Anda di halaman 1dari 10

Peluang Formulasi Pupuk Berteknologi Nano

Ladiyani Retno Widowati, Husnain, dan Wiwik Hartatik


27
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114

Abstrak. Adanya program peningkatan produksi pangan untuk menjaga ketahanan


pangan perlu didukung oleh teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi penggunaan
pupuk, ramah lingkungan, dan mampu meningkatkan nilai produksi pangan. Terdapat
beberapa teknologi yang mempunyai potensi untuk dikembangkan diantaranya produk
input pertanian berteknologi nano. Pemanfaatan teknologi nano memungkinkan
pemberian pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman (precision farming). Tujuan
penelitian untuk mengidentifikasi bahan alami sebagai sumber bahan pupuk berteknologi
nano, memformulasi dan menguji kelarutan pupuk P-alam berukuran nano dan submikron
pada tanaman padi dan jagung. Identifikasi dilakukan dengan mengkoleksi contoh dari
sumbernya, menghaluskannya sampai ukuran nano dan submikron, memformulasinya
dengan zeolit dengan rasio P-alam nano dan zeolit 1:1, dan menguji di rumah kaca pada
tanah berbeda tekstur. Rancangan penelitian di rumah kaca adalah rancangan acak
lengkap dengan 4 ulangan. Hasil identifikasi bahan indigenous sumber pupuk yang dapat
dibuat pupuk berteknologi nano dengan cara top-down adalah P-alam. Indonesia
mempunyai potensi P-alam sebagai bahan baku tetapi berkadar P lebih rendah dari P-alam
dari negara produsen P-alam misalnya Maroko. Hasil penelitian diperoleh bahwa semakin
halus ukuran partikel P-alam hingga berukuran 100 nm maka ketersediaan P dalam tanah
menjadi lebih tinggi. Pola pelepasan P berbeda antar jenis tanah. Hasil pengujian dengan
menggunakan tanaman, P-alam nano, dan P-alam submikron mampu mensuplai P bahkan
lebih sedikit dari SP-36 yang ditunjukkan oleh produksi gabah dan brangkasan jagung.
Kata kunci: Nano teknologi, pupuk, formulasi, produksi

LATAR BELAKANG

Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan target utama pemerintah di bidang pertanian.


Degradasi lahan seperti penurunan kesuburan tanah, pengelolaan lahan yang tidak tepat
seperti pemupukan tidak berimbang serta pencemaran sumberdaya tanah dan air
merupakan salah satu penyebab terjadinya leveling off produksi pangan terutama padi.
Permasalahan yang sama juga dialami oleh banyak negara berkembang. Dari persepsi
termodinamika, sistem pertanian saat ini dianggap sebagai sistem pertanian yang paling
tidak efisien dibandingkan sistem pertanian di masa lalu dilihat dari kalori yang dihasilkan
dibandingkan dengan jumlah kalori yang dibutuhkan untuk memproduksi pupuk sebagai
sarana produksinya (Anane-Fenin, 2008).
Peningkatan ketahanan pangan membutuhkan suatu inovasi teknologi yang dapat
memecahkan persoalan dalam pengelolaan lahan. Penggunaan input (pupuk dan pestisida)

