Anda di halaman 1dari 24

Presentasi Kasus dan Portofolio

PATOFISIOLOGI
DEMAM TIFOID

Oleh:
Dr. Melissa A. Lapian

Pendamping:
Dr. Sarlly Veronica

Wahana:
RSUD Anuntaloko Parigi

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2015
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Peserta : dr. Melissa A. Lapian

Wahana : RSUD Anuntaloko Parigi

Bidang : Portofolio Kasus Patofisiologi Demam Tifoid

Tanggal Presentasi : 13 Februari 2016

Mengetahui :

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Sarlly Veronica dr. Rustan Mangga


PORTOFOLIO
Kasus-1

Topik : Patogenesis Demam Tifoid


Tanggal (Kasus) : 10 November 2015 Presenter : dr. Melissa A. Lapian
Tanggal Presentasi : 13 Februari 2016 Pendamping : dr. Sarlly Veronica
Tempat Presentasi : RSUD Anuntaloko Parigi
Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan
Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : laki-laki 46 tahun, Demam Tifoid
Tujuan : Patofisiologi Demam Tifoid
Bahan Bahasan : Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara membahas Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos

Data Nama: Tn.EW Umur: 46 tahun Pekerjaan: PNS No. Reg : 002122
Pasien: Alamat: Maesa
Agama: Kristen Bangsa: Indonesia
Nama RS: Anuntaloko Parigi Telp : Terdaftar sejak :
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keadaan umum tampak sakit sedang dengan keluhan utama demam terus-menerus selama
7 hari, meningkat terutama pada sore hari dan tidak begitu panas pada pagi dan siang hari
disertai menggigil dan keringat dingin, disertai gejala konstitusional (malaise, anoreksia,
dan nyeri perut) dan gejala gastrointestinal yang mendominan (mual)
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien mengkonsumsi obat penurun panas saat demam
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Sejak 7 hari sebelum berobat ke rumah sakit, pasien mengeluh demam yang
dirasakan terus-menerus sepanjang hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak
begitu panas pada pagi dan siang hari. Menggigil ada, berkeringat dingin ada, batuk pilek
tidak ada. Pasien tampak lesu dan tidak nafsu makan. Lidah terasa pahit. Pasien juga
mengeluh nyeri di daerah ulu hati disertai mual. Buang air besar dan buang air kecil
normal.
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
5. Riwayat Pekerjaan : -
6. Lain-lain :
Riwayat bepergian ke luar kota dalam 1 bulan terakhir disangkal
Daftar Pustaka:
1. Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing.
Edisi 5. Jakarta, 2009. Hal 2797-2805.
2. Aziz R, Sidartawan S, Anna UZ, dkk. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 2. Jakarta, 2006. Hal 139-141.
3. Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5 Days or
Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575. Bangladesh: 1993.
4.John LB. Typhoid Fever. Medscape. 2012. Dapat diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. Diakses 10 februari 2015.
5.Siti FS. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: 2006.
6. Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya Baru. Edisi 5.
Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.
7. The American Society of Health System Pharmacists. Ceftriaxone Injection. Maryland.
2013. Dapat diakses di http://www.nlm.nih.gov/midlineplus/meds. Diakses 15 Februari
2014.
8. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta. 7.
9. Isselbacher, Kurt, 2010. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 13. Volume 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
10. Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta.
EGC. 1141-1155
11. Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam : Edhiwan P., J Teguh
W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik . Bandung. Concept Publishers. 28-29.
12. Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta.
Hasil Pembelajaran
1. Patofisiologi demam tifoid

