Anda di halaman 1dari 20

Materi Agama Buddha

Bab 1
KETUHANAN YANG MAHA ESA DALAM AJARAN BUDDHA

Oleh :
Vinezsia Kokita (170403159)

2017/2018

Fakultas Teknik Industri Universitas Sumatera Utara


Medan
Ketuhanan yang Maha Esa dalam Ajaran Buddha

1. Saddha (Keimanan)
Saddha artinya keyakinan. Keyakinan disini bukan berarti kepercayaan yang
membabi buta, atau asal percaya saja, akan tetapi keyakinan yang berdasarkan
pada fakta dan kebenaran.
1.1 Keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa
Setiap agama apapun bersendikan Ketuhanan YME, meskipun makna dan
pengertian yang diberikan oleh setiap agama terhadap Tuhan berlainan
antara agama yang satu dengan agama yang lain. Demikian juga agama
Buddha meyakini Tuhan YME tidak sama dengan meyakini benua atau hal
yang lain.
Keyakinan terhadap Tuhan YME melalui proses decara penalaran (akal)
melalui penerangan sempurna. Dalam agama Buddha telah di ajarkan
Ketuhanan YME sejak Sang Buddha membabarkan Dhammanya yang
pertama kali di Taman Rusa Isipatana, yang memungkinkankita terbebas
dari Samsara (lingkaran kelahiran kembali).
Tidak benar sama sekali seandainya ada sementara orang yang
beranggapan bahwa agama Buddha tidak ber-Tuhan. Mungkin sementara
orang tersebut menuntut adanya suatu nama sebutan untuknya, seperti apa
yang mereka ketahui dalam agama mereka. Akam tetapi mereka itu kalau
mau mempelajari Kitab Suci Tipitaka, maka akan menemukan sabda Sang
Buddha tentang Ketuhanan YME.
Dalam Kitab Udana VIII,3 Sang Buddha bersabda sebagai berikut :
Para bhikkhu ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta,
yang Mutlak. Dan Para bhikkhu, bila tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak
menjelma, tidak tercipta, yang Mutlak, maka tidak dapat tergambarkan
dalam bentuk apapun.
Kitab Udana VIII,3 terdapat dalam Sutta Pitaka bagian Khuddhaka Pitaka
(buku yang kelima).
Sesuai dengan sabda Sang Buddha tersebut diatas jelaslah bagi kita bahwa
Sang Buddha juga mengajarkan tentang Ketuhanan YME. Hanya saja
konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak sama dengan konsep
Ketuhanan dari agama lain. Setelah mengetahui konsenya lalu timbul
pertanyaan : siapakah nama Tuhan dalam agama Buddha ? Tuhan
dalam agama Buddha bukan pribadi yang bisa diberi nama oleh karena itu
agama Buddha menyebut Tuhan Yang Mutlak . Namun Tuhan juga dapat
disebut Sang Hyang Adi Buddha, Parama Buddha, Sang Tattagatha.
Dalam agama Buddha yang mutlak/Tuhan tidak dipandang sebagai suatu
pribadi, yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan
menggantungkan hidupnya, akan tetapi agama Buddha mengajarkan
bahwa nasib, penderitaan, kebahagiaan, keberuntungan, kerugian, adalah
hasil dari perbuatannya sendiri dimasa lampau.

1.2 Keyakinan Terhadap Tri Ratna / Tiratana


Umat Buddha menjadikan Tiratana sebagai keyakinan untuk mendorong
diri mengakhiri penderitaan. Tiratana terdiri dari Buddha Ratana, Dhamma
Ratana, dan Sagha Ratana. Keyakinan ini diperoleh dari memahami
kualitas atau sifat-sifat luhur dari Buddha, Dhamma, dan Sagha. Kita
dapat menemukan kualitas itu dengan menghayati yang ada pada
Buddhnusati, Dhammnusati, dan Saghnusati. Seperti Buddhnusati
terdapat sembilan kualitas luhur dari Buddha, Dhammnusati terdapat
enam kualitas luhur dari Dhamma, dan Saghnusati terdapat sembilan
kualitas luhur dari Sagha. Sering kali Buddha diumpamakan seorang
dokter, Dhamma diumpamakan obat, Sagha diumpamakan orang yang
sembuh setelah minum obat yang diberikan oleh dokter. Demikian pula
kita-kita ini, diumpamakan seperti orang yang sedang mengalami sakit,
maka kita perlu pergi ke dokter dan minum obat dari petunjuk dokter.
Tujuannya agar kita tidak menderita sakit terlalu lama.
Dalam Buddhnussati, direnungkan sembilan sifat-sifat luhur dari Buddha.
Kesembilan sifat Buddha tersebut adalah maha suci (araha), telah
mencapai penerangan sempurna (sammsambuddho), sempurna
pengetahuan dan tingkah lakunya (vijjcaraa-sampanno), sempurna
menempuh jalan ke Nibbna (sugato), pengenal semua alam (lokavid),
pembimbing manusia yang tiada taranya (anuttaropurisadammasrathi),
guru para dewa dan manusia (satthdeva-manussna), yang sadar
(buddho), yang patut dimuliakan (bhagav).
Dalam Dhammnussati, direnungkan enam sifat-sifat luhur dari Dhamma.
Keenam sifat Dhamma itu telah dibabarkan dengan sempurna (svkkhto),
terlihat amat jelas (sandihiko), tak bersela oleh waktu (akliko),
mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko), patut diarahkan ke dalam
batin (opanayiko), dapat dihayati oleh para bijaksana (paccataveditabbo
vihi).
Dalam Saghnussati, direnungkan sembilan sifat-sifat luhur dari Sagha.
Kesembilan sifat adalah sagha siswa telah bertindak baik (supaipanno),
bertindak lurus (ujupaipanno), bertindak benar (yapaipanno); bertindak
patut (smcipaipanno); patut menerima pujaan (huneyyo), patut
menerima suguhan (phuneyyo), patut menerima persembahan
(dakkhineyyo), patut menerima penghormatan (ajalikarayo), ladang
untuk menanam jasa yang tiada taranya bagi makhluk dunia (anuttara-
puakkhetta lokassa).
Dengan merenungkan dan memahami kualitas-kualitas luhur dari Buddha,
Dhamma, dan Sagha, maka keyakinan akan menjadi kokoh pada agama
Buddha, dan di dalam Ratana Sutta dijelaskan bahwa di alam ini atau di
alam lain tidak ada permata yang setara dengan permata Buddha,
Dhamma, dan Sagha. Artinya keyakinan yang kita pilih dan miliki saat
ini tidak ada bandingnya dengan apapun yang ada di dunia ini.

