Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Banyak penyakit infeksi yang menyertai kehamilan dimana
diantaranya adalah Glomerulo Nefritis, Hepatitis, Typhoid Abdominaslis, dan
batu saluran kemihdimana semuanya ini merupakan penyakit berbahaya yang
harus diwaspadai saat kehamilan pada umumnya. Dengan berbagai macam cara
penularan, faktor penularan dan media penularan yang sangat akrab dengan
kehidupan sehari-hari.
Sebagai seorang bidan yang terdidik dan terlatih kita harus bisa
memahami dan mengerti tentang kegawadaruratan terhadap penyakit yang
menyertai kehamilan tersebut pada ibu hamil, agar bisa diterapkan ke
masyarakat jika turun ke dunia kerja dengan maksud mengurangai angka
kematian ibu hamil akibat terinfeksi dari penyakit yang membahayakan
tersebut.
Glomerulonefritis merupakan suatu penyakit ginjal yang disebabkan
oleh proses inflamasi pada struktur glomerular sehingga sel darah merah dan
protein keluar ke dalam urin. Glomerulonefritis dapat dibagi berdasarkan
penyebabnya yakni primer, bila tidak ditemukan penyebab lain yang
menimbulkan glomerulonefritis, atau sekunder bila terdapat penyakit lain yang
menimbulkan glomerulonefritis (Ehrlich dan Schroeder, 2009).
Typus abdominalis dalam kehamilan, dan nifas menunjukan angka
kematian yang lebih tinggi dari pada di luar kehamilan. Ibu hamil yang
menderita tifus memiliki risiko kematian 15 persen atau lebih. Penyakit ini
mempunyai pengaruh buruk terhadap kehamilan. Janin yang dikandungnya
berpeluang sekitar 60-80 persen gugur atau lahir prematur, lebih dini terjadinya
infeksi dalam kehamilan, lebih besar kemungkinan berakhirnya kehamilan.
Infeksi ini bisa dicegah dengan vaksinasi. Ibu yang mengalami infeksi setelah

1
2

melahirkan disarankan untuk tidak menyusui bayinya karena dikhawatirkan bisa


menular. Selain itu, ibu dianjurkan untuk banyak istirahat, menjalani
pengobatan simptomatik dan minum obat antibakteri.Pengobatan dengan
kloramfenikol atau tiamfenikol (Urfamycin) biasanya cukup manjur. Waktu ada
wabah, semua wanita hamil perlu diberi vaksinasi. Walaupun kuman-kuman
tIfus abdominalis tidak di keluarkan melalui air susu, namun sebaiknya
penderita tidak menyusui bayinya karena keadaan umum ibu biasanya tidak
mengizinkan, dan karena kemungkinan penuluaran oleh ibu melalui jalan lain
tetap ada. Tifus abdominalis tidak merupakan indikasi bagi abortus buatan.
Hepatitis adalah radang hati. Hepatitis dapat menjadi radang saja atau
bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut), sirosis atau kanker hati.
Virus hepatitis adalah penyebab paling umum hepatitis di dunia dibandingkan
infeksi lainnya, selain itu zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu),
dan penyakit autoimun juga dapat menyebabkan hepatitis. (WHO)
Penyakit batu saluran kemih merupakan bagian dari penyakit batu
ginjal yang disebabkan oleh kondisi patologi yang mendasar, seperi gangguan
pengeluaran urin dan adanya benda asing. Gangguan pengeluaran bisa karena
striktura, pembesaran prostat, bladder neck contracture, kelemahan dan
kekakuan kandung kemih akibat kelainan neurogenik, dan semua yang
menyebabkan stasis urin. Batu Saluran Kemih (BSK) adalah produk
metabolisme yang ada pada filtrat glomeruli normal, sering pada konsentrasi
yang melewati kelarutan maksimumnya. Umumnya terdapat di saluran kemih.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja gangguan pada sistem pencernaan selama kehamilan, melahirkan,
nifas dan bbl?
2. Apa pengertian dan jenis dari glomerulo nefritis, typus abdominalis, hepatitis
dan batu pada saluran kemih?
3

3. Apa saja penyebab dan tanda dari glomerulo nefritis, typus abdominalis,
hepatitis dan batu pada saluran kemih?
4. Bagaimana tatalaksana diagnosis dari glomerulo nefritis, typus abdominalis,
hepatitis dan batu pada saluran kemih?
5. Bagaimana peran bidan dalam membantu klien mengatasi gangguan pada
sistem pencernaan selama kehamilan, melahirkan, dan nifas?

1.3. Tujuan
Makalah yang penulis susun bertujuan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan masyarakat mengenai definisi, jenis atau type, etiologi, predisposisi,
patofisiologis, gejala klinik, akibat atau dampat, pengobatan serta pencegahan
dalam gangguan pada sistem pencernaan selama kehamilan, melahirkan, nifas
dan bbl, dan indikator utamanya antara lain:
1. Untuk mengetahui apa saja gangguan pada sistem pencernaan
selama kehamilan, melahirkan, dan nifas
2. Untuk mengetahui pengertian dan jenis dari glomerulo nefritis,
typus abdominalis, hepatitis dan batu pada saluran kemih
3. Untuk mengetahui penyebab dan tanda dari glomerulo nefritis,
typus abdominalis, hepatitis dan batu pada saluran kemih
4. Untuk mengetahui tatalaksana diagnosis dari glomerulo nefritis,
typus abdominalis, hepatitis dan batu pada saluran kemih
5. Untuk mengetahui peran bidan dalam membantu klien mengatasi
gangguan pada sistem pencernaan selama kehamilan, melahirkan,
dan nifas

Dengan ditulisnya makalah ini, penulis berharap akan berguna bagi para
pembaca agar dapat memahami apa definisi, jenis atau type, etiologi,
predisposisi, patofisiologis, gejala klinik, akibat atau dampat, pengobatan
4

serta pencegahan dalam gangguan pada sistem pencernaan selama kehamilan,


melahirkan, nifas dan bbl serta susunan lainnya.

1.4 Metode Penulisan


Dalam makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Yaitu
dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang
berhubungan dengan materi, baik berupa buku maupun informasi di internet.

.
5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Glomerulonefritis

2.1.1 Definisi

Glomerulonefritis merupakan suatu penyakit ginjal yang

disebabkan oleh proses inflamasi pada struktur glomerular sehingga sel

darah merah dan protein keluar ke dalam urin. Glomerulonefritis dapat

dibagi berdasarkan penyebabnya yakni primer, bila tidak ditemukan

penyebab lain yang menimbulkan glomerulonefritis, atau sekunder bila

terdapat penyakit lain yang menimbulkan glomerulonefritis (Ehrlich

dan Schroeder, 2009). Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis

akut adalah pasca infeksi, paling seringinfeksi streptokokus beta

hemolitikus grup A GNA pada anak yang dimaksud adalah GNA pasca

streptokokus atau GNAPS.

Dari perkembangan teknik biopsi ginjal per-kutan,

pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunofluoresen serta

pemeriksaan serologis, glomerulonefritis akut telah diketahui sebagai

salah satu contoh dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini

merupakan contoh klasik sindroma nefritik akut dengan awitan gross

hematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal akut. Walaupun

penyakit ini dapat sembuh sendiri dengan kesembuhan yang sempurna,


6

pada sebagian kecil kasus dapat terjadi gagal ginjal akut sehingga

memerlukan pemantauan.

Kehamilan pada ibu dengan penyakit ginjal kronis jarang

ditemukan dan dilaporkan oleh lembaga kesehatan sekunder maupun

tersier. Hal ini dikaitkan karena perkembangan lanjut dari GPNA

adalah penyakit gagal ginjal kronis atau Chronic Kidney Disease.

Namun tidak memungkiri untuk mengabaikan pengaruh penyakit

ginjal kronis dan akut pada kehamilan dan kesejahteraan janin.

Medline Embase pada tahun 1984-2009 mengkaji dan

mengidentifikasi penderita penyakit ini serta dampaknya pada ibu dan

janin.

2.1.2 Penyebab

Faktor penyebabnya antara lain reaksi imunologis (lupus

eritematosus sistemik), infeksi streptokokus, cedera vascular

(hipertetensi), dan penyakit metabolik (diabetes mellitus).

Glomerulonefritis akut yang paling lazim adalah yang akibat infeksi

streptokokus. Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut

adalah pasca infeksi, paling sering infeksi streptokokus beta

hemolitikus grup A.
7

2.1.3 Etiologi

Fase awal glomerulonefritis akut berlangsung beberapa hari

sampai 2 minggu. Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis

lancar, edem dan hipertensi hilang, LFG kembali normal. Penyakit ini

dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi kronik. Kronisitas

dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan kelainan

morfologis berupa hiperselularitas lobulus. Pasien sebaiknya kontrol

tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan pertama setelah awitan nefritis.

Pengukuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein urin

selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan. Kadar C3

akan kembali normal pada 95% pasien setelah 8-12 minggu, edem

membaik dalam 5-10 hari, tekanan darah kembali normal setelah 2-3

minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu.

Gross hematuria biasanya menghilang dalam 1-3 minggu,

hematuria mikroskopik menghilang setelah 6 bulan, namun dapat

bertahan sampai 1 tahun.

Proteinuria menghilang 2-3 bulan pertama atau setelah 6 bulan.

Pearlman dkk, di Minnesota menemukan 17% dari 61 pasien dengan

urinalisis rutin abnormal selama 10 tahun pemantauan.

Ketidaknormalan tersebut meliputi hematuria atau proteinuria

mikroskopik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dari 16 spesimen


8

biopsi ginjal tidak satupun yang menunjukkan karakteristik

glomerulonefritis kronik.

Penelitian Potter dkk, di Trinidad, menjumpai 1,8% pasien

dengan urin abnormal pada 4 tahun pertama tetapi hilang 2 tahun

kemudian dan 1,4% pasien dengan hipertensi. Hanya sedikit urin dan

tekanan darah yang abnormal berhubungan dengan kronisitas GNAPS.

Nissenson dkk, mendapatkan kesimpulan yang sama selama 7-12

tahun penelitian di Trinidad. Hoy dkk, menemukan mikroalbuminuria

4 kali lebih besar pada pasien dengan riwayat GNAPS,24 sedangkan

Potter dkk di Trinidad, menemukan 3,5% dari 354 pasien GNAPS

mempunyai urin abnormal yang menetap dalam 12 -17 tahun

pemantauan. Penelitian White dkk, menemukan albuminuria yang

nyata dan hematuria masing-masing pada 13% dan 21% dari 63 pasien

selama 6-18 tahun pemantauan. Kemungkinan nefritis kronik harus

dipertimbangkan bila dijumpai hematuria bersama-sama proteinuria

yang bertahan setelah 12 bulan.


9

Gambar 1. Perjalanan Penyakit

2.1.4 Tanda dan Gejala

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak

(akut) atau secara menahun (kronis), seringkali tidak diketahui karena

tidak menimbulkan gejala.

Asimtomatik

Lebih dari 50 % kasus GNA adalah asimtomatik.


