminkan fairness sebagai muatan
konsep keadilan.25[25] Kondisi tidak sama ini lah yang dikritik oleh John Rawls dengan
konsep keadilannya. Merujuk konsep John Rawls dikaitkan dengan konteks seperti
perceraian ini, suami dan istri harus diposisikan dan diberikan tempat yang setara untuk
menentukan perceraian. Dengan cara demikian, keadilan akan dapat diperoleh sehinga antar
keduanya tidak terjadi praktik yang merugikan orang lain atau adanya mafsadah.
Untuk itu, agar terwujud fairness sebagaimana konsep keadilan John Rawls, maka
keduanya, yaitu suami istri harus didudukkan dalam posisi asali, posisi yang seimbang dalam
persoalan perceraian. Dari sudut keadilan John Rawls ini, fatwa Majlis Tarjih, seperti sudah
dijelaskan di muka adalah sudah benar. Begitu juga negara yang memberikan perlindungan
terhadap perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam menjatuhkan talak dalam
konsep keadilan John Rawls adalah sudah tepat.
Dalam kitab-kitab fikih memang tidak disebutkan secara eksplisit sahnya suatu
perceraian harus di depan sidang pengadilan agama. Meskipun berbeda dengan kitab fikih
yang tidak menyebutkan syarat jatuhnya talak di depan sidang pengadilan, namun cerai di
luar pengadilan tersebut sesuai dengan tujuan hukum Islam (maqid syarah), khususnya
konsep hif an-nasl. Banyak masalah yang ditimbulkan jika dibolehkannya perceraian di luar
sidang pengadilan agama, misalnya, status bekas istri yang hendak menikah lagi dengan
orang lain melalui pencatatan di KUA sebagaimana diatur dalam tata peraturan perundang-
undangan di Indonesia, apakah sudah putus atau belum. Problem lainnya adalah terjadinya
penjatuhan talak kapan saja oleh suami yang memang talak itu menjadi haknya sementara
istri sama sekali tidak memiliki hak untuk melakukan penolakan sehingga terjadi
ketidakseimbangan suami-istri dalam menentukan perceraian. Di samping itu, penentuan hak
asuh anak dan pembeayaanya tergantung pada niat baik dari suami. Jika suami berniat tidak
baik, maka istri akan terkena beban untuk pembeayaan anak-anaknya. Dengan kata lain, bila
perceraian yang terjadi di luar sidang pengadilan itu dibenarkan dalam konteks hidup di
Indonesia akan terjadi ketidaktertiban kehidupan.
Problem-problem tersebut bila tidak diantisipasi tentu akan mengganggu eksistensi
dalam kehidupan seseorang yang telah melakukan pernikahan. Oleh karena itu, Fatwa Tarjih
tersebut di atas, tampaknya dibuat untuk dimaksudkan memberikan perlindungan dalam
rangka untuk menemukan kemaslahatan bagi kehidupan pernikahan, khususnya istri dan anak
keturunannya dalam menjalani kehidupan di Indonesia. Perlindungan seperti ini sudah masuk
kategori kebutuhan arr sebab bila tidak demikian akan menimbulkan ketidaktertiban suatu
kehidupan pernikahannya.
Kalau kita kaitkan dengan kasus bupati garut yang menceraikan Fani Oktora melalui
SMS sudah barang tentu tidaklah sah. karena dilakukan di luar pengadilan. Perecraian yang
diajukan oleh suami maupun istri menjadi suatu kewajiban harus dihadapan pengadilan yang
berwenang.

C. Argumentasi Tentang Kebolehan Poligami Bersyarat


Secara bahasa: kata poligami berasal dari masdar dari kata: yang bererti
berbilang atau dalam kata lain beristrei lebih dari seorang perempuan.
Sedangkan secara Istilah figh poligami : yang
berarti seorang laki-laki menikah lebih dari se orang perempuan.26[26]
Poligami adalah sutu sistem perkawinan dari macam-macam perkawinan yang
dikenal manusia, seperti monogami, poliandri, poligini. Poligami berasal dari kata bahasa
Yunani dari kata Poly ataupolus, yang berartii banyak dan gamein atau gamos yang
berarti kawin atau perkawinan. Bila pengertian ini digabung maka akan diperolen pengertian
yang berarti poligami ialah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.27[27]
Lailatul Mardhiyah mengatakan bahwa poligami sendiri berarti suatu sistem
perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. (Dikutip dari Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974). Pada dasarnya dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1/1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut
dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami,
akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya
bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan
mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem
poligami.