1.3 Keyakinan terhadap adanya Bodhisattva, Arahat dan Dewa


Bodhisatva adalah calon Buddha atau seorang yang bercita-cita dan bertekad
untuk menjadi Buddha. Buddha Sakyamuni Gotama sebelum menjadi Buddha
terlebih dahulu terlahir sebagai seorang Bodhisatva yang harus
menyempurnakan paramita atau sifat-sifat luhur.
Arahat adalah siswa Sang Buddha, karena ketekunan dan keyakinannya
melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari, berlatih
dalam sila, Samadhi dan Panna, sehingga dapat mengatasi serta melenyapkan
semua kekotoran batin dan mencapai tingkat kesucian tertinggi.
Dewa adalah makhluk yang hidup di alam Dewa/Surga , yang hidup dari hasil
ciptaanya sendiri berkat kekuatan karma baik atau kusala- kamma yang
dilakukan pada kehidupannya lampau maupun semasa di alam Dewa.

1.4 Keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan


Umat Buddha mempunyai keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan yang
telah diajarkan oleh Sang Buddha. Hukum Kesunyataan tersebut terdiri
dari:
a. Hukum Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani) yang memuat
tentang: Kesunyataan Mulia tentang Dukkha atau penderitaan; Sebab
dukkha (Dukkha Samudaya) yaitu Tanha; Lenyapnya dukkha (Dukkha
Nirodha) yaitu Nibbana atau Nirvana; dan Jalan untuk melenyapkan
Dukkha (Dukkha Nirodha Gaminipatipada) yaitu delapan Jalan Utama
beruas delapan yang terdiri dari 1) Pandangan Benar (Sammaditthi); 2)
Pikiran Benar (Samma Sankapa); 3) Ucapan Benar (Samma Vacca); 4)
Perbuatan Benar (Samma Kammanta); 5) Matapencaharian Benar (Samma
Ajiva); 6) Daya Upaya Benar (Samma Vayama); 7) Perhatian Benar
(Samma Sati) dan 8) Konsentrasi Benar (Samma Samadhi).
b. Hukum Karma dan Punarbhava (tumimbal lahir)
c. Hukum Tilakkhana (Hukum tentang Tiga corak umum yaitu: Anicca,
Dukkha, dan Anatta)
d. Hukum Paticca Samuppada yaitu Hukum sebab musabab yang saling
bergantungan.

1.5 Keyakinan terhadap Kitab Suci


Kitab Suci agama Buddha bernama Tipitaka (Pali) atau Tripitaka
(Sansekerta). Tipitaka atau Tripitaka artinya tiga keranjang atau tiga
kelompok. Setiap keranjang atau kelompok terdiri dari masing-masing
bagian Kitab Suci. Kitab Suci berhasil ditulis kembali 400 tahun setelah
Sang Buddha Parinibbana (meninggal) dengan tidak mengurangi
keasliannya oleh bhukkhu BUDDHAGOSA. Tipitaka atau Tripitaka terdiri
dari :
1. Vinaya Pitaka : buku yang berisi peraturan para bhikkhu dan bhikkhuni.
Peraturan bhikkhu berjumlah 227 latihan, dan bhikkhuni berjumlah 311
latihan. Vinaya Pitaka terbagi menjadi 3 bagian, al: Vibhanga, Khandaka,
Parivara
2. Sutta Pitaka : buku yang berisi khotbah Sang Buddha.
Sutta ini terdiri dari 5 nikaya (kumpulan), al:
Digha Nikaya : buku yang berisi 34 sutta panjang
Majjhima Nikaya : buku yang berisi 152 sutta
Anguttara Nikaya : buku yang berisi 9.557 Sutta
Samyutta Nikaya : buku yang berisi 7.762 sutta
Kuddhaka Nikaya : buku yang berisi 15 kitab.
3. Abhidhamma Pitaka : buku yang berisi filsafat ajaran Buddha.
Buku ini terdiri dari 7 kitab, al:
Dhammasangani, berisi perincian Paramatha Dhamma (etika/keadaan
batin)
Vibhanga, menguraikan pembagian paramatha dhamma dalam bentuk
yang berbeda
Dhatukatha, menguraikan unsur batin yang terdiri dari 14 bagian
Puggalapannati, menguraikan pannati, puggala, dan paramatha
Kathavatthu, menguraikan paramatha dalam bentuk tanya jawab, terdiri
dari 23 bab, menguraikan kumpulan dan sanggahan terhadap pandangan
salah tang berhubungan dengan teologi dan metafisika
Yamaka, menguraikan paramatha secara berpasangan (berpasangan)
terdiri dari 10 bab (Mula, Khanda, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara,
Anusaya, Citta, Dhamma, dan Indriya).l
Patthana, menguraikan 24 pacaya (hubungan antara batin dan jasmani).

1.6 Keyakinan terhadap Nirvana/Nibbana


Keyakinan umat Buddha terhadap adanya Nibbana didasarkan pada
khotbah Sang Buddha yang pertama yaitu Dhammacakkha-pavatthana-
Sutta. Khotbah tersebut dinyatakan bahwa untuk mengatasi penderitaan
akibat roda samsara adalah dengan pencapaian Nibbana. Selain itu Sang
Buddha menjelaskan tentang Nirvana atau Nibbana kepada Ananda
demikian: Ini adalah aman tentram, ini adalah suci, luhur, dimana semua
bentuk kamma telah berhenti, gugurnya semua lapisan kehidupan,
padamnya keinginan nafsu (tanha) disanalah Nirvana atau Nibbana.

2. Puja (bakti, ketaqwaan)


2.1 Amisa Puja dan Patipti Puja
Amisa Puja, yaitu menghormat dengan menggunakan materi atau benda,
misalnya mempersembahkan lilin, dupa, bunga, dan lain-lain.
Patipati Puja, yaitu menghormat dengan melaksanakan Dhamma, praktek
sila, samadhi, dan panna.