10

Infeksi saluran napas dan nyeri tenggorok

Kasus klasik atau tipikal diawali dengan infeksi saluran napas atas

dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya

sembab. Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan

antigen dari gumpalan bakteri streptokokus yang mati dan antibodi

yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput

glomeruli dan mempengaruhi fungsinya (Lumbanbatu SM, 2003).

Periode laten berkisar 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok

atau kulit. Manifestasi klinis GNA sangat bervariasi, mulai dari

yang ringan atau tanpa gejala sampai yang berat.

Edema

Edema atau sembab palpebra. Pada awalnya edema timbul sebagai

pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya

lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat (Lumbanbatu

SM, 2003). Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada

anak-anak, edema bisa ditemukan sedang sampai berat. Menurut

penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta mengenai gambaran

klinis GNA didapatkan bahwa edema merupakan manifestasi

klinis yang sering ditemukan yaitu sekitar 87%, dan kadang-

kadang disertai edema paru (14%) atau gagal jantung kongestif

(2%) (Pardede SO, 2005).


11

Hematuria

Hematuria atau kencing yang mengandung darah baik secara

makroskopik maupun mikroskopik. Hematuria makroskopis yang

tidak disertai rasa nyeri merupakan gejala yang sering ditemukan.

Gross hematuria terjadi pada 30-50 % pasien yang dirawat

(Sekarwana HN, 2001). Hematuria mikroskopis umumnya

didapatkan pada semua pasien. Eritrosit pada urin terdapat pada

60-85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus

(Fairly KF, 1991) Hematuria berat sering menyebabkan orangtua

membawa anaknya berobat ke dokter. Penimbunan cairan disertai

pembengkakan jaringan (edema) terjadi di sekitar wajah dan

kelopak mata (infeksi post streptokokal).

Gambar 2. Hematuria

Oligouri

Volume kencing yang sedikit ditemukan pada 69% kasus GNA di

RSCM tahun 2005. Oligouri atau anuria timbul akibat terjadinya

penurunan filtrasi glomerolus ginjal (Pardede SO, 2005).


12

Hipertensi

Hitemukan pada hampir semua pasien GNA, biasanya ringan atau

sedang. Hipertensi pada GNA dapat mendadak tinggi selama 3-5

hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam

waktu 1-2 minggu (Lumbanbatu, 2003). Variasi lain yang tidak

spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan

menurun, nyeri kepala, atau lesu (Noer MS, 2002).

2.1.5 Patofisiologi

Pada GNA terjadi reaksi radang pada glomerulus yang

menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke

ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi

fraksi berkurang sampai di bawah 1%.

Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus

proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis

meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan

menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-penelitian lebih lanjut

memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung oleh keadaan

berikut ini:

1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh

proses radang di glomerulus.

2. Overexpression dari epithelial sodium channel.


13

3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas

angiotensin intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan

retensi Na dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan

hipertensi.

Efek proteinuria yang terjadi pada GNA tidak sampai

menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang

mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiote.

2.1.6 Prognosis

Pada umumnya prognosis ibu cukup baik. Kematian ibu sangat

jarang, dan apabila terjadi biasanya itu diakibatkan oleh dekompensasi

kordis, komplikasi serebro-vaskuler anuria, dan uremia.Sebagian besar

pasien akan sembuh sempurna, tetapi 5% di antaranya mengalami

perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan

kresen pada epitel glomerulus. Angka kematian dari GNA pada

kelompok usia yang paling sering terkena, pasien anak-anak, telah

dilaporkan 0-7%.

Kasus sporadis nefritis akut sering berkembang menjadi bentuk

yang kronis. Perkembangan ini terjadi pada sebanyak 30% dari pasien
14

dewasa dan 10% dari pasien anak. GNA merupakan penyebab paling

umum dari gagal ginjal kronis (25%).

Pada GNA, prognosis jangka panjang yang umumnya baik.

Lebih dari 98% dari individu tidak menunjukkan gejala setelah 5

tahun, dengan gagal ginjal kronis dilaporkan 1-3%.

Dalam seminggu atau lebih onset, kebanyakan pasien dengan

GNA mulai mengalami resolusi spontan retensi cairan dan hipertensi.

Tingkat C3 dapat kembali normal dalam waktu 8 minggu setelah tanda

pertama GNA. Proteinuria dapat bertahan selama 6 bulan dan

hematuria mikroskopik hingga 1 tahun setelah onset nefritis.

Resolusi pada kasus GNAPS berdasarkan waktu

Akhirnya, semua kelainan kemih harus menghilang, hipertensi

harus mereda, dan fungsi ginjal harus kembali normal. Pada orang

dewasa dengan GNA, pemulihan penuh fungsi ginjal dapat diharapkan

hanya dalam waktu setengah dari pasien, dan prognosis suram pada
15

pasien dengan diabetes glomerulosclerosis mendasarinya. Beberapa

pasien dengan nefritis akut mengembangkan gagal ginjal progresif

cepat.

Sekitar 15% dari pasien pada 3 tahun dan 2% dari pasien pada

7-10 tahun mungkin memiliki proteinuria persisten ringan. Prognosis

jangka panjang belum tentu berbahaya. Beberapa pasien mungkin

mengembangkan hipertensi, proteinuria, dan insufisiensi ginjal selama

10-40 tahun setelah penyakit awal. Imunitas terhadap protein M adalah

tipe-spesifik, tahan lama, dan pelindung. Episode berulang dari

GNAPS karena itu tidak biasa.

Prognosis untuk GN pascainfeksi nonstreptococcal tergantung

pada agen yang mendasari, yang harus diidentifikasi dan ditangani.

Umumnya, prognosis yang lebih buruk pada pasien dengan proteinuria

berat, hipertensi berat, dan peningkatan yang signifikan dari tingkat

kreatinin. Nefritis terkait dengan methicillin-resistant Staphylococcus

aureus (MRSA) dan infeksi kronis biasanya sembuh setelah

pengobatan infeksi.

Penyebab lain GNA memiliki hasil yang bervariasi dari

pemulihan lengkap untuk menyelesaikan gagal ginjal. Prognosis

tergantung pada penyakit yang mendasarinya dan kesehatan


16

keseluruhan dari pasien. Terjadinya komplikasi kardiopulmoner atau

neurologis memperburuk prognosis.

2.1.7 Dampak

Kehamilan tidak banyak mempengaruhi jalan penyakit.

Sebaliknya glomerulonefritis akuta mempunyai pengaruh tidak baik

terhadap hasil konsepsierutama yang disertai tekanan darah yang

sangat tingggi dan insufisiensi ginjal. Hipertensi yang makin

memburuk dalam kehamilan karena pengaruh dengan peningkatan laju

GFR. Dapat menyebabkan preeklamsiaRisiko IUFD, IUGR dan

kelahiran preterm lebih besar, ProteinuriaPada kehamilan trimester 1

dapat menyebabkan abortus spontan.

2.1.8 Pencegahan

Glomerulonefritis Akut harus dicegah karena berpotensi

menyebabkan kerusakan ginjal. Pencegahan yang dapat dilakukan

dengan cara membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti

mencuci tangan bersih dengan sabun, merawat kebersihan kulit, segera

mengobati infeksi kulit terutama yang disebabkan oleh Skabies. Perlu

dilakukan pemeriksaan adanya faktor risiko infeksi GNA terhadap

siapa saja yang kontak dekat dengan seseorang yang terjangkit GNA
17

seperti tinggal serumah atau seasrama dalam jangka waktu 2 minggu

sebelum onset penyakit.

2.1.9 Penatalaksanaan

Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik.

Pengobatan ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya dan

komplikasi yang ditimbulkannya (Sekarwana HN, 2001).

Perawatan

Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal

sedang sampai berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73 m2),

BUN > 50 mg, pasien dengan tanda dan gejala uremia, muntah,

letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria (Hilmant D,

2007).

Tirah baring

Tindakan umum pasien glomerolunefritis akut adalah istirahat di

tempat tidur sampai gejala edema dan kongesti vaskuler (dispneu,

edema paru, kardiomegali, hipertensi) menghilang, kira-kira

selama 3-4 minggu.

Diit
18

Diit yang berupa pembatasan masukan garam (0,5-1 gr/hari) dan

cairan selama edema, oligouria atau gejala vaskuler dijumpai.

Protein dibatasi (0,5/KgBB/hari) bila kadar ureum diatas 50 gr/dL.

Diuretika

Pengobatan dengan diuretika untuk penanggulangan edema dan

hipertensi ringan disamping diit rendah garam, diberikan

furosemide (1-2) mg/KgBB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai

edema dantekanan darah turun (Lumbanbatu SM. 2003).

Antihipertensif

Antihipertensif diberikan pada hipertensi sedang dan berat.

Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik > 140 150 mmHg dan

diastolik > 100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral

atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual. Pada

hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB

intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpine 0,03-0,10

mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8

m/kgBB/menit.

Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120

mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama

furosemide 2 mg/kgBB iv. Pilihan lain, klonidin drip 0,002

mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin

sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6 jam bila


19

diperlukan. Pada hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130

mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi tanpa

diberi terapi (Noer MS, 2002).

Pemberian Antibiotik

Pemakaian antibiotik untuk eradikasi organisme dan mencegah

penyebaran ke individu lain. Diberikan antimikroba berupa injeksi

benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral 40

mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin. GNAPS

dengan komplikasi berat seperti kongesti vaskuler (edema paru,

kardiomegali) perlu diberikan diuretika furosemide parenteral (1-2

mg/KgBB/kali).

Kontrol

Pasien disarankan kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan pertama

setelah awitan nefritis.

Pemeriksaan Penunjang

Pengukuran fisik dan lab yang meliputi tekanan darah,

pemeriksaan eritrosit dan protein urin selama 1 tahun lebih

bermanfaat untuk menilai perbaikan (Geetha D, 2005)

Perlu diperhatikan pasien dengan GNA harus ditangani oleh dokter

subspesialis.
20

2.2 ThypoidAbdominalis

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut

yang disebabkan oleh salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas

berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur

endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke

dalam sel fagosit mononuklear pada hati, limpa, kelenjar limfe usus dan

Peyer's patch.

2.2.1 Definisi Typus Abdominalis

Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya

mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1

minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (Sudoyo, 2009).

Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus

merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella,

khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian

saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut

bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara

berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Algerina, 2008;

Darmowandowo, 2006).

Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum

dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok

penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan


21

dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah

(Sudoyo A.W., 2010).

Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari

penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama

dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari

seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya

(Soedarno et al, 2008).

2.2.2 Etiologi Typus Abdominalis

Penyebab typus abdominalis ialah kuman genus Salmonella termasuk

dalam family Enterobacteriaceae yang dibagi atas 3 golongan yaitu :

a) Salmonella typhosa, S. paratyphi A, B (schoyymulleri) dan C

(hirschfeldii).

b) S. typhimurium, S. choleraesius dan S. enteritidis.

c) Salmonella yang hanya pathogen untuk binatang.

Yang terpenting ialah Salmonella typhosa yang merupakan kuman yang

pendek, dapat bergerak karena mepunyai flagel serta Gram-negatif.

