Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut Wilson (2005), pernafasan secara harafiah berarti pergerakan oksigen dari
atmosfer menuju ke sel dan keluarnya karbondioksida dari sel ke udara bebas. Pemakaian O 2
dan pengeluraan CO 2 diperlukan untuk menjalankan fungsi normal sel dalam tubuh; tetapi
sebagian besar sel-sel tubuh kita tidak dapat melakukan pertukaran gas-gas langsung dengan
udara, karena sel-sel tersebut letaknya sangat jauh dari tempat pertukaran gas tersebut.
Karena itu, sel-sel tersebut memerlukan struktur tertentu untuk menukar maupun untuk
mengangkut gas-gas tersebut.

Proses pernafasan terdiri dari berbagai langkah dan terdapat peranan yang sangat penting
dari sistem pernafasan, sistem saraf pusat, serta sistem kardiovaskular. Pada dasarnya sistem
pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang menghantarkan udara luar agar
bersentuhan dengan membran kapiler alveoli, yaitu pemisahan antara sistem pernafasan dan
sistem kardiovaskular. Pergerakan udara masuk dan keluar dari saluran udara disebut
ventilasi atau bernafas. Sistem saraf pusat memberikan dorongan ritmik dari dalam untuk
bernafas, dan secara reflek merangsang thoraks dan otot-otot diafragma, yang akan
memberikan tenaga pendorong gerakan udara. Difusi O 2 dan CO 2 melalui membran kapiler
alveoli sering dianggap sebagai pernafasan eksternal. Sistem kardiovaskular memyediakan
pompa, jaringan pembuluh dan darah yang diperlukan untuk mengangkut gas-gas antara paru
dan sel-sel tubuh. Hb yang berfungsi baik dalam jumlah cukup diperlukan untuk mengangkut
gas-gas tersebut. Fase terakhir pertukaran gas ini adalah proses difusi O 2 dan CO 2 anatara
kapiler-kapiler dan sel-sel tubuh. Pernafasan internal adalah reaksi-reaksi kimia intraselular
saat O2 dipakai dan CO2 dihasilkan, bersamaan dengan sel memetabolisme karbohidrat dan
zat-zat lain untuk membangkitkan adenosin trifosfat (ATP) dan pelepasan energi. (Wilson,
2005)

Fungsi yang cukup baik dari semua sistem ini penting untuk repirasi sel. Malfungsi dari
setiap komponen dapat mengganggu pertukaran dan pengangkutan gas, dan dapat sangat
membahayakan proses-proses kehidupan. (Wilson, 2005)
A. Anatomi dan Fisiologi

Menurut Tortora dan Derrickson (2011) sel-sel tubuh membutuhkan oksigen (O 2 ) untuk
reaksi metabolisme yang akan menghasilkan energi dari molekul nutrien dan menghasilkan
ATP. Pada saat yang sama, reaksi-reaksi ini melepaskan karbondioksida (CO 2 ), karena CO 2
yang berlebihan akan menjadi racun bagi sel. Sistem kardiovaskuler dan pernafasan bekerja
sama untuk memasok O2 dan menghilangkan CO 2 . Sistem
pernapasanmenyediakanasupanpertukaran gasO 2 danCO 2 . Selain berfungsiuntukpertukaran
gas, sistem pernapasan juga berpartisipasi dalam mengatur PH darah, mengandung reseptor
untuk indera penciuman, filterterinspirasiudara,menghasilkansuara, danrids tubuhyang sama.

Anatomi Sistem Respiratori

Sistem pernapasanterdiri darihidung, faring(tenggorokan), laring (kotak suara),


trakea(batang tenggorokan), bronkus, dan paru-paru. Sistem pernafasan dibagi menjadi dua,
yaitu: Sistem Pernafasan Atas dan Sistem Pernafasan Bawah. Sistem Pernafasan Atas terdiri
dari hidung, rongga hidung, dan faring. Sistem Pernafasan Bawah terdiri dari laring, trakea,
bronkus, dan paru-paru.

Secara fungsional, sistem pernapasanjugaterdiri dariserangkaiandua bagian: (1)


zonakonduksiterdiridari serangkaianinterkoneksironggadan tabungbaik di luar maupundi
dalamparu-paru. Ini termasukhidung, rongga hidung, faring, laring, trakea, bronkus,
bronkiolus, bronkiolusterminal yang berfungsi untuk menyaring, menghangatkan,
melembabkan udara(2) zonapernapasanterdiri daritabungdan jaringandalam paru-parudi
manaterjadi pertukaran gas. Ini termasukbronkioluspernapasan, saluranalveolar,
kantungalveolar, danalveolidansitus utamapertukaran gasantara udaradandarah. (Tortora,
Derrickson, 2011)

HIDUNG

ALVEOLUS
FARING
TRAKEA

BRONKUS LARING
Hidung

Hidung merupakan organ yang pertama kali dilewati oleh udara. Hidung memberikan
kelembaban dan pemanasan udara pernafasan sebelum masuk ke nasofaring. Hidung luar
berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas sampai bawah; pangkal hidung,
dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung. Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Hidung luar
memiliki tiga fungsi: (1) menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk,
(2) mendeteksi rangsangan penciuman, dan (3) memodifikasi getaran.(Tortora, Derrickson,
2011)

Rongga hidung merupakan kavum nasi yang dipisahkan oleh septum. Lubang depat
disebut sebagai neres anterior dan lubang belakang merupakan koana yang memisahkan
antara kavum nasi dengan nasofaring. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periosteum pada bagian tulang sedangkan bagian luar dilapisi oleh mukosa
hidung. Bagian dari kavum nasi yang tepat berada di belakang nares anterior disebut
vestibulum, yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang. Dasar
rongga hidung melekat dengan palatum durum dan sebagaian besar dari atap hidung dibentuk
oleh epitel olfaktorius dan lamina kribiformis os ethmoidalis, yang memisahkannya dengan
rongga tengkorak. (Rahajoe, dkk, 2008)

Rongga hidung memiliki 4 dinding dan pada dinding lateralnya terdapat 3 buah konka
yaitu konka superior, konka media, dan konka inferior. Rongga yang terletak diantara konka
disebut sebagai meatus. Bergantung pada letaknya, meatus dibagi menjadi 3 yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dasar
hidung dengan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di bawah konka medius dan merupakan saluran yang
penting karena hampir seluruh sinur bermuara di saluran ini, yang kemudian membentuk
osteo-meatal kompleks. Adanya kelainan pada daerah ini dapat mengganggu ventilasi dan
bersihan mukosiliar sehingga mempermudah terjadinya rinosinusiris. Meatus superior
merupakan muara dari sinus spenoidalis. (Rahajoe, dkk, 2008)

Rongga hidung merupakan saluran respiratori primer pada saat bernafas. Saat bernafas
dengan menggunakan pernafasan hidung, terdapat tahanan sebesar lebih dari 50% dari
seluruh tahanan pada saluran respiratori. Tahanan tersebut dua kali lipat lebih banyak bila
dibandingkan dengan pernafasan mulut. (Rahajoe, dkk, 2008)

Gertaran silia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung,dan ke


superior di dalam sitem pernafasan bagian bawah menuju ke faring. (Wilson, 2005)

Faring

Tortora dan Derrickson (2011), membagi faring menjadi 3 bagian yang terdiri dari
nasofaring yaitu bagian yang langsung berhubungan dengan rongga hidung, kemudian
dilanjutkan dengan orofaring dan terakhir adalah laringofaring.

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral,
yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan
gangguan yang sering timbul, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan
ruang retrofaring, fasia pre vertebalis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral
nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius. Atap nasofaring dibentuk dari basis sphenoid
dan dapat dijumpai sisa jaringan embrionik yang disebut sebagai ranthake. Diantara atap
nasofaring dan dinding posterior terdapat jaringan limfoid yang disebut adenoid.

Orofaring yang merupakan bagian kedua faring,setelah nasofaring,dipisahkan oleh otot


membranosa dari palatum lunak. Yang termasuk bagian orofaring adalah dasar lidah (1/3
posterior lidah),valekula,palatum,uvula,dinding lateral faring termasuk tonsil palatina serta
dinding posterior faring. Laringofaring merupakan bagian faring yang dimulai dari lipatan
faringoepiglotika kearah posterior,inferior terhadap esofagus segmen atas.

