Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS BESAR

LAKI-LAKI 46 TAHUN DENGAN OBSERVASI HEMOPTOSIS ET


CAUSA TUBERCULOSIS PARU LESI LUAS KASUS BARU

Pembimbing:
dr. Riana Sari, Sp. P

Oleh:
Intani Mundiartasari J510145082
Nafisatun Zahrokh J410145042
Rezky Fitria Yandra J510145010
Ruliyantika Nanda Puspita J510145085
Sri Pitri Astutiningsih J510145086
Yulistia Eka Sari J510145061

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. S
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Pracimantoro, Wonogiri
Pekerjaan : Supir
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal pemeriksaan : 13Mei 2015
No. Register : 089xxx

II. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis.

A. Keluhan Utama
Batuk berdarah.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli BBKPM Surakarta , dengan keluhan batuk
sejak 2 bulan yang lalu. Batuk dirasakan tidak mereda sejak 2 bulan
lalu, dan keluhan batuk biasanya meningkat saat malam hari. Batuk
terdapat dahak disertai darah sejak satu minggu yang lalu, sebanyak 1
sendok makan setiap batuk. Batuk tidak disertai dengan sesak nafas.
Pasien mengeluh sering terdapat keringat dingin di malam hari. Pasien
mengaku mudah merasa lelah sejak 2 bulan lalu, dan terkadang badan
dirasakan panas sumer-sumer. Penurunan berat badan diakui pasien,
tetapi nafsu makan tidak menurun. Keluhan lain seperti sesak napas,
pilek, nyeri dada, dada berdebar-debar, pusing, mual, muntah dan nyeri

2
perut disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal Karena kondisi
kesehatan pasien yang menurun, pekerjaan sehari-hari pasien sebagai
supir terganggu. Pasien mengaku ayahnya menderita sakit TB.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat penyakit serupa :
2. Riwayat asma : disangkal
3. Riwayat pengobatan OAT : disangkal
4. Riwayat hipertensi : disangkal
5. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
6. Riwayat penyakit paru : disangkal
7. Riwayat penyakit jantung : disangkal
8. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
9. Riwayat penyakit liver : disangkal
10. Riwayat alergi : disangkal
11. Riwayat mondok : diakui, dirawat di RSU Maguan
Husada Wonogiri selama 2 hari

D. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat penyakit serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
4. Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat penyakit TB paru : diakui (ayah pasien)
6. Riwayat penyakit jantung : disangkal
7. Riwayat penyakit liver : disangkal
8. Riwayat alergi : disangkal

E. Riwayat Pribadi
1. Merokok :
2. Kontak penderita TB : diakui

3
3. Konsumsi alkohol : disangkal
4. Konsumsi obat bebas : disangkal
5. Konsumsi kopi :disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis, E4 V5M6
Berat badan : 52 kg
Vital sign
Tekanan darah : 100/60mmHg (duduk, pada lengan kanan)
Nadi : 68x/menit (isi dan tegangan cukup), irama
reguler
Respiratory rate : 20x/menit
Suhu : 36, 50C per aksiler
A. Kulit
Ikterik (-), petekie (-), purpura (-), hiperpigmentasi(-), turgor cukup,
kulit kering(-), hiperemis (-).

B. Kepala
Bentuk normocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka (-).

C. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi konjungtiva (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor diameter 4 mm/4 mm,
reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),mata cekung (-/-).

D. Hidung
Napas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).

E. Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-).

4
F. Mulut
Sianosis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), papil lidah
atrofi (-), mukosa pucat(-), lidah tifoid (-), luka pada tengah bibir (-),
luka pada sudut bibir (-), karies gigi (-).

G. Leher
Retraksi supra sternal (-), deviasi trakhea (-), peningkatan JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-/-).

H. Thorak
1. Paru
- Inspeksi :
Kelainan bentuk (-), simetris (+/+), spider nevi (-), pelebaran
vena superfisial (-), ketinggalan gerak (-/-), retraksi otot bantu
pernapasan (-).
- Palpasi :
Ketinggalan gerak
Depan Belakang
- - - -
- - - -
- - - -

Fremitus
Depan Belakang
n n N N
n n N N
n n N N

- Perkusi :

5
Depan Belakang
S S S S
S S S S
S S S S
S: Sonor
R: Redup

- Auskultasi :
Suara dasar vesikuler
Depan Belakang
+ + + +
+ + + +
+ + + +
Suara tambahan: wheezing (-/-), ronkhi basah kasar (-/-).

2. Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak.
- Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat.
- Perkusi : (batas jantung)
Batas kiri jantung
Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.
Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra.
Batas kanan jantung
Atas : SIC II linea parasternalis dextra.
Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra.
Kesan : batas jantung tidak melebar.
- Auskultasi : bunyi jantung I-II murni, reguler, murmur (-).

I. Abdomen
- Inspeksi : dinding abdomen sejajar dengan dinding dada,
distended (-),venektasi (-).

6
- Auskultasi : peristaltik normal.
- Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-), hepatomegali
(-), splenomegali (-).
- Palpasi : hepar danlien tidak teraba membesar, defans
muskuler (-), nyeri tekan (-).

J. Ekstremitas
- Superior : clubbing finger (-/-), palmar eritema (-/-), pitting oedema
(-/-), akral hangat (+/+).
- Inferior : clubbing finger (-/-), pitting oedema (-/-), akral hangat
(+/+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. PemeriksaanRadiologi
Pemeriksaan foto thorak (11Mei 2015)

7
Hasil pada foto thorak
Nama Tn. S (46 tahun) foto thorak PA didapatkan :
Thorax: PA , erect, simetris, inspirasi dan kondisi cukup
Hasil :
Pulmo : infiltrat di parahiler dektra dan sinistra
Cor : dalam batas normal
Kesan: TB paru lesi luas

B. Pemeriksaan Sputum BTA


Tanggal pemeriksaan Spesimen dahak Hasil
13 Mei 2015 Sewaktu Negatif
15 Mei 2015 Pagi Negatif
15 Mei 2015 Sewaktu Negatif

V. DIAGNOSIS
Observasi Hemoptosis et causa Tuberkulosis Paru BTA (-) Lesi Luas
Kasus Baru

VI. PENATALAKSANAAN
Oksigen 2 lpm
Inf. RL 30 tpm
Inj. LQ 500 mg/24 jam
Inj. Asam traneksamat 1 amp/8 jam
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
RHE 450/300/1000
Stobled caps 3x1
Prolivia 1x1
Lesipar 1x1

VII. PROGNOSIS
Quo ad sanam : Dubia ad bonam

8
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad vitam : Dubia ad bonam

9
VIII. FOLLOW UP
Tanggal Perjalanan penyakit Planning
13/5/2015 S/ pasien datang dengan keluhan P/ Oksigen 2 lpm
batuk keluar dahak disertai darah. Inf. RL 30 tpm
Keluhan batuk sejak 2 bulan, BB Inj. LQ 500 mg/24 jam
turun, nafsu makan baik. Sejak 5 Inj. Asam traneksamat
hari yang lalu dahak keluar 1 amp/8 jam
bercampur darah sebanyak 1 sendok Inj. Ranitidin 1 amp/12
makan. Pasien sering keluar jam
keringat malam. Di rumah, ayah RHE 450/300/1000
pasien menderita TB. Stobled caps 3x1
O/ TD=95/52, N=68, S=36.5, Prolivia 1x1
RR=24 Lesipar 1x1
KU: lemah
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)
Tho: P: SDV (+/+),Rh (-/-),Wh (-/-)
C: BJ I/II murni, reguler
Abd: NT (-)
Eks: akral hangat (+), oedem (-)
A/ TB paru LKKB
Obs. Hemoptisis
14/5/2015 S/ pasien masih batuk berdahak, P/ Oksigen 2 lpm
semalam agak banyak tapi darah Inf. RL 30 tpm
sudah tidak keluar, agak sesak (+), Inj. LQ 500 mg/24 jam
keringat malam (+), nafsu makan Inj. Asam traneksamat
baik, demam (-) 1 amp/8 jam
O/ TD=100/60, N=68, S=365, Inj. Ranitidin 1 amp/12
RR=20 jam
KU: lemah RHE 450/300/1000
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-) Stobled caps 3x1