307
Ladiyani Retno Widowati et al.

yang berlebihan menyebabkan ketidakseimbangan sumberdaya alam seperti keracunan


tanaman, polusi tanah dan air serta pemborosan biaya saprodi. Di lain pihak kekurangan
unsur hara menyebabkan penurunan produktivitas lahan, sehingga dibutuhkan suatu
teknologi ramah lingkungan yang mempertimbangkan keseimbangan antara eksploitasi
sumberdaya alam dengan lingkungan melalui pengurangan input bahan sintetik seperti
pupuk kimia dan pestisida. Namun demikian, meskipun secara kuantitatif jumlah pupuk
yang diaplikasikan sangat kecil, produksi diharapkan jauh melebihi produksi rata-rata.
Perkembangan teknologi nano dewasa ini sudah sangat maju, termasuk dalam
bidang pemupukan tanaman. Walaupun belum sepenuhnya mapan dan tergolong bidang
kajian yang masih baru, iptek nano telah mampu berkontribusi secara nyata dalam bidang
penerapan yang luas diantaranya adalah bidang pertanian dan lingkungan (Arryanto et al.
2007). Melalui teknologi nano dihasilkan pupuk-pupuk berukuran nano (nano fertilizer)
baik dalam bentuk tepung (nano powder) maupun cair. Penggunaan pupuk nano yang
berukuran super kecil (1 nm=10-9 m) memiliki keunggulan lebih reaktif, langsung
mencapai sasaran atau target karena ukurannya yang halus, serta hanya dibutuhkan dalam
jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi ada beberapa unsur hara yang tidak dapat dibuat
ukuran nano karena sudah berbentuk ion seperti N dan K, maka dapat menggunakan
bahan pembawa seperti zeolit dan chitosan (Arryanto, 2012). Penelitian dan
pengembangan nano teknologi adalah upaya memanipulasi secara terkendali dari struktur
skala nano dan mengintegrasikannya ke dalam komponen material yang lebih besar. Sifat
khas dari zeolit sebagai natural mineral berstruktur tiga dimensi bermuatan negatif dan
memiliki pori-pori yang terisi ion-ion K, Na, Ca, Mg, dan molekul H2O, sehingga
memungkinkan terjadinya pertukaran ion dan pelepasan air secara bolak-balik. Pupuk
urea yang diberikan ke tanah yang sebelumnya sudah diberi zeolit, maka kation NH4+-urea
dan kation K+-KCl dapat terperangkap sementara dalam pori-pori zeolit yang sewaktu-
waktu dilepaskan secara perlahan-lahan untuk diserap tanaman.
Dengan menggunakan produk pupuk berteknologi nano, hasil pertanian yang
optimal diharapkan dapat dicapai dengan mengaplikasikan jumlah pupuk yang lebih
sedikit dibandingkan dengan menggunakan pupuk konvensional. Dengan demikian,
penggunan pupuk akan sangat efisien, efektif dan dapat menurunkan biaya produksi.
Dengan keunggulan-keunggulan tersebut maka pupuk nano diharapkan dapat menjadi
terobosan teknologi peningkatan produksi pertanian.
Tujuan dari penelitian ini adalah menginventarisasi bahan alami sebagai sumber
pupuk P dengan teknologi nano, memformulasi pupuk, menguji kelarutan, dan uji
tanaman di rumah kaca.

308
Peluang Formulasi Pupuk Berteknologi Nano

METODOLOGI

Penelitian penyusunan formula pupuk berteknologi nano dilaksanakan di Laboratorium


Penelitian Tanah dan rumah kaca Balai Penelitian Tanah di Bogor, pada tahun anggaran
2010-2011 dengan sumber dana dari proyek SINTA-Kemenristek. Contoh tanah yang
dipergunakan yakni Inceptisols Cibinong-Ciomas, Ultisols Leuwiliang-Bogor, dan
Andisols Cipanas-Cisarua.

Inventarisasi sumber bahan baku

Pada penelitian ini telah dilakukan identifikasi bahan baku yang mempunyai
peluang untuk dipergunakan sebagai sumber pupuk makro sumber P seperti P-alam dan
guano. Selain itu diantara tiga jenis pupuk makro N, P, dan K, hanya P yang
memungkinkan dibuat ukuran nano dengan metode top-down. Inventarisasi sumber pupuk
P dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh sumber tersebut dari tempat
penambangan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selanjutnya contoh tersebut dianalisa di
Laboratorium Penelitian Tanah, Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Formulasi pupuk P-nano dan submikron