Sebelum ditemukan antibiotika banyak dijumpai dengan cara infeksi

yang dikenal sebagai 5F (food, fingers, flies, fomites, feces).atau pula

dikenal sebagai feet of flies flying from feces to food


22

Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi dengan masa

inkubasi 6 14 hari. Sedangkan typhus abdominalis adalah penyakit

infeksi akut pada usus halus yang biasanya lebih ringan dan

menunjukkan manifestasi klinis yang sama dengan enteritis akut..

Salmonella typhosa mempunyai afinitas yang besar terhadap empedu

dan susunan retikuloendotel.

Penyebab penyakit ini adalah Salmonella typhi, Salmonella para typhii

A, dan Salmonella paratyphiiB. Basil gram negatif, bergerak dengan

rambut getar, tidak berspora, mempunyai 3 macam antigen yaitu antigen

O, antigen H, dan antigen VI. Dalam serum penderita terdapat zat

(aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Kuman tumbuh

pada suasan aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15 41C (optimum

37C) dan pH pertumbuhan 6 8.

a) Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar

dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia

lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan

terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap

formaldehid.

b) Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae

atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia

suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan


23

terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria

penilaian.

c) Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman

yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut

aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).

2.2.3 Faktor Risiko

1) Faktor kebersihan lingkungan

2) Faktor kebersihan makanan

3) Imunitas tubuh buruk


24

2.2.4 Patofisiologis

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam

tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman.

Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi

masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas

humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus

sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia

kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama

oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan

kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui

duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang

asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-

sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang

mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-

tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise,

mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W., 2010).


25

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam

menegakkan diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap

antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan

penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya

rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral

melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma

yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama

kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat

menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan

muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang

menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam

(Marleni, 2012; Rustandi 2010).


26

2.2.5 Gejala dan Tanda Klinis

Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat

bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum

klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau

yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan

sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik

panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul

komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal

ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya

saja (Hoffman, 2002).

Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai

dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas

disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala

klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri

otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak

enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya

didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat

perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu

kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, brakikardia

relative (peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8

kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung
27

merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus,

gangguan mental berupa somnolen, spoor, koma, delirium, atau

psikosis.

Tanda dan Gejala :

1) Demam >380C

2) Sakit Kepala

3) Nyeri Perut

4) Nafsu Makan Berkurang

5) Diare atau Konstipasi

6) Coated tongue

7) Nyeri otot

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis

1) Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody

terhadap kuman S. typhi. Pada uji widal

terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen

kuman S. typhi dengan antibody yang

disebut agglutinin.antigen yang digunakan

pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan
28

diolah di laboratorium. Bertujuan untuk menentukan adanya

agglutinin dalam serum penderita demam tifoid yaitu :

a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

b. Aglutinin H (flagella kuman)

c. Aglutinin Vi (simpai kuman)

Namun hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar terinfeksi

kuman.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama

demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak

pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu.

Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti

dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O

masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H

menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal

bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

Tes aglutinasi Widal dapat dilakukan dengan menggunakan uji

hapusan (slide test) dan uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat

dilakukan dengan cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan.

Uji hapusan dilakukan dengan menggunakan antigen S. typhi

komersial yang tersedia, setetes suspensi antigen ditambahkan pada

sejumlah serum pasien yang diduga terinfeksi Salmonella typhi.


29

Hasil penapisan positif membutuhkan determinasi kekuatan dari

antibodi (Olopienia, 2000). Di Indonesia pengambilan titer O

aglunitin 1/40 dengan memakai slide test (prosedur pemeriksaan

membutuhkan waktu 15 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%

(Sudarno et al, 2008). Campuran suspensi antigen dan antibodi

diinkubasi selama 20 jam pada suhu 370C di dalam air. Tes ini dapat

digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan (Olopienia, 2000).

2) Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan

tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena

mungkin disebabkan beberapa hal seperti :

1) Telah mendapat terapi antibiotic

Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat

antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan

terhambat dan hasil mungkin negative.

2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc

darah)

Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa

negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside

langsung dimasukan ke dalam media cair empedu (oxgall)

untuk pertumbuhan kuman.


30

3) Riwayat vaksinasi

Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam

darah pasien. Antibody (aglutinin) ini dapat menekan

bakteremia hingga biakan darah dapat negative.

4) Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat

aglutinin semakin mengikat

2.2.7 Penatalaksanaan

Trilogy penatalaksanaan demam tifoid, adalah :

1) Istirahat dan perawatan, bertujuan mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan

sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang

air kecil, dan buang air besar akan membantu dan

mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu

sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan

perlengkapan yang dipakai.

2) Diet dan terapi penunjang (sistomatik dan suportif),

bertujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan secara

optimal. Merupakan hal yang cukup penting dalam proses

penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang

kurang akan menunrunkan keadaan umum dan gizi penderita


31

akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi

lama.

Dahulu, penderita demam tifoid diberikan diet bubur saring,

kemudian menjadi bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi,

perubahan tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan

pasien. Pemberian bubur saring ditujukan untuk menghindari

komplikasi perdarahan saluran cerna atau poriferasi usus.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makan

padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa

(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat

diberikan dengan aman.

3) Pemberian atimikroba, bertujuan menghentikan dan

mencegah penyebaran kuman. Obat-obat antimikroba yang

sering digunakan adalah :

a. Kloramfenikol

Di Indonesia kloramfenikol menjadi obat pilihan

untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan

4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral atau

intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas

panas.

b. Tiamfenikol
32

Dosis dan efektivitas hampir sama dengan

kloramfenikol, dosis 4 x 500 mg, demam rata-rata

menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.

c. Kotrimoksazol

Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet

mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg

trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.

d. Ampisilin dan amoksisilin

Efektivitas lebih rendah dibandingkan kloramfenikol.

Dosis dianjurkan antara 50 150 mg/kgBB

digunakan selama 2 minggu.

e. Sefalosporin generasi ketiga

Yaitu seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4

gram dlaam dekstrosa 100cc diberikan selama jam

perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5

hari.

f. Fluorokuinolon

g. Azitromisin
33

Dosis 2 x 500 mg

Kombinasi obat antibiotic

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada

keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau

perforeasi, serta syok septic, yang pernah terbukti ditemukan

2 macam organism dalam kultur darah selain kuman

Salmonella.

Kortikosteroid, penggunaan steroid hanya diindikasikan pada

toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septic

dengan deksametason dosis 3 x 5 mg.

Pengobata Demam Tifoid pada Wanita Hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III kehamilan

karena dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian

fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonates.

Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester I

kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus

pada manusia belum dapat disingkirkan. Demikian juga obat

golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh


34

digunakan untuk mnegobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan

adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

Tatalaksana Umum

Berikan sefotaksim 200 mg/kgBB IV per 24 jam dibagi

menjadi 3-4bdosis, ATAU seftriakson 100 mg/kgBB IV

per 24 jam (maksimal 4 g/24jam) dibagi menjadi 1-2

dosis.

Berikan parasetamol 3 x 500 mg per oral bila demam

Tatalaksana Khusus : -

2.2.8 Pencegahan

a) Tingkatkan kebersihan diri dan lingkungan

b) Pilih makanan yang telah diolah dan disajikan dengan baik

(memenuhi syarat kesehatan)

c) Jamban keluarga harus cukup jauh dari sumur (harus sesuai

standar pembuatan jamban yang baik)

d) Imunisasi

e) Dengan mengetahui cara penyebaran penyakit, maka dapat

dilakukan pengendalian.
35

f) Menerapkan dasar-dasar hygiene dan kesehatan masyarakat,

yaitu melakukan deteksi dan isolasi terhadap sumber infeksi.

Perlu diperhatikan faktor kebersihan lingkungan.

g) Pembuangan sampah dan klorinasi air minum, perlindungan

terhadap suplai makanan dan minuman, peningkatan ekonomi

dan peningkatan kebiasaan hidup sehat serta mengurangi

populasi lalat (reservoir).

h) Memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan

(pemeriksaan tinja) secara berkala terhadap penyaji makanan

baik pada industri makanan maupun restoran.

i) Sterilisasi pakaian, bahan, dan alat-alat yang digunakan klien

dengan menggunakan antiseptik. Mencuci tangan dengan sabun.

j) Deteksi karier dilakukan dengan tes darah dan diikuti dengan

pemeriksaan tinja dan urin yang dilakukan berulang-ulang. Klien

yang karier positif dilakukan pengawasan yang lebih ketat yaitu

dengan memberikan informasi tentang kebersihan personal.


36

2.2.9 Implikasi Penyakit Typhus Abdominalis pada Kehamilan,

Persalinan dan Nifas

1) Pada Kehamilan

Penyakit ini lebih mungkin di jumpai selama Epidemi atau

pada mereka yang terinfeksi oleh virus Imunodefisiensi manusia

(HIV). Pada tahun 1990 di laporkan bahwa demam tifoid

antepartum dahulu menyebabkan abortus hamper 80% / kasus,

dengan angka kematian janin 60%, dan angka kematian ibu 25%.

Penyakit Typhus Abdominalis ini masuknya ke bagian infeksi

dari bakteri salmonella dan shigella. Berpengaruh terhadap

kehamilan karna bisa menyebabkan kematian janin usia gestasi

15 minggu

2) Pada Persalinan

Penyakit ini dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang

terinfeksi oleh bakteri Salmonella typhosa. Kuman ini masuk

melalui mulut terus ke lambung lalu ke usus halus. Di usus halus,

bakteri ini memperbanyak diri lalu dilepaskan kedalam darah,

akibatnya terjadi panas tinggi. Sehingga dapat berpengaruh pada

janin kemungkinan bisa gawat janin


37

3) Pada Nifas

Penyakit ini di tularkan melalui makan dan dampaknya bisa ke

ibu dan bayi , dari ibunya sendiri bias tertular lewat makanan

yang sudah tercemar dan gejalanya meliputi: diare, nyeri

abdomen, mual dan muntah, pada ibu yang mempunyai penyakit

ini bisa juga menular pada bayinya lewat ASI ibu dan

mengakibatkan demam yang tinggi bila tidak di tindak lanjuti

akan mengakibatkan kematian pada ibu dan bayinya.