10
Tho: P: SDV (+/+),Rh (-/-),Wh (-/-) Prolivia 1x1
C: BJ I/II murni, reguler Lesipar 1x1
Abd: NT (-)
Eks: akral hangat (+), oedem (-)
A/ TB paru LKKB
Obs. Hemoptisis
15/5/2015 S/ pasien masih batuk, dahak sulit P/ Oksigen 2 lpm
keluar, sesak napas (-), demam (-), Inf. RL 30 tpm
keringat dingin (-), nafsu makan Inj. LQ 500 mg/24 jam
baik Inj. Asam traneksamat
O/ TD=130/80, N=88, S=365, 1 amp/8 jam
RR=20 Inj. Ranitidin 1 amp/12
KU: lemah jam
K/L: CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-) RHE 450/300/1000
Tho: P: SDV (+/+),Rh (-/-),Wh (-/-) Stobled caps 3x1
C: BJ I/II murni, reguler Prolivia 1x1
Abd: NT (-) Lesipar 1x1
Eks: akral hangat (+), oedem (-)
A/ TB paru LKKB
Obs. Hemoptisis

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HEMOPTISIS

1. Definisi
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah,
atau sputum yang berdarah. Sputum mungkin bercampur dengan darah.
Mungkin juga seluruh cairan yang dikeluarkan paru-paru berupa darah. Setiap
proses yang mengakibatkan terganggunya kontinuitas aliran pembuluh darah
paru-paru dapat mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu
gejala yang serius. Mungkin ini merupakan manifestasi yang paling dini dari
tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain dari hemoptisis adalah karsinoma
bronkogenik, infarksi, dan abses paru-paru.
Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis. Hematemesis
disebabkan oleh lesi pada saluran cerna, sedangkan hemoptisis disebabkan oleh
lesi pada paru atau bronkus/bronkiolus.

2. Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya
pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis

12
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas
laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan
buatan (factitious).

3. Perbedaan Hemoptoe Dengan Hematemesis


Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah
(hemoptoe) bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada
batuk darah (hemoptoe) akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut: Tanda-
tanda batuk darah:
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan.
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam
saluran napas.
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan.
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari
kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman.
5. pH alkalis.
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru

Tanda-tanda muntah darah :


1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah.
2. Suara napas tidak ada gangguan.
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium.
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa
makanan.
5. pH asam.
6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe.
7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis.

Differentiating Features of Hemoptysis and Hematemesis


Hemoptysis Hematemesis

13
Hemoptysis Hematemesis
History

Absence of nausea and vomiting Presence of nausea and vomiting

Lung disease Gastric or hepatic disease

Asphyxia possible Asphyxia unusual

Sputum examination

Frothy Rarely frothy

Liquid or clotted appearance Coffee ground appearance

Bright red or pink Brown to black

Laboratory

Alkaline pH Acidic pH

Mixed with macrophages and Mixed with food particles


neutrophils

Diagnostic Clues in Hemoptysis: Physical History


Clinical clues Suggested diagnosis*
Anticoagulant use Medication effect, coagulation
disorder

Association with menses Catamenial hemoptysis

Dyspnea on exertion, fatigue, Congestive heart failure, left


orthopnea, paroxysmal nocturnal ventricular dysfunction, mitral valve
dyspnea, frothy pink sputum stenosis

Fever, productive cough Upper respiratory infection, acute


sinusitis, acute bronchitis,
pneumonia, lung abscess

History of breast, colon, or renal Endobronchial metastatic disease of


cancers lungs

14
Clinical clues Suggested diagnosis*
History of chronic lung disease, Bronchiectasis, lung abscess
recurrent lower respiratory track
infection, cough with copious purulent
sputum

HIV, immunosuppression Neoplasia, tuberculosis, Kaposis


sarcoma

Nausea, vomiting, melena, Gastritis, gastric or peptic ulcer,


alcoholism, chronic use of esophageal varices
nonsteroidal anti-inflammatory drugs

Pleuritic chest pain, calf tenderness Pulmonary embolism or infarction

Tobacco use Acute bronchitis, chronic bronchitis,


lung cancer, pneumonia

Travel history Tuberculosis, parasites (e.g.,


paragonimiasis, schistosomiasis,
amebiasis, leptospirosis), biologic
agents (e.g., plague, tularemia, T2
mycotoxin)

Weight loss Emphysema, lung cancer,


tuberculosis, bronchiectasis, lung
abscess, HIV

Penyebab dari batuk darah (hemoptoe)


a. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh
karena jamur dan sebagainya.
b. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
c. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.

15
d. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
e. Benda asing di saluran pernapasan.
f. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah :


1. Tumor
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2. Infeksi
a. Aspergilloma.
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
3. Infark Paru
4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpastures syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechets syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8. Bleeding diathesis.

Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi


dalam 3 kelompok yaitu : infeksi, tumor dan kelainan

16
kardiovaskular. Infeksi merupakan penyebab yang sering didapatkan antara
lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda,
tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis merupakan penyebab
yang sering didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus
merupakan penyebab yang sering didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan
bronkiektasis.

4. Patofisiologi Hemoptisis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan
untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.
Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang
merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori
terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah
lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa
terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari
arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada
hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
a. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh
darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah
cukup untuk menimbulkan batuk darah.
b. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada
pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
c. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar
seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
d. Kelainan membran alveolokapiler

17
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti
padaGoodpastures syndrome.
e. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal
dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini
berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada
bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial.
Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah
bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat
menimbulkan hemoptisis masif.
f. Invasi tumor ganas
g. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya
batuk darah.

5. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak
diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas
penegakan diagnosis. Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada
wanita, berumur sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti
sendiri sehingga prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai
berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan

18
Pada prinsipnya berasal dari :
a. Saluran napas
- Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru,
pneumonia dan abses paru.
- Menurut Bannet, 82 86% batuk darah disebabkan oleh
tuberkulosis paru, karsinoma paru dan bronkiektasis.
- Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis),
silikosis, penyakit oleh karena cacing.
b. Sistem kardiovaskuler
- Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
- Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma
aorta.
c. Lain-lain
Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti
hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus
sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat
antikoagulan
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat
dibagi atas :
1. Hemoptisis massif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24
jam, akan tetapi Hb kurang dari 10 g%.
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari
10 g%, tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak
berhenti.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada
hemoptoe selain terjadi vasokonstriksi perifer, juga terjadi

19
mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu
memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe
juga mempunyai kelemahan oleh karena :
o Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan
sputum dan kadang-kadang dengan cairan lambung,
sehinga sukar untuk menentukan jumlah darah yang
hilang sesungguhnya.
o Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-
sama dengan tinja, sehingga tidak ikut terhitung
o Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.

Nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :


Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik (hypovolemik shock).
Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat
dinilai dengan adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan
aritmia, gangguan mekanik pada jantung, maupun aliran darah serebral.
Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas darah,
disamping menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat
kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut
berupa asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan
hipovolemik.

Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:


Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
Lamanya perdarahan.
Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat
kesadaran.

20
Klasifikasi menurut Pusel :
+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam
sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang,
positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

6. Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar-
benar bukan dari muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung.
Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa
pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya
asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan
terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar
dari hidung.
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain
perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga
pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat
disesuaikan.
1) Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya
diusahakan untuk mendapatkan data-data :
- Jumlah dan warna darah
- Lamanya perdarahan
- Batuknya produktif atau tidak
- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
- Sakit dada, substernal atau pleuritik

21
- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi
badan dan batuk
- Wheezing
- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
- Perokok berat dan telah berlangsung lama
- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
- Hematuria yang disertai dengan batuk darah.

Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat


digunakan petunjuk sebagai berikut :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach
tenggorokan, ingin distress
batuk
2. Onset Darah dibatukkan, Darah dimuntahkan
dapat disertai batuk dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, Sisa makanan
mikroorganisme,
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan Gangguan lambung,
Dahulu paru kelainan hepar
8. Anemia Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)

22
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang
dapat mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising
sistolik dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum
nasalis, teleangiektasi.

3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada
setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat
menunjukkan tempat perdarahannya.

4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan
demikian sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu
yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan,
bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga
dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi
perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior,
bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal
sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah

23
serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan
penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan.

7. Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis
yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia
yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat
kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk
dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan
renjatan hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk
mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
Batuk secara perlahan lahan untuk mengeluarkan darah di dalam
saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
Dada dikompres dengan es kap, hal ini biasanya menenangkan
penderita.

24
Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat
hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan
karbazokrom.
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan
yang terjadi.
Pemberian oksigen
Tindakan selanjutnya bila mungkin :
Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan
pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70%
menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10
g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam
dantetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10
g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.

25
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru
dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari
segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau
tanpa torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan.
Metode yang mungkin digunakan adalah :
- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan
bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang
berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4C sebanyak
50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap
dengan suction.
- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm
penampang 8,5 mm.

8. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe,
yaitu ditentukan oleh tiga faktor :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran
pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan
ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

9. Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptoe yang rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan
prognosis :
1) Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.

26
2) Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3) Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita.(1,14)

B. TUBERKULOSIS PARU

1. Definisi
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya
masuk kedalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru.
Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus)
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi
pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.

2. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa
tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang
yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.

3. Patofisiologi
Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran
pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis
terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel, kuman ini tidak menghasilkan
toksin yang di kenal. Dalam tetesan droplet yang terhirup dan mencapai

27
alveoli. Penyakit timbul akibat menetapnya dan berproliferasinya kuman
tersebut dan adanya interaksi dari tuan rumah, misalnya basil tidak virulen
yang di suntikan contoh BCG hanya dapat hidup selama beberapa bulan atau
tahun pada tuan rumah normal. Resistensi dan hipersensitivitas tuan rumah
sangat mempengaruhi perkembangan penyakit.
Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel, sel
efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit biasanya sel T adalah sel
imunoresponsinya. Tipe imuniitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan
makrofag yang di aktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan
limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas atau reaksi
lambat.
Pembentukan dan perkembangan lesi-lesi dan penyembuhannya atau
progresifnya terutama ditentukan oleh:
1. Jumlah kuman yang masuk dan perkembangbiakan selanjutnya.

2. Resistensi dan hipersensivitas dari hospes.


Saat masuk ke tubuh manusia kuman mycobacterium tuberculosis
akan membentuk dua tipe lesi utama:
1. Tipe eksudatif, ini terdiri dari reaksi peradangan akut, lekosit
polimorfonuklir dan kemudian, monosit sekitar basil tuberkel. Tipe ini
terlihat pada jaringan paru-paru, dimana lesi ini mirip dengan
pnemonia bakterie, tipe ini dapat sembuh dengan resolusi sehingga
seluruh eksudat di absorpsi sehingga mengakibatkan nekrosis massif
dari jaringan atau dapat berkembang menjadi tipe produktif, selama
fase ini tes tuberculin positif.
2. Tipe produktif, bila berkembang maksimal lesi ini akan menjadi suatu
granuloma menahun yang terdiri dari 3 daerah:
Daerah sentral yang luas, yang mempunyai sel sel inti banyak yang
mengandung basil tuberkel.
Daerah tengah terdiri dari sel-sel epiteloid pucat.

28
Derah perifer yang terdiri dari fibroblas, limfosit dan monosit
kemudian terbentuk jaringan fibrosa perifer dan daerah sentral
mengalami nekrosis dan membentuk kaverne, selanjutnya lesi ini
sembuh dengan fibrosis atau kalsifikasi.
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening
regional, basil dapat menyebar lebih lanjut dan mencapai aliran darah yang
selanjutnya menyebar ke seluruh organ, tetapi kuman ini mutlak hidup
ditempat yang memiliki kandungan oksigen yang tinggi oleh karena itu lokasi
utama penyakit ini adalah di paru.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit,
reaksi ini membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi
memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi seperti ini
disebut dengan nekrosis kaseosa. Lesi primer paruparu dinamakan fokus
Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi
primer dinamakan kompleks Ghon. Ini dapat dilihat pada orang sehat yang
selalu menjalani pemeriksaan radiologi.

Cara penularan kuman mycobacterium tuberculosis:


1. Kuman dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita TB menjadi droplet
nuclei (partikel kecil yang merupakan gabungan antara sel tubuh dan sel
yang sudah terinfeksi. Setiap kali penderita TB batuk akan dikeluarkan 3000
droplet yang infektif (memiliki kemampuan menginfeksi), partikel infeksi
ini dapat hidup pada udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya
sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana
lembab kuman dapat hidup berhari-hari.
2. Kuman yang terhirup dapat menghindari pertahanan mekanik saluran napas
bagian atas dan akan menuju alveoli dimana infeksi awal terjadi, kuman ini
akan membentuk sarang primer dan di ikuti pembesaran kelenjar getah
bening yang disebut komplek primer.