1. Subjektif :
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh demam yang terus-menerus selama
7 hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak begitu panas pada pagi dan siang
hari disertai menggigil dan keringat dingin, disertai gejala konstitusional (malaise,
anoreksia, dan nyeri perut) dan gejala gastrointestinal yang mendominan (mual).
Keluhan tersebut dicurigai dapat disebabkan oleh demam tifoid atau malaria.
2. Objektif :
Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (laboratorium) sangat mendukung
diagnosis demam tifoid. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan penemuan:
Demam 7 hari yang meningkat pada sore hari
Gangguan gasrointestinal (nyeri epigastrium dan mual) serta gejala konstitusional
(malaise, sakit perut dan anoreksia)
Lidah tampak kotor dengan tepi hiperemis (typhoid tongue)
Bradikardi relatif
Pemeriksaan widal typhii O 1/240
3. Assessment :
Seorang laki-laki berumur 46 tahun masuk ke RS dengan keluhan demam yang
dirasakan sejak 7 hari sebelum berobat. Demam terus menerus sepanjang hari, meningkat
terutama pada malam hari dan tidak begitu panas pada pagi dan siang hari, disertai
menggigil, disertai keluhan gastrointestinal seperti mual, nyeri perut, tidak nafsu makan.
Dari keluhan utama berupa demam lama dapat dipikirkan beberapa kemungkinan
penyebab, antara lain demam tifoid, malaria dan demam berdarah.
Berdasarkan anamnesa, kemungkinan malaria masih belum dapat disingkirkan
meskipun dari anamnesis didapatkan bahwa pola demam tidak khas untuk malaria, ada
keluhan menggigil, dan riwayat bepergian ke wilayah endemik malaria disangkal. Untuk
memastikan diagnosis malaria perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
apusan darah tebal dan tipis. Dari sifat demam yang remitten dan diikuti oleh adanya
keluhan gastrointestinal (mual, nyeri perut), maka kecurigaan sementara diagnosa pasien
ini adalah demam tifoid, meskipun harus dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang laboratorium.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, pasien tampak sakit sedang dengan suhu tubuh
38,50C. Hal ini menunjukkan pasien dalam keadaan demam. Lidah tampak kotor dengan
tepi yang hiperemis menunjukkan gambaran typhoid tongue. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan nyeri tekan epigastrium. Temuan yang didapatkan dari pemeriksaan fisik ini
semakin menguatkan kecurigaan diagnosis sementara demam tifoid.
Untuk lebih memastikan maka dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan serologi widal yang bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi di dalam
darah terhadap antigen kuman Salmonella typhi/paratypi. Uji ini dilakukan pada awal
minggu kedua sakit dan dinyatakan positif bila titer O 1/200 atau meningkat lebih dari
4x dalam interval 1 minggu. Pada pasien ini, pemeriksaan serologi widal menunjukkan
hasil kadar titer O 1/240. Dari hasil pemeriksaan widal sudah dapat dipastikan pasien ini
menderita demam tifoid. Maka tatalaksana yang sesuai adalah pemberian antibiotik
cefotaxime dan terapi simptomatik.
Plan :
Diagnosis : Demam Tifoid

Penatalaksanaan :
Tirah baring total dan mobilisasi bertahap
Diet bubur
IVFD Ringer Laktat 24 tetes/menit
Cefotaxime 1 gr/8 jam/IV
Paracetamol 500 mg 3x1(bila suhu > 37,50C)
Ranitidine 1 ampul/12 jam/IV
Ondansentron 1 ampul/8 jam/IV

Edukasi keluarga :
Memberitahu keluarga bahwa penyakit ini membutuhkan istirahat total
Menjaga pola makan pasien dengan diet lunak (bubur saring) yang diberikan dalam
porsi sedikit tapi sering, mengandung kalori dan protein yang tinggi, serta tidak
merangsang (mengandung gas, pedas, asam, dan bebas serat)
Menjelaskan bahwa pengobatan memakan waktu selama 10-14 hari
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran.1
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau Salmonella
paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa demam, malaise, nyeri
perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera ditangani akan memberat dan
mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal, perforasi usus, dan kematian dalam
jangka waktu 1 bulan.4
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut usus halus yang disebabkan
infeksi Salmonella typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang
sudah terkontaminasi oleh feses atau urin dari orang yang terinfeksi salmonella. Tifoid
disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis.12