2.3 HEPATITIS

2.3.1 DEFINISI HEPATITIS

Hepatitis adalah radang hati. Hepatitis dapat menjadi radang

saja atau bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut), sirosis

atau kanker hati. Virus hepatitis adalah penyebab paling umum

hepatitis di dunia dibandingkan infeksi lainnya, selain itu zat beracun

(misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun juga

dapat menyebabkan hepatitis. (WHO)

Istilah Hepatitis dipakai untuk semua jenis peradangan pada

sel-sel hati yang bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit),

obat-obatan (termasuk obat tradisional) konsumsi alkohol, lemak yang


38

berlebih dan penyakit autoimun. Ada 5 jenis virus hepatitis yaitu

hepatitis A, B, C, D dan E. Antara hepatitis yang satu dengan yang

lain tidak saling berhubungan. (INFODATIN KEMENKES)

Hepatitis merupakan penyakit hepar yang paling sering

mengenai wanita hamil. Hepatitis virus merupakan komplikasi yang

mengenai 0,2 % dari seluruh kehamilan. Kejadian abortus, IUFD dan

persalinan preterm merupakan komplikasi yang paling sering terjadi

pada wanita hamil dengan infeksi hepatitis. Hepatitis dapat disebabkan

oleh virus, obat-obatan dan bahan kimia toksik dengan gejala klinis

yang hampir sama. Infeksi virus hepatitis dapat menimbulkan masalah

baik pada kehamilan, persalinan, maupun pada bayi yang dilahirkan

(vertikel transmission) yang nantinya dapat menjadi pengidap hepatitis

kronis dengan kemungkinan terjadinya kanker hati primer atau sirosis

hepatis setelah dewasa.

2.3.2 PATOFISIOLOGI HEPATITIS

Yaitu perubahan morfologi yang terjadi pada hati, seringkali

mirip untuk berbagai virus yang berlainan. Pada kasus yang klasik, hati

tampaknya berukuran basar dan berwarna normal, namun kadang-

kadang ada edema, membesar dan pada palpasi terasa nyeri di tepian.
39

Secara histologi. Terjadi kekacauan susunan hepatoselular, cedera dan

nekrosis sel hati dalam berbagai derajat, dan peradangan periportal.

Perubahan ini bersifat reversibel sempurna, bila fase akut penyakit

mereda. Namun pada beberapa kasus nekrosis, nekrosissubmasif atau

masif dapat menyebabkan gagal hati fulminan dan kematian.

2.3.3 MANIFESTASI KLINIS HEPATITIS

Manifestasi klinis merupakan suatu gejala klinis tentang suatu

penyakit yang diderita oleh pasien. Berikut adalah gejala klinis dari

penyakit hapatitis.

1. Stadium praikterik berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh

sakit kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah, demam, nyeri pada

otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urin menjadi lebih cokelat.

2. Stadium ikterik yang berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-

mula terlihat pada sclera,kemudian padakulit seluruh

tubuh.keluhan-keluhan berkurang, tetapi pasien masih lemah,

anoreksia, dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning

muda. Hati membesar dan nyeri tekan.

3. Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin

dan tinja menjadi normal lagi. Penyembuhan pada anak-anak lebih

cepat dari orang dewasa, yaitu pada akhir bulan kedua, karena

penyebab yang biasanyaberbeda.


40

2.3.4 HEPATITIS A

A. Definisi

VHA pertamakali ditemukan tahun 1973. VHA merupakan anenteric non

enveloped RNA picornavirus dengan ukuran RNA 2-7 nm dari genus picorna

viridae hepatovirus yang dapat dinonaktifkan dengan cahaya ultraviolet atau

pemanasan. VHA merupakan serotipe tunggal diseluruh dunia yang sering

menimbulkan infeksi akut dan tidak menyebabkan infeksi kronis serta antibodi

yang terbentuk menghasilkan imunitas atau kekebalan jangka panjang terhadap

kemungkinan infeksi VHA dimasa yang akan datang.

Virus Hepatitis A (VHA) terdapat pada kotoran manusia yang terinfeksi

VHA dan paling sering ditularkan melalui konsumsi air atau makanan yang

terkontaminasi. Praktik seks tertentu juga bisa menyebarkan VHA. Kebanyakan

orang di daerah dengan sanitasi yang buruk telah terinfeksi virus ini. Infeksi virus

hepatitis A (VHA) jarang terjadi dalam kehamilan dan tidak menimbulkan infeksi

kronis dengan resiko perinatal yang rendah. Vaksin yang aman dan efektif sudah

tersedia untuk mencegah VHA.

B. Penularan dan Gejala Klinik

Penyebaran virus ini melalui feco to oral yaitu melalui makanan dan minuman

yang terkontaminasi dengan feses penderita hepatitis A. Penderita akan

mengeksresikan VHA ini kedalam feses dan dalam periode viremia yang relatif
41

singkat darah penderita juga bersifat infeksius. Periode inkubasi infeksi VHA adalah

2-7 minggu dimana darah dan feses penderita bersifat infeksius dalam periode ini.

Keluhan dan gejala kliniknya tidak spesifik sekali sehingga dapat terjadi tanpa

terdiagnosis. Mayoritas kasus tanpa gejala ikterik.

Gejala Umumnya :

1. Lemas, cepat lelah dan kurang nafsu makan

2. Muntah-muntah.

3. Di daerah hatinya :

a) Nyeri, tegang

b) Nyeri, tekan

c) Hati membesar

d) Tampak ikterus ringan sampai berat tergantung gangguan fungsi

hatinya.

4. Pada bentuk fulminan :

a) Ensefalopati

b) Gangguan Fungsi hati yang berat

Dari penelitian ditemukan sampai 15 % pasien asimptomatik dan 30 % tanpa

ikterik.

Kasus fatal dilaporkan kurang dari 1,5 % dari seluruh pasien yang dirawat

karena ikterik. Deteksi dini VHA bisa melalui test serologik untuk mendeteksi IgM
42

antibody (anti-VHA) yang bisa terdeteksi 5-10 hari sebelum onset gejala dan dapat

bertahan sampai 6 bulan setelah infeksi.

Sedangkan IgG anti VHA terbentuk dan predominan pada masa konvalessensi

dan bertanggung jawab memberikan proteksi jangka panjang terhadap VHA.

Dilaporkan 15 % infeksi VHA rellaps dalam jangka waktu 6-9 bulan.

Beberapa jalur penularan VHA adalah sbb :

Melalui air yang terkontamiasi

Makanan yang terkontamiasi oleh tangan yang mengandung virus.

Bahan pangan yang dimasak dan di cuci dari air yang telah terkontaminasi

Penggunaan obat-obatan injeksi dan non injeksi

Aktifitas seksual baik anal maupun oral.

Diagnosisnya :

1. Memerhatikan Gejala klinisnya.

2. Pemeriksaan laboratoriumnya :

a. IgM positif setelah masa inkubasi 25-30 hari.

b. Terdapat gangguan fungsi hati :

SGOT SGPT dan bilirubin meningkat

3. Kesembuhan dapat terjadi selama 6-8 minggu.

4. Pengobatan tidak banyak :


43

a. Meningkatkan nilai makanan atau vitamin

b. Istirahat cukup baik.

C. Pengaruh Terhadap Kehamilan Dan Bayi

Infeksi VHA dalam kehamilan tidak banyak dibicarakan karena kasusnya

yang jarang dan tidak menimbulkan infeksi pada janin. Belum ditemukan bukti

bahwa infeksi VHA bersifat teratogenik. Resiko penularan pada janin tampaknya nol

dan pada bayi baru lahir cukup kecil Tetapi resiko kelahiran preterm cukup

meningkat untuk kehamilan yang dipersulit hepatitis A. Wanita hamil yang baru saja

kontak dengan penderita infeksi VHA harus mendapatkan terapi profilaksis dengan

gamma globulin 1 ml.

D. Pencegahan

Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik dan

benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene personal yang

baik, seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi penyebaran dari HAV.

Wanita hamil yang akan mengadakan perjalanan ke negara endemis yang

beresiko tinggi untuk terinfeksi VHA dianjurkan untuk vaksinasi. Vaksinasi

sebaiknya diberikan paling lambat 2 minggu sebelum perjalanan dan dapat bertahan

sampai 12 bulan setelah dosis tunggal dan sampai 20 tahun setelah dosis kedua.

Profilaksis infeksi VHA secara umum dapat dibagi 2 yaitu :


44

1. Profilaksis pre ekposure

Diberikan untuk yang beresiko tinggi untuk terinfeksi VHA, yaitu:

Jangka pendek : dengan IgG 0,02 ml/kgBB

Jangka panjang : dengan IgG 0,06 ml/kgBB

2. Profilaksis post eksposure

Yaitu dengan IgG single dose IM 0,002 ml/kgBB diberikan tidak

lebih dari 2 minggu setelah tereksposure.

Level protektif antiobodi terhadap VHA berkembang 94-100 % pada orang

yang divaksinasi dalam 1 bulan setelah pemberian dosis pertama. Pemberian dosis

kedua dapat menghasilkan level protektif terhadap VHA untuk jangka panjang lebih

dari 20 tahun.

E. Penatalaksanaan

Pengobatan infeksi VHA bersifat simptomatik dan infeksi bisa sembuh

dengan sendirinya sehingga tidak ada terapi yang dibutuhkan kecuali mungkin cairan

untuk rehidrasi. Jika infeksi terjadi dalam minggu awal dapat diberikan

Imunoglobulin hepatitis A sebagai profilaksis post eksposure.

2.3.5 HEPATITIS B

A. Definisi
45

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B

yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut

menjadi sirosis hati atau kanker hati.

VHB ditemukan pertama kali tahun 1965 oleh Dr.Blumberg ketika sedang

mempelajari tentang hemophilia. VHB merupakan double stranded DNA a42nm dari

klass Hepadnaviridae.

Permukaan paling luar dari membrannya mengandung antigen yang disebut

HBsAg yang bersirkulasi dalam darah sebagai partikel spheris dan tubuler dengan

ukuran 22 nm. Inti paling dalam dari virus mengandung HBcAg. VHB (partikel

dane), antigen inti (HBcAg), dan antigen permukaan (HBsAg) serta semua jenis

antibodi yang bersesuaian dapat dideteksi melalui berbagai cara pemriksaan.

Virus hepatitis B (VHB) meliputi sekitar 40-45% kasus dari semua hepatitis.

B. Penularan dan Gejala Klinik

Masa Inkubasi infeksi hepatitis B adalah 45-180 hari (rata-rata 60-90 hari ).

Onset penyakit ini sering tersembunyi dengan gejala klinik yang tergantung usia

penderita. Kasus yang fatal dilaporkan di USA sebesar 0,5-1 %. Sebagian infeksi akut

VHB pada orang dewasa menghasilkan penyembuhan yang sempurna dengan

pengeluaran HBsAg dari darah dan produksi anti HBs yang dapat memberikan

imunitas untuk infeksi berikutnya.


46

Diperkirakan 2-10 % infeksi VHB menjadi kronis dan sering bersifat

asimptomatik dimana 15-25 % meninggal sebelum munculnya sirosis hepatis atau

kanker hati. Gejala akut dapat berupa mual, muntah, nafsu makan menurun, demam,

nyeri perut dan ikterik.

VHB dapat ditularkan melalui :

a) Darah

b) Air mani dan cairan tubuh lainnya.

c) VHB dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi ke bayi pada saat

kelahiran

d) Dari anggota keluarga hingga bayi pada masa kanak-kanak.

e) Penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah dan produk darah

yang terkontaminasi VHB,

f) Suntikan yang terkontaminasi selama prosedur medis

g) Melalui penggunaan narkoba suntikan.

h) VHB juga menimbulkan risiko bagi petugas pelayanan kesehatan yang

tidak sengaja terkena jarum suntik pasien dengan infeksi Hepatitis B.

i) Infeksi VHB pada wanita hamil dapat ditularkan secara tranplasental

dan 20 % dari anak yang terinfeksi melalui jalur ini akan berkembang

menjadi kanker hati primer atau sirosis hepatis pada usia dewasa.