Oleh karenanya, hukum poligami boleh akan tetapi harus di sertai dengan syarat-
syarat tertentu agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari yang merugikan
pihak wanita, berikut syarat-sayaratnya:
a. Suami mampu berlaku adil di antara se sama isteri, ayatnya jelas jika suami tidak mampu
berlaku adil maka cukup satu isteri saja:






Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa: 3)
Kalimat: dapat dibaca dua macam irab: Pertama: dibaca nasab: yang berarti
mejadi maful bih kalimat yang dibuang, yaitu kalimat: kira-kira susunan kalimat
lengkapnya menjadi sebagai berikut ()
yang berarti jika kamu yakin atau mengira dirimu tidak mampu berlaku
adil di antara sesama isteri dalam hal membagi waktu giliran dan lainya seperti berlaku adil
maka nikahilah olehmu cukup satu perempuan saja. Menurut ketentuan ayat ini orang tidak
diperbolehkan menambah lebih dari satu isteri.28[28]
Ke dua: dibaca rafa mengira-ngirakan kalimat : menjadi khabar yang dibuang
mubtadanya, atau menajadi mubtada yang khabarnya dibuang, kira-kira susunan kalimat
lengkapnya menajdi sebagai berikut:
: :
.
Artinya:
Dibaca rafa mengira-mengirakan menjadi mubtadanya dibuang menurut Imam KasaI
artinya satu isteri saja sudah cukup. Menurut pendapat lain: artinya satu isteri sudah cukup
tanpa harus menambah isteri ke dua. Boleh juga dibaca rafa mengira-ngiraakan menjadi
khabar mubtada yang dibuang maka maknanya sama, yaitu cukup satu isteri saja.29[29]
Para Ulama Fiqh berpendapat bahwa adil terhadap isteri-isteri ialah: Pertama: Adil
dalam hal memberikan nafkah hidup mereka yang selain makan minum, seperti pakaian dan
lain sebaianya. Kedua: Pakaian, rumah atau tempat tinagal sebab orang hidup tidak cukup
hanya makan dan minum saja tanpa tempat tinggal dan pakaian untuk menutup aurat. Ketiga:
waktu dalam menggilir isteri-isteri, masing-masing berapa lama. Jika yang sati isteri
mendapat giliran satu malam maka suami juga harus menggilir di isteri lainnya juga satu
malam. Keempat: waktu untuk pepergian juga harus mendapatkan keadilan. Untuk itu
diperlukan undian bagi suami yang mempunyai lebih dari satu orang isteri saat ia
menghendaki pepergian. Hal ini sesuai Hadis sbb:

( ) .
Artinya:
Rasulullah SAW apabila hendak pepergian, beliau mengundi isteri-isterinya dan kemudian
siap diantara isteri-isteri yang beruntung dalam undiannya maka beliau keluar
bersamanya.30[30]
Ada dua pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan istilah adil dalam An-
Nisaa ayat 3, yakni: Pertama, seorang suami diwajibkan oleh An-Nisaa [4]: 3 berbuat adil
dalam hal lahir saja. Dia harus membagi waktu dan hartanya antara isteri-isterinya secara
adil. Dalam hal batin, yaitu cinta, dia tidak dituntut bahkan tidak mampu berbuat adil. Inilah
yang dimaksudkan dengan An-Nisaa [4]: 129. Dengan demikian, menurut pandangan
pertama ini, tidak ada pertentangan antara satu ayat Al-Quran dengan yang lain.
Kedua, An-Nisaa [4]: 3 mewajibkan seorang suami berbuat adil dalam segala hal,
termasuk hal batin. Jika dia tidak mampu berbuat adil dalam segala hal, seharusnya dia
memiliki seorang isteri saja. Penafsiran ini dijelaskan antara lain oleh A. Chodjim.