2.2 Sarana Puja


2.2.1 Paritta, Sutra, Dharani dan Mantra
Paritta pada pokoknya berarti perlindungan, perlindungan ini
didapat dengan cara membaca atau mendengarkan paritta sutta
(khotbah-khotbah Sang Buddha). Pembacaan paritta menimbulkan
ketenangan batin bagi mereka yang mendengarkan dan yang telah
mempunyai keyakinan akan kebenaran kata-kata Sang Buddha.
Ketenangan itu membuat batin menjadi bahagia sehingga mampu
mengatasi keresahan. Umat Buddha meyakini bahwa paritta
merupakan kekuatan yang dahsyat dan selalu dapat dimanfaatkan.
Meskipun demikian, paritta tidak selalu mampu menghasilkan
perlindungan serta berkah sesuai yang dikehendaki. Pembacaan
paritta tidak berhasil karena ada 3 sebab, yaitu halangan kamma
(ada kamma-kamma tertentu yang tidak dapat dihalangi dengan
kekuatan apapun), halangan kekotoran batin (batin orang yang
dibacakan paritta atau batin orang yang membaca paritta diliputi
oleh keragu-raguan, nafsu, dan lain-lain), dan kurang keyakinan
kepada kemanjuran paritta itu.
2.2.2 Vihara (Uposathagara, Dhammasala, Kuti, Perpustakaan dan
Pohon Bodhi)
Vihara merupakan tempat untuk melaksanakan puja, biasanya
merupakan komplek bangunan yang lengkap, di mana setiap
bangunan itu mempunyai fungsi tersendiri. Bangunan-bangunan itu
diantaranya adalah: (1) Uposathagara yaitu suatu banguan induk
yang digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan
penerangan vinaya misalnya upacara penahbisan seseorang
menjadi bhikkhu, pembacaan aturan kebhikkhuan, dan rehabilitasi
kesalahan sedang dari para bhikkhu; (2) Dhammasala adalah
tempat untuk pembacaan paritta, diskusi dan pembabaran
Dhamma, meditasi, dan upacara-upacara lainnya. Jika tidak
memungkinkan membangun dua gedung, maka Uposathagara
dapat digunakan sebagai Dhammasala. Selain itu di dalam komplek
vihara biasanya juga terdapt Pohon Bodhi yang mengingatkan
pencapaian penerangan sempurna oleh Petapa Gotama.
2.2.3 Cetya atau Altar
Altar adalah tempat untuk meletakkan lambang-lambang kesucian
dan kebijaksanaan Buddha, misalnya Buddharupa yang
menyimbolkan nilai-nilai luhur Sang Buddha; lilin menyimbolkan
penerangan yang diajarkan oleh sang Buddha; dupa melambangkan
nama harum dari orang yang memiliki sila; bunga melambangkan
ketidakkekalan; air melambangkan pembersihan dari segala
kekotoran; buah melambangkan perwujudan rasa hormat kepada
Sang Buddha.
2.2.4 Stupa
Stupa adalah tempat untuk menyimpan relik Buddha, para Arahat
siswa Buddha. Sikap Fisik dalam melaksanakan puja biasanya
adalah dengan ber-anjali (merangkapkan kedua tangan di depan
dada), namakara (bersujud tiga kali dengan lima titik menyentuh
lantai) ataupun padakhina (tangan beranjali, berjalan mengelilingi
obyek penghormatan dari kiri kekanan, dilakukan tiga kali dengan
pikiran tertuju pada Tiratana.

2.3 Hari Raya Agama Buddha


2.3.1 Magha Puja
Magha adalah nama bulan lunar yang jatuh pada bulan Februari,
dan kebaktian untuk memperingati peristiwa di bulan Magha ini
disebut Magha-Pja. Hari Besar Magha yang biasanya jatuh pada
purnama sidhi bulan Februari / Maret. Hari Besar Magha
memperingati suatu peristiwa yang terjadi pada purnama sidhi di
bulan Magha. Peristiwa tersebut adalah:
1. Disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Ajaran Sang Buddha
dan Etika Pokok Para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha ini dibabarkan
di Veluvana Vihara di Rajagaha,
Di hadapan 1.250 Arahat.
Kesemua Arahat tersebut ditahbiskan sendiri oleh Sang Buddha
(Ehi Bhikkhu)
Kehadiran para Arahat tersebut tanpa diundang dan tanpa ada
perjanjian satu dengan yang lainnya terlebih dahulu.
Sang Buddha memberi Anugerah Penghargaan Dhamma kepada
Yang Ariya Sariputta dan Moggallana Thera sebagai Siswa-siswa
Utama di hadapan 1250 Arahat di Veluvana Vihara, Rajagaha.
3. Sang Buddha mengumumkan di Capala-Cetiya di Mahavana,
pada para bhikkhu, bahwa 3 (tiga) bulan lagi beliau akan
Parinibbana.
2.3.2 Waisak
Hari Raya Waisak pada umumnya jatuh pada purnamasidhi di
bulan Mei, namun kadangkala pada hari-hari pertama bulan Juni
bila jatuh pada tahun kabisat lunar.
Hari Waisak dijuluki pula Hari Trisuci Waisak karena pada hari
itu umat Buddha sedunia memperingati Tiga Peristiwa Agung yang
terjadi pada zaman kehidupan Sang Buddha Gotama lebih dari
2500 tahun yang lalu. Tiga Peristiwa Agung tersebut adalah:
1. Bodhisatva (Calon Buddha) yang diberi nama Pangeran Sidharta
Gotama dilahirkan di Taman Lumbini, Nepal, pada tahun 623 S.M.
2. Pangeran Sidharta, yang kemudian menjadi pertapa, di bawah
Pohon Bodhi Suci, di Buddha-Gaya, India, dengan kekuatan
sendiri mencapai Penerangan Agung (mencapai Nibbana) dan
menjadi Buddha.
3. Sesudah 45 tahun lamanya mengembara dan memberi pelayanan
Dhamma kepada umat manusia dan para dewa, Sang Buddha
Parinibbana atau wafat pada usia 80 tahun di Kusinara, India pada
tahun 543 S.M.

2.3.3 Asadha
Asadha adalah nama bulan lunar kedelapan, dari bahasa
Sansekerta, sedangkan bahasa Plinya adalah Asalha. Kebaktian
untuk memeperingati Hari Besar Asadha disebut Asadha Puja /
Asalha Puja. Hari besar Asadha, diperingati 2 (dua) bulan sesudah
Hari Raya Waisak, yang biasanya jatuh pada bulan Juli, guna
memperingati kejadian yang menyangkut kehidupan Sang Buddha
dan Ajaran-Nya, yaitu:
1. Untuk pertama kali Sang Buddha membabarkan Ajaran-Nya
kepada 5 (lima) orang pertapa, bekas teman-temannya sebelum
menjadi Buddha, bertempat di Taman Rusa Isipatana, dekat
Vanarasi, India, pada purnama sidhi di bulan Asalha. Khotbah
pertama Sang Buddha ini terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka Pli
dengan nama Dhammacakkappavattana Sutta.
2. Kelima pertapa tersebut adalah Kondaa, Bhadiya, Vappa,
Mahanama dan Asajji. Dengan adanya 5 (lima) orang pertapa yang
menjadi murid Sang Buddha, maka kemudian terbentuklah Sangha.
Dengan demikian lengkaplah tiga perlindungan Umat Buddha,
yaitu Buddha, Dhamma, dan Sangha atau yang disebut Tiratana
(Tiga Perlindungan).