Konsentrasi VHB dalam berbagai cairan tubuh dapat dibagi dalam 3 kategori

yaitu :
47

Konsentrasi tinggi (darah, serum, eksudat luka)

Sedang (semen, cairan vagina, saliva)

Rendah (urine, feses, keringat, air mata, air susu).

VHB 100 kali lebih infeksius daripada HIV dan paling sering mengenai usia

15-39 tahun. Penularan VHB dapat melalui kontak seksual ( 25 %), parenteral

seperti jarum suntik, dan penularan perinatal melalui kontak darah ibu penderita

kronis dengan membran mukus janin.

C. Pengaruh Terhadap Kehamilan dan Bayi

Dilaporkan 10-20 % ibu hamil dengan HBsAg positif yang tidak mendapatkan

imunoprofilaksis menularkan virus pada neonatusnya Dan 90 % wanita hamil

dengan seropositif untuk HBsAg dan HBeAg menularkan virus secara vertikal

kepada janinnya dengan insiden 10 % pada trimester I dan 80-90 % pada trimester

III.

Tes hepatitis B terhadap HBsAg dianjurkan pada semua wanita hamil pada

saat kunjungan antenatal pertama atau pada wanita yang akan melahirkan tapi belum

pernah diperiksa HbsAg-nya. Lebih dari 90 % wanita ditemukan HbsAg positif pada

skreening rutin yang menjadi karier VHB. Tetapi pemeriksaan rutin wanita hamil tua

untuk skreening tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu seperti pernah

menderita hepatitis akut, riwayat tereksposure dengan hepatitis, atau mempunyai

kebiasaan yang beresiko tinggi untuk tertular seperti penyalahgunaan obat-obatan

parenteral selama hamil, maka test HbsAg dapat dilakukan pada trimester III
48

kehamilan. HbsAg yang positif tanpa IgM anti HBc menunjukkan infeksi kronis

sehingga bayinya harus mendapat HBIg dan vaksin VHB.

Adapun faktor predisposisi terjadinya transmisi vertikal adalah :

1. Saat masa konsepsi terjadi infeksi germ-line

2. Saat kehamilan, melalui kontaminasi darah materna maupun transmisi

transplasenta.

3. Saat kelahiran pervaginam dan ruptur membran saat kelahiran.

Sedangkan 90 % janin yang terinfeksi akan menjadi kronis dan mempunyai

resiko kematian akibat sirosis atau kanker hati sebesar 15-25 % pada usia dewasa

nantinya.

Infeksi VHB tidak menunjukkan efek teratogenik tapi mengakibatkan insiden

Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR ) dan Prematuritas yang lebih tinggi diantara ibu

hamil yang terkena infeksi akut selama kehamilan. Dalam suatu studi pada infeksi

hepatitis akut pada ibu hamil (tipe B atau non B) menunjukkan tidak ada pengaruh

terhadap kejadian malformasi kongenital, lahir mati atau stillbirth, abortus, ataupun

malnutrisi intrauterine.

Pada wanita dengan karier VHB tidak akan mempengaruhi janinnya, tapi bayi

dapat terinfeksi pada saat persalinan (baik pervaginam maupun perabdominan) atau

melalui ASI atau kontak dengan karier pada tahun pertama dan kedua kehidupannya.

Pada bayi yang tidak divaksinasi dengan ibu karier mempunyai kesempatan sampai
49

40 % terinfeksi VHB selama 18 bulan pertama kehidupannya dan sampai 40 %

menjadi karier jangka panjang dengan resiko sirosis dan kanker hepar dikemudian

harinya.

VHB dapat melalui ASI sehingga wanita yang karier dianjurkan mendapat

Imunoglobulin hepatitis B sebelum bayinya disusui. Penelitian yang dilakukan Hill

JB,dkk (dipublikasikan tahun 2002) di USA mengenai resiko transmisi VHB melalui

ASI pada ibu penderita kronis-karier menghasilkan kesimpulan dengan

imunoprofilaksis yang tepat termasuk Ig hepatitis B dengan vaksin VHB akan

menurunkan resiko penularan. Sedangkan transmisi VHB dari bayi ke bayi selama

perawatan sangat rendah.

D. Pencegahan

Pencegahan penularan VHB dapat dilakukan dengan melakukan aktifitas

seksual yang aman, tidak menggunakan bersama obat-obatan yang mempergunakan

alat seperti jarum, siringe, filter, spons, air dan tourniquet, dsb, tidak memakai

bersama alat-alat yang bisa terkontaminasi darah seperti sikat gigi, gunting kuku, dsb,

memakai pengaman waktu kerja kontak dengan darah, dan melakukan vaksinasi

untuk mencegah penularan.

Profilaksis pada wanita hamil yang telah tereksposure dan rentan terinfeksi adalah

sbb :

1. Ketika kontak seksual dengan penderita hepatitis B terjadi dalam 14 hari


50

Berikan vaksin VHB kedalam m.deltoideus. Tersedia 2 monovalen

vaksin VHB untuk imunisasi pre-post eksposure yaitu Recombivax

HB dan Engerix-B. Dosis HBIg yang diberikan 0,06 ml/kgBB IM

pada lengan kontralateral.

Untuk profilaksis setelah tereksposure melalui perkutan atau luka

mukosa, dosis kedua HBIg dapat diberikan 1 bulan kemudian.

2. Ketika tereksposure dengan penderita kronis VHB

Pada kontak seksual, jarum suntik dan kontak nonseksual dalam

rumah dengan penderita kronis VHB dapat diberikan profilaksis post

eksposure dengan vaksin hepatitis B dengan dosis tunggal.

Wanita hamil dengan karier VHB dianjurkan memperhatikan hal-hal sbb :

Tidak mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan hepatotoksik seperti

asetaminophen

Tidak memakai bersama alat-alat yang dapat terkontaminasi darah seperti

sikat gigi,dsb.

Memberikan informasi pada ahli anak, kebidanan dan laboratorium bahwa

dirinya penderita hepatitis B carier.

Pastikan bayinya mendapatkan HBIg saat lahir, vaksin hepatitis B dalam 1

minggu setelah lahir, 1 bulan dan 6 bulan kemudian.

Konsul teratur kedokter

Periksa fungsi hati.


51

E. Terapi

Terapi infeksi akut VHB adalah supportif. Terdapat 4 jenis obat dalm

mengobati hepatitis B kronik yaitu interferon (IFN), Pegylated-interferon, Lamivudin

(3TC) dan Adefovir. Obat-obatan ini efektif pada 40-45 % pasien.

Jika infeksi terjadi dalam fase inisial dapat diberikan Imunoglobulin hepatitis

B sebagai profilaksis post-eksposure. Interferon tidak diketahui mempunyai efek

samping terhadap embrio atau fetus. Data yang ada sangat terbatas tapi penggunaan

interferon dalam kehamilan mempunyai resiko yang lebih berat.

Tidak ada data yang mendukung fakta efek teratogenik lamivudin. Lamivudin

telah digunakan pada kehamilan lanjut sebagai usaha mencegah transmisi perinatal

VHB.

Penatalaksanaan Hepatitis B, menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan

Tatalaksana:

a. Tatalaksana Umum

Setiap ibu hamil perlu dilakukan pemeriksaan HbsAg pada trimester pertama

kehamilannya.

b. Tatalaksana Khusus

Bila ibu dengan HbsAg positif maka bayi diberikan suntikan HBIG

0,5 ml IM pada lengan atas segera setelah lahir (dalam 12 jam


52

kelahiran) dan vaksin hepatitis B dengan dosis 0,5 ml (5 g) IM pada

lengan atas sisi lain pada saat yang sama kemudian pada usia 1 bulan

dan 6 bulan.

Bila ibu dengan HbsAg negatif maka bayi hanya diberikan vaksin

hepatitis B 0,5 ml (5g) pada usia ke-0,1 bulan, dan 6 bulan.

Tidak ada perbedaan pemberian HBIG dan vaksinasi hepatitis B pada

bayi prematur namun pemberian vaksinasi hepatitis B diberikan dalam

empat kali pemberian yaitu pada bulan ke-0, 1, 6, dan 8 bulan.

Tidak ada larangan pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan ibu

HbsAg positif terutama bila bayi telah divaksinasi dan diberi HBIG

setelah lahir.

2.3.6 Hepatitis C

A. Definisi

Dahulu disebut hepatitis non-A dan non-B, merupakan penyebab tersering

infeksi hepatitis yang ditularkan melalui suplai darah komersial. HCV ditularkan

dengan cara yang sama seperti HBV, tetapi terutama melalui tranfusi darah. Populasi

yang paling sering terinfeksi adalah pengguna obat injeksi, individu yang menerima

produk darah, potensial risiko terhadap pekerja perawatan kesehatan dan keamanan

masyarakat yang terpajan pada darah.


53

Masa inkubasinya adalah selama 18-180 hari. VHC pertama kali ditemukan

pada tahun 1988. Virusnya tergolong RNA-flavivirus atau pestivirus. Yang bisa

menimbulkan peradangan hati yang mengakibatkan kerusakan hati sehingga berlanjut

menjadi sirosis dan kanker hati primer pada beberapa orang.

VHC merupakan virus yang sangat tahan dan dapat hidup diluar tubuh dalam

jangka waktu yang cukup lama. Paling sedikit terdapat 6 genotipe yang berbeda dan

lebih dari 90 subtipe VHC.

Ada 2 bentuk infeksi VHC yaitu

1. Infeksi Akut

Sekitar 20 % penderita dapat mengadakan perlawanan terhadap infeksi VHC

dalam 6 bulan setelah tereksposure tapi tidak menghasilkan imunitas untuk

infeksi berikutnya.

2. Infeksi Kronis

Sekitar 80 % penderita berkembang menjadi kronis dimana virus dapat

tidur (dormant) selama bertahun-tahun. Sirosis terjadi karena hati berusaha

terus mengadakan perlawanan terhadap VHC sehingga menimbulkan sikatrik

(scar) pada hepar. Sehingga terjadi gangguan fungsi hepar dan dapat

berkembang menjadi kanker hati (hepatocellulare carcinoma). Penyakit hepar


54

kronis terjadi pada 70 % penderita yang terkena infeksi kronis. Sirosis hepar

tejadi pada 20 % penderita yang mengalami infeksi kronis. Kematian akibat

penyakit hepar kronis terjadi < 3 % dari yang terinfeksi kronis

Masa inkubasi infeksi VHC adalah 2 minggu sampai 2 bulan dan tidak semua

penderita menunjukkan gejala klinis. Sekitar 80 % penderita tidak menunjukkan

gejala atau tanda klinis.

B. Penularan dan Gejala Klinis

Gejala klinis yang sering adalah :

1. Lemah

2. Letih

3. Lesu

4. Kehilangan nafsu makan

5. Nyeri perut

6. Nyeri otot dan sendi

7. Mual dan muntah.

Penularan VHC biasanya terjadi jika darah cairan tubuh penderita yang

terinfeksi VHC seperti saliva, cairan seminal dan sekresi vagina memasuki tubuh

orang yang tidak terinfeksi. VHC 100 kali lebih infeksius daripada HIV.