Atas dasar ayat tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa perkawinan di dalam
Islam menganut asas monogami, yang berarti satu suami hanya memiliki satu isteri. Kecuali
jika suami itu mempunyai kemampuan berlaku adil dan ada alasan-alasan tertentu yang
dibenarkan menurut ketentuan agama maka diperbolehkan menikah lebih dari satu isteri.
b. Poligami dilakukan harus dengan disertai izin isteri dan permohonan izin ke pengadilan.
Keharusan mendapatkan izin dari isteri itu didasarkan atas peraturan pemerintah,
yaitu UU No 1 tahun 1974 tetang perkawinan. Sedangka keharusan mendapatkan izin dari
pengadilan, hal itu selain di atur di dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan juga
dijelaskan di dalam fiqh, sabagai mana diungkapkan sebagai berikut :
...
. .
. .
Artinya:
... kemudian orang-orang yang berpendapat untuk memilih dilarang poligami kecuali
jika disertai izin dari pengadilan mereka itu berdalil dengan kenyataan perilaku orang yang
berpoligami seakan-akan mereka tidak tahu tentang kerusakan-kerusakan yang mereka
melanggarnya. Kesimpulannya bahwa bahaya yang ditimbulkan sebagai akibat
memperbolehkan poligami itu lebih ringan dari pada bahaya yang ditimbulkan karena
melarang poligami dan itu menjadi tugas kita semua untuk menjaga bahaya yang lebih berat
dengan memilih melakukan bahaya yang lebih ringan.31[31]
Damayant Buchori mengungkapkan hal itu sebagai berikut: Uji materi diajukan M
Insa, yang menggunakan dalih pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dinilai menghalangi hak berpoligami.
Dalam Pasal 4 Ayat 1 undang-undang itu, suami yang ingin beristri lebih dari seorang
harus mengajukan permohonan kepada pengadilan. Untuk dapat mengajukan permohonan ke
pengadilan, dalam Pasal 5 Ayat 1, suami disyaratkan harus memperoleh persetujuan dari
isteri, memiliki jaminan kemampuan memenuhi keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya,
serta jaminan suami mampu bersikap adil
Disebutkan, M Insa menilai aturan itu mengurangi hak kebebasan setiap warga negara
berpoligami yang dianggap sebagai ibadah. Aturan itu juga mengurangi hak prerogatifnya
untuk berumah tangga, bersifat diskrimina tif, dan mengurangi hak asasi yang dijamin UUD
1945. Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi tersebut.
Suatu keputusan yang melegakan hati.32[32]
Pemikiran kita harus lebih terfokus sudah saatnya segala argumentasi tentang
poligami kita tanggapi dengan pikiran dan hati nurani yang bersih, dengan alasan-alasan
sebagai berikut :
Pertama, poligami sering diajukan sebagai hal yang baik dilakukan karena
menghindari perselingkuhan dan perzinaan. Benarkah? Pikiran ini benar bila dilihat poligami
menyebabkan hubungan seksual antara lelaki dan perempuan menjadi "legal" di bawah
naungan "lembaga perkawinan". Tetapi, seharusnya yang juga ditanyakan, semudah itukah
orang melegalkan seks? Kenapa poligami seolah-olah meniadakan fakta sebelum ada
poligami yang ada adalah perselingkuhan? Lalu, bagaimana dengan pengkhianatan?
Masyarakat telah terlalu gampang membela poligami dengan menyatakan poligami akan
menghindari perzinaan. Tidakkah poligami bisa dilihat juga sebagai melegalkan
pengkhianatan? Dan kemudian istri diminta menerima pengkhianatan itu dengan berbagai
dalih? Ketika perselingkuhan dikukuhkan ke dalam lembaga perkawinan melalui mekanisme
poligami, maka "perselingkuhan" dianggap hilang, tetapi sebenarnya pengkhianatan itu tetap
ada. tetapi, perempuan telah dididik untuk bisa menerima itu.
Kedua, dalam Islam poligami memang dibolehkan dengan syarat bisa berlaku adil.
Pertanyaannya sederhana, apakah lelaki benar-benar bisa berlaku adil, setiap waktu dari detik
ke detik? Adil lahir dan batin? Bila lelaki mengatakan "ya", alangkah sombongnya lelaki itu.