29
3. Komplek primer selanjutnya mengalami perjalanan penyakit tergantung
virulensi, jumlah kuman, dan ketahanan tubuh penderita. Ini dapat sembuh
sama sekali tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit jaringan paru
atau berkomplikasi dan menyebar baik secara hematogen atau limfatogen.
Tidak semua orang yang menghirup kuman TBC akan tertular penyakit
tersebut. Pada orang yang sehat, biasanya kuman tersebut menjadi tidak aktif
dan orang itu tetap sehat tetapi kuman tersebut akan jadi aktif bila:
Kekurangan gizi
Kondisi fisik yang lemah
Terkena penyakit tertentu sepeti HIVdan Diabetes melitus
Pecandu obat-obat terlarang
Menggunakan hormon steroid
Perokok berat

Kuman-kuman akan mulai berkembang-biak dan menimbulkan penyakit


TBC. Timbulnya penyakit bisa langsung terjadi setelah terinfeksi atau butuh
waktu tahunan untuk berkembang.

Gambar1. Penyebaran bakteri tuberkulosis

30
Gambar2. Mycobacterium tuberculosis

4. Manifestasi Klinis
Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti
batuk berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam
hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat
menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian.
Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan:
1. Gejala Respiratorik
Batuk lebih dari 3 minggu
Dahak (sputum)
Batuk darah
Sesak nafas
Nyeri dada
Wheezing
2. Gejala Sistemik
Demam dan menggigil
Penurunan berat badan
Rasa lelah dan lemah (Malaise)
Berkeringat banyak terutama di malam hari
Tidak ada nafsu makan (Anoreksia)
Sakit-sakit pada otot (Mialgia)

5. Klasifikasi Tuberkulosis Paru


a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena

31
1) Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yangmenyerang jaringan
(parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaputparu) dan kelenjar pada
hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru.
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung(pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal,saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum
1) Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah :
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
b) Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan ganbaran tuberculosis
aktif
c) Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif
2) Tuberkulosis paru BTA (-)
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif
b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan Myccobacterium tuberculosis positif
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudahpernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)

32
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatpengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh ataupengobatan lengkap
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusanatau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan putus
berobat 2 bulan atau lebihdengan BTA positif atau BTA negatif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembalimenjadi positif pada bulan kelima atau lebih selamapengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TBlain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalamkelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasilpemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang,harus
dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik,
danpertimbangan medis spesialistik.
TB paru juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) TB Paru BTA (+) yaitu:
Dengan atau tanpa gejala.
Gambaran radiology sesuai dengan TB paru.
2) TB paru BTA (-)
Gejala klinik dan gambaran radiologi sesuai dengan TB paru.
BTA (-).
3) Bekas TB paru
BTA (-)
Gejala klinik tidak ada, ada gejala sisa akibat kelainan paru yang di
tinggalkan.

33
Radiolgi menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, terlebih
gambaran serial menunjukan foto yang sama
Riwayat pengobatan TB (+)
Sedangkan WHO membagi penderita TB atas 4 kategori:
1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan
berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis,peritonitis,
spondilitis dengan gangguan neurologik dan lain-lain.
2. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).
3. Kategori III: kasus dengan dahak (-), tetapi kelainan paru tidak luas dan
kasus TB diluar paru selain kategori I.
4. Kategori IV: tuberkulosis kronik.

6. Kriteria Diagnosis
Diagnosis penyakit tuberculosis didasarkan pada:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda:
a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronkhi basah)
b. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum
c. Secret di saluran nafas dan ronkhi
d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan
langsung dengan bronchus.
2. Laboratorium
a. Kultur sputum.
b. Mantoux Test/Tuberkulin Test.
c. Biopsi jarum pada jaringan paru.
3. Radiologis
Foto Thoraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang
diagnosis TB yaitu:
a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus
bawah
b. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular)

34
c. Adanya kavitas, tunggal, atau ganda
d. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru
e. Adanya kalsifikasi
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
g. Bayangan milier.

Gambar3: Uji Tuberkulin

7. Penatalaksanaan Medis
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegahkematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
danmencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

35
b. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.

c. Tahap Awal (Intensif)


Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

d. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

e. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia


Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
PenanggulanganTuberkulosis di Indonesia:

36
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paketberupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori
anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan
inidikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin,Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
PaduanOAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan
pasienyang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk


paket,dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjaminkelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1)
paket untuksatu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

f. Panduan OAT dan Peruntukannya


Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.

37
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.
Pasien TB ekstra paru.

Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobatisebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

38
OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

39
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada
pasien, baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih
rendahdaripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkanterjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

g. Pemantauan Hasil Kemajuan Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan
spesimensebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu
spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif.