Secara umum penularan dapat terjadi pada keadaan sbb


55

1. Aktifitas seksual yang tidak aman baik vaginal, anal maupun oral dengan

penderita VHC positif. Walaupun VHC lebih infeksius dari VHB dan HIV

tetapi jarang ditularkan melalui kontak seksual kecuali adanya kontak darah.

2. Melalui kontak darah seperti jarum suntik, tranfusi darah, dsb.

3. Penularan dari ibu keanak baik selama kehamilan maupun saat persalinan.

Janin mempunyai resiko 5 % terinfeksi dari ibu kejanin dan akan meningkat

sampai 36 % jika ibu juga terinfeksi HIV.

C. Pengaruh Terhadap Kehamilan dan Bayi

Pada wanita hamil terjadi peningkatan kadar alkali phosphatase

(ALT)3-4x dari normal karena plasenta juga menghasilkan ALT. Kadar ALT dapat

juga meningkat jika terinfeksi VHC, adanya kerusakan hepar oleh obat-obatan, batu

empedu, muntah hebat, atau perlemakan hati.

Transmisi perinatal VHC pada prinsipnya terjadi pada wanita yang

mempunyai titer RNA-VHC yang tinggi atau adanya ko-infeksi dengan HIV. Oleh

karena belum ada imunoprofilaksis untuk VHC, maka tidak ada vaksinasi atau

imunoglobulin yang dapat diberikan pada bayi baru lahir untuk mencegah penularan

infeksi VHC. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mendukung VHC dapat

ditularkan melalui ASI.


56

Sebagian besar wanita hamil pada usia 20-40 tahun dimana insidens infeksi

virus hepatitis C meningkat sangat cepat. Seorang wanita dengan faktor resiko

terhadap infeksi VHC sebaiknya diskreening untuk VHC sebelum dan selama

kehamilan. Resiko wanita hamil menularkan VHC kepada bayi baru lahirnya telah

dihubungkan dengan level kuantitatif RNA dalam darahnya dan juga ko-infeksi

dengan HIV. Pemeriksaan kuantitatif RNA-VHC merupakan pemeriksaan untuk

mengukur titer VHC dalam darah yang berhubungan dengan tingkat replikasi virus.

Level RNA-VHC dalam darah juga digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan

terapi antivirus yang diberikan.

Resiko transmisi rendah (0-18 %) jika ibunya HIV negatif dan tidak ada

riwayat penggunaan obat suntik atau transfusi darah. Transmisi Virus kepada janin

sangat tinggi pada wanita dengan titer cRNA hepatitis lebih besar dari 1 juta kopi/ml,

dan wanita tanpa titer cRNA yang dapat terdeteksi tidak menularkan virus pada

janinnya. Belum ada tindakan preventif saat ini yang dapat mempengaruhi rata-rata

transmisi VHC dari ibu kejaninnya.

Pengaruhnya terhadap bayi :

1. Tidak menimbulkan kelainan kongenital.

2. Dapat terjadi ikterus Neonatorum.


57

D. Pencegahan

Sampai saat ini belum ada vaksin untuk VHC, untuk itu tindakan preventif

sangat penting peranannya dalam mencegah infeksi VHC.

Tindakan preventif dalam pencegahan infeksi VHC adalah sbb

Melakukan aktifitas seksual yang aman

Tidak menggunakan alat-alat yang bisa terkontaminasi virus seperti jarum

suntik, filter, syringe dsb.

Tidak menggunakan alat-alat yang bisa terkontaminasi darah seperti sikat gigi

dan gunting kuku.

Menggunakan pengaman ketika bekerja dan kontak dengan darah penderita.

E. Terapi

Terdapat 2 jenis obat-obatan dalam menterapi hepatitis C kronik yaitu

Pegylated Interferon (IFN) dan Ribavirin yang dapat membebaskan penderita dari

virus sampai 40 % pada genotipe 1 dan hingga 80 % pada genotip 2 dan 3. Genotipe

virus menunjukkan perbedaan dalam infeksi VHC. Efektifitas pengobatan sangat

tergantung pada jenis genotipe VHC yang menginfeksinya.

Pada wanita usia reproduksi yang mendapatkan terapi hepatitis C harus

menyepakati untuk tidak hamil selama pengobatan dan 6 bulan sesudahnya dengan

menggunakan konrasepsi yang efektif, karena terapi Ribavirin bersifat teratogenik

yang bisa menimbulkan defek pada janin saat lahir dan abortus spontan. Wanita yang
58

mendapat terapi kombinasi seharusnya tidak menyusui karena sangat potensial

menimbulkan efek samping obat terhadap bayi.

Penatalaksanaan penderita dengan HIV dan ko-infeksi oleh VHC sangat

komplek. Sangat perlu mempertimbangkan keuntungan dan resiko terapi hepatitis C

terhadap HIV. Mengenai pemilihan yang mana lebih dahulu diterapi sangat

bergantung pada beberapa faktor, tapi indikator yang paling sering dipakai adalah

kadar CD4 dan tingkat kerusakan hepar. Kadart CD4 yang tinggi (>500)

menunjukkan gangguan sistem imun yang masih ringan sehingga merupakan

indikator untuk mendahulukan terapi hepatitis C,dan jika hasil biopsi menunjukkan

gangguan yang berat, perlu penatalaksanaan yang cepat. Penderita dengan kadar CD4

yang rendah menunjukkan gangguan fungsi imun yang cukup berat sehingga terapi

hepatitis C-nya harus diundur dulu. Perlu terapi HIV dulu untuk meningkatkan sistem

imun sehingga dapat mencegah infeksi yang oppurtunistik. Terapi HIV dengan

HAART sering menimbulkan gangguan akut pada hepar karena bersifat hepatotoksik.

2.3.7 HEPATITIS D

A. Definisi

Hepatitis D disebabkan oleh virus hepatitis delta (HDV), virus RNA yang

rusak yang hanya dapat menyebabkan hepatitis pada orang yang terinfeksi HBV.

Virus ini menggunakan antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) sebagai protein

amplop yang penting untuk transmisi virus. Antigen delta pertama kali diidentifikasi
59

di nukleus hepatosit yang terinfeksi virus hepatitis B (HBV). Infeksi HDV dapat

terjadi sebagai koinfeksi dengan HBV atau sebagai superinfeksi pada infeksi HBV

kronis; Dengan demikian, pembawa HBV kronis berisiko terinfeksi HDV. Individu

yang tidak terinfeksi HBV dan belum diimunisasi terhadap HBV juga berisiko

terinfeksi HBV dengan infeksi simultan atau berikutnya dengan HDV. Inokulasi

dengan HDV jika tidak ada HBV tidak akan menyebabkan hepatitis D. Di Amerika

Serikat, sebagian besar kasus infeksi HDV ditemukan di antara pengguna narkoba

suntik / intravena (IV) dan di antara imigran dari negara-negara dimana skrining

produk darah untuk HBV tidak dilakukan secara rutin. dan di mana ada risiko

terpapar jarum suntik yang tidak steril. Prevalensi ini berkisar antara 2% di antara

pria homoseksual hingga 30% pada orang dengan infeksi HBV.

Dari kira-kira 350 juta orang di seluruh dunia yang terinfeksi HBV kronis,

1520 juta di antaranya koinfeksi atau superinfeksi dengan HDV. Di negara-negara

Mediterania dimana HDV bersifat endemik, bentuk utama transmisi adalah melalui

kontak pribadi yang erat. Prevalensi HDV akut dan kronis yang menurun di seluruh

dunia disebabkan oleh penurunan prevalensi pembawa HBsAg kronis pada populasi

umum. Dari 6 genotipe HDV yang dilaporkan, yang paling umum adalah tipe 1, yang

didistribusikan ke seluruh dunia, kebanyakan di Eropa, Amerika Utara, Timur

Tengah, dan Afrika Utara. Genotipe 1 dikaitkan dengan spektrum yang luas dari

penyakit kronis, yang parah dan ringan. Tipe 3 diamati hampir secara eksklusif di
60

bagian utara Amerika Selatan, tipe 2 terlihat di Timur Jauh, dan tipe 4-8 terlihat

terutama pada wanita Afrika.

Disebut juga dengan delta virus merupakan small circular RNA virus. Singe-

stranded RNA virus 37 nm ini pertama kali dilaporkan ole Rizzetto,dkk di Italy tahun

1977. Virus ini diidentifikasi dari penderita hepatitis B tapi berbeda dengan VHB

yang double stranded DNA virus. VHD membutuhkan VHB untuk bereplikasi.

B. Penularan dan Gejala Klinik

Penularan infeksi dapat melalui kontak darah atau seksual dengan penderita.

Penularan VHD mirip dengan VHB. Transmisi perinatal VHD jarang terjadi.

Seseorang dapat terinfeksi VHD bersamaan dengan VHB yang disebut ko-infeksi dan

seorang yang telah menderita Hepatitis B dapat terinfeksi oleh VHD yang disebut

superinfeksi.

C. Pencegahan

1. Pada penderita ko-infeksi VHB-VHD dapat dilakukan pre atau post eksposure

profilaksis.

2. Pada penderita superinfeksi VHB-VHD diberikan pendidikan untuk

menurunkan resiko tingkah laku diantara orang-orang dengan infeksi kronik

VHB.

3. Karena VHD sangat tergantung pada VHB untuk bereplikasi maka profilaksis

pada VHB dapat menurunkan resiko infeksi VHD


61

D. Terapi

Tidak ada terapi antiretroviral yang efektif terhadap infeksi HDV akut atau

kronis. Alfa-interferon jangka panjang (IFNa) dan pegylated alpha-interferon (PEG-

IFNa) telah terbukti menginduksi penyakit ini dengan penurunan replikasi virus.

Penggunaan asiklovir, ribavirin, analog lamivudine dan analog nukleosida lainnya

tidak efektif melawan virus tersebut. Agen imunosupresif juga tidak efektif. Di antara

pasien yang menjalani transplantasi hati untuk penyakit hati stadium akhir,

kelangsungan hidup 5 tahun lebih dari 80%.

Alpha interferon digunakan pada pasien dengan hepatitis B dan D kronik.

Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan dosis yang lebih tinggi dari biasanya

menunjukkan hasil yang lebih baik.

Kesembuhan baik, jika bayi mendapatkan vaksinasi hepatitis B berarti bayi

juga mempunyai anti bodi untuk hepatitis D.

2.3.8. HEPATITIS E

A. Definisi

Merupakan single stranded RNA-34 nm berbentuk spheris dan tidak

berkapsul.

B. Penularan dan Gejala Klinis


62

Adapun masa inkubasi infeksi VHE adalah 15-60 hari. VHE ditransmisikan

secara enterik melalui air minum yang terkontaminasi feses penderita pada daerah

endemik.

Gejala kliniknya dapat dibagi dalam 2 fase yaitu :

1. Fase Prodromal

Keluhannya berupa mialgia, arthralgia, demam, anoreksia, nausea, vomitus,

penurunan berat badan 2-4 kg, dehidrasi, dan nyeri perut kanan atas.