Kegiatan formulasi pupuk ditujukan untuk membuat calon pupuk untuk tanaman
pangan. Beberapa hal yang diperhatikan dalam formulasi adalah kebutuhan tanaman dan
nilai efisiensi pupuk selama ini.
Beberapa sumber pupuk P seperti guano Wonogiri, P-alam Ciamis, P-alam Maroko
dianalisa kadar haranya kemudian dilakukan seleksi terhadap peluang penggunaannya.
Kemudian ditetapkan P-alam Maroko yang dipergunakan untuk dibuat ukuran nano dan
submikron dengan menggunakan ballmill pada beberapa ukuran (6.458 nm; 4.669 nm; 1
nm). P-alam Maroko dipergunakan karena mempunyai kadar P 2O5 yang cukup tinggi dan
variasi mutunya tidak terlalu besar. Untuk memastikan ukuran nano setelah dihaluskan,
contoh pupuk diukur dengan menggunakan PSA.
Untuk mempermudah aplikasi P-alam yang telah dihaluskan pada percobaan
rumah kaca, maka P-alam tersebut dicampur dengan zeolit yang telah diayak dengan
ukuran 100 mesh. Perbandingan P-alam (ukuran nano dan submikron) dengan zeolit
adalah 1:1 dicampur kemudian diberi air untuk lebih memperkuat zeolit dalam memegang
P-alam, selanjutnya diukur/diamati P-alam dan zeolit tersebut dengan SEM (Gambar 1).
Selain itu juga dilakukan pengukuran kapasitas tukar kation yang terukur sebesar 70,15
me.100g-1 dengan metoda NH4OAc 1 N pH 7,0. Untuk KTK dengan ukuran tersebut,
termasuk cukup memadai sebagai media atau wadah bagi fosfat.

309
Ladiyani Retno Widowati et al.

Keterangan: Pembesaran a. 1.000x b. 5000x c. 20.000x d. 40.000x


Gambar 1. Hasil pengukuran zeolit dari Wonosari dengan menggunakan SEM

Pengujian kelarutan

Pupuk P-alam berbagai ukuran submikron (6.458 nm dan 4.669 nm) dan ukuran
nano (100 nm) diuji kelarutannya pada dua jenis tanah (Inceptisols Cibinong-Ciomas dan
Andisols Cipanas-Cisarua) yang dibandingkan dengan kontrol dan SP-36. Satu kilogram
tanah kering angin yang telah digiling dimasukkan dalam pot plastik. Tanah Inceptisols
Cibinong dan Andisols Cipanas diberi air hingga mencapai kapasitas lapang. Pupuk hasil
formulasi yang telah ditimbang (setara 500 kg.ha-1) diaplikasikan ke tanah dengan cara
dicampur merata. Contoh tanah diambil sebanyak + 10 g pada minggu ke 1, 2, 3, dan 4
setelah aplikasi kemudian dianalisa kelarutannya dengan metoda P-Bray 1.

Pengujian pada tanaman di rumah kaca

Contoh tanah sebanyak dua kilogram kering angin ditimbang dan dimasukkan
dalam pot plastik. Contoh tanah Inceptisols Cibinong diberi air sampai kondisi kapasitas
lapang kemudian ditanami jagung (var. Pioneer-21), sedangkan contoh tanah Ultisols
Leuwiliang diberi air dan dilumpurkan satu hari sebelum tanam padi varietas Ciherang.
Pupuk P-alam berukuran nano dan submikron yang telah dicampur dengan zeolit
(rasio 1:3) ditimbang setara dengan 500 kg.ha-1. Pupuk dasar N dan K diberikan sesuai
dengan status hara tanah untuk tanaman padi dan jagung. Perlakuan yang diujikan adalah

310
Peluang Formulasi Pupuk Berteknologi Nano

kontrol, rekomendasi P standar (200 kg SP-36=72 kg P2O5), P-alam nano (500 kg P-alam
ukuran 100nm+zeolit=18,75 kg P2O5), P-alam submikron 1 (500 kg P-alam 4.669nm
+zeolit=18,75 kg P2O5), dan P-alam submikron 1 (500 kg P-alam 6.458 nm +zeolit=18,75
kg P2O5). Rancangan yang dipergunakan adalah rancangan acak lengkap dengan ulangan
4 kali. Variabel yang diamati meliputi produksi gabah (padi) dan brangkasan (jagung).

