Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Senyawa yang diduga memiliki aktivitas antikanker, harus diujikan terlebih
dahulu pada hewan percobaan. Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) dengan
menggunakan larva udang Daphnia sp sebagai hewan uji merupakan salah satu
metode yang banyak digunakan untuk pencarian senyawa antikanker baru yang
berasal dari tanaman. Hasil uji toksisitas dengan metode ini telah terbukti memiliki
korelasi dengan daya sitotoksis senyawa anti kanker. Selain itu, metode ini juga
mudah dikerjakan, murah, cepat dan cukup akurat (Meyer, 1982). Lebih dari itu uji
larva udang ini juga digunakan untuk praskrining terhadap senyawa-senyawa yang
diduga berkhasiat sebagai antitumor. Dengan kata lain, uji ini mempunyai korelasi
yang positif dengan potensinya sebagai antikanker (Anderson, 1991).
Pengujian Lethalitas telah digunakan dengan sukses untuk isolasi biomonitor dari
cytotoxic (Siqueira, M. J et. al., 1998), antimalaria (Perez, H, et.al., 1997), insektisida
(Oberlies, N. H.,et.al., 1998), dan antifeedent (Labbe, C., et.al., 1993) campuran dari
ektrak tumbuhan. Hasil dari skrening dari air, hydroalcoholic dan ekstrak alkohol dari
beberapa tumbuhan obat penting yang digunakan dalam pengobatan tradisional untuk
lethalitas merujuk pada larva Daphnia sp yang diperkenalkan.
Suatu konsentrasi mematikan (Lethal Concentration) adalah analisa secara
statistik yang menggunakan uji Whole Effluent Toxicity (WET) untuk menaksir
lethalitas sampel effluen. Menurut Meyer dkk. (1982) tingkat toksisitas dari ekstrak
tanaman dapat ditentukan dengan melihat harga LC50-nya. Apabila harga LC50 lebih
kecil dari 1000 g/ml dikatakan toksik, sebaliknya apabila harga LC50 lebih besar
dari 1000 g/ml dikatakan tidak toksik. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi
makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga LC50
semakin toksik suatu senyawa.

1
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum Uji Toksisitas Akut ini yaitu :
- Memahami dan mampu melakukan uji toksisitas dengan menggunakan metode
BSLT (Brine Shrimp Lethality Test )
- Mengetahui senyawa aktif yang terdapat dalam larva berdasarkan nilai LC50 (
Lethal Concentration)

1.3 Manfaat Praktikum


Manfaat dari praktikum ini yaitu praktikan dapat mengetahui cara uji bahan
yang mengandung toksik yang dilakukan pada hewan uji yaitu: ikan nilem, dan bahan
toksik yang digunakan pada uji toksisitas akut yaitu: Benzen, Fenol, Kloroform,
Crude Oil dan Oli bekas. Selain itu, praktikan dapat menganalisis hasil praktikum
melalui Rurvival Rate dengan beragam jenis bahan toksik serta dapat mengetahui
karakteristik dari jenis bahan toksik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Uji Toksisitas Lethal


Uji Toksisitas Lethal merupakan bagian dari uji toksisitas kuantitatif yang
dilakukan dengan pemaparan atau pendedahan dalam jangka waktu sebentar sebagai
bentuk skrining kedua atas indikasi dampak toksisitas. Biasanya efek lethal dapat
terjadi dalam beberapa jam, hari sampai beberapa minggu. Subletal ini menggunakan
konsentrasi atau dosis menengah.
Secara normal uji toksisitas lethal memerlukan studi inhalasi atau penelanan
selama perjam / hari untuk mengetahui efek-efek spesifik dan nyata dari bahan kimia
pada organ dan biokimia dari binatang. Pengujian toksisitas sebaiknya dilakukan
secara berulang-ulang dan diarahkan terutama untuk mendeteksi efek toksik yang
secara jelas bukan akibat dari pemaparan kulit.
Pengujian secara kasar hanya berdasarkan pengamatan abnormalitas secara
pengamatan kasar dengan mata telanjang, tetapi untuk pengujian yang lebih
mendalam perlu pengambilan irisan suatu jaringan dan diperiksa di bawah mikroskop
untuk mengetahui terjadi abnormalitas sel-sel dalam organ. Pada umumnya dalam
pengujian perlu pengarnbilan cuplikan darah atau urin secara teratur dari binatang
percobaan untuk pemeriksaan dan analisis. Pengujian-pengujian ini merupakan dasar
bagi dosis yang digunakan dalam uji toksisitas kronik.
Efek lethal dapat diamati pula tentang biokimia, fisiologi, tingkah laku atau
tingkat siklus hidup dari organisme tersebut. Pengamatan atau monitoring terhadap
efek lethal sangat penting dan merupakan gejala awal terhadap perubahan fatal akibat
keracunan sebelum terjadinya kematian, sehingga akibat buruk selanjutnya bahkan
kerusakan ekosostem dapat dihindari atau dicegah. Pengaruh dari senyawa pencemar
dapat diamati dalam tingkat seluler, enzim, proses metabolisme dan regulasi
(Sudarmadi, 1993).