Di dalam faring partikel halus akan tertelan atau dibatukkan keluar. Lapisan mukus
memberikan air untuk kelembaban, dan banyaknya jaringan pembuluh darah dibawahnya
akan menyuplai panas ke udara inspirasi. Jadi udara inspirasi telah disesuaikan sedemikian
rupa sehingga udara yang mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu
tubuh, dan kelembabannya mencapai 100%. (Wilson, 2005)

Laring

Laring terletak setinggi servikal ke-6, berperan pada proses fonasi dan sebagai katup
untuk melindungi saluran respiratori bawah. Organ ini terdiri dari tulang dan kumpulan
tulang rawan yang disatukan oleh ligamen dan ditutupi oleh otot dan membran mukosa.
(Rahajoe, dkk, 2008)

Epiglotis merupakan tulang rawan yang berbentuk seperti lembaran, yang melekat pada
dasar lidah dan tulang rawan tiroid. Tiroid merupakan struktur tulang rawan yang terbesar
pada laring, yang membentuk jakun (Adams apple). Tiroid terdiri dari 2 sayap atau alae yang
bergabung pada garis tengah anterior dan meluas ke arah belakang. Pada bagian depan
terdapat tonjolan yang disebut thyroid notch. Pada bagian belakang terdapat 2 prosesus yaitu
prosesus superior dan inferior. Pada bagian depan, kartilago krikoid disatukan oleh membran
krikotiroid. Kartilago krokoid merupakan tulang rawan yang berbentuk cincin penuh.
Kartilago aritenoid merupakan bagian dari laring yang berperan pada pergerakan pita suara.
Tulang rawan terletak dibelakang kartilago tiroid dan merupakan tulang rawan paling bawah
dari laring. Disetiap sisi tulang rawan krikoid, terdapat ligamentum krikoaritenoid, otot
krikoaritenoid lateral dan otot krikoaritenoid posterior. (Tortora, Derrickson, 2011)

Pada bagian dalam laring terdapat 2 lipatan yang menyatu pada bagian depan serta
memiliki mukosa yang berwarna merah. Lipatan ini disebut sebagai pita suara palsu. Pada
bagian bawah lipatan terdapat ruangan yang disebut sebagai ventrikel. Bibir bawah ventrikel
dibentuk oleh otot yang disebut sebagai pita suara asli. Bagian anterior pita suara asli melekat
pada garis tengah sampai permukaan posterior kartilago Tiroid dan bagian posterior pita
suara melekat pada kartilago aritenoid. Pada bagian bawah pita suara terdapat bagian
tersempit dari laring yaitu celah subglotis yang membentang pada membran krikotiroid.
(Rahajoe, dkk, 2008)

Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (yaitu glotis) bermuara ke dalam trakea dan
membentuk bagian antara saluran penafasan atas dan bawah. Glotis merupakan pemisah
antara saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Meskipun laring terutama dianggap
berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting.
Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas, penutupan glotis, dan fungsi seperti pintu dari
epiglotis yang berbentuk daun pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan
makanan dan cairan masuk ke dalam esofagus. Jika benda asing masih mampu masuk
melampaui glotis, fungsi batuk yang dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan
sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah. (Wilson, 2005)
Trachae dan bronkus

Trakea merupakan bagian dari saluran respiratori yang bentuknya menyerupai pita serta
memanjang mulai dari bagian inferior laring, yaitu setinggi servikal 6 sampai daerah
percabangannya (bifurkasio) yaitu antara torakal 5-7. Panjangnya sekitar 9-15 cm. Trakea
terdiri dari 15-20 kartilago hialin yang berbentuk menyerupai huruf C dengan bagian
posterior yang tertutup oleh otot. Bentuk tersebut dapat mencegah trakea untuk kolaps.
Adanya serat elastin longitudinal pada trakea, menyebabkan trakea dapat melebar dan
menyempit seseuai dengan irama pernapasan. Trakea mengandung banyak reseptor yang
sensitif terhadap stimulus mekanik dan kimia. Otot trakea yang terletak pada bagian posterior
mengandung reseptor yang berperan pada regulasi kecepatan dan dalamnya pernapasan.
(Rahajoe, dkk, 2008)

Trakea terbagi menjadi 2 bronkus utama, yaitu bronkus utama kanan dan kiri. Struktur
trakea dan bronkus dianalogkan dengan pohon, dan oleh karena itu dinamakan pohon
trakeobronkial(Wilson,2005). Bronkus utama kanan memiliki rongga yang lebih sempit dan
lebih horisontal bila dibandingkan dengan bronkus utama kiri. Hal tersebut menyebabkan
benda asing lebih mudah masuk ke paru kanan dari pada kiri. Trakea dan bronkus terdiri dari
tulang rawan dan dilapisi oleh epitel bersilia yang mengandung mukus dan kelenjar serosa.
Bronkus kemudian akan bercabang menjadi bagian yang lebih kecil dan halus yaitu
bronkiolus. Bronkiolus dilapisi oleh epitel bersilia namun tidak mengandung kelenjar serta
dindingnya tidak mengandung jaringan tulang rawan.

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan
kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang
ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara
kecil yang tidak mengandung alveoli. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat
bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah
sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas. (Wilson, 2005)

Alveolus

Bronkiolus berakhir pada suatu struktur yang menyerupai kantung, yang dikenal dengan
nama alveolus. Alveolus terdiri dari lapisan epitel dan metrik ekstraselluar yang dikelilingi
oleh pembuluh darah kapiler. Alveolus mengandung 2 tipe sel utama, yaitu sel tipe 1 yang
membentuk struktur dinding alveolus dan sel tipe 2 yang menghasilkan surfaktan. Alveolus
memiliki kecenderungan untuk kolaps karena ukurannya yang kecil, bentuknya yang sferikal
dan adanya fosfolipid, yang dikenal dengan nama surfaktan, dan pori-pori pada dindingnya.
(Rahajoe, dkk, 2008)

Alveolus berdiameter 0,1 mm dengan ketebalan dinding hanya 0,1 mikrometer.


Pertukaran gas terjadi secara difusi pasif dengan bergantung pada gradient konsentrasi. Setiap
paru mengandung lebih dari 300 juta alveolus. Setiap alveolus dikelilingi oleh sebuah
pembuluh darah. (Rahajoe, dkk, 2008)

Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding tipis atau septum. Lubang
kecil pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn. Lubang ini memungkinkan hubungan atau
aliran udara antar sakus alveolaris terminalis. (Wilson, 2005)

Fisiologi sistem respiratori

Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O 2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-
jaringan, dan CO 2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium
pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dlam dan ke luar paru.
Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek: (1) difusi gas-gas
antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel
jaringan; (2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya dengan distribusi
antara udara dalam alveolus-alveolus; (3) reaksi kimia dan fisik dari O 2 dan CO 2 dengan
darah. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-
zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO 2 terbentuk sebagai sampah proses
metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru. (Wilson, 2005)

TONSILITIS

Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di rongga faring. Tonsil menyaring
dan melindungi saluran pernapasan serta saluran pencernaan dari invasi organisme patogen
dan berperan dalam pembentukan antibodi. Meskipun ukuran tonsil bervariasi anak
umumnya memiliki tonsil yang lebih besar daripada remaja atau orang dewasa. Perbedaan ini
dianggap sebagai mekanisme perfindungan karena anak kecil rentan terutama terhadap ISPA.
(Hockenberry, Wilson, 2007)
a) Incident
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada provinsi 7 Indonesia pada tahun 1994-
1996, prevalensi kejadian tonsilitis kronik adalah yang tertinggi setelang nasofaringitis akut
(4,6%) yaitu sebanyak 3,8%. Insidensi tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang mencapai
23,36% dan 47% diantaranya pada usia 6-15 tahun. sedangkan RSUP Dr. Hasan Sadikin pada
periode April 1997 sampai Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonslitis akut atau 6,75% dari
seluruh jumlah kunjungan. (Rahajoe, dkk, 2008)
b) Etiologi
Tonsilitis sering terjadi bersama faringitis. Karena banyaknya jaringan limfoid dan sering
terjadinya ISPA, tonsilitis merupakan penyebab morbiditas yang banyak terjadi pada anak
keci. Agen penyebabnya dapat berupa virus atau bakteri. Bakteri yang menyebabkan tonsilitis
antara lain: Streptococus group A, C, dan G, serta Neisseria gonorrhoeae.(Hockenberry,
Wilson, 2007)