40
41
h. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada
satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkaptetapi
tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

42
Meninggal
Pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui.
Default (Putus berobat)
Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

8. Pengobatan TB pada Keadaan Khusus


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
denganpengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua
OATaman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak
dapatdipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan
dapatmenembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwakeberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proseskelahiran dapat berjalan
lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindardari kemungkinan tertular TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibumenyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapatpaduan OAT secara
adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan caraterbaik untuk mencegah
penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan

43
bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebutsesuai dengan berat badannya.

c. Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan
KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut.Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-
hormonal,atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mg).

d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDSsama
efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS.Prinsip pengobatan
pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukanpengobatan TB. Pengobatan
ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan
standar WHO. Penggunaan suntikanStreptomisin harus memperhatikan
Prinsip-prinsip Universal Precaution(Kewaspadaan Keamanan Universal)
Pengobatan pasien TB-HIVsebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu
UPK untuk menjagakepatuhan pengobatan secara teratur.Pasien TB yang
berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk kepelayanan VCT
(Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukareladengan test HIV).

e. Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
Padakeadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat
diberikanstreptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnyamenyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid
(H)selama 6 bulan.

44
f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3kali
OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harusdihentikan. Kalau
peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapatdilaksanakan atau
diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid
(Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yangdapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

g. Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melaluiempedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik.OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-
pasiendengan gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui
ginjal, oleh karena ituhindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan
ginjal. Apabilafasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetappaling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.

h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat
antidiabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrolgula
darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan antidiabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasiretinopathy diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberianetambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut.

i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:

45
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per
hari,kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikandengan
jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.

j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),adalah:
1) Untuk TB paru:
o Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan
carakonservatif.
o Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak
dapatdiatasi secara konservatif.
o Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulangyang
disertai kelainan neurologik.

8. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat denganpendekatan
gejala.
kasus-kasus efek samping obat dapatdilakukan dengan cara sebagai
berikut:Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi
hipersensitivitasatau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya,
semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan

46
prinsipdechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang
dimulaidengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas
karenareakasi hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah
diketahui,misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka
pengobatanTB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila
mungkin, gantiobat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan
mungkin perludiperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya
kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT
yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)dalam
pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksihipersensitivitas
terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat
dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukandesensitisasi pada pasien
TB dengan HIV positif sebab mempunyai risikobesar terjadi keracunan
yang berat.

9. Prognosis
1. Jika berobat teratur sembuh total (95%).
2. Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang mungkin
relaps.

10. Komplikasi
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena
tersumbatnya jalan napas.
2. Atelektasis (parumengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus
akibat retraksi bronchial.

47
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)
pada paru
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, dan ginjal.

48
BAB III
KESIMPULAN

1. Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah,


atau sputum yang berdarah. Sputum mungkin bercampur dengan darah.
Mungkin juga seluruh cairan yang dikeluarkan paru-paru berupa darah.
Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis.
2. Penyebab hemoptisis yaitu infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru,
pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur dan sebagainya, kardiovaskuler,
(stenosis mitralis dan aneurisma aorta), neoplasma, terutama karsinoma
bronkogenik dan poliposis bronkus, gangguan pada pembekuan darah
(sistemik), benda asing di saluran pernapasan dan faktor-faktor ekstrahepatik
dan abses amuba.
3. Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Gejala yang muncul dapat berupa
gejala respiratorik maupun gejala sistemik. Penegakan diagnosis sangat
penting, terkait dengan penatalaksanaan dan pencegahan terhadap rantai
penularan kuman Mycobacterium tuberculosis.

49
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. Diagnostic Standard and Classification of


Tuberculosis in Adults and Children. 2000. USA.

Bahar, A. Tuberkulosis Paru dalam Soeparman, WS. Ilmu Penyakit Dalam, jilid
II, Balai Penerbit FKUI, 2003: Jakarta.

Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis, 2007: Jakarta.

E, Jewetz, Mikrobiology Untuk Profesi Kesehatan edisi 16, Fransisico


(terjemahan), EGC, 2004: Jakarta.

Wilson, Price, Patofisiologi,Konsep-konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ed,4.


EGC, 2004: Jakarta.

World Health Organization.Treatment of Tuberculosis Guideline. 2010 : Geneva,


Switzerland

World Health Organization.Global Tuberculosis Control. 2011 : Geneva,


Switzerland

50

Anda mungkin juga menyukai