Pengolahan data

Data hasil pengamatan kelarutan diplotkan pada grafik kelarutan yang


menghubungkan antara minggu pengamatan dan kelarutannya (mg.kg-1) menggunakan
Excel, sedangkan data hasil pangamatan percobaan respon tanaman dengan variabel
produksi (gabah dan brangkasan jagung) di rumah kaca diolah dengan SPSS v.15 untuk
menghitung Anova pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inventarisasi sumber bahan baku

Kegiatan pertama yang dilakukan untuk penelitian formulasi pupuk berteknologi nano
adalah inventarisasi bahan yang dapat dibuat ukuran nano secara fisik (top-down). Dasar
pertimbangan dari penggunaan sumber yang ada di Indonesia ataupun didatangkan ke
Indonesia adalah untuk menyederhanakan proses produksi, sehingga proses penggunaan
bahan kimia dapat diminimalkan. Adapun bahan yang bisa dan biasa dipergunakan untuk
bidang pertanian dari sumber P adalah guano, fosfat alam (Ciamis dan Maroko), dan
zeolit. Hasil sampling pada tahun 2010 diperoleh sumber P-alam dalam jumlah yang agak
banyak sekitar 10 jenis, namun yang mempunyai kadar P yang cukup tinggi adalah guano
Wonosari, P-alam Ciamis, dan P-alam Maroko (Tabel 1). Akan tetapi P-alam Ciamis
mempunyai ketidakonsistensian kadar P sehingga perlu dipertimbangkan kembali jika
akan digunakan sebagai sumber bahan baku. Hasil eksplorasi tahun 1990 ditemukan fosfat
endapan laut dengan kadar P2O5 sekitar 20-38% dalam jumlah sekitar 2-4 juta ton pada
formasi batu gamping Kalipucung di Ciamis. Zeolit adalah sumber alami yang tersedia di
Indonesia merupakan bahan pembenah tanah dan dipergunakan sebagai media
penampungan fosfat yang telah dihaluskan.
Di antara ketiga sumber fosfat, P-alam Maroko memiliki kadar P total dan P sitrat
tertinggi, kemudian diikuti oleh guano Wonosari dan P-alam Ciamis. Ditinjau dari potensi
sebagai bahan baku lokal, P-alam Ciamis memiliki sumber yang cukup besar dibanding
guano Wonosari.

311
Ladiyani Retno Widowati et al.

Tabel 1. Komposisi kadar hara berbagai sumber P-alam dan guano yang dipergunakan
dalam penelitian
PA Maroko
Guano PA (Ukuran)
Parameter Zeolit
Wonosari Ciamis 100 mesh Sub-mikron Nano
(0,1-1 m) (10 cm)
-9

KA (%) 15,97 8,48 - - - 12,67


Corganik (%) 0,29 0,26 - - - -
N-organik (%) - 0,09 - - - -
C/N - 3 - - - -
Total P2O5 (%) 22,84 16,22 26 - 27 - - -
P2O5 larut asam sitrat (%) 5,77 5,47 10,5 13,6 14,6 -
KTK (NH4OAc 1 N pH 7) - - - - - 70,15
Total K (g.100g-1) 0,15 0,15 - - - -
Total Ca (g.100g-1) 6,18 6,72 - - - -
Total Mg (g.100g-1) 0,72 0,10 - - - -
Total Fe (g.100g-1) 21,196 18,286 - - - -
Total Mn (mg.kg-1) 435 2,679 - - - -
Total Cu (mg.kg-1) 146 203 - - - -
Total Zn (mg.kg-1) 195 432 - - - -
Total Pb (mg.kg-1) 14,43 22,1 - - - -
Total Cd (mg.kg-1) - 2,14 - - - -