c) Clinical Manifestation
Manifestasi tonsilitis disebabkan oleh inflamasi. Pada saat tonsil palatin membesar karena
edema, keduanya dapat bertemu digaris tengah (kissing tonsils) yang menyumbat jalan nafas
atau makanan. Anak mengalamai kesulitan menelan dan bernafas. Jika terjadi pembesaran
adenoid, ruang di belakang lubang hidung posterior menjadi tersumbat, sehingga mempersulit
atau bahkan tidak memungkinkan udara mengaliri dari hidung ke tenggorokan. Akibatnya,
anak bernafas melalui mulut. (Hockenberry, Wilson, 2007)

d) Patofisiologi

Tonsilitis terjadi karena adanya invasi kuman patogen (bakteri/virus) yang kemudian
terjadi penyebaran limfogen pada faring dan tonsil. Hal ini menyebabkan terjadinya inflamasi
sehingga mengakibatkan Tonsilitis akut. Tonsilitis akut dibagi menjadi 3, yaitu: edema
tonsil, hipertermi, tonsil dan adenoid membesar. Edema tonsil menyebabkan nyeri saat
menelan makanan dan minuman. Tonsil dan adenoid yang membesar dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi pada tuba eustakil, sehingga terjadikurangnya pendengaran dan otitis
media karena infeksi sekunder.
f) Diagnosis(nanda, 2012-2014)
- Gangguan menelan berhubungan dengan edema tonsil
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
- Gangguan persepsi atau sensori pendengaran berhubungan dengan obstruksi pada
tuba eustaki
- Ketidakefektifanpemeliharaankesehatanberhubungandenganketidakefektifankopingke
luarga

g) Treatment
Karena tonsilitis dapat sembuh sendiri, pengobatan faringitis viral bersifat simtomatik.
Kultur tenggorokan positif untuk infeksi streptokokus hemolitik grup A memerlukan
pengobatan dengan antibiotik. Infeksi virus dan streptokokus pada demam tonsilitis eksudatif
harus dibedakan. Sebagian besar infeksi terjadi akibat virus. Oleh karena itu, uji yang cepat
dan dini dapat menyingkirkan kemungkinan pemberian antibiotik yang tidak perlu.
(Hockenberry, Wilson, 2007)
Tonsilektomi (pengangkatan tonsil palatin) diindikasikan hanya pada kasus infeksi
streptokokus kambuhan yang tercatat jika terdapat abses peritonsilar, atau pada kasus
hipertrofi masif yang menyebabkan kesulitan bernapas atau makan (Derkay, Darrow,
LeFebvrs, 1995). Indikasi absolut adalah keganasan dan obstruksi jalan napas. Adcnoidcktoml
(pengangkatan adenoid) dianjurkan untuk anak yang mengalami hipertrofi adenoid dan
menyumbat pernapasan hidung. Pengangkatannya dapat dilakukan pada anak-anak berusia
kurang dari 3 tahun dan harus dilakukan tanpa ton- silektomi. Kontraindikasi tonsilektomi
atau adenoidektomi adalah (1) sumbing langit-langit, karena kedua tonsil membantu
meminimalkan keluarnya udara ketika berbicara; (2) infeksi akut pada' saat pembedahan,
karena jaringan yang mengalami inflamasi lokal meningkatkan risiko pembedahan; dan (3)
penyakit sistemik tidak terkendali atau diskrasia darah. (Hockenberry, Wilson, 2007)

ASMA
Asma adalah gangguan inflamasi kronis pada jalan napas tempat banyak sel (sel mast,
eosinofil, dan limfosit T) memegang peranan.(Hockenberry, Wilson, 2007)
Pada 1995 National Heart, Lung, and Blood Institute membuat klasifikasi asma
berdasarkan indikator gejala dari keparahan penyakit. Klasifikasi ini mencakup empat
kategori asma:intermiten ringan,persisten ringan,persisten sedang, dan persisten
berat.Kategori intermiten ringan memiliki jumlah gejala yang paling sedikit; frekuensi
dari/atau intensitas gejala terus meningkat sampai kategori terakhir yaitu asma persisten
berat. (dikutip dariWongs Nursing Care of Infants and Children, Eighth
Edition,Hockenberry, Wilson, 2007)
a) Incident
Insidensi, keparahan, dan mortalitas yang berhubungan dengan asma mengalami
peningkatan. Peningkatan ini terjadi akibat peningkatan polusi udara, akses yang buruk ke
pelayanan medis, dan/atau diagnosis dan pengobatan yang kurang tepat. Asma adalah
penyakit kronis anak-anak yang paling banyak terjadi, merupakan penyebab utama anak tidak
dapat masuk sekolah dan berkontribusi terhadap berbagai masalah utama penyebab anak
masuk ke unit gawat darurat dan rumah sakit. (Hockenberry, Wilson, 2007)
WHO memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma. Beberapa waktu
lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang berarti. Namun, belakangan ini berbagai
negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat asma, termasuk pada anak.
(Rahajoe, dkk, 2008)

b) Etiologi
Penelitian tentang anak yang menderita asma menunjukkan bahwa alergi memengaruhi
persistensi dan keparahan penyakit. Akan tetapi pada bayi, terdapat hubungan yang kuat
antara infeksi virus dan asma. Alergen tidak begitu berperan menyebabkan asma karena
terjadinya sensitivitas alergi memerlukan waktu. Terdapat juga faktor predisposisi genetik
untuk terjadinya respons alergi terhadap alergen yang banyak terdapat di udara (National
Asthma Education and Prevention Prcgram, 1997). Selain alergen, dan kondisi lain seperti
stree dan cuaca juga dapat mencetuskan episode asma. (dikutip dari Wongs Nursing Care of
Infants and Children, Eighth Edition, Hockenberry, Wilson, 2007)
Meskipun alergen berperan penting untuk terjadinya asma, pada beberapa kasus tidak ada
proses alergi yang dapat dideteksi. Teori-teori lain seperti (1) defek dasar pada reseptor
aderenergik B terhadap leukosit dan (2) peningkatan aktivitas kolinergik telah dimunculkan.
Akan tetapi sebagian besar ahli menyetujui bahwa asma melibatkan faktor-faktor biokimia,
imunologik, infeksius, endokrin, dan psikologik. (Hockenberry, Wilson, 2007)

c) Clinical Manifetation
Batuk kering, paroksismal,iritatif dan nonproduktif. Kemudian menghasilkan sputum
yang berbusa, jernih dan kental. Tanda-tanda terkait pernafasan seperti sesak nafas, fase
ekspirasi memanjang, wheezing atau mengi dapat terdengar, tulang zigomatik memerah dan
telinga memerah, bibir berwarna merah gelap, dapat berkembang menjadi sianosis pada dasar
kuku atau sianosis sirkumoral, gelisah, ketakutan, berkeringat semakin banyak sejalan dengan
berkembangnya serangan asma. Pada perkusi dada terdengar hiperesonansi. (Hockenberry,
Wilson, 2007)

d) Patofisiologi

Terdapat persetujuan umum bahwa inflamasi berperan dalam peningkatan reaktivitas


jalan napas. Mekanisme yang menyebabkan inflamasi jalan napas cukup beragam, dan peran
setiap mekanisme tersebut bervariasi dari satu anak ke anak lain serta selama perjalanan
penyakit. Akan tetapi, pengetahuan mengenai pentingnya inflamasi telah membuat
penggunaan agen anti-inflamasi sebagai komponen inti dalam terapi asma yang terbaru.
Komponen penting asma lainnya adalah bronkospasme dan obstruksi. Mekanisme yang
menyebabkan gejala obstruktif meliputi:
- Inflamasi dan edema rnembran mukosa
- Akumulasi sekresi yang berlebihan dari kelenjar mukosa
- Spasme otot-otot halus bronkus dan bronkiolus, yang menurunkan diameter
bronkiolus
Peningkatan tahanan dalam jalan napas menyebabkan ekspirasi yang dipaksakan
melewati lumen sempit. Volume udara yang terjebak dalam paru meningkat pada saat jalan
napas secara fungsionailmenutup di titik antara alveoli dan bronkus lobulus. Gas yang
terjebak ini mendorong individu untuk bernapas pada volume paru yang semakin tinggi.
Akibatnya, orang yang menderita asma harus berjuang untuk menginspirasi jumlah udara
yang cukup. Upaya keras untuk bernapas ini akan menyebabkan keletihan, penurunan
efektivitas pernapasan, dan peningkatan konsumsi oksigen. Inspirasi yang terjadi ketika
volume paru lebih tinggi akan menginflasi alveoli secara berlebihan dan menurunkan
efektivitas batuk. Jika obstruksi semakin parah, terjadi penurunan ventilasi alveolus disertai
retensi karbon dioksida, hipoksemia, asidosis pernapasan, dan akhirnya, gagal napas.
(Hockenberry, Wilson, 2007)
f) Dianosis(nanda, 2012-2014)
- Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan konsentrasi O 2 dalam darah menurun
- Penurunan curah jantung berhubungan dengan suplay darah dan O 2 berkurang
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan dan keletihan
- Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu
makan berkurang
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mucus yang berlebihan
- Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penyempitan jalan nafas
- Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan ketidakefektifan
koping keluarga