3
2.2 Tinjauan Umum Biota Uji

2.2.1 Artemia

Gambar 2. Artemia.
(Sumber : google.com)
Menurut Bougis (1979) dalam Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) sistematika
Artemia sp. adalah sebagai berikut :
Filum : Artohopda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp
Artemia sp. diperdagangkan dalam bentuk telur yang disebut dengan kista.
Bila dilihat dengankasat mata berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna coklat
(Isnansetyo dan Kuniastuty,1995). Artemia sp. dewasa memiliki panjang antara 1 - 2

4
cm dan berat 10 mg. Telur Artemia sp. Beratnya 3,6 mikrogram dengan diameter
sekitar 300 mikron. Pada saat baru menetas, Artemia sp. memiliki berattubuh 15
mikrogram dan panjang tubuh 0,4 mm. Stadia awal ini disebut nauplius instar I, pada
Instar IIpanjang tubuhnya telah mencapai 0,6 mm dan pada instar III mencapai
sekitar 0,7 mm (Mudjiman, 1989dan Djarijah, 1995).
Menurut Mudjiman (2007) Artemia sp. merupakan udang renik yang
tergolong udang primitif.Zooplankton ini hidup secara planktonik di perairan yang
berkadar garam tinggi yakni antara 15 300 permil. Sebagai plankton,
Artemia sp. tidak dapat mempertahankan diri terhadap pemangsanya sebabtidak
mempunyai alat ataupun cara untuk membela diri.
Kista Artemia sp. berbentuk bulat dan berwarna cokelat. Diameternya
bervariasi antara 224,7 - 267,0 mikrometer (m) dan beratnya rata-rata
1,885 mikrorogram (g). Secara anatomi, susunan kista Artemia sp. terdiri dari
dua lapisan yaitu korion dan selaput embrio. Selaput ini adalah semacammembrane
atau selaput yang membungkus embrio (Harefa, 1996).

2.2.2 Daphnia sp

Gambar 2. Daphnia sp.


(Sumber : google.com)

5
Daphnia sp. dapat hidup dalam air yang kandungan oksigen terlarutnya sangat
bervariasi yaitu dari hampir nol sampai lewat jenuh. Ketahanan Daphnia sp. pada
perairan yang miskin oksigen mungkin disebabkan oleh kemampuannya dalam
mensintesis haemoglobin (Mokoginta, 2003).
Daphnia sp. termasuk hewan filter feeder, memakan berbagai macam macam
bakteri, ragi, alga bersel tunggal, detritus, dan bahan organic terlarut (Rodina dalam
Casmuji, 2002). Daphnia sp. muda berukuran panjang kurang dari satu millimeter
menyaring partikel kecil ukuran 20-30 mikrometer, sedangkan yang dewasa dengan
ukuran 2-3 mm dapat menagkap partikel sebesar 60-140 mikrometer (Fasileva dalam
casmuji, 2002). Pada keadaan baik Daphnia sp. berkembang secara parthenogenesis,
dimana individu baru berasal dari telur-telur yang tidak dibuahi. Pada saat kondisi
kurang baik, seperti kurangnya makanan dan akumulasi limbah, produksi telur secara
parthenogenesis menjadi berkurang bahkan beberapa menetas dan telur berkembang
menjadi individu jantan (Hickman, 1967 dalam Casmuji, 2002). Dengan munculnya
Daphnia jantan, maka populasi mulai bereproduksi secara seksual.
Daphnia sp. dikenal sebagai kutu air. Klasifikasi Daphnia sp. menurut
Pennak (1953) dan Ivleva (1973) dalam Casmuji (2002) adalah sebagai berikut:
Kelas : Crustacea
Subkelas : Branchiopoda
Divisio : Oligobranchiopoda
Ordo : Cladocera
Famili : Daphnidae
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia sp

6
7

Anda mungkin juga menyukai