Sifat tanah yang dipergunakan pada percobaan

Pengujian formula pupuk berteknologi nano diujikan pada tiga jenis tanah dari
Bogor yakni Andisols Cipanas-Cisarua, Inceptisol Cibinong-Ciomas, dan Ultisols
Leuwiliang-Bogor. Pemilihan ketiga jenis tanah ini terutama karena perbedaan tekstur
(Tabel 2). Tekstur dan kadar liat merupakan salah satu indikator berkaitan dengan sifat
kimia, fisik, dan biologi tanah. Tentu saja kadar liat juga berperan besar dalam sifat
tersebut.
Tanah Inceptisols Cibinong-Ciomas bereaksi masam, bertekstur lempung liat
berpasir, berkadar Corganik rendah, P tersedia sangat tinggi, berkejenuhan basa sedang, dan
KTK rendah. Sifat tanah ini mengelompokkannya termasuk berkesuburan rendah. Tanah
yang didominasi fraksi pasir ini memerlukan pengelolaan hara yang baik agar tidak terjadi
penurunan tingkat kesuburan.
Tanah Ultisols dari Leuwiliang-Bogor dengan reaksi tanah masam. Bertekstur liat,
berkadar Corganik, dan P tersedia sedang, demikian juga KTK tanah termasuk sedang, tetapi
berkejenuhan basa tinggi. Berdasarkan karakteristiknya, tanah tersebut termasuk
berkesuburan sedang, dengan kendala utama kadar Al-dd.

312
Peluang Formulasi Pupuk Berteknologi Nano

Tabel 2. Sifat tanah awal tanah yang dipergunakan

Andisols Ultisols
Inceptisols
Parameter Cipanas- Leuwiliang-
Cibinong-Ciomas
Cisarua Bogor
pH H2O (1:5) 5,35 4,77 4,97
pH KCl (1:5) 4,42 3,92 4,00
Tekstur Pasir (%) 25 46 13
Debu (%) 40 20 36
Liat (%) 35 34 51
Corganik (%) 2,80 1,37 2,07
N-organik (%) 0,29 0,12 0,21
C/N 10 11 10
Asam humat+fulvat 0,77 0,41 0,66
Asam humat 0,29 0,22 0,11
Asam fulvat 0,48 0,19 0,55
P tersedia (Bray II) (mg.kg-1) 62 71 8
P potensial (HCl 25%) (mg.kg-1) 1719 1116 980
K2O HCl 25% (mg.kg-1) 452 115 209
K-dd (cmolc(+).kg-1) 1,04 0,32 0,47
Ca-dd (cmolc(+).kg-1) 6,71 4,25 7,58
Mg-dd (cmolc(+).kg-1) 1,57 0,92 3,27
Na-dd (cmolc(+).kg-1) 0,11 0,10 0,13
KTK (cmolc(+).kg-1) 20,20 12,27 16,97
KB (%) 47 45 67
Al-dd (KCl 1M) (cmolc(+).kg-1) 0,38 1,68 3,46
H-dd (KCl 1M) 0,13 0,24 0,31
Fe-DPTA (mg.kg-1) 32 41 34
Mn-DTPA (mg.kg-1) 37 20 65
Cu-DTPA (mg.kg-1) 1,30 1,61 1,33
Zn-DTPA (mg.kg-1) 21 20 19