Sebenarnya, bila ada kerendahan hati pada kaum lelaki, mereka pasti akan mengaku tidak
berani menjamin keadilan. Dan jika tidak berani menjamin, maka tidak akan berani
berpoligami karena takut akan murka Allah.
Ketiga, bagi mereka yang ngotot dan mengaku sanggup adil, pertanyaan saya
berikutnya, bagaimana mengukur keadilan? Kalau mau berargumentasi lelaki bisa adil,
marilah kita mencari indikator untuk mengukur keadilan. Dengan materi? Itu jelas gampang.
tetapi, keadilan yang lebih dalam? dari hati dan batin seseorang?
Jika tidak mungkin diukur, bagaimana bisa menjamin keadilan? Bagi saya yang awam
dengan aturan-aturan dalam agama, saya melihat walaupun tidak melarang, Islam justru
menuntut umatnya berpikir dan menganalisis lebih jauh
c. Poligami itu dilakukan dalam keadaan darurat, di dalam Tafsir Al- Manar, Jilid 4, hal. 349
dikatakan:.


Artinya:
Kebolehan berpoligami itu sangat sempit maka karena itu diperbolehkan bagi orang yang
memerlukannya dengan syarat orang itu mampu berlaku adil dan dijamin aman dari
melakukan perbuatan terlarang.33[33]
Atas dasar QS Al-Nisa (4): 3, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh
Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan --ketiganya
ulama terkemuka Azhar Mesir- lebih memilih memperketat.
Lebih jauh Rasyid Ridha menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi
perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial,
seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman.34[34]
Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak
penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunnah
Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai
sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik
poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang isteri menerima permaduan, semakin
baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami
membawa berkah," atau "poligami itu indah," dan yang lebih populer adalah "poligami itu
sunnah."
Sebenarnya sudah jelas bahwa hukum kebolehan berpoligami itu menurut beberapa
pendapat ulama tersebut di atas hanya bersifat dharurat atau dengan kata lain rukhsah yang
berarti bebolehan itu hanya bersifat pengecualian dan dilaksanakan hanya dalam keadaan
tertentu, yaitu ketika keadaan sudah mendesak.
d. Mampu biaya (nafakah isteri), Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi maka haram hukumnya
berpoligami, seperti suami telah mengetahui dirinya tidak mampu berlaku adil di anatar
sesama isteri maka haram hukumnya.
e. Kebolehan poligami harus disertai alasan yang dibenarkan menurut agama seperti isteri
tidak dapat melahirkan keturunan, isteri tidak mau menjalankan agama, seperti salat, puasa
ramadhan dan lain sebagainya.
Di antara alasan diperbolehkan berpoligami menurut ketentuan agama dan UU
No.1/1974 tentang Perkawinan ialah:
1. Karena isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri,
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.35[35]

D. Pelanggaran Terhadap Kode Etik dan Aturan


Kalau kita telaah lebih lanjut, Bupati Garut itu menyalahi aturan, sebab kita tahu
bahwa bupati aceng selalu bilang di media bahwa dia mendapatkan izin lisan dari istrinya
untuk menikahi Fani, akan tetapi seharusnya dia menggunakan izin tertulis bukan lisan, lalu
izin tertulis itu di bawa ke pengadilan untuk mendapatkan izin poligami, bukan hanya sekedar
izin lisan saja, ini tidak bersesuaian dengan peraturan yang ada.
Bupati Garut Aceng juga melanggar Undang-undang No 23 tahun 2002 Pasal 82
tentang Perlindungan Anak. Ancaman dari UU tersebut adalah ancaman paling lama 15 tahun
penjara.
Mengapa dapat dikatakan Bupati Garut melanggar UU No 23 tahun 2002 Pasal 82,
karena jelas saat dinikahi 14 Juli 2012 oleh Aceng, Fani masih berusia di bawah 18 tahun.
Pelanggaran yang dilakukan Aceng karena dirinya melakukan hubungan seksual dengan anak
di bawah 18 tahun.