g) Treatment
Menurut Hockenberry dan Wilson (2007), tujuan umum dari penatalaksanaan asma
adalah mencegah disabilitas dan meminimalkan morbiditas fisik dan psikologis untuk
membantu anak hidup senormal dan sebahagia mungkin. Hal ini mencakup memfasilitasi
penyesuaian sosial anak dalam keluarga, sekolah, dan komunitas, serta partisipasi normal
dalam aktivitas rekreasi dan olah raga. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai upaya diarahkan
pada pengenalan episode akut secara dini, mengunjungi pemberian layanan kesehatan secara
teratur dan mengimplementasikan terapi yang tepat, mengidentifikasi dan menghilangkan
iritan dan faktor alergi dari lingkungan anak, mengajarkan pada orang tua tentang sifat jangka
panjang dari penyakit dan bagaimana penatalaksanaan eksaserbasi penyakit, serta membantu
anak menghadapi penyakit tersebut secara konstruktif. Kepatuhan terhadap program
pengobatan merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatan.
Pengendalian alergen.Tujuan terapi nonfarma- kologik adalah pencegahan dan
pengurangan pajanan anak terhadap alergen dan iritan yang ada di udara. Tungau debu
rumah dan komponen-komponen lain debu dalam rumah merupakan agen yang paling
diidentifikasi pada anak yang alergi inhalan. Metode paling penting untuk menghilangkan
tungau debu adalah menjaga kelembapan di dalam rumah tetap di bawah 50%, kadar
kelembapan yang menyebabkan tungau debu tidak dapat.hidup. Kecoa, binatang rumah
tangga lainnya, juga diidentifikasi sebagai alergen penting.di berbagai tempat (Rosenst/eich
dkk., 1997). Membasmi kecoa, membersihkan lantai dan lemari dapur dengan cermat,
menyingkirkan makanan setelah dimakan, dan membuang sampah ke luar rumah di malam
hari merupakan tindakan-tindakan penting untuk mengusir kecoa. (dikutip dari Wongs
Nursing Care of Infants and Children, Eighth Edition, Hockenberry, Wilson, 2007)
Alergen spesifik diidentifikasi dengan uji kulit, dan beberapa tindakan dilakukan untuk
menghilangkan atau menghindari alergen tersebut. Sering kali, menghilangkan faktor
lingkungan (mis., menjauhkan anjing atau kucing dari rumah anak yang sensitif terhadap bulu
binatang) akan menurunkan frekuensi episode asma. Faktor-faktor non- spesifik yang dapat
mencetuskan episode tersebut, seperti suhu ekstrem, terkadang dapat dikendalikan dengan
pelembap atau AC.
Terapi obat.Menurut National Asthma,Education and Prevention Program, (1997),
tujuan terapi farmakologik adalah mencegah dan mengendalikan gejala asma, mengurangi
frekuensi dan keparahan eksaserbasi asma, dan menghilangkan obstruksi aliran udara.
Pendekatan yang bijaksana dianjurkan berdasarkan keparahan asma yang dialami anak.
Karena inflamasi dianggap sebagai gambaran dini dan per- sisten dari 3sma, terapi diarahkan
pada supresi inflamasi jangka panjang. Pengobatan digolongkan menjadi dua kategori umum:
pengobatan pengendalian jangka panjang (obat pencegah) untuk mencapai dan
mempertahankan pengendalian inflamasi dan pengobatan asma segera (penyelamatan
medis) untuk mengatasi gejaia dan eksaserbasi (dikutip dari Wongs Nursing Care of Infants
and Children, Eighth Edition, Hockenberry, Wilson, 2007)
Banyak pengobatan asma diberikan melalui inhalasi dengan nebuliser atau disebut
inhaler dosis terukur (me- tered-dose-inhaler, MDI). MDI dapat mempunyai unit spacer
atau tersambung reservoir, sehingga mempermudah penggunaannya untuk anak. Selain MDI,
beberapa alat inhaler yang tidak mengandung klorofluorokarbon (CFC) telah tersedia.
Beberapa alat seperti ini menggunakan bubuk tabur dan disebarkan melalui alat yang disebut
diskhaler. turbohaler, atau rotahaler. Alat-alat ini diaktifkan dengan pernapasan, dan anak
perlu menginhalasi secepat dan sedalam mungkin untuk keefektifan penggunaan. Bayi dan
anak yang masih kecil yang mengalami kesulitan menggunakan MDI atau inhaler lain dapat
menggunakan nebu- lisisi. Obat tersebut dicampur dengan salin, kemudian dinebulisasi
dengan udara yang terkompresi Anak-anak diinstruksikan untuk bernapas normal dengan
mulut terbuka agar rute langsung trachea terbuka. (Hockenberry, Wilson, 2007)
Kortikosteroid,National Asthma,Education and Prevention Program, (1997) mengatakan
kortikosteroid adalah obat anti-inflamasi yang digunakan untuk mengatasi obstruksi jaian
napas yang reversibel dan mengendalikan gejala serta mengurangi hiperaktivitas bronkus
pada asma kronis. Kortikosteroid dapat diberikan secara parenteral, oral, atau dengan aerosol.
Obat oral dimetabolisme secara lambat, dengan awitan kerja sampai 3 jam setelah pemberian
dan aktivitas puncaknya terjadi dalam 6 sampai 12 jam. Steroid oral dapat diberikan untuk
periode singkat (mis, 3 atau 10 hari) untuk memperoleh kendali cepat terhadap asma persisten
yang tidak terkontrol dengan baik atau untuk penatalaksanaan asma persisten yang berat.
Obat-obat ini harus diberikan dengan dosis efektif paling rendah. Penggunaan jangka panjang
menyebabkan risiko efek merugikan yang signifikan, seperti osteoporosis, hipertensi,
sindrom Cushing, gangguan mekanisme imun, dan supresi adrenal hipotalamus hipotalamik.
(dikutip dari Wongs Nursing Care of Infants and Children, Eighth Edition, Hockenberry,
Wilson, 2007)
Steroid inhalasi digunakan untuk pencegahan jangka panjang munculnya gejala, dan juga
supresi, pengendalian, dan pemulihan inflamasi. Baru-baru ini PDA menginstruksikan agar
steroid inhalasi harus diberi label peringatan yang menyatakan bahwa obat-obat tersebut
dapat memperlambat pertumbuhan anak. Menurut Twarog (1998), meskipun efek steroid
terhadap pertumbuhan terus dipelajari, namun anak-anak yang menerima steroid oral harus
diperiksa dengan sering (sedikitnya setiap 3 sampai 6 bulan) oleh pemberi perawatan primer
yang mengkaji efek sistemik dari obat-obat ini dan menentukan ulang dosis dan/atau
penggantian dengan jenis terapi asma lainnya.(dikutip dari Wongs Nursing Care of Infants
and Children, Eighth Edition, Hockenberry, Wilson, 2007)
Natrium kromolin adalah jenis obat nonsteroid untuk asma. Obat ini menstabilkan
membran sel mast, menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari eosinofil dan sel-sel
epitelial, dan menghambat penyempitan jalan napas akut setelah pajanan akibat latihan fisik,
udara dingin yang kering, dan sulfur dioksida Tidak ada cara untuk memprediksi secara pasti
apakah anak akan berespons terhadap obatatau tidak. Natrium kromolin memiliki efek
samping mini- mai (terkadang berupa batuk pada saat inhalasi formulasi bubuk) dan dapat
diberikan melalui nebuliser atau MDI. Natrium nedokromil adalah obat lain yang
digunakan untuk terapi rumatan pada asma. Obat ini bersifat antialergik dan anti-inflaiiiasi
stSta memiliki efek samping minimal. (Hockenberry, Wilson, 2007)
Agonis adrenergik(terutama albuterol, metapro, terenol dan terbutalin) digunakan untuk
pengobatan eksaserbasi akut dan untuk pencegahan bronkospasme akibat latihan. Obat-obat
ini dapat diberikan sebagai obat inhalasi atau oral atau parenteral. Obat yang diinhalasi
memiliki awitan kerja lebih cepat daripada bentuk oral. Inhalasi juga mengurangi efek
samping sistemik yang merugikan:iritabilitas, tremor, gelisah, dan insomnia. (Hockenberry,
Wilson, 2007)
Agen adrenergik inhalasi tidak boleh digunakan lebih dari tiga sampai empat kali sehari
untuk gejala akut. Salmetetol (Serevent) merupakan bronkodilator kerja lama yang digunakan
dua kali sehari Obat ini ditambahkan pada terapi anti-inflamasi dan digunakan untuk
pencegahan gejala asma jangka gsnjang, terutama gejala di malam hari, dan bronkopasme
akibat latihan fisik. (Hockenberry, Wilson, 2007)
Metilsantine, terutama teofilin,telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengurangi
gejaia dan mencegah serangan asma. Akan tetapi, teofilin, saat ini dianggap sebagai agen
baris ketiga dan tidak diperlukan untuk mengobati eksaserbasi asma. Teofilin dapat diberikan
melalui intravena, intramuskular, oral, atau rektum (larang digunakan). Obat ini juga tersedia
daiam bentuk oral lepas lambat. Selain memiliki efek bronkodilator, teofilin juga merupakan
stimulan pernapasan sentral dan meningkatkan kontraktilitas otot pernapasan. (Hockenberry,
Wilson, 2007)
Menurut National Asthma Education and Hrevention Program (1997), ketika
menggunakan teofilin, konsentrasi serum harus selalu dipantau. Pemantauan tersebut
diperlukan pada anak yang gagal memperlihatkan efek bronkodilator seperti yang diharapkan
dan juga pada anak yang mengalami efek merugikan pada dosis biasa. Dosis teofilin harus
diatur untuk mencapai konsentrasi serum 5 sampai 15 g/ml.(dikutip dari Wongs Nursing
Care of Infants and Children, Eighth Edition, Hockenberry, Wilson, 2007)
Pada tahun 1995, Milgram dan Bender telah dilaporkan bahwa teofilin dapat