2. Fase Ikterik

Keluhannya berupa ikterik (bilirubin serum > 3 mg %), urine gelap, feses

berwarna terang, dan gatal-gatal.

Keluhan dan tanda lain berupa urtikaria, diare, peningkatan serum

aminotranferase (ALT), hepatomegali, malaise, dan eksresi virus pada feses 14 hari

dari onset penyakit.

Diagnostik

Test diagnostik belum tersedia secara komersial. Serum IgM dan IgG anti

HEV dapat dideteksi dengan ELISA.Infeksi VHE didiagnosa jika anti VHE IgM atau

VHE RNA-nya positif.

C. Pengaruh Terhadap Kehamilan dan Bayi

Infeksi VHE banyak ditemukan pada negara berkembang. Infeksi VHE dalam

kehamilan sangat serius dan sering menimbulkan akibat yang fatal. Angka kematian
63

ibu berkisar 10-20 % karena kerusakan hepar atau karena gejala sekunder seperti

dehidrasi atau malnutrisi. Wanita hamil yang mendapatkan infeksi VHE pada

trimester III sering berakibat fatal dengan angka mortalitas ibu sekitar 30 %. Ibu

hamil mempunyai resiko yang lebih tinggi menderita hepatitis E dan biasanya dengan

gejala yang berat karena berhubungan dengan status imunnya yang rendah. Jika

seorang ibu menderita infeksi akut VHE, janin biasanya dipengaruhi dan tidak ada

karier kronik untuk infeksi VHE. Virus Hepatitis E dapat ditransmisi secara vertikel

dari ibu kejanin dan bertanggung jawab terhadap mortalitas dan morbiditas janin.

Infeksi VHE pada neonatal dihubungkan dengan komplikasi hepatitis anikterik,

hipoglikemia, hipotermia, dan kematian neonatal. Infeksi VHE yang dihubungkan

dengan hepatitis fulminan jarang terjadi kecuali infeksi terjadi pada waktu hamil

dengan angka kematian rata-rata 20 % dan sangat tinggi pada trimester III dengan

angka kematian janin sekitar 20 %.

D. Pencegahan

Sampai saat ini belum ada vaksin yang tersedia untuk VHE. Imunoprofilaksis

untuk VHE belum tersedia tapi mungkin saja dengan menggunakan darah donor dari

penderita yang berasal dari negara dengan prevalensi hepatitis E yang tinggi. Untuk

itu pecegahan secara primer dengan meningkatkan higiene dan memastikan bahwa air

yang digunakan bersih sangat penting.

E. Terapi
64

Sampai saat ini belum ada terapi yang khusus untuk VHE. Wanita hamil yang

menderita infeksi VHE harus berobat dan diawasi oleh tenaga ahli sesegera mungkin

disamping istirahat dan minum air yang lebih banyak untuk mencegah dehidrasi.

Tabel 1. Pendekatan diagnostic yang disederhanakan pada pasien dengan hepatitis

2.4 Batu Ginjal

2.4.1 Definisi

Penyakit batu saluran kemih merupakan bagian dari penyakit batu ginjal yang

disebabkan oleh kondisi patologi yang mendasar, seperi gangguan pengeluaran

urin dan adanya benda asing. Gangguan pengeluaran bisa karena striktura,

pembesaran prostat, bladder neck contracture, kelemahan dan kekakuan kandung

kemih akibat kelainan neurogenik, dan semua yang menyebabkan stasis urin.
65

Batu Saluran Kemih (BSK) adalah produk metabolisme yang ada pada filtrat

glomeruli normal, sering pada konsentrasi yang melewati kelarutan

maksimumnya. Umumnya terdapat di saluran kemih.

Batu saluran kemih menurut tempatnya digolongkan menjadi batu ginjal dan batu

kandung kemih. Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal dan

mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu ginjal djumpai

khas dikaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di ureter atau di

kandung kemih. Batu ginjal sebagian besar mengandung batu kalsium. Batu

oksalat, kalsium oksalat, atau kalsium fosfat, secara bersama dapat dijumpai

sampai 65 85 % dari jumlah keseluruhan batu gmjal.

2.4.2 Etiologi

Endapan batu di dalam ginjal bisa disebabkan oleh makanan atau masalah

kesehatan lain yang mendasari. Berdasarkan bahan pembentuknya, batu ginjal

dapat dibagi menjadi empat jenis utama, yaitu batu kalsium, batu asam urat, batu

amonia (struvit), dan batu sistin.

a. Batu kalsium disebabkan oleh tingginya kadar kalsium di dalam urine. Jenis

batu ginjal ini merupakan yang paling umum terjadi. Tingginya kadar kalsium

bisa diakibatkan karena penyakit keturunan hiperkalsiuria. Kondisi ini

menyebabkan penderitanya melepaskan kalsium yang banyak dalam urine.

Tingginya kadar kalsium juga bisa disebabkan oleh kelenjar paratiroid yang
66

terlalu aktif. Hormon yang diproduksi kelenjar ini berfungsi mengatur jumlah

kalsium di dalam darah.

b. Batu asam urat. Batu ini terbentuk akibat tingginya kadar asam urat di dalam

urine yang disebabkan oleh makanan berkadar purin tinggi. Contoh makanan

yang memicu tingginya asam urat adalah kerang-kerangan, daging dan ikan.

Penderita penyakit Gout juga berisiko tinggi membentuk batu jenis ini.

c. Batu struvit. Ini merupakan jenis batu ginjal yang dapat terbentuk dan

membesar secara cepat. Penyebab utama terbentuknya batu struvit adalah

infeksi saluran kemih yang telah berlangsung lama. Jenis batu ini lebih sering

ditemukan pada pasien wanita dibandingkan pasien laki-laki.

d. Batu sistin. Batu ginjal ini terbentuk akibat terlalu banyaknya asam amino

sistin yang dikeluarkan oleh ginjal. Batu sistin merupakan jenis batu ginjal

yang sangat jarang ditemukan. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit yang

dikenal sebagai sistinuria. Penyakit ini mempengaruhi jumlah asam amino

sistin yang dikeluarkan dalam urine.

Beberapa faktor lain yang bisa memicu terjadinya penyakit batu ginjal, di

antaranya:

Mengalami obesitas

Mengonsumsi obat-obatan, misalnya diuretik, aspirin, antibiotik,

antasid, serta beberapa obat antiepilepsi dan antiretroviral

Efek samping operasi terhadap organ pencernaan


67

Adanya faktor kelainan pada sistem metabolisme tubuh terhadap zat-

zat tertentu, seperti kalsium, asam urat.

Faktor dehidarasi yang dipengaruhi oleh kurangnya asupan air putih

sehinggapembuangan air kemih menjadi tersumbat.

Adanya infeksi yang terjadi pada saluran kandung kemih atau ginjal.

Adanya faktor genetika yang dimiliki salah satu anggota keluarga

yang memiliki riwayat penyakit

Faktor risiko di bawah ini merupakan faktor utama predisposisi kejadian batu

ginjal, dan menggambarkan kadar normal dalam air kemih. Lebih dari 85%

batu pada laki-laki dan 70% pada perempuan mengandung kalsium, terutama

kalsium oksalat. Predisposisi kejadian batu khususnya batu kalsium dapat

dijelaskan sebagai berikut:


68

2.4.3 Patofisiologi

Meskipun hemoglobin yang diinduksi kehamilan dan hiperkalsemia kehamilan

telah diusulkan sebagai faktor etiologi yang mungkin terjadi pada urolitiasis, hal

ini telah diperdebatkan. Kejadian terkait kehamilan yang cenderung

meningkatkan pembentukan batu meliputi penurunan peristaltik ureter,

hidronefrosis fisiologis, infeksi, dan peningkatan ekskresi kalsium urin. Ekskresi

penghambat urolithiasis yang diendapkan, seperti sitrat, magnesium, dan

glycosaminoglycans, menetralkan fenomena ini pada pasien hamil, yang tidak

mungkin membentuk calculi urin daripada pasien yang tidak hamil. Bertepatan

dengan peningkatan hiperkalsiuria pada kehamilan adalah peningkatan volume

darah beredar, sehingga relatif jenuh kalsium tidak signifikan

2.4.4 Gejala

Gejala pasti dari urolitiasis tergantung pada lokasi dan ukuran kalkuli dalam

sistem saluran kemih. Tanda dan gejala umum mungkin termasuk:

Kolik ginjal atau ureter

Darah dalam urin (hematuria)

Infeksi saluran kemih


69

Batu-batu di ginjal bisa menghalangi aliran urin di ginjal atau ureter,

menyebabkan nyeri panggul yang parah dan kemungkinan darah dalam

urin. Batu di dalam kandung kemih bisa menimbulkan gejala seperti rasa

sakit dan meningkatnya dorongan dan frekuensi buang air kecil.

2.4.5 Diagnosis

Diagnosis urolitiasis melibatkan riwayat medis dan pemeriksaan fisik, selain

metode pengujian yang tepat untuk mengidentifikasi kalkuli dan membuat

keputusan pengobatan yang tepat. Seperti :

Kultur urine dan urinalisis untuk mengetahui tanda-tanda hematuria,

piuria, infeksi dan keasaman.

Tes hitung darah lengkap untuk mendeteksi peningkatan sel darah putih

mengindikasikan infeksi.

Pyelography intravena (IVP) untuk mengidentifikasi ukuran dan lokasi

batu dan pengaruhnya terhadap aliran urin.

Computed tomography (CT) memindai untuk memvisualisasikan saluran

kemih dan penghalang apapun seperti pada kolik ginjal akut.

Pencitraan sinar-X untuk mengidentifikasi ukuran dan lokasi batu.

Ginjal ultrasound untuk menyaring batu dan mendeteksi penyumbatan

pada sistem saluran kemih.


70

Pasien yang dicurigai menderita urolitiasis, CT scan umumnya dapat dihindari

selama kehamilan. Ultrasonografi lebih disukai untuk menemukan batu ginjal

selama kehamilan karena janin tidak terkena radiasi toionizing. Sensitivitas

ultrasound inconfirming urolithiasis berkisar antara 34% sampai 86%. Namun,

karena kebanyakan batu simtomatik selama kehamilan terletak di ureter,

ultrasonografi memang memiliki keterbatasan pada kalkulasi ureter yang tidak

terdeteksi.

IVP menghadapkan janin pada radiasi, dosis utama pada janin harus dibatasi

dengan membatasi jumlah film yang diambil dan dengan perisai, bila

memungkinkan.

2.4.6 Dampak

Kehadiran batu ginjal pada wanita hamil dikaitkan dengan peningkatan yang

signifikan dalam risiko keguguran berulang, pre-eklampsia ringan, hipertensi

kronis, diabetes mellitus gestasional, dan kelahiran sesar. Ini juga dikaitkan

dengan ketuban pecah dini dalam satu penelitian. Tingkat kelahiran prematur

yang berkisar antara 2,5 dan 40% telah dilaporkan. Namun, temuan ini tidak

terlihat secara konsisten di antara berbagai penelitian. Meskipun sebuah asosiasi

dengan berat lahir rendah telah dilaporkan dalam sebuah penelitian, 27 penelitian

yang paling tidak melaporkan peningkatan risiko untuk bayi, termasuk risiko

malformasi bawaan, berat lahir rendah, skor Apgar rendah, dan kematian
71

perinatal. Seiring data Bertentangan antara berbagai penelitian, risiko sebenarnya

dari batu ginjal pada hasil kehamilan sulit dipastikan.