Terkait dengan pelanggaran kode etik dan moral, Aceng sebagai pejabat publik harus
mempunyai moral dan keteladanan. Sebab, selaku pemimpin, apa yang diperbuat oleh Aceng
sangat tidak layak untuk dijadikan teladan dari urusan moral, baik dari segi bernegara atau
berkeluarga. Juga, selaku pejabat negara, Aceng mencederai UU perkawinan tahun 1974, di
mana seseorang yang hendak melakukan poligami diharuskan mendapat persetujuan tertulis
dari pihak isteri pertama, yang dipertimbangkan oleh pengadilan agama untuk mendapat
legalitas perkawinan dari sisi bernegara.
Sedangkan, selaku pejabat negara yang nota bene seorang PNS, Aceng juga harus
mendapat persetujuan dari atasan jika ingin berpoligami. Hal ini sesuai dengan PP nomor
10/1983 yang diubah dengan PP Nomor 45/1990. Dalam hal ini, Aceng harus mendapatkan
persetujuan dari Gubernur Jawa Barat, selaku atasannya.
Kemudian bila ditinjau dari sudut pandang sosial budaya, maka apa yang diperbuat
oleh Aceng ini hanya-lah puncak dari gunug es. Di bawahnya, masih banyak kejadian-
kejadian serupa dari para pejabat negara yang mungkin tak tercium oleh publik. Namun, bila
ditelusuri niscaya akan ditemukan beberapa kejadian serupa tapi tak sama dengan kasus
Bupati Aceng.
Satu yang pasti, ada adagium bahwa makin besar kekuasaan, maka makin besar pula
hasrat mewujudkan motif berafiliasi, termasuk dalam soal seks. Dalam hal ini perempuan-lah
sebagai sosok yang paling sering dijadikan alat untuk menunjukkan eksistensi diri dan
kekuasaan. Dan telah banyak pria yang tumbang atau hancur karir politiknya karena urusan di
bawah perut ini.
Jadi, menarik untuk ditunggu, apakah Bupati Aceng-pun harus tumbang dan rusak
rekam jejak politiknya hanya karena soal ini? Waktu yang akan menjawabnya. Akan tetapi
kemungkinan besar, dia akan di pecat atau kalau legowo dia akan mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Bupati Garut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah penulis paparkan diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan:
1. Pada dasarnya rukun perkawinan yang lima sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak
disepakati oleh imam mazhab, hanya ijab qabul saja yang telah disepakati sebagai rukun
perkawinan oleh sebagian besar ulama mazhab, sedangkan yang lainya masih diperselisihkan.
Oleh karena masih diperselisihkan, akibatnya dapat disimpulkan rukun perkawinan yang lima
itu belum final (masih ijtihadi), oleh karenanya ada kemungkinan rukun pernikahan bisa
bertambah atau bisa berkurang dari yang lima, sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan
umat manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan perubahan
hukum sesuai dengan perubahan maslahah. Atas dasar itu menurut hemat penulis rukun
perkawinan itu ada enam, dengan menambahkan pencatatan sebagai rukun perkawinan.
2. Alasan penulis yang tidak mensahkan perceraian yang tidak diikrarkan di depan sidang
pengadilan agama di atas dengan jelas didasarkan kepada konsep malaah, yaitu
menghindari mafsadah sekaligus memberikan perlindungan kepada para pihak, khususnya
seseorang dari ketidakadilan oleh salah satu pihak dalam suatu perceraian yang diinisiasi oleh
suami. Ketidakadilan ini terjadi disebabkan ikrar talak merupakan kewenangan suami.
Dengan kewenangan ini, maka suami bila hendak menceraikan istrinya dapat melakukan
kapan saja bila ia menghendaki. Dengan keadaan seperti ini, seorang istri tidak memiliki daya
sama sekali untuk melakukan penolakan atas inisiasi suami yang mentalaknya.
3. Hukum poligami boleh akan tetapi harus di sertai dengan syarat-syarat tertentu agar tidak
menimbulkan permasalahan di kemudian hari yang merugikan pihak wanita. UU Perkawinan
tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan
monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan
bukan menghapus sama sekali sistem poligami.