2.3.4 Kathina
Pada purnamasidhi tiga bulan sesudah Hari Besar Asadha, yang
jatuh kira-kira pada bulan Oktober-November, para bhikkhu telah
mnyelesaikan Masa Vassa, dan umat melakukan persembahan
jubah Khatina pada Sangha. Perayaan tersebut diselenggarakan
sebagai ungkapan perasaan terima kasih umat kepada Bhikkhu
yang telah menjalankan Vassa di daerah mereka, dengan cara
mempersembahkan pada Bhikkhu Sangha barang-barang berupa
jubah, perlengkapan Vihara dan kebutuhan Bhikkhu sehari-hari.

3. Buddha, Bodhisattva dan Arahat


Buddha ialah orang yang mencapai Kesadaran Sempurna (kesucian tertinggi)
dengan usahanya sendiri, lalu mengajarkan Dharma ajarannya kepada semua
umat manusia. Sedangkan Arahat ialah orang yang telah mencapai kesucian
batin tertinggi mengikuti ajaran Buddha. Bodhisattwa ialah orang yang
bertekad untuk mencapai tingkat Buddha.
Jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan Buddha cukup panjang, lama dan
rumit. Dengan bekal mengumpulkan 10 Kebajikan Paramita. Yakni: Dana,
Sila, Wiriya, Khanti, Nekkhama, Aditthana, Metta, Upekkha, Panya, dan
Samadhi (maaf urutannya).
Sejak menjadi Bodhisattwa Sumedha hingga menjadi Buddha Gotama,
diperlukan waktu 4 Asankeyya, dan 100 ribu Kappa, belum lagi dari awal
tekad saat terlahir menjadi beberapa hewan di hutan, dsb.
Sebab itu, dari umat awam untuk menempuh jalan Buddha disebut jalan yang
paling Rumit. Pertama, dia harus melalui tahapan yang awal yaitu; bertekad
menjalani hidup sebagai Bodhisattwa dulu. Dengan cara hidup Bodhisattwa
Sila dengan makan Vegetarian seumur hidup sampai entah kapan, menunggu
bisa lahir di alam Tusita.

4. Dhammaniyama
Salah satu konsep dalam ajaran agama Buddha mengenai hukum-hukum yang
bekerja di alam ini. Hukum ini bekerja dengan sendirinya dan bersifat
universal
4.1 Utu Niyama
Dunia materi terbentuk dari empat unsur utama (mahabhuta), yaitu unsur
pathavi, apo, tejo, dan vayo. Unsur pathavi (secara harfiah berarti "tanah")
merupakan unsur yang bersifat "luasan" dan liat, yang berfungsi menjadi basis
unsur lainnya. Unsur kedua tidak dapat saling mengikat tanpa dasar untuk
ikatan tersebut; unsur ketiga tidak dapat menghangatkan tanpa basis bahan
bakar; unsur keempat tidak dapat bergerak tanpa dasar untuk gerakannya;
semua materi bahkan atom sekali pun membutuhkan unsur pathavi sebagai
basisnya.
Unsur apo (secara harfiah berarti "air") merupakan unsur yang bersifat kohesif
(ikat-mengikat) dan dapat menyesuaikan diri, yang berfungsi memberikan
sifat ikat-mengikat pada unsur lainnya. Unsur ini juga memberikan
kelembaban dan cairan pada tubuh makhluk hidup.
Unsur tejo (secara harfiah berarti "api") merupakan unsur yang bersifat panas,
yang memberikan fungsi panas dan dingin pada unsur lainnya. Karena unsur
ini, semua materi dapat dihasilkan kembali untuk tumbuh dan berkembang
setelah mencapai kematangan.
Unsur vayo (secara harfiah berarti "udara") merupakan unsur yang bersifat
gerakan dan memberikan fungsi gerak pada unsur lainnya. Unsur gerak ini
membentuk kekuatan tarikan dan tolakan pada semua materi.
Unsur-unsur ini jika bertahan dalam kondisi yang tetap, dapat bertambah
kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk bertambah, dan berkurang
kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk berkurang. Misalnya,
dalam benda padat unsur cair dapat memperoleh kekuatan gerak yang cukup
sehingga menyebabkan benda padat tersebut mencair, dalam zat cair unsur
panas dapat mengubahnya menjadi nyala api dan unsur cairnya hanya
memberi sifat ikatan. Karena sifat intensitas dan jumlahnya ini, keempat unsur
tersebut disebut unsur besar (mahabhutani). Intensitas dan jumlah unsur-unsur
ini mencapai puncaknya ketika terjadinya pembentukan dan kehancuran alam
semesta.
Energi (utu) merupakan benih awal semua fenomena pada dunia materi dan
merupakan bentuk awal dari unsur panas.
Hukum energi merupakan proses berkelanjutan yang mengatur empat
rangkaian pembentukan, kelanjutan, kehancuran, dan kekosongan alam
semesta. Ia juga mengatur pergantian musim dan menentukan musim di mana
tumbuhan menghasilkan bunga dan buah. Tidak ada yang mengatur kejadian-
kejadian ini apakah manusia, dewa, atau Tuhan, kecuali hukum utu-niyama
ini.
4.1.1 Alam Semesta
4.1.2 Kejadian Bumi dan Manusia
4.1.3 Kehancuran Bumi

4.2 Bija Niyama


Bija berarti "benih" di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya
dalam berbagai bentuk.
Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah bentuk lain dari hukum
energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan pertumbuhan dunia
tumbuhan merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan kehidupan
tumbuhan dan disebut bija-niyama.
Hukum pembenihan menentukan kecambah, tunas, batang, cabang, ranting,
daun, bunga, dan buah di mana dapat tumbuh. Dengan demikian, biji jambu
tidak akan berhenti menghasilkan keturunan spesies jambu yang sama. Hal ini
juga berlaku untuk semua jenis tumbuhan lainnya dan tidak ada sosok
pencipta yang mengaturnya.