2. EPIDEMIOLOGI
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia
pada tahun 1990 sebesar 9,2 % dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi
menjadi 15,4 % per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari
tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar
35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.1
Insiden demam tifoid bervariasi ditiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Didaerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan
didaerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens
diperkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadahi serta
sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan.12
Case fatality rate (CFR) demam tifoid ditahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah
tangga departemen kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak
termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1
3. ETIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, basil Gram negatif, bergerak dengan
rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang kurangnya tiga macam antigen yaitu
antigen O (somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida ), antigen H ( flagela ) dan
antigen K ( selaput ). Dalam serum penderita terdapat zat anti ( aglutinin ) terhadap ketiga
macam antigen tersebut.12
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein, dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel dan dinamakan endotoksin. S. typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.8
Identifikasi Salmonella dari tempat yang normalnya steril, seperti darah, cairan
serebrospinal, dan cairan sendi tidak memerlukan media khusus. Tinja mengandung
banyak mikroorganisme lain sehingga memerlukan media selektif seperti agar sulfat
bismut atau agar deoksilat, yang mengandung penghambat flora tinja normal. Spesimen
tinja yang diletakkan dalam kaldu yang diperkaya sebelum dilapiskan pada media agar
akan meningkatkan jumlah organisme.7

4. PATOGENESIS
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel Peyers Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyers Patch, nodus limfatikus mesenterikus,
dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.1
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2), namun sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk
diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah
105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun
seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat-obatan seperti antasida, H2-bloker,
dan Proton Pump Inhibitor.4
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejenum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ RES ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda-tanda dan
gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa
pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi
konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak
gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3
hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyers patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar Peyers patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi
sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.1,4

Makanan yang terkontaminasi kuman S. Typhi

Kuman masuk ke dalam saluran pencernaan ( jumlah MO infektif : 105-107 )

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung Sebagian lain lolos ke dalam usus

Ketika imunitas humoral mukosa (IgA) kurang baik

Kuman penetrasi ke sel-sel epitel usus halus

Penetrasi ke bagian lebih dalam subepitel sampai di lamina propia

Kemudian kuman berkembang biak

Dalam lamina propia, kuman difagosit oleh makrofag

Bakteri dapat berkembang biak dalam makrofag

Dibawa ke plakat peyer ileum distal, kemudian ke kelenjar getah bening, selanjutnya ke
duktus torasikus, lalu masuk dalam sirkulasi darah ( bakterimia 1)
Menyebar ke seluruh organ RE terutama hati dan limpa melalui sirkulasi darah