4. Pelanggaran terhadap kode etik dan peraturan, kemungkinan besar Bupati Garut Aceng akan
lengser dari jabatannya (di pecat tidak hormat) atau kalau dia legowo, maka dia akan
mengundurkan diri dari jabatannya sebagi seorang pejabat publik.
B. Saran
Tulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, jika ada kesalahan dalam
penulisan makalah ini mohon kiranya bapak Dr. Abdul Halim, MA untuk menegoreksinya,
untuk dijadikan pengalaman sebagai penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abd, Rahman Ghazaly. Fiqh Munakahat. Prenada Media.Jakarta: Th. 2003.


Abdul Gani Abdullah Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama . PT.
Intermasa: tahun 1991
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwainy. Sunan Ibnu Majah, Jilid I, (Bairut: Dar al-
Fikr, 1995)
Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa min ilm al-Ushul, Juz I
Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syariah, Juz II, (Beirut: dar al-Marifah)
Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syariah, Juz II, (Beirut: dar al-Marifah)
Abu Yahya Zakariya Al-Anshari. Fathul Wahab. Darul Fikri: Juz 2.
Ahmad ar-Raisuni, Nazhariyyah al-Maqashid Inda asy-Syathibi, (Riyadh: Dar al-Alamiyah, 1992)
Ahmad ibnu Idris al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, (Mesir: Maktabah al-Kulliyah al-azhariyyah,
1973)
Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Al-Maktabah At-Tijariyah. Makkatul
Mukaramah: Jiilid 2. Juz.5.
As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Quran al-Hakim as-Syahir bitafsir al-
Manar,(Bairut: Libanon: Dar al-Fikr, tth)
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2001)
Di akses pada tanggal 15 Desemebr 2012 http://www.menegpp.go.id/index.php?option=
com_content&view=article&id=105:poligami--tanggapan-atas-keputusan-mahkamah-
konstitusi-&catid=49:artikel-gender&Itemid=116
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: 2001.
Dr. Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Nahwa Saqafah Islamiyah Asilatan, Cet. Ke 12 (al-
Urdun, Dadun Nafais, 2002)
Drs. Humaidi Tatapangara, Hakekat Poligami dalam Islam (Surabaya: Usaha Nasional, t.th)
Faisal Oman, Islam dan Perkembangan Masyarakat, (Utusan Publication &Distributors SDN BHD,
1997
Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ke empat,Jakarta, PT Kinta, 1964
Hazairin, Kewarisan Bilateral, Menurut al-Quran dan Hadits, Penerbit Tintamas,Jakarta
Ismail Ibnu Katsir. Tafsri Quran Ibnu Katsir. Sirkatun Nuur Asiya.Surabaya: Juz 1
Izzudin ibnu Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I, (Beirut: Muassasah ar-
Rayyan)
John Rawls, A Theory of Justice
Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Saukani, Fathul Qadir, Cet. Ke I, (ar-Riyadh: Maktabatur-
Rusyd: 2001)
Muhammad Ibnu Rusy- .Bidayatul Mujtahid . Darul Fikri. Bairut Libanon. Juz 2.
Muhammad Idris As-Syafii. Al-umm. Dsarul Fikri Bairut: Libanon . Jilid 3.
Muhammad Ismail Al-Kahlani. Subulus Salam. Dahlan Bandung. Juz 3,
Qayyim al-jauziyah, Ilam al-Muwaqqiin an rabb al-Alamin, Juz II, (Beirut: dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1991)
Said Rahman al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah, (Beirut: Dar al-Fikr)
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet. Ke 4 Jilid II, ( Bairut: Darul Fikri, 1983)
Undang- Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
http://pintuonline.com/artikel/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-di-indonesia-
perspektif-hukum-islam/

36[1] Said Rahman al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah, (Beirut: Dar al-Fikr) hlm.27.
37[2] Lihat Ahmad ar-Raisuni, Nazhariyyah al-Maqashid Inda asy-Syathibi, (Riyadh: Dar al-
Alamiyah, 1992), hlm. 234.
38[3] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syariah, Juz II, (Beirut: dar al-Marifah), hlm. 6.
39[4] Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tanzhim al-Islam li al-Mujtama, hlm. 54.
40[5] Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa min ilm al-Ushul,
Juz I, hlm. 266.