4.3 Kamma Niyama


Perbuatan (kamma) merupakan perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan
seseorang yang disertai kehendak (cetana). Seperti yang disebutkan dalam
kitab Pali: "Para bhikkhu, kehendak itulah yang Ku-sebut perbuatan. Melalui
kehendaklah seseorang melakukan sesuatu dalam bentuk perbuatan, ucapan,
atau pikiran" (Anguttara Nikaya, iii:415).
Di sini kehendak merupakan kemauan (tindakan mental). Dalam melakukan
sesuatu, baik maupun buruk, kehendak mempertimbangkan dan memutuskan
langkah-langkah yang diambil, menjadi pemimpin semua fungsi mental yang
terlibat dalam perbuatan tersebut. Ia menyediakan tekanan mental pada fungsi-
fungsi ini terhadap objek yang diinginkan.
Dalam melaksanakan tugasnya, termasuk juga tugas-tugas semua proses
mental lainnya yang terlibat, kehendak menjadi pemimpin tertinggi dalam
pengertian ia memberitahukan semua sisanya. Kehendak menyebabkan semua
aktivitas mental cenderung bergerak dalam satu arah.
Hukum perbuatan mengatur akibat-akibat dari suatu perbuatan apakah baik
atau buruk. Contoh-contoh akibat moral dari suatu perbuatan dapat dijumpai
dalam berbagai sutta, misalnya dalam Majjhima-Nikaya, Cula-Kamma-
Vibhanga-Sutta: "Akibat dari membunuh menyebabkan umur pendek, dan
tidak melakukan pembunuhan menyebabkan umur panjang. Iri hati
menghasilkan banyak perselisihan, sedangkan kebaikan hati menghasilkan
perdamaian. Kemarahan merampas kecantikan seseorang, sedangkan
kesabaran menambah kecantikan diri. Kebencian menghasilkan kelemahan,
sedangkan persahabatan menghasilkan kekuatan. Pencurian menghasilkan
kemiskinan, sedangkan pekerjaan yang jujur menghasilkan kemakmuran.
Kesombongan berakhir dengan hilangnya kehormatan, sedangkan kerendahan
hati membawa kehormatan. Pergaulan dengan orang bodoh menyebabkan
hilangnya kebijaksanaan, sedangkan pengetahuan merupakan hadiah dari
pergaulan dengan orang bijaksana."
Di sini pernyataan "membunuh menyebabkan umur pendek" mengandung
makna bahwa ketika seseorang telah membunuh sekali saja manusia atau
makhluk lainnya, perbuatan ini menyediakan akibat untuk terlahir kembali
dalam keadaan menderita dengan berbagai cara. Selama masa ketika ia terlahir
kembali sebagai manusia, perbuatan tersebut menyebabkannya berumur
pendek dalam ribuan kelahiran. Penjelasan yang sejenis juga berlaku untuk
pernyataan sebab akibat yang lain di atas.

4.4 Citta Niyama


Citta berarti "ia yang berpikir" (perbuatan berpikir), yang mengandung
pengertian: yang menyadari suatu objek. Juga berarti: menyelidiki atau
memeriksa suatu objek. Lebih jauh lagi, citta dikatakan berbeda-beda
bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas objek. Hal ini dinyatakan dalam
kitab Pali: "Para bhikkhu, Aku tidak melihat hal lain yang sangat beraneka
ragam seperti pikiran (citta). Para bhikkhu, Aku tidak melihat kelompok
(nikaya) lain yang sangat beraneka ragam seperti makhluk-makhluk alam
rendah (binatang, burung, dan seterusnya). Makhluk-makhluk alam rendah ini
hanya berbeda dalam pikiran. Namun pikiran, O para bhikkhu, lebih beraneka
ragam dibandingkan makhluk-makhluk ini" (Citten'eva cittikata. Samyutta-
Nikaya, iii. 152).
Pikiran menjadi lebih beraneka ragam berkaitan dengan hal-hal yang tidak
baik dibandingkan dengan hal-hal yang baik sehingga dikatakan "Pikiran
menyenangi hal-hal yang buruk". Oleh sebab itu, mahkluk-makhluk di alam
rendah yang dibuat dan diciptakan oleh pikiran lebih beraneka ragam
dibandingkan semua makhluk lainnya.

4.5 Dhamma Niyama


Dhamma adalah sesuatu yang menghasilkan (dhareti) sifat dasarnya sendiri,
yaitu kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat
universalnya adalah berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma
yang dikategorikan dalam hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan
sebab tersebut, dan yang dikategorikan dalam hubungan akibat
"menghasilkan" fungsi akibat atau hasil. Pengertian ini meliputi semua
Dhamma yang dibahas dalam Suttanta dan Abhidhamma Pitaka. Ini juga
meliputi hal-hal yang disebutkan dalam Vinaya Pitaka dengan nama "tubuh
aturan" (silakkhandha).
Di antara sutta-sutta, keseluruhan Mahanidana-Suttanta dan Nidana-samyutta
membahas tentang Dhamma-niyama. Dalam salah satu sutta disebutkan:
"Karena kebodohan muncul kamma: sekarang, O para bhikkhu, apakah para
Tathagata muncul atau tidak, unsur (dhatu) ini ada, yaitu pembentukan
Dhamma sebagai akibat, ketetapan Dhamma sebagai akibat (Dhammatthitata
Dhammaniyamata). Karena kamma... (dan seterusnya seperti pada hubungan
sebab akibat yang saling bergantungan)" (Samyutta-Nikaya, ii. 25). Ia juga
disinggung dalam ungkapan: "Semua hal yang berkondisi (sankhara) adalah
tidak kekal, penuh dengan penderitaan, dan tanpa aku."
Dalam beberapa teks, niyama ini disebut Dhammata: "Sesuai dengan
Dhammata (hukum), para bhikkhu, bahwa ketika seorang Bodhisatta turun
dari surga Tusita, memasuki rahim ibunya, cahaya yang sangat cemerlang
muncul di seluruh dunia, termasuk dunia para dewa dan brahma... dan seribu
sistem dunia berguncang...." (Digha-Nikaya, ii. 12).
Sifat Dhamma-niyama dapat diringkas dalam rumusan: "Ketika itu ada, ini
ada. Dari kemunculan itu maka ini muncul. Ketika itu tidak ada, ini tidak ada.
Ketika itu berakhir, maka ini berakhir" atau dalam pernyataan: "Inilah, para
bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang berkondisi: dapat dipahami
perkembangannya, dapat dipahami kelapukannya, dapat dipahami
perubahannya ketika ia masih bertahan. Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas
dari hal yang tidak berkondisi: perkembangannya tidak dapat dipahami,
kelapukannya tidak dapat dipahami, perubahan dan durasinya tidak dapat
dipahami" (Anguttara-Nikaya, i 152).
Dhamma-niyama merupakan keseluruhan sistem yang mengatur alam
semesta. Empat niyama lainnya merupakan hukum alam yang spesifik yang
mengkhususkan pada aspek tertentu dari alam semesta. Jadi, hukum alam apa
pun yang tidak termasuk dalam keempat niyama yang pertama dikategorikan
sebagai Dhamma-niyama.
Di sini kata Dhamma menunjuk pada semua hal mental maupun materi. Oleh
sebab itu, bija, kamma, dan citta merupakan Dhamma, dan ia mengandung
semua hal tersebut. Namun dalam klasifikasi niyama, nama-nama individual
digunakan untuk keempat hal pertama untuk mengkhususkan dan
membedakannya dari hal-hal lain, baik mental maupun materi, yang
digolongkan di bawah nama umum "Dhamma". Karena alasan ini Dhamma-
niyama tidak digunakan dalam penerapannya yang sepenuhnya, tetapi dibatasi
pada hal-hal yang tidak termasuk keempat hal pertama. Ketika dibutuhkan
untuk menggunakan utu sebagai niyama, seseorang tidak seharusnya
menyebutnya Dhamma-niyama walaupun utu termasuk Dhamma, tetapi harus
menggunakan nama individual yang sesuai dan menyebutnya sebagai utu-
niyama.