menyebabkan masalah perilaku dan kinerja sekolah yang buruk, namun sebagian besar
penelitian yang dilakukan tidak mendukung laporan tersebut. (dikutip dari Wongs Nursing
Care of Infants and Children, Eighth Edition, Hockenberry, Wilson, 2007)
ModlfJer leukotrien.Menurut Fost dan Spahn (1998), leukotrien adalah mediator
inflamasi yang menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas jalan napas. Modifier leukotrien
(seperti zafirlukast, zileuton, dan natrium montelukast) menyekat efek inflamasi dan
bronkospasme. Obat-obat ini diberikan secara oral dalam kombinasi dengan agonis- dan
steroid untuk memberikan pengendalian jangka panjang dan pencegahan ge- jala pada asma
persisten ringan. (dikutip dari Wongs Nursing Care of Infants and Children, Eighth Edition,
Hockenberry, Wilson, 2007)
Latihan fisik. Bronkospssme akibat latihan fisik (exercise-induced bronchospasm [EIB])
adaiah obstruksi jalan napas akut reversibel, yang biasanya sembuh sendiri, terjadi selama
atau setelah aktivitas berat, mencapai puncaknya 5 sampai 10 menit setelah aktivitas berhenti,
dan biasanya berhenti 20 sampai 30 menit kemudian. Pasien yang menderita EIB mengalami
batuk, sesak napas, nyeri dada atau dada sesak, mengi, dan masalah ketahanan selama latihan
fisik, namun untuk memastikan diagnosis ini diperlukan pengujian latihan fisik di
laboratorium.(Hockenberry, Wilson, 2007)
Menurut Hockenberry dan Wilson, (2007) gangguan ini jarang terjadi pada aktivitas yang
memerlukan ledakan energi singkat (mis., baseball, lari cepat, senam, ski) dan lebih banyak
terjadi pada aktivitas yang memerlukan ketahanan fisik (mis. sepak bola, basket. lari jarak
jauh). Berenang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak yang menderita EIB, karena mereka
menghirup udara yang bersaturasi penuh dengan kelembapan dan karena jenis pernapasan
yang diperlukan dalam berenang. Ekshalasi di dalam air bermanfaat karena memperpanjang
setiap ekspirasi dan meningkatkan tekanan akhir ekspirasi dalam cabang-cabang saluran
pernapasan (biasanya pernapasan mulut).
Anak penderita asma sering tidak dilibatkan dalam latihan fisik oleh orang tua, guru, dan
praktisi, bahkan meraka sendiri pun tidak mau terlibat, karena enggan untuk memicu
serangan. Hal ini dapat menghambat interaksi dengan teman sebaya dan kesehatan fisik yang
serius. Latihan fisik bermanfaat bagi anak-anak penderita asma, dan sebagian besar anak
dapat berpartisipasi dalam aktivitas di sekolah dan olah raga dengan kesulitan minimal, agar
asma tetap dapat dikendalikan. Partisipasi harus dievaluasi berdasarkan toleransi terhadap
durasi dan intensitas upaya masing-masing anak. Pengobatan profilaktik yang tepat dengan
agen adrenergik atau natrium kromolin sebelum latihan fisik biasanya memungkinkan anak
berpartisipasi penuh dalam latihan fisik yang berat. (Hockenberry, Wilson, 2007)
Fisioterapi dada.Menurut National Asthma Edu- cation and Prevention Program(1997),
fisioterapi dada mencakup latihan bernapas dan latihan fisik. Terapi ini membantu relaksasi
fisik dan mental, memperbaiki postur, memperkuat otot-otot pernapasan, dan membentuk
pola pernapasan yang lebih efisien. Untuk anak yang termotivasi, latihan bernapas dan
pengendalian napas sangat bermanfaat dalam mencegah inflasi berlebih dan meningkatkan
keefektifan batuk. Akan tetapi, fisioterapi dada tidak dianjurkan selama eksaserbasi asma
akut tanpa komplikasi. (dikutip dari Wongs Nursing Care of Infants and Children, Eighth
Edition, Hockenberry, Wilson, 2007)
Hiposensitisasi. Peran hiposensitisasi pada asma masa kanak-kanak masih menjadi
kontroversi. Sebelumnya, imunoterapi telah digunakan untuk alergi musiman dan jika hanya
satu zat yang menyebabkan alergi. Hiposensitisasi tidak dianjurkan untuk alergen yang dapat
dihilangkan, seperti makanan, obat. dan bulu binatang. (Hockenberry, Wilson, 2007)
Terapi injeksi biasanya dibatasi untuk alergen yang signifikan secara klinis. Dosis awal
alergen berdasarkan ukuran reaksi kulit, diinjeksikan secara subkutan. Jumlahnya diting-
katkan setiap minggu sampai toleransi maksimal diperoleh, yaitu setelah dosis rumatan
diberikan dengan interval 4minggu. Pemberian dapat memanjang sampai interval 5 atau 6
minggu selama berakhirnya alergi musiman. Pengobatan yang berhasil dilanjutkan selama
minimal 3 tahun, kemudian dihentikan. Jika tidak ada gejala, imunitas yang didapat dikatakan
kembali pulih; jika gejala kambuh, pengobatan dilakukan kembali. (Hockenberry, Wilson,
2007)
Pragmosls. Pandangan terhadap anak yang menderita asma sangat bervariasi. Banyak
anak tidak lagi mengalami gejala saat mencapai masa pubertas, tetapi 20 anak yang menderita
asma tenis mengalami gejala sampai masa pubertas bahkan masa dewasa. Prognosis untuk
pengendalian atau hilangnya gejala padaanak bervariasi dari yang jarang mengalami serangan
sampai yang mengalami mengi konstan atau penderita status asimatiks. Secara umum jika
gejala parah dan banyak, gejala sudah ada sejak lama, dan terdapat riwayat alergi dalam
keluarga, kecenderungan memiliki prognosis yang buruk lebih besar. Banyak anak meng-
alami eksaserbasi yang terus berkembang menjadi hiperesponsivitas jalar, napas dan batuk
pada masa dewasa. Lebih jauh lagi, hiperesponsivitas jaian napas pada masa dewasa tampak
berhubungan dengan penurunan fungsi paru.( Hockenberry, Wilson, 2007)
Menurut Capen dan Sherman (1998), meskipun kematian akibat asma jarang terjadi,
angka kematian terus meningkat beberapa tahun belakangan ini. Kelompok usia remaja
tampaknya merupakan kelompok paling rentan, dengan peningkatan terbesar terjadi pada usia
10 sampai 14 tahun. Tidak ada data yang reliabel untuk menjelaskan hal ini. Faktor-faktor
yang telah menjadi dalil antara lain pajanan orang-orang atopik terhadap alergen yang lebih
banyak, perubahan keparahan penyakit, penyalahgunaan terapi obat (toksisitas), kegagalan
keluarga atau praktisi kesehatan untuk mengenali keparahan asma, dan faktor-faktor
psikologik seperti penyangkalan atau penolakan untuk menerima penyakit tersebut. Faktor
risiko kematian akibat asma muncul sejak usia dini, saat terjadi serangan yang sering,
kesulitan penatalaksanaan penyakit, masa remaja, riwayat gagal napas, masalah psikologik
(menolak minum obat), ketergantungan atau penyalahgunaan obat (penggunaan yang terlalu
sering), adanya stigmata fisik (dada barrel, retraksi interkostal), uji fungsi paru abnormal.
(dikutip dari Wongs Nursing Care of Infants and Children, Eighth Edition, Hockenberry,
Wilson, 2007)
Status asmatikus. Anak yang terus menunjukkan gawat napas meskipun berbagai
tindakan terapeutik sudah dilakukan, terutama penggunaan simpatomimetik, diang- gap
berada pada status asmatikus, Kondisi ini dapat berkembang secara bertahap atau cepat,
sering kali bersamaan dengan kondisi yang menimbulkan komplikasi (mis. pneumonia) yang
dapat memengaruhi durasi dan pengobatan serangan. Anak ini biasanya terlihat di unit gawat
darurat dan memerlukan hospitalisasi atau perawatan di unit perawatan intensif untuk
observasi ketat dan pemantauan kardiorespiratori yang kontinu.( Hockenberry, Wilson, 2007)
Terapi untuk status asmatikus diarahkan pada perbaikan ventilasi, koreksi dehidrasi dan
asidosis. dan pengobatan infeksi yang terjadi bersamian. Bronkospasme diredakan dengan
memberikan inhalasi agonis-2 kerja singkat aerosol (baik secara intermiten maupun
kontinu), bersamaan dengan kortikosteroid (baik oral maupun intravena). Untuk anak yang
tidak berespons terhadap kedua terapi tersebut, diberikan epinefriri subkutan (1:1000) dengan
dosis 0,01 ml/ kg, dosis maksima! 0,3 ml, atau terbutalin subkutan.(Hockenberry, Wilson,
2007)
Anak diberikan cairan IV dan dipuasakan, jika kondisi memungkinkan dapat diberi
cairan'Cairan IV diinfuskan dengan kecepatan rumatan, dan anak dipantau terhadap adanya
edema pulmonal. (Hockenberry, Wilson, 2007)
Koreksi dehidrasi, asidosis. hipoksia, dan, ketidakseimbangan elektrolit dilakukan dengan
berpedoman pada hasii pemeriksaan oksigenasi (oksimetri nadi), gas darah, dan elektrolit
serum. (Hockenberry, Wilson, 2007)
Oksigen yang sudah dilembabkan diberikan dengan sungkup hidung, hood, atau masker
wajah untuk mempertahankan oksigenasi yang memuaskan. Oksigen merupakan stimulus
pernapasan, sehingga kadamya yang tinggi daoat menyebabkan depresi pernapasan yang
signifikan. (Hockenberry, Wilson, 2007)
Pemberian antibiotik sering kali dianjurkan pada terapi, karena infeksi dapat bersifat
samar atau tidak selalu terlihat sama sekali dan selalu menjadi kompiikasi yang mengancam.
Saat serangan mulai berkurang, cairan dan obat diberikan secara oral, dan dibuat rencana
pemulangan terutama untuk perawatan tindak lanjut. (Hockenberry, Wilson, 2007)