Hepatosplenomegali dalam hati dan limpa: bakteri keluar dari makrofag

Dalam hati dan limpa : bakteri keluar dari makrofag

Bakteri berkembang biak di luar sel / ruang sinusoid

Dapat masuk kembali ke sirkulasi darah (bakterimia 2) Masuk ke kandung empedu

dan berkembang biak

respon imun dalam darah diekskresikan ke dalam lumen usus

bersama cairan empedu

sebagian masuk kembali sebagian lain keluar

dalam darah melalui feses

makrofag teraktivasi & hiperaktif

dalam plakat peyer

fagositosis bakteri reaksi hipersensitivitas tipe lambat

pelepasan mediator inflamasi bentuk lesi & jar. Nekrotik

pada jaringan limfatik


IL-1 TNF IL-6

Demam malaise mialgia sakit kepala

Menurut Rudolph patogenesisnya adalah setelah tertelan, bakteri harus menembus


beberapa mekanisme pertahanan tubuh pejamu sebelum menimbulkan infeksi. Biasanya
Salmonella mati pada lingkungan yang bersifat asam, oleh karena itu terjadi pengurangan
inokulum yang banyak setelah bersentuhan dengan isi lambung. Pengurangan selanjutnya
terjadi di usus halus melalui efek antibakteri langsung dari pertarungan organisme dengan
flora usus normal. Gangguan mekanisme pertahanan pejamu ini meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi.
Ketika masuk ke dalam usus halus, bakteri melekat pada permukaan epitel, yang
menimbulkan kerusakan sel pada brush border. Invasi mukosa sesungguhnya oleh salah
satu dari dua mekanisme yang berbeda menimbulkan infeksi klinis. Proses pertama ialah
masuknya segera bakteri secara langsung ke epitel, kedua terjadi proliferasi intraluminal
organisme menjadi inokulum yang cukup menaklukkan pertahanan pejamu setempat.
Kemudian salmonella memasuki sitoplasma epitel melalui invaginasi membran sel dan
tinggal di dalam vakuola ini sampai dihantarkan ke lamina propria, tempat terjadinya
reaksi peradangan yang hebat. Bercak Peyer di ileum distal adalah tempat primer penetrasi
bakteri. Sistem retikuloendotelial slanjutnya akan dikolonisasi melalui aliran limfe. Limfe
yang mengalir melalui duktus torasikus menghantarkan bakteri masuk ke aliran darah, dari
sini terjadi diseminasi ke organ yang jauh. Sel retikuloendotelial di sumsum tulang, hati
dan limpa memakan bakteri yang menyebar secara hematogen ini, yang kadang kadang
menimbulkan fokus infeksi. Organisme yang menyebar melalui darah mencapai kandung
empedu, memperbanyak diri, dan masuk empede serta usus halus secara sekunder.
Salmonella dapat hidup di dalam sel untuk waktu lama. S. typhi dietemukan di dalam
fagosit mononuklear di jaringan limfe pejamu, ketidakmampuan monosit menghancurkan
S. typhi secara efektif setelah melakukan fagositosis mungkin berperan pada penyebaran
luas organisme penyebab selama demam tifoid. S. typhi virulen juga dapat menghalangi
metabolisme oksidatif leukosit polimorfonuklear, yang mencegah penghancuran bakteri
yang difagosit pada stadium dini infeksi. Selanjutnya, kemampuan menolak imunitas
selular pejamu bisa berperan pada patofisiologi yang menyebabkan demam tifoid.
(Rudolph, 2006)
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu :
a. Penempelan dan invasi sel sel M Peyers patch
b. Bakteri bertahan hidup dan bermultifikasi di makrofag Peyers patch, nodus
limfatikus mesenterikus, dan organ organ ekstra intestinal sistem
retikuloendotelial
c. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
d. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. 8

Gambar 2. Patogenesis Demam Tifoid

Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan memasuki
saluran cerna. Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang
lolos akan masuk ke usus halus. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada mukosa baik
usus halus maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan
berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka
akan terjadi degenerasi brush border.
Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted cytoplasmic membrane
mirip dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah melewati epitel, bakteri akan
memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga melakukan penetrasi melalui intercellular
junction. Dapat dimungkinkan munculnya ulserasi pada folikel limfoid (Singh, 2001). S.
typhi dapat menginvasi sel M dan sel enterosit tanpa ada predileksi terhadap tipe sel
tertentu (Santos, 2003).
Evolusi dari S. typhi sangat mengagumkan. Pada awalnya S. typhi berpfoliferasi di
Payers patch dari usus halus, kemudian sel mengalami destruksi sehingga bakteri akan
dapat menyebar ke hati, limpa, dan sistem retikuloendotelial. Dalam satu sampai tiga
minggu bakteri akan menyebar ke organ tersebut. Bakteri ini akan menginfeksi empedu,
kemudian jaringan limfoid dari usus halus, terutamanya ileum. Invasi bakteri ke mukosa
akan memicu sel epitel untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6, IL-8, TNF-
, INF, GM-CSF (Singh, 2001).

PATOLOGI
Huckstep (1962) dalam Singh (2001) membagi keadaan patologi di Payer patch akibat
S. typhi menjadi 4 fase sebagai berikut.
1. Fase 1 : hiperplasia dari folikel limfoid.
2. Fase 2 : nekrosis dari folikel limfoid pada minggu kedua yang mempengaruhi
mukosa dan submukosa.
3. Fase 3 : ulserasi sepanjang usus yang memungkinkan terjadinya perforasi dan
perdarahan.
4. Fase 4 : penyembuhan mungkin terjadi pada minggu keempat dan tidak terbentuk
striktur.

Ileum memiliki jumlah dan ukuran Payers patch yang lebih banyak dan besar.
Meskipun kebanyak infeksi berada di ileum, namun jejunum dan usus besar juga mungkin
mengalami kelainan dari folikel limfoid.
Egglestone (1979) dalam Singh (2001) mengatakan bahwa perforasi pada demam
tifoid biasanya sederhana dan mempengaruhi pinggiran antimesentrik dari usus dimana
lubang muncul.
Ditemukan pembesaran dan kongesti dari limpa dan kelenjar mesentrik pada sistem
retikuloendotelial. Pada biopsi, kemungkinan ditemukan nekrosis fokal hati yang
berhubungan dengan infiltrasi mononuklear (nodul tifoid) dilatasi dan kongesti sinusoidal
dan infiltrasi sel mononuklear pada area portal.
Gambaran yang penting untuk infeksi S. typhi adalah adanya infiltrat neutrofil dan
pada hewan coba ditemukan dominasi dari leukosit mononuklear (Santos, 2003).