5. Ketuhanan yang Maha Esa dalam Ajaran Buddha


5.1 Lokattara dan Ariya

5.2 Kitab Udana VIII.3


"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan,
Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para
Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan
mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang
Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang
Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat
dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan
Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam
bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang
artinya Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak
Diciptakan dan Yang Mutlak. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan
dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan
adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia
yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran
kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

6. Samadhi, sebagai landasan memahami & mengerti Ketuhanan yang Maha Esa
6.1 Bhavana
Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam
melaksanakan pembersihannya.
Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang
bagi orang yang melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam
kehidupan sehari-hari dari praktek meditasi itu adalah :
1. Bagi orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk
membebaskan diri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau
pelemasan.
2. Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk
menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang
bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).
3. Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau persoalan yang tidak
putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan
ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk
mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
4. Bagi orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia
untuk mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat
dibutuhkannya itu.
5. Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam hati atau kebimbangan,
meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian terhadap
keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya
takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam
pikirannya.

6.1.1 Vipassana Bhavana


Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama
dan rupa (batin dan materi), atau pancakhandha (lima kelompok
faktor kehidupan). Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-
gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan
nyata bahwa nama dan rupa itu dicengkeram oleh anicca (ketidak-
kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku).
Pancakkhandha (lima kelompok faktor kehidupan) terdiri atas :
rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok
perasaan), saa-khandha (kelompok pencerapan), sankhara-
khandha (kelompok bentuk pikiran), dan viana-khandha
(kelompok kesadaran). Sesungguhnya, yang disebut
pancakkhandha itu adalah makhluk.
Empat macam satipatthana (empat macam perenungan) tdd :
1.Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani).
Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang
meditasi dengan obyek badan jasmani ialah anapanasati
(menyadari keluar dan masuknya napas).
2.Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan). Di sini
direnungkan perasaan yang sedang dialami secara obyektif,
baik perasaan senang, perasaan tidak senang, maupun
perasaan yang acuh tak acuh. Direnungkan keadaan perasaan
yang sebenarnya, bagaimana ia timbul, berlangsung, dan
kemudian lenyap kembali.Perasaan harus dikendalikan oleh
akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak
membangkitkan bermacam-macam bentuk emosi. Apabila
perasaan telah dapat diatasi dengan tepat, maka batin menjadi
bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam dunia ini.
3.Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran).
Di sini direnungkan segala gerak-gerik pikiran. Apabila pikiran
sedang dihinggapi hawa nafsu atau terbebas daripadanya, maka hal
itu harus disadari.Pikiran harus diarahkan pada kenyataan hidup
pada saat ini. Masalah-masalah yang telah lewat atau hal-hal yang
akan datang tidak boleh dipikirkan pada saat ini. Betapa banyak
tenaga yang terbuang dengan percuma karena melamunkan
keadaan-keadaan yang telah lalu dan mengkhayalkan keadaan yang
akan datang. Jadi, keadaan pikiran yang sebenarnya harus diamat-
amati, agar batin menjadi bebas dan tidak terikat.
4.Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk
pikiran).
Di sini direnungkan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya,
direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan
(nivarana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok
faktor kehidupan (pancakkhandha), direnungkan bentuk-bentuk
pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua belas
ayatana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor
Penerangan Agung (Satta Bojjhanga), dan direnungkan bentuk-
bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya
Saccani).

6.1.2 Samattha Bhavana


Dalam Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek
meditasi ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat
atau pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu
mempercepat perkembangannya. Pemilihan sebaiknya dilakukan
dengan bantuan seorang guru.
Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah :
- Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu :
1. Pathavi kasina = wujud tanah
2. Apo kasina = wujud air
3. Teja kasina = wujud api
4. Vayo kasina = wujud udara atau angin
5. Nila kasina = wujud warna biru
6. Pita kasina = wujud warna kuning
7. Lohita kasina = wujud warna merah
8. Odata kasina = wujud warna putih
9. Aloka kasina = wujud cahaya
10. Akasa kasina = wujud ruangan terbatas

- Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu :


11. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak
12. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
13. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
14. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
15. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
16. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur
17. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur
18. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah
19. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung
20. Atthika = wujud tengkorak

- Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu :


21. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
22. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
23. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
24. Silanussati = perenungan terhadap sila
25. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan
26. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung
atau para dewa
27. Marananussati = perenungan terhadap kematian
28. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani
29. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
30. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana

- Empat appamaa (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu :


31. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
32. Karuna = belas kasihan
33. Mudita = perasaan simpati
34. Upekkha = keseimbangan batin

35. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang


menjijikkan)
36. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur
yang ada di dalam badan jasmani)

- Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu :


37. Kasinugaghatimakasapaatti = obyek ruangan yang sudah keluar
dari kasina
38. Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas
39. Natthibhavapaati = obyek kekosongan
40. Akincaayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak
bukan pencerapan

6.2 Nirvana, Jhana, Abinna


Nirvana
Nivarana berarti rintangan atau penghalang batin yang selalu menghambat
perkembangan pikiran. Nivarana ini ada lima macam, yaitu:
1. Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan)
2. Byapada (kemauan jahat)
3. Thina-middha (kemalasan dan kelelahan)
4. Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekhawatiran)
5. Vicikiccha (keragu-raguan)

Jhana
Jhana berarti kesadaran/pikiran yang memusat dan melekat kuat pada
obyek kammatthana/meditasi, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada
obyek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu
kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek yang kuat).
Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktivitas panca indera.
Keadaan ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang ulet dan tekun. Dalam
keadaan ini, aktivitas panca indera berhenti, tidak muncul kesan-kesan
penglihatan maupun pendengaran, pun tidak muncul perasaan badan
jasmani. Walaupun kesan-kesan dari luar telah berhenti, batin masih tetap
aktif dan berjaga secara sempurna serta sadar sepenuhnya.
Di dalam memasuki jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang
memberi corak dan suasana bagi tiap-tiap jhana itu. Faktor-faktor jhana
tersebut ada lima macam, yaitu :
1. Vitakka, ialah penopang pikiran yang merupakan perenungan
permulaan untuk memegang obyek.
2. Vicara, ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang obyek
dengan kuat.
3. Piti, ialah kegiuran atau kenikmatan.
4. Sukha, ialah kebahagiaan yang tak terhingga.
5. Ekaggata, ialah pemusatan pikiran yang kuat.

Menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkat jhana, yaitu empat rupa
jhana dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma, terdapat
sembilan tingkat jhana, yaitu lima rupa jhana dan empat arupa jhana.
Tingkatan jhana, menurut Abhidhamma, terdiri atas :
1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama.
Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti,
sukha, dan ekaggata.
2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua.
Keadaan batinnya terdiri dari empat corak, yaitu vicara, piti, sukha,
dan ekaggata.
3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga.
Keadaan batinnya terdiri dari tiga corak, yaitu, piti, sukha, dan
ekaggata.
4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu sukha dan ekaggata.
5. Pancama-Jhana, ialah jhana tingkat kelima.
Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu upekkha dan ekaggata.
6. Akasanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi ruangan yang
tanpa batas.
7. Vianancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang
tak terbatas.
8. Akincaayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kekosongan.
9. Nevasaanasaayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi bukan
pencerapan pun tidak bukan pencerapan.

Tingkatan jhana, menurut Sutta Pitaka, terdiri atas :


1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama, dimana nivarana telah
dapat diatasi dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul adalah
vitakka, vicara, piti, sukha, dan ekaggata.
2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara
mulai lenyap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua.
Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah piti, sukha, dan ekaggata.
3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga, dimana piti mulai lenyap,
karena piti ini masih terasa kasar untuk jhana ketiga. Faktor-faktor
jhana yang masih ada adalah sukha dan ekaggata.
4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat, dimana sukha mulai
lenyap, karena faktor ini masih terasa kasar untuk jhana keempat. Di
dalam jhana keempat ini hanya ada faktor ekaggata dan ditambah
dengan upekkha (keseimbangan batin).
5. Akasanancayatana-Jhana.
6. Vianancayatana-Jhana.
7. Akincaayatana-Jhana.
8. Nevasaanasaayatana-Jhana.

Abinna
Abhia berarti kemampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau
tenaga batin. Abhia akan timbul dalam diri orang yang telah mencapai
jhana-jhana, dimana jhana tingkat keempat (catuttha-jhana) merupakan
dasar untuk timbulnya abhia ini. Abhia itu ada enam macam dan
dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu abhia yang duniawi atau
lokiya dan abhia yang di atas duniawi atau lokuttara.
Abhia yang duniawi (lokiya-abhia) terdiri atas lima macam, yaitu :
1. Iddhividhaana, sering disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan
magis atau kesaktian. Ini terbagi lagi atas beberapa macam, yaitu :
a. Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari
satu menjadi banyak atau dari banyak menjadi satu.
b. Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk berubah bentuk,
seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat diri
menjadi tak tampak.
c. Manomaya-iddhi, ialah kemampuan mencipta dengan
menggunakan pikiran, seperti menciptakan istana, taman,
harimau, wanita cantik, dan lain-lain.
d. anavipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus ajaran
melalui pengetahuan.
e. Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memencarkan
melalui konsentrasi, yaitu :
Kemampuan menembus dinding, pagar, gunung.
Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan
menyelam ke dalam air.
Kemampuan berjalan di atas air bagaikan berjalan di
atas tanah yang padat.
Kemampuan terbang di angkasa seperti burung.
Kemampuan melawan api.
Kemampuan menyentuk bulan dan matahari dengan
tangannya.
Kemampuan memanjat puncak dunia sampai ke alam
Brahma.
2. Dibbasotaana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk mendengar
suara-suara dari alam lain, yang jauh maupun yang dekat.
3. Cetopariyaana atau paracittavijaana, ialah kemampuan untuk
membaca pikiran makhluk lain.
4. Dibbacakkhuana atau cutupapataana (mata dewa), ialah kemampuan
untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya makhluk-
makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-
masing.
5. Pubbenivasanussatiana, ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal
lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain.

Abhia yang di atas duniawi (lokuttara-abhia) hanya ada satu macam,


yaitu asavakkhayaana, ialah kemampuan untuk memusnahkan kekotoran
batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian
tertinggi atau arahat.

6.3 Visuddhi dan Samyojana


Visuddhi
Visuddhi magga : Jalan kesucian
Visuddhi magga terdiri dari tujuh tahap, yaitu :
1. Sila Visuddhi adalah kesucian pelaksanaan sila.
Dalam hal ini berarti seseorang melaksanakan sila dengan sempurna,
yaitu tidak ada sila yang dilanggar.
2. Citta Visuddhi adalah kesucian batin.
Visuddhi ini dipenuhi dengan bermeditasi hingga mencapai Jhana IV
(Abhidhamma pitaka = Jhana V ).
3. Ditthi Visuddhi adalah kesucian pandangan terang.
Tahap ini dicapai dengan pandangan seseorang menjadi suci. Sesuai
dengan kenyataan ia mengerti tentang batin dan jasmani ( nama-rupa)
atau pancakkhandha
4. Kankhavitarana Visuddhi adalah kesucian mengatasi keragu-raguan.
Kesucian ini dicapai dengan mengerti tentang kondisi-kondisi batin
dan jasmani, serta telah mengatasi keragu-raguan sehubungan dengan
masa lampau, sekarang dan akan datang, yang ternyata, itu semua
dipengaruhi oleh Karma.
5. Maggamaggananadassana Visuddhi adalah kesucian oleh pengetahuan
dan penglihatan tentang jalan dan bukan jalan.
Kesucian ini dicapai karena ia mengerti dengan baik tentang mana
jalan yang benar dan jalan yang salah. Juga pencapaian ini dicapai
setelah ia mengatasi vipassana kilesa, yaitu gangguan yang muncul
pada saat melaksanakan vipassana
Vipassana kilesa ini terdiri dari 10 pengalaman batin, yaitu :
- Cahaya gemilang (obhisa)
- Pengetahuan (nana)
- kenikmatan (piti)
- Ketenangan (passadhi )
- Kebahagiaan (sukkha)
- tekad (adhimokkha)
- Semangat (paggaha )
- sadar (upatthana )
- Keseimbangan (upekkha )
- Senang (nikanti )