2.4.7 Pengobatan

Urolithiasis pada kehamilanmerupakan tantangan diagnostik dan terapeutik

karena berbagai alasan. Pertama, efek samping yang potensial dari anestesi,

radiasi, dan operasi sering menyulitkan modalitas diagnosis dan pengobatan

tradisional. Kedua, banyak tanda dan gejala urolitiasis dapat ditemukan pada

kehamilan normal atau mungkin terkait dengan diagnosis diferensial yang luas

dari sumber lain dari patologi abdomen. Apendisitis, divertikulitis, atau abrupsio

plasenta secara keliru didiagnosis pada 28% pasien dalam sebuah penelitian tahun

1992 oleh Stothers dan Lee.

Akhirnya, kebanyakan batu (64-84%) lolos secara spontan dengan pengobatan

konservatif. Namun, jika kalkulus tidak lewat, ia mungkin memulai persalinan

prematur, menghasilkan rasa sakit yang tidak dapat diatasi, menyebabkan

urosepsis dalam pengaturan infeksi saluran kemih, atau mengganggu

perkembangan persalinan normal.

Dari berbagai modalitas pencitraan yang tersedia saat ini, ultrasonografi ginjal

telah menjadi tes skrining pertama untuk urolitiasis pada pasien hamil, sementara

terbatasnya pyelography (IVP) intravena atau pemindaian CT dicadangkan untuk

kasus yang lebih kompleks. Idealnya, tidak ada radiasi pengion yang harus
72

digunakan pada trimester pertama atau kedua, jika memungkinkan. MRI memiliki

keterbatasan dalam penyakit batu kencing, dan renografi nuklir dicadangkan

untuk studi fungsional terhadap pengobatan langsung. Ini adalah nilai terbatas

selama kehamilan.

Pengobatan batu pada kehamilan berkisar dari manajemen konservatif (misalnya,

istirahat tidur, hidrasi, analgesia) hingga tindakan yang lebih invasif (misalnya

penempatan stent, ureteroskopi dengan manipulasi batu, nefrostomi

perkutaneous). Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat, hasil untuk ibu dan

bayi sangat baik.

Beberapa batu mungkin menjadi tidak bergejala, memungkinkan penundaan

perawatan lebih lanjut. Urolithiasis simtomatik lebih cenderung diatasi saat

calculi berada di panggul ginjal dibandingkan dengan ureter distal.

Tujuan pengobatan pada pasien yang tersisa adalah untuk mengurangi

ketidaknyamanan pada ibu, untuk mencegah kerusakan ginjal dan sepsis akibat

penghambatan calculi, dan untuk meminimalkan risiko pada janin. Jika tindakan

konservatif gagal meredakan gejala klinis atau untuk lulus calculi, intervensi

bedah yang tepat harus dilakukan.

Urin harus disaring untuk mendapatkan batu saat dilewati. Analisis kimia

kemudian harus dilakukan untuk memandu pengobatan pascamelahirkan

dan modifikasi diet untuk mencegah pembentukan batu di masa depan.


73

Namun, karena perubahan fisiologis dan elektrolit yang terkait dengan

kehamilan, studi metabolik harus ditunda sampai selesai kehamilan.

Beberapa narkotika telah diuji untuk digunakan selama kehamilan. Morfin

sulfate, hydromorphone, butorphanol, meperidine, dan acetaminophen

memberikan kelegaan simtomatik sementara tanpa membahayakan janin.

Namun, hindari kodein selama kehamilan karena hubungannya dengan

cacat janin. Penggunaan jangka panjang narkotika pada kehamilan dapat

menyebabkan kecanduan narkotika janin dan bahkan retardasi

pertumbuhan intrauterine (IUGR) atau persalinan prematur.

Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) juga dikontraindikasikan karena

adanya peningkatan risiko keguguran saat digunakan pada trimester

pertama. Selain itu, anomali ginjal janin, hipertensi pulmonal janin, dan

penutupan duktus arteriosus dini adalah risiko bila NSAIDS diresepkan

hampir mendekati batas waktu.

Terapi ekspulsif medis (MET): Bagian batu apung dapat difasilitasi oleh

penghambat alfa-adrenoseptor. Agen ini mempromosikan relaksasi otot

polos ureter dan telah ditemukan untuk meningkatkan tingkat batu, untuk

mempercepat perjalanan batu, dan untuk mengurangi jumlah rasa sakit

yang terkait dengan bagian batu.Meskipun penelitian ini belum membahas

penggunaan penghambat alfa-adrenoseptor pada wanita hamil.


74

Direkomendasikan agar berkonsultasi dengan ahli obstetri yang hadir

dianjurkan sebelum terapi ini dilaksanakan.

2.4.8 Pencegahan

A. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan okasalat)

B. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu

Sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari, minum jeruk nipis atau

lemon sesudah makan malam)

Batu ginjal tunggal (meningkatkan masukan cairan, mengkontrol

secara berkala pembentukan batu baru)

C. Pengaturan diet

Meningkatkan masukan cairan

Masukan cairan terutama pada malam hari akan meningkatkan aliran

kemih dan menurunkan konsentrasi pembentuk batu dalam air kemih.

Dari hasil uji coba didapatkan pada tahun ke-5 insidensi pembentukan

batu baru pada kelompok banyak minum 12% dibanding kelompok

kontrol 27%. Pada kelompok pembentuk batu jumlah air kemih harian

ditemukan 250-350 ml lebih sedikit dibanding kelompok kontrol.

Hindari masukan minum gas (soft drinks) lebih dari 1 liter perminggu.

Ditemukan kekambuhan batu sebesar 15 persen lebih tinggi dalam 3

tahun dibandingkan kelompok peminum cairan lain.


75

Kurangi masukan protein (sebesar 1g/kg berat badan/hari). Masukan

protein tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium, ekskresi asam

urat dan menurunkan sitrat dalam air kemih. Protein binatang diduga

mempunyai efek menurunkan pH air kemih lebih besar dibandingkan

protein sayuran karena lebih banyak menghasilkan asam.

Membatasi masukan natrium. Diet natrium rendah (80 sampai 100

mq/hari) dapat memperbaiki reabsorbsi kalsium proksimal, sehingga

terjadi pengurangan ekskresi natrium dan ekskresi kalsium. Penurunan

masukan natrium dari 200 sampai 80 mg/hari dilaporkan mengurangi

ekskresi kalsium sebanyak 100mg/hari (2,5 mmol/ hari).

Masukan kalsium. Pembatasan masukan kalsium tidak dianjurkan.

Penurunan kalsium intestinal bebas akan menimbulkan peningkatan

absorbsi oksalat oleh pencernaan, peningkatan ekskresi oksalat dan

meningkatkan saturasi kalsium oksalat air kemih. Diet kalsium rendah

dapat merugikan pasien dengan hiperkalsiuria idiopatik karena

keseimbangan kalsium negatif akan memacu pengambilan kalsium

dari tulang dan dari ginjal. Keadaan ini akan memperburuk penurunan

densitas tulang pada beberapa pasien.

Pemberian Obat. Untuk mencegah presipitasi batu baru kalsium

oksalat, disesuaikan kelainan metabolik yang ada.


76

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Banyak penyakit infeksi yang menyertai kehamilan dimana diantaranya
adalah Glomerulo Nefritis, Hepatitis, Typhoid Abdominaslis, dan batu saluran
kemihdimana semuanya ini merupakan penyakit berbahaya yang harus
diwaspadai saat kehamilan pada umumnya. Dengan berbagai macam cara
penularan, faktor penularan dan media penularan yang sangat akrab dengan
kehidupan sehari-hari.
Sebagai seorang bidan yang terdidik dan terlatih kita harus bisa
memahami dan mengerti tentang kegawadaruratan terhadap penyakit yang
menyertai kehamilan tersebut pada ibu hamil, agar bisa diterapkan ke
masyarakat jika turun ke dunia kerja dengan maksud mengurangai angka
kematian ibu hamil akibat terinfeksi dari penyakit yang membahayakan
tersebut.

3.2 Saran
Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membacanya dan dapat di mengerti oleh kita semua. Mohon maaf apabila di
dalam makalah ini masih banyak kekurangan dalam penulisan.
77

DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3743623/
2. etd.repository.ugm.ac.id/.../S1-2015-317307-introduction.pdf Diakses pada
Senin 12 September 2017
3. GLOMERULONEFRITIS AKUT PADA ANAK PASCA INFEKSI
4. STREPTOKOKUS
5. Made Suadnyani Pasek Diakses pada Minggu 12 september 2017
6. http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-2-4.pdf Diakses pada Minggu 12
september 2017
7. A Contag, Stephen. Hepatitis in Pregnancy. Last Update March 13, 2016.
Diakses dari http://emedicine.medscape.com
8. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar Dan
Rujukan. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013
9. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. GastroIntestinal
Disorders. Viral hepatitis. Williams Obstetric. 23rd Ed. Mc.Graw Hill
Publishing Division New York, 2010
10. Decherney AH, Pernoll ML. General Medical Disorders During Pregnancy.
Viral Hepatitis. Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis and treatment.
10th ed. USA.2007;479-480.
11. Duff P. Hepatitis in Pregnancy. Seminar Perinatologi.1998;22(4):277-83.
diakses dari http://www. Pub.Med.gov
12. Fuqueroa DR, Sanchez FL, Benavides CME. Viral Hepatitis During
Pregnancy. Rew.Gastroenterol Mex.1994;59(3):246-253. diakses
dari http://www. Pub.Med.gov
13. Hill JB, Sheffeld JS. Risk of Hepatitis B Transmission in Breast-Fed Infants
of Chronic Hepatitis B Carriers. in Obstetric and Gynecologic Journal.2002
Juni;99(6):1049-52. diakses dari http://www.green journal.org.
78

14. MMWR. Appendix. Hepatitis A dan B Vaccines. January 24, 2003;34-36.


diakses dari http://www. MMWRq@CDC.gov.
15. National Centre For Infectious Disease. Hepatitis A Virus. Division of Viral
Hepatitis. Last update July 9,2003. diakses dari http://www. CDC.com.
16. Pearlman MD, Tintinalli JE, Dyne PL. Infections and Infectious Eksposure in
Pregnancy. Viral Hepatitis. Obstetric and Gynecologic Emergencies. Mc
Graw Hill Publishing Division. New York 2004: 233-235.
17. Perinatology. Infections During Pregnancy. diakses dari http://www.
Perinatology.com
18. Putu Surya IG. Infeksi Virus Heptitis Pada Kehamilan. Ilmu Kedokteran
Fetomaternal. Ed.perdana. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.2004

Anda mungkin juga menyukai