PNEUMONIA
Pneumonia, inflamasi parenkim paru, merupakan penyakit yang sering terjadi pada masa
kanak-kanak awal. Secara klinis, pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit primer atau
sebagai komplikasi dari penyakit lain. Secara morfologik, pneumonia digolongkan menjadi:

- Pneumonia lobaris: melibatkan semua atau segmen yang luas dari satu lobus paru
atau lebih. Jika kedua paru terkena disebut pneumonia bilateral atau pneumonia
ganda
- Bronkopneumonia : di mulai pada bronkiolus terminal, yang tersumbat dengan
eksudat mukopurulen yang membentuk bidang yang terkonsilidasi pada lobus-lobus
didekatnya, disebut juga pneumonia lobularis.
- Pneumonia interstisial :proses inflamasi dengan batas-batas yang lebih atau kurang
dalam dinding alveolus(interstisium) dan jaringan peribronkial dan
interlobaris.(Hockenberry, Wilson, 2007)

Pneumonitis adalah inflamasi akut loka paru tanpa toksemia yang berkaitan dengan
pneumonia lubaris.

Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan morfologi, bentuk klinis, dan agen
etiologi. Virus aptikal(mikroplasma),bakteri, atau aspirasi benda asing. Pneumonia juga dapat
disebabkan oleh histomikosis, koksidioidomikrosis, dan jamur lainnya. Agens penyebabnya
diidentifikasi dari riwayat klinis, usia anak, riwayat kesehatan umum, pemeriksaan fisik,
radiografi, dan pemeriksaan laboratorium.(Hockenberry, Wilson, 2007)

a) Incident

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di
negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbalitas dan mortalitas anak
berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di
seluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia,
sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survai kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia. (Rahajoe, dkk, 2008)

b) Etiologi

Rahajoe, dkk (2008), membagi penyebab pneumonia berdasarkan dengan usianya, yaitu:

- Pneumonia pada neonatus dan bayi disebabkan oleh Streptococcus group B dan
bakteri Gram negatif seperti E. Colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
- Pneumonia pada balita disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus.
- Pneumonia pada anak yang lebih besar dan remaja, juga disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, Staphylococcus aureus
serta Mycoplasma pneumoniae.
Virus yang menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV),
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza.

c) Clinical Manifestation

Gejala klinis yang terjadi pada pneumonia virus biasanya demam cukup tinggi. Batuk
tidak produktif sampai produktif dengan sputum berwarna keputihan. Takipnea atau nafas
cepat. Bunyi nafas ronkhi atau ronkhi kasar, pekak pada saat perkusi. Ada nyeri dada dan
bernafas dengan cuping hidung. Pucat sampai sianosis (bergantung pada tingkat keparahan).
Foto-toraks infiltrasi atau bercak-bercak dengan distribusi peribronkial. Perilaku sensitif dan
gelisah. Anoreksia, muntah, diare dan nyeri abdomen. (Hockenberry, Wilson, 2007)

Sedangkan tanda dan gejala pada pneumonia bakteri, antara lan: demam, malaise,
pernafasan cepat dan dangkal, batuk, dan nyeri dada yang sering memburuk jika anak
menarik nafas dalam. Nyeri tersebut dapat menjalar ke abdomen dan disalah artikan sebagai
apendisitis. Menggigil dan gejala-gejala meningael (meningismus) juga sering terjadi.
(Hockenberry, Wilson, 2007)

d) Patofisiologi

Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan morfologi, bentuk klinis, dan agen
etiologi. Virus aptikal(mikroplasma),bakteri, atau aspirasi benda asing. Pneumonia juga dapat
disebabkan oleh histomikosis, koksidioidomikrosis, dan jamur lainnya. Agens penyebabnya
diidentifikasi dari riwayat klinis, usia anak, riwayat kesehatan umum, pemeriksaan fisik,
radiografi, dan pemeriksaan laboratorium.

Pneunomia virus disebabkan oleh Respiratory Syncytial Virus(RSV) dan Influenzae


virus. Kemudian virus tersebut masuk ke dalam saluran pernafasan terutama pada paru-paru
dan mengeluarkan toksin. Akibatnya terjadi inflamasi, sehingga terjadi kerusakan membran
mukosa alveoli yang meransang pusat batuk di otak. Kerusakan membran mukosa alveoli
juga mengakibatkan demam karena terjadi pelepasan zat pirogen, prostaglandin dan kimia
lain.

Pneumonia bakteri disebabkan oleh Streptococus pneumoniae, Sthapylococcus aureus,


dan Mycoplasma pneunomia. Kemudian bakteri tersebut masuk ke dalam saluran pernafasan
terutama pada paru-paru dan melepaskan sitosinin. Kemudian sistem kekebalan tubuh
mengaktifkan leukosit dan makrofrag untuk memakan (fagositosis) patogen. Patogen yang
terakumulasi bersama jaringan mati di paru-paru mengakibatkan berkurangnya area
pertukaran O 2 dan terhalangnya cairan di alveoli, sehingga terjadi gangguan pada difusi O 2 .