6. Patipadananadassana visudhi adalah kesucian pengetahuan dan


penglihatan tentang praktik.
Kesucian ini adalah kebijaksanaan yang disempurnakan dengan
sembilan pengetahuan (nanna),
Secara ringkas sembilan pengetahuan itu adalah :
a. Perenungan tentang muncul dan lenyap
b. Perenungan tentang pelenyapan
c. Perenungan tentang ketakutan
d. menyadari tentang derita
e. Perenungan tentang ketidaksenangan
f. Keinginan untuk pembebasan
g. Perenungan tentang refleksi
h. Keseimbangan terhadap segala fenomena
i. Pengadaptasian kebenaran

7. Nanadassana Visuddhi adalah kesucian pengetahuan dan penglihatan.


Pada tahap ini sesorang telah memasuki kesucian, ia menjadi ariya
puggala ( makhluk suci )

Samyojana
10 Samyojana (Belenggu) yg menyebabkan para makhluk berputar-putar dlm
Samsara, yaitu :
1. Sakkayaditthi : Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku
yang kekal.
2. Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.
3. Silabbataparamasa : Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat
membebaskan manusia dari penderitaan.
4. Kamaraga : Nafsu Indriya.
5. Vyapada : Benci, keinginan tidak baik.
6. Ruparaga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam bentuk.
(rupa-raga).
7. Aruparaga = Kemelekatan atau kehausan untuk terlahir di alam tanpa
bentuk.
8. Mana = Ketinggian hati yang halus, Perasaan untuk membandingkan diri
sendiri dengan orang lain .
9. Uddhacca = Bathin yang belum seimbang benar.
10. Avijja = Kegelapan bathin, Suatu kondisi batin yang halus sekali karena
yang bersangkutan belum mencapai tingkat kebebasan sempurna (arahat).

6.4 Ariya Pugala


Ariya-Puggala berarti Orang Suci.
Ariya-Puggala terdapat 4 tingkatan yaitu :
1. Sotapanna: Orang Suci tingkat pertama (Sotpatti-Phala ) yang akan
lahir paling banyak tujuh kali lagi.
2. Sakadagami: Orang Suci tingkat kedua (Sakadagami-Phala ) yang akan
lahir sekali lagi.
3. Anagami: Orang Suci tingkat ketiga (Anagami-Phala ) yang tidak lahir
lagi, yaitu tidak lahir lagi di Kamasugati-Bhumi 7.
4. Arahat: Orang Suci tingkat keempat (Arahatta-Phala ) yang telah
terbebas dari kelahiran dan kematian.

6.4.1 Sotapanna
Sotapanna terdiri dari 3 macam, yaitu :
1. Sattakkhattu-parama-Sotapanna : Sotapanna paling banyak
tujuh kali lagi dilahirkan di Alam Sugati-Bhumi.
2. Kolankola-Sotapanna : Sotapanna yang akan dilahirkan dua
sampai dengan enam kali lagi, setelah itu akan menjadi Arahat
dan Parinibbana.
3. Ekabiji-Sotapanna : Sotapanna yang akan dilahirkan hanya
sekali lagi, setelah itu akan menjadi Arahat dan Parinibbana.

6.4.2 Sakadagami
Sakadagami terdiri dari 5 macam, yaitu :
1. Idha patva idha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala di
Alam Manusia dan mencapai Arahatta-Phala ( Arahat ) di Alam
Manusia, juga dalam kehidupan yang sama.
2. Tattha patva tattha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala
di Alam Dewa dan mencapai Arahatta-Phala ( Arahat ) di Alam
Dewa, juga dalam kehidupan yang sama.
3. Idha patva tattha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala di
Alam Manusia, setelah itu meninggal dunia dan dilahirkan di
Alam Dewa dan mencapai Arahatta-Phala ( Arahat ) di Alam
Dewa.
4. Tattha patva idha parinibbayi : Mencapai Sakadagami-Phala di
Alam Dewa, setelah itu meninggal dari Alam Dewa dan
dilahirkan di Alam Manusia dan mencapai Arahatta-Phala (
Arahat ) di Alam Manusia.
5. Idha patva tattha nibbattitva idha parinibbayi : Mencapai
Sakadagami-Phala di Alam Manusia, setelah itu meninggal
dunia dan dilahirkan di Alam Dewa. Setelah itu meninggal dari
Alam Dewa dan dilahirkan kembali di Alam Manusia dan
mencapai Arahatta-Phala ( Arahat ) di Alam Manusia.
6.4.3 Anagami
Anagami terdiri dari 5 macam, yaitu :
1. Antaraparinibbayi : Anagami yang mencapai Arahat dan Pari-
Nibbana dalam usia yang belum mencapai setengah usia.
2. Upahaccaparinibbayi : Anagami yang mencapai Arahat dan
Pari-Nibbana dalam usia yang hampir mencapai batas usia.
3. Asangkharaparinibbayi : Anagami yang mencapai Arahat dan
Pari-Nibbana dengan tidak usah berusaha keras.
4. Sasangkharaparinibbayi : Anagami yang mencapai Arahat dan
Pari-Nibbana dengan berusaha keras.
5. Uddhangsoto akanitthgami : Anagami yang mencapai Arahat
dan Pari-Nibbana di Alam Akanittha-Bhumi.

6.4.4 Arahat
Arahat adalah orang yang telah berhasil membebaskan diri dari
dukha mencapai tingkat kesucian tertinggi.arahat juga merupakan
orang yang sudah bebas daripada segala keinginan untuk di
lahirkan kembali, baik dalam dunia yang tidak berbentuk, maupun
di dalam dunia yang tidak berbentuk, ia juga sudah bebass daripada
sgala ketinggian hati, kebenaran diri, dalam ketidaktahuan.
Proses tercapainya tingkat kesucian arahat adalahterlebih dahulu
harus menjadi bodhisatwa saddhadika, setelah itu dalam usahannya
lebih mengutamakan keyakinan terhadap dhamma yang diajarkan
oleh budha Gautama dan akhirnya tercapailah penerangan
sempurna, ialah yang disebut savaka bodhi dan kemudian menjadi
savaka budha yaiyu disebut juga arahat.

7. Konsep Keselamatan
7.1 Ortodoks : keselamatan sepenuhnya tergantung dari pengampunan
7.2 Heterodoks : keselamatan dpt terjadi sebab adanya pengampunan & usaha
manusia
7.3 Independen : keselamatan sepenuhnya tergantung dari usaha manusia

Anda mungkin juga menyukai