41[6] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syariah, Juz II, (Beirut: dar al-
Marifah), hlm. 25-26.
42[7] Lihat Izzudin ibnu Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I, (Beirut: Muassasah ar-
Rayyan), hlm. 7 dan Ahmad ibnu Idris al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul, (Mesir: Maktabah al-Kulliyah al-
azhariyyah, 1973), hlm. 38.
43[8] Izzudin ibnu Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I, hlm. 10.
44[9] Abu Ishaq asy-Syathibi, Al-Muwaqat fi Ushul asy-Syariah, Juz II, (Beirut: dar al-Marifah), hlm. 25-28.
45[10] Lihat Ibnu Qayyim al-jauziyah, Ilam al-Muwaqqiin an rabb al-Alamin, Juz II,
(Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), hlm. 11.
46[11] Lihat Faisal Oman, Islam dan Perkembangan Masyarakat, (Utusan Publication
&Distributors SDN BHD, 1997), hlm. 129.
47[12] Abdul Gani Abdullah Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama
. PT. Intermasa: tahun 1991. Hal. 187
48[13] Hzairin, Kewarisan Bilateral, Menurut al-Quran dan Hadits, Penerbit Tintamas,Jakarta
1hlm. 9.
49[14] Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ke empat,Jakarta, PT
Kinta, 1964, hlm. 201.
50[15] Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: 2001. Hal 321.
51[16] Abd, Rahman Ghazaly. Fiqh Munakahat. Prenada Media.Jakarta: Th. 2003. Hal. 47-48.
52[17] Abu Yahya Zakariya Al-Anshari. Fathul Wahab. Darul Fikri: Juz 2. hlm. 347
53[18] Muhammad Ibnu Rusy- .Bidayatul Mujtahid . Darul Fikri. Bairut Libanon. Juz 2. Hal.
9.
54[19] Muhammad Ismail Al-Kahlani. Subulus Salam. Dahlan Bandung. Juz 3, Hal 18.
55[20] Muhammad Idris As-Syafii. Al-umm. Dsarul Fikri Bairut: Libanon . Jilid 3. Hal 24.
56[21] Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi. Al-Maktabah At-Tijariyah.
Makkatul Mukaramah: Jiilid 2. Juz.5. Hal 72.
57[22] Ismail Ibnu Katsir. Tafsri Quran Ibnu Katsir. Sirkatun Nuur Asiya.Surabaya: Juz 1
Hal. 518
58[23] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), hlm.
11.
59[24] Ibn Qayyim, I`lm al-Muwaqqi`n, Juz III, hlm. 31.
60[25] John Rawls, A Theory of Justice, hlm. 85.
61[26] Dr. Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Nahwa Saqafah Islamiyah Asilatan, Cet. Ke
12 (al-Urdun, Dadun Nafais, 2002), hal. 150
62[27] Drs. Humaidi Tatapangara, Hakekat Poligami dalam Islam (Surabaya: Usaha
Nasional, t.th), hal. 12
63[28] Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Saukani, Fathul Qadir, Cet. Ke I, (ar-Riyadh: Maktabatur-
Rusyd: 2001), hal.319
64[29] Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Saukani, Fathul Qadir, Cet. Ke I, (ar-Riyadh: Maktabatur-
Rusyd: 2001), hal.318
65[30] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwainy. Sunan Ibnu Majah, Jilid I, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1995), hal. 618
66[31] Sayyid Sabiq, Figh Sunnah, Cet. Ke 4 Jilid II, ( Bairut: Darul Fikri, 1983), hal. 108
67[32] Di akses pada tanggal 15 Desemebr 2012
http://www.menegpp.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=105:poligami-
-tanggapan-atas-keputusan-mahkamah-konstitusi-&catid=49:artikel-gender&Itemid=116
68[33] As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Quran al-Hakim as-Syahir bitafsir
al-Manar,(Bairut: Libanon: Dar al-Fikr, tth), 349
69[34] As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Quran al-Hakim as-Syahir bitafsir
al-Manar., 287
70[35] UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, ps. 4 ayat 2.
Diposkan oleh ROUF IBNU MU'THI di Minggu, Desember 23, 2012
Label: HUKUM KELUARGA

Anda mungkin juga menyukai