Hasil pengamatan terhadap kelarutan P-alam berbagai ukuran terhadap tanah


Andisols dan Inceptisols disajikan pada Gambar 2. Seperti diketahui bahwa aplikasi P-
alam secara langsung terkendala pelepasan yang lambat terutama untuk tanah yang
memiliki pH di atas 5. Batuan fosfat alam secara umum terdiri dari deposit fosfat alam
sedimen (80-90%) dan igneous fosfat (10-20%) (Kauwenbergh, 2001). Batuan fosfat alam
memiliki keragaman yang tinggi baik dalam komposisi kimia maupun bentuk fisiknya.
Aplikasi langsung rock phosphate sebagai pupuk P masih sangat terbatas dan menjadi
kendala.
Secara umum kedua tanah menunjukkan pola yang berbeda dan jumlah kelarutan
yang berbeda pula. Pada tanah Andisols terukur P tersedia initial sebesar 93 mg.kg-1.
Tanah ini bertekstur lempung berliat dengan kadar pasir 25%, dengan ditambah P
berbagai ukuran menunjukkan jumlah kelarutan yang lebih tinggi. Pada minggu pertama
ke minggu kedua inkubasi terdapat pola peningkatan kadar P tersedia kemudian menurun
mendekati titik awal. Bahkan untuk SP-36 pada 1 hari setelah aplikasi terukur 124 mg kg-1
kemudian menurun dengan waktu inkubasi selama 4 minggu hingga mendekati 95 mg kg-

313
Ladiyani Retno Widowati et al.

1
. Berdasarkan pola kelarutan tersebut, sumber P-alam melepaskan P secara bertahap,
sedangkan SP-36 lepas dalam waktu yang cepat di awal minggu pengamatan kemudian
menurun. Fosfat yang sudah larut kemudian diikat oleh mineral liat amorf mengingat
unsur tersebut tidak diserap oleh tanaman. Kelarutan P-alam ukuran 100 nm mendekati
kelarutan SP-36.

140

130

120
P tersedia (mg/kg)

Kontrol
6.45 um (6458 nm)
110
4.68 um (4669 nm)
0.1 um (100 nm)
100
SP-36

90

80
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Gambar 2. Kelarutan P-alam berbagai ukuran dengan waktu pada tanah Andisols
Cipanas-Cisarua

Kelarutan P-alam pada tanah Inceptisols memiliki pola yang berbeda dengan tanah
Andisols (Gambar 3). Tanah ini bertekstur lebih kasar yang termasuk tekstur lempung liat
berpasir (46% pasir). P tersedia pada perlakuan kontrol terukur 72 mg.kg-1 lebih rendah
dari tanah Andisols Cipanas-Cisarua. Ukuran partikel berpengaruh terhadap kelarutan P-
alam, dimana semakin kecil ukuran partikel, kelarutan P-alam semakin meningkat.
Efektivitas penggunaan P-alam sangat ditentukan oleh reaktivitas kimia, ukuran butir,
sifat-sifat tanah, waktu dan cara aplikasi, takaran P-alam, jenis tanaman, dan pola tanam
(Lehr and McClellan, 1972; Chien, 1995; Rajan et al. 1996).
Kelarutan P-alam berbagai ukuran menunjukkan pola yang hampir sama, dimana
pada minggu II pengamatan terjadi peningkatan kelarutan kemudian relatif tetap pada
kadar tersebut hingga minggu ke-IV pengamatan. Hal ini terjadi karena jenis tanah ini
diduga memiliki kadar liat yang tidak seaktif mineral liat amorf pada tanah Andisols. Di
antara ukuran 6,45 m dan 4,68 m mempunyai pola kelarutan yang hampir sama pada
tanah ini. Kelarutan SP-36 pada tanah ini jauh lebih rendah dari perlakuan P-alam baik
pada tanah Inceptisols dan Andisols.