Pneunomia Atipikal primer disebabkn oleh injeksi Mycoplasma pneunomiae.


Pneumonia ini paling banyak terjadi pada pada anak-anak berusia antara 5 dan 12 tahun.
Pneumonia ini terjadi selama bulan-bulan musim gugur dan musim dingin serta lebih sering
terjadi lagi di lingkungan berpenghuni padat. Anak yang menderita pneunomia ini akan
demam, malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal dan batuk.

e) Pathway
f) Diagnosis
- Resikopenularaninfeksiberhubungandenganbatuk
- Gangguanpertukaran gas berhubungandenganberkurangnya area pertukaran O2
danterhalannyacairna di alveoli
- Ketidakefektifanpemeliharaankesehatanberhubungandenganketidakefektifankopingke
luarga
g) Treatment

Penggunaan vaksin polisakarida pneumokokus dianjurkan pada individu tertentu, seperti


anak-anak yang usia lebih dari 2 tahun yang beresiko infeksi pneumokokus atau beresiko
menderita penyakit serius. Bayi atau anak yang menderita pneumonia kambuh harus di
evaluasi lebih lanjut untuk adanya fibrosis kistik.

TUBERCULOSIS

a) Incident

Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang kembali
muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju. Salah satu di
antaranya adalah TB. World health organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk
dunia (2 milyar orang) telah terinfeksi oleh m.tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika,
Asia, dan Amerika Latin. (Rahajoe, dkk, 2008)

Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara
berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkolusis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka morbilitas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di negara
maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu perubahan
strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang cepat. (Rahajoe, dkk,
2008)

b) Etiologi

Penyebab tubercolosis adalah Mycobacterium tubercolosis. Basil ini tidak berspora


sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua
macam mikobakteria tuberculosis yaitu: tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada
dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberculosis usus. Basil tipe human bisa berada di
bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang
rentan terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah infeksi melalui
udara. (Wim de Jong at al, 2005)

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi sejauh mana organisme tersebut mampu


menimbulkan perubahan pada pejamu, antara lain: hereditas (resistensi terhadap infeksi
dapat diturunkan secara genetik), jenis kelamin (lebih tinggi pada remaja putri), usia
(resistensi pada bayi lebih rendah, insidensi lebih tinggi pada masa remaja), stres (emosi atau
fisik), status nutrisi, dan infeksi yang terjadi bersamaan dengan infeksi lain (terutama HIV,
campak, dan pertusis)

c) Clinical Manifestation

Manifestasi klinis tuberculosis sangat bervariasi, dapat bersifat asimtomatik, atau


bermacam-macam gejala seperti demam, malaise, anoreksia dan penurunan berat badan.
Biasanya batuk ada atau tidak berkembang secara perlahan selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan. Nyeri menusuk dan rasa sesak di dada. Sejalan dengan perkembangan terjadi
peningkatan frekuensi nafas, ekspansi paru buruk pada tempat yang sakit, bunyi nafas hilang
dan ronkhi kasar, pekak pada saat perkusi. Tampak pucat, anemia dan kelemahan.
(Hockenberry, Wilson, 2007)

d) Patofisiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh Microbacterium tuberulosis. Faktor pemicunya adalah


droplet, genetik, jenis kelamin, usis, stres, status nutrisi, serta infeksi yang terjadi bersamaan
dengan infeksi lain.

Microbacterium tuberkulosis masuk ke saluran pernafasan melalui droplet, kemudian


menempel pada paru-paru. Di dalam paru-paru, makrofag akan membersihkan M.
Tuberkulosis kemudian akan di keluar dari trucheobionchial bersama sekret sehingga akan
sembuh tanpa pengobatan. Namun, jika makrofag tidak dapat bekerja dengan baik,
M.tuberkulosis akan menetap di jaringan paru sehingga terjadi peradangan. M.tuberkulosis
akan mengeluarkan zat pirogen, yang akan mempengaruhi hipotalamus dan kemudian
mempengaruhi sel point yang menyebabkan hipertermi atau demam. Bila bakteri tumbuh dan
berkembang di sitoplasma makrofag dan akan membentuk sarang tuberkulosis yang disebut
sarang primer. Dari sarang ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal) dan diikuti pembesaran getah bening hilus (linfadinitis regional). Sarang
primer, limfangitis lokal, linfadinitis regional akan membentuk komplek primer. Komplek
primer selanjutnya akan :

- Sembuh sendiri tanpa pengobatan

- Sembuh dengan bekas fibrosis

- Menyebar ke organ lain seperti paru-paru lain, saluran pencernaan, dan tulang melalui
media bronchogen percontinuitum, hematogen maupun limfogen.

Pertahanan primer yang tidak adekuat pada paru-paru akan menyebabkan terbentuknya
tuberkel. Hal ini akan mengakibatkan rusaknya membran alveolar. Kerusakan membran
alveolar menyebabkan pembentukan sputum yang berlebihan dan menurunya permukaan
efek paru, sehingga alveolus mengalami konsolidasi dan eksudasi.

Bakteri yang dominan pada tuberkulosis primer akan menjadi radang tahunan di bronkus
yang akan berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya. Bagian tengah yang nekrosis
akan membentuk jaringan keju yang mengahsilkan sekret. Sekret akan keluar saat batuk.
Batuk produktif (terus-menerus) akan menyebabkan batuk berat sehingga terjadi distensi
yang mangakibatkan mual dan muntah.

e) Pathway
f) Diagnosis
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan pembentukan sputum yang
berlebihan
- Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan alveolus mengalami
konsolidasi dan eksudasi
- Resiko infeksi berhubungan dengan organisme purulen
- Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dyspneu
g) Treatment

Penatalaksanaan medis terhadap lesi TB pada anak terdiri atas nutrisi yang adekuat,
kemoterapi, tindakan suportif umum, penegahan pajanan yang tidak perlu terhadap infeksi
lain yang akan memperburuk pertahanan tubuh, pencegahan infeksi ulang, dan terkadang
tindakan pembedahan. Hospitalisasi jarang di perlukan kecuali untuk bentuk penyakit yang
sangat serius. Sebagian besar anak TB menerima asuhan keperawatan dilingkungan ambulasi,
bagian rawat jalan, sekolah, dan puskesmas.(Hockenberry, Wilson, 2007)

Terapi obat yang dianjurkan untuk mengobati tuberculosis antara lain adalah kombinasi
obat-obat berikut: isoniazid (INH), rifanpin, and pirazinamid (PZA). American academy of
pediatrics (2000) merekomendasikan progam pengobatan 6 bulan yang terdiri atas INH,
rifanpin, dan PZA, diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama, dan INH serta rifanpin di
berikan 2 kali setiap minggu (jika pemberian obat di awasi secara langsung) selama 4 bulan
berikutnya. Jika anak dicurigai menderita tuberculosis yang resisten terhadap berbagai obat,
ditambahkan etambutol atau stertomisin (hanya injeksi IM). Terapi penjegahan ditunjukan
untuk mencegah berkemangnya infeksi paten dan untuk mencegah infeksi awal pada individu
yang berada pada kondisi beresiko tinggi. Obat yang paling banyak di gunakan adalah INH
selama 9 bulan, atau sampai 12 bulan untuk anak yang terinfeksi HIV.(Hockenberry, Wilson,
2007)

Prosedur bedah. Pembedahan dapat diperlukan untuk mengangkat sumber infeksipada


jaringan yang tidak dapat di jangkau dengan kemoterapi atau yang di hancurkan oleh
penyakit. Prosedur ortopedi untuk koreksi deformitas tulang, bronkoskop untuk
pengangkatan polip granuomatosa tunerkuosa atau reseksi bagian paru yang sakit juga dapat
dilakukan.(Hockenberry, Wilson, 2007)
Prognosis. Sebagian besar anak dapat sembuh dari ifeksi TB primer dan sering tidak
menyadari keberadaannya. Akan tetapi, anak yang masih sangat kecil memiliki insidensi
penyebaran penyakit yang lebih tinggi. TB merupakan penyakit serius pada 2 tahun pertama
kehidupan, selama masa remaja, dan pada anak yang menderita HIV positif. Kecuali pada
kasus meningitis tuberculosis, kemtian jarang terjadi pada anak yang dapat pendapatkan
pengobatan. Terapi antibiotic telah berhasil menurunkan angka kematian dan penyebaran
secara hematogen akibat lesi primer. (Hockenberry, Wilson, 2007)

Pencegahan. Satu-satunya cara pasti untuk mencegah TB dapat menghindari kotak


dengan bacil tuberkel. Upaya mempertahankan setatus kesehatan yang maksimal dengan
nutrisi adekuat dan menghindari keletihan dan infeksi yang melemahkan akan meningkatkan
ketahanan alamai namun tiak mencegah infeksi. Pasteurisai dan pengujian rutin pada susu
dan eliminasi penyakit sapi telah menurunkan insidensi tuberculosis sapi. Imunitas yang
terbatas dapat dihasilkan dengan pemberian BCG (bacilli calmete guerien), vaksin yang
menggandung bacil bovine yang tingkat virulensinya sudah di turunkan. Vaksin segar di
injeksikan secara interadermal, memberikan perlindungan yang jelas namun tidak lengkap
(sekitar 50%) terhada TB. Distribusi vaksinn dikendakilan oleh departemen kesehatan
nasional atau setempat namun vaksin tidak digunakan secara luas, mestipun ditempat-tempat
dengan prevalensi penyakit tinggi.(Hockenberry, Wilson, 2007)

B. Nursing Care Plan


C. Family Teaching
- Tonsilitis

Setelah dilakukan Tonsilektomi atau pengangkatan tonsil perlu dukungan keluarga dan
perawatan di rumah, seperti (Hockenberry, Wilson, 2007) :

1. Menghindari makanan yang mengiritasi atau sangat berbumbu


2. Menghindari penggunaan obat kumur atau menyikat gigi terlalu keras
3. Melarang anak untuk batuk atau membersihkan tenggorokan atau meletakkan sesuatu
di dalam mulut
4. Menggunakan analgesik yang efektif atau kolar es untuk nyeri
5. Membatasi aktivitas untuk mengurangi pendarahan. Pendarahan dapat terjadi sampai
10 hari setelah pembedahan karena adanya pelepasan jaringan akibat proses
penyembuhan.

- Asma

Perawat yang berkerja dengan anak penderita asma dapat memberikan dukungan dengan
berbagai cara. Banyak anak yang mengungkapkan rasa frustasinya karena eksaserbasi asma
mempengaruhi aktivitas dan kehidupan sosial mereka sehari-hari. Mereka memerlukan
pendidikan kesehatan mengenai penyakitnya, termasuk apa yang harus dilakukan untuk
mencegah episode asma dan selama episode asma. Anak ini memerlukan jaminan dari tim
kesehatan dan penguatan terhadap mekanisme koping mereka. (Hockenberry, Wilson, 2007)

Hal yang dapat dilakukan keluarga dirumah untuk mencegah terjadinya asma adalah
membuat rumah dan komunitas bebas alergi, sepeti gunakan semprotan pestisida, melapisi
dinding dengan cat atau wallpaper yang dapat dicuci, dan gunakan perabotan yang dapat
dilap (kayu, plastik, kulit) di tempat perabotan yang dilapisi kain serta hindari perabotan dari
rotan atau anyaman. Selain membuat rumah dan komunitas bebas alergi, kita juga dapat
menyarankan untuk menggunakan Peak Expiratory Flow Meter (PEFM), atau menggunakan
Inhaler dosis terukur MDI. (Hockenberry, Wilson, 2007)

- Pneumonia

Keluarga juga memerlukan dukungan. Batuk kering yang dialami anak dapat
menimbulkan kelelahan pada orang tua karena sering mengganggu tidur anak dan keluarga.
Orang tua harus tetap diberitahu tentang perkembangan anak dan diajarkan mengenai
perawatan di rumah yang tepat, seperti penggunaan aspirator hidung dan pemberian
antibiotik. (Hockenberry, Wilson, 2007)

- Tuberculosis

Karena keberhasilan terapi bergantung pada kepatuhan pasien terhadap program


pengobatan, orang tua harus diberitahu pentingnya pemberian obat yang sering dan selama
diinstruksikan. Sebagai keluarga memerlukan observasi langsung untuk memastikan
kepatuhan. (Hockenberry, Wilson, 2007)

D. Kebijakan Departemen Kesehatan(terlampir)

Kebijakan Departemen Kesehatan (Asma) lampiran I


F. Jurnal(terlampir)

Judul :Preschoolers with Asthma: Narratives of Family Functioning Predict


Behavior Problems
Tempat :Central New York State

Tujuan :Mengujisejauh manakeparahangejala asmadannarasianak-anakdarifungsi


keluargamemprediksigejalaperilakuanak-anak prasekolah.

Tujuan Khusus :

1. Menguji peranyang memainkan keparahandalam memprediksiperilakupenyesuaian


anakdengan sampelanak-anakasma.
2. Menyelidiki peranfungsi keluragadalam nenambah tingkat keparahan asma.
3. Mengeksplorasikegunaanteknikcerita-batang yang baru berkembang.

Metode :

- Peserta : 58anakberkisarusia3 sampai 5 tahundan58pengasuhutama mereka


- Prosedur : Pengasuh utamadiberikuesioner, anak-anak diberinarasitugascerita-batang.
Wawancara naratifanak-anakterdiri dari empatcerita-batang tentang
kehidupankeluarga danasma, berlangsung sekitar20menit, dandirekam.

Hasil :

Lima peserta anak tidak mampu menyelesaikan cerita, 1 anak saki tdan 4 anak
menolak untuk berpartisipasi. Oleh karena itu, total 53 anak memberikan kontribusi
terhadapdata yang dikumpulkan pada cerita-batang tanggapan. Anak-anak yang menolak
untuk berpartisipasi tidak menunjukkan penyimpangan ditandai dari nilai rata-rata
keseluruhan pada variabel penelitian Severity Fungsional Asma. Prosedur ANOVA
digunakan untuk menguji perbedaan dalam variabel demografis kategori, prediktor dan hasil
variabel kontinu. Namun, ketik akontribusi individu masing-masing jenis narasi yang
diperiksa, Indeks Umum Fungsi Keluarga, tetapi tidak Indeks Asma Response, memberikan
kontribusi signifikan terhadap varians dalam total skala Perilaku Masalah.
Kesimpulan :

Peneliti menemukan bahwa tingkat tertinggi keparahan gejala asma diperkirakan lebih
tingginya nilai masalah perilaku. Temuan ini pada balita dengan asma sesuai dengan
keparahan penyakit yang menghubungkan dengan hasil perilaku pada anak-anak usia sekolah
dan remaja. Penelitian ini menunjukkan bahwa alasan ini mungkin sangat kompleks dan
mungkin mencerminkan beberapa faktor penentu dari kedua keparahan penyakit dan
penyesuaian perilaku (McQuaid et al., 2001).

Penelitian ini adalah untuk menguji persepsi keluarga dalam konteks asma antara
anak-anak prasekolah, penduduk yang telah kurang mendapat perhatian. Studi lainnya
menggunakan metode narasi dikombinasikan dengan laporan pengasuh dan observasi lebih
lanjut dapat memperjelas hubungan antara proses penyakit spesifik dan hasil perilaku anak.

Pengaruh kuat lainnya pada penyesuaian perilaku cenderung untuk hadir, terutama
untuk sampel ini anak berpenghasilan rendah. Ini mungkin termasuk terukur faktor distal
seperti lingkungan dan karakteristik anak prasekolah dan akses terhadap kualitas perawatan
kesehatan, serta faktor-faktor proksimal termasuk tekanan psikologisorangtua (Celano et al.,
2008), kepadatan anggota keluarga, merokok di rumah, pola tidur, dan aspek status kesehatan
selain asma.
Daftar Pustaka

Gerard J Tortora dan Bryan Derrickson. 2011. Principles of Anatomy and Physiology,
Maintance and Continuity of the Human Body, ed. 13th . Asia; Wiley

Herdman. 2011.Nanda International, Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta; EGC

Hockenberry dan Wilson. 2007. Wongs Nursing Care of Infants and Children, Eighth
Edition. Canada; Mosby Elsevier

Rahajoe, Supriyatno, dan Setyanto. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta; IDAI

Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta; EGC

Wim de Jong at al. 2005. Buku ajar ilmu bedah.Jakarta; EGC


MAKALAH PEDIATRIC NURSING

KELOMPOK 9, KELAS B

Alterations in oxyigen transport: respiratory alterations


Tonsillitis, Pneumonia, Asthma, Tuberculosis

Oleh :

YeusyVitasari (462012011)

RiniYulianti (462012031)

Program Studi S1 Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

2014

Anda mungkin juga menyukai