314
Peluang Formulasi Pupuk Berteknologi Nano

120

P tersedia (mg/kg) 100 Kontrol


6.45 um (6458 nm)
4.68 um (4669 nm)
80 0.1 um (100 nm)
SP-36

60
Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Gambar 3. Kelarutan P-alam berbagai ukuran dengan waktu pada tanah Inceptisols
Cibinong-Ciomas

Pengujian pada tanaman di rumah kaca

Produksi tanaman dari percobaan pengujian pupuk berukuran nano dan submikron
di rumah kaca disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 4 terlihat bahwa produksi padi dan
brangkasan jagung yang diberi SP-36 tidak berbeda nyata dengan sumber P-alam nano
dan submikron. Perubahan ukuran P-alam dapat mensuplai kebutuhan P bahkan lebih
sedikit dari SP-36, dimana produksi padi dan brangkasan tidak berbeda nyata antar SP-36
dan P-alam. Hasil ini sejalan dengan hasil pengukuran kelarutan bahwa semakin kecil
ukuran pertikel P-alam dapat mensuplai P2O2 lebih besar. Besarnya jumlah kelarutan
dapat terjadi karena ikatan P2O5 dengan Ca dan Mg semakin lemah ataupun kontak P 2O5
dengan air lebih besar.

Tabel 3. Produksi gabah dan brangkasan jagung terhadap tiga jenis sumber P
Padi Jagung (Brangkasan)
Ultisols Leuwiliang-Bogor Inceptisols Cibinong-Ciomas
Perlakuan Gabah kering Berat 1.000
Berat basah Berat kering
bersih butir
... g.pot-1 ... ... g ... -1
... g.pot ...
Kontrol 12,76 a 12,64 a 34,25 a 5,62 a
P (SP-36) 18,23 b 18,05 b 48,98 b 8,04 b
P-alam Nano 20,10 b 19,67 b 59,60 c 9,10 b
P-alam Submikron 1 18,17 b 18,13 b 60,10 c 8,51 b
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf 5% dengan ANOVA.

315
Ladiyani Retno Widowati et al.

KESIMPULAN

Hasil inventarisasi sumber pupuk P yang dapat dibuat menjadi pupuk berteknologi nano
dengan sistem top-down adalah P-alam dan guano. Zeolit dapat dipergunakan sebagai
media penampungan P sementara. Semakin halus ukuran P-alam semakin meningkat
kemampuan melepaskan P2O5. Pola pelepasan P berbeda antar jenis tanah. Ketika diujikan
ke respon tanaman, P-alam nano dan P-alam submikron mampu mensuplai P dalam
jumlah yang lebih sedikit dari SP-36 yang ditunjukkan oleh produksi gabah dan
brangkasan jagung.

DAFTAR PUSTAKA

Anane-Fenin, K. 2008. Nanotechnology in Agricultural Development in the ACP Region.


Arryanto, Y, S. Amini, M.F. Rosyid, A. Rahman, dan P. Artsanti. 2007. IPTEK Nano di
Indonesia. Deputi Bidang Perkembangan RIPTEK Kementerian Negara Ristek dan
Teknologi. 206 hal. ISBN 979-24-0571-2.
Arryanto, Y. 2012. Nano technology in Agriculture. Disajikan pada Workshop Peluang
Nano Teknologi untuk Pertanian. Bogor, 26 Januari 2012.
Chien, S.H. 1995. Seminar on The Use of Reactive Phosphate Rock for Direct
Application. July 20, 1995. Pengedar Bahan Pertanian Sdn Bhd. Selangor.
Malaysia.
Rajan, S.S.S., J.H. Watkinson, and A.G. Sinclair. 1996. Phosphate rocks for direct
application to soils. Advances in Agronomy 57: 77-159.
Kauwenbergh van, S.J. 2001. Overview of World Phosphate Rock Production.
Proceedings of an International Meeting: Direct Application of Phosphate Rock
and Related Appropriate Technology-Latest Developments and Practical
Experiences. 16-20 July 2001. An International Center for Soil Fertility and
Agricultural Development (IFDC). Kuala Lumpur, Malaysia.

316

Anda mungkin juga menyukai