PATOFISIOLOGI
Adanya infeksi dari S. typhi baik pada saluran cerna maupun organ lain, akan
menyebabkan reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi ini akan menghasilkan pirogen endogen
sehingga set point tubuh meningkat, dan suhu tubuh pun meningkat. Rasa tidak nyaman
pada bagian perut juga merupakan hasil reaksi inflamasi pada saluran cerna yang
menghasilkan bradikinin. Adanya bradikinin akan menimbulkan sensasi nyeri. Sedangkan
endotoksin yang dihasilkan S. typhi dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular,
gangguan neuropsikiatrik, dan gangguan pernafasan (Sudoyo, 2006).
5. GAMBARAN KLINIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus
tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.1
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam
minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif
(peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang
berselaput (Kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor), Hepatosplenomegally,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis.
Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia.1

6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia,
dapat juga ditemukan kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan
dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah (LED) pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT
dan SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur bakteri. Sampai
sekarang, kultur menjadi standar baku dalam penegakan diagnostik. Selain uji widal,
terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat
dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara uji TUBEX,
Typhidot dan dipstick.1
b. Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.
Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi
dengan antibody yang disebu dengan agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal
adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Maksud uji
widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu : aglutinin O pada tubuh kuman, Aglutinin H pada flagella kuman dan
aglutinin Vi pada simpai kuman.1
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan agglutinin H yang digunakan
untuk diagnosisn demam tifoid. Semakin tinggi titernya maka semakin besar kemungkinan
terinfeksi oleh kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu
keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. pada orang yang telah sembuh
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.1
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu pengobatan dini dengan
antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, waktu
pengambilan darah, daerah endemik atau non endemik, riwayat vaksinasi, reaksi
anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat
infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium.1
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna
diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja,
hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda diberbagai laboratorium
setempat.1
c. Uji tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan
mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Salmonella typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida Salmonella typhi yang terkonjugasi
pada partikel magnetic latex. Hasil positif ujin tubex ini menunjukkan terdapat infeksi
Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada Salmonella typhi.
Infeksi oleh Salmonella paratyphi akan memberikan hasil negatif.1
Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga dapat merangsang
respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa
bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung
cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5
untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji
tubex hanya dapat mendeteksi lgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.1
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen meliputi :
tabung berbentuk V yang berfungsi meningkatkan sensitivitas, reagen A yang
mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen O9, reagen B yang
mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal
spesifik dengan antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum
(25 L) dicampurkan kedalam tabung dengan satu tetes (25 L) reagen A. setelah itu dua
tetes reagen B (50 L) ditambahkan kedalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada kelima
tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang
mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interretasi
hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan
hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat
dilihat pada tabel berikut :
Sk Interpretasi
or
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.
Ulangi pengujian apabila masih meragukan
lakukan pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Tabel 2. Interpretasi hasil uji Tubex (dikutip dari kepustakaan 1)

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. ketika
diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet
yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna
yang dikandung oleh reagen B. sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang
sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung
antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan
reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan.6

d. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen
Salmonella typhi. Seberat 50 kD, yang terdapat dalam strip nitroselulosa.1
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesay 76,6% dan efisiensi
uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang
dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen
dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji tubex yaitu
79% dan 89% dengan 78% dan 89%.1
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder IgG teraktivasi secara berlebihan
sehingga igM sulit terdeteksi. IgM dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian
IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus
reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut,
uji ini kemudian dimodifikasi dengan mengaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini
yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan
IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo Ke
dkk pada tahun 1997 terhadap uji typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih
sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan
dengan kultur.1
e. Uji IgM Dipstik
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonella typhi
pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dan antigen IgM (sebagai kontrol), reagen
deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan
membasahi strip sebelum inkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.
Komponen perlengkapan ini stabil disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25 C ditempat
kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada
larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah
inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif,
diberikan penilaian terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip.
Garis kontrol harus terwarna dengan baik.1
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji ini
dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan sensitivitas
sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat
(dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan
bila pemeriksaan dilakukan selama 1 minggu setelah timbulnya gejala.1
f. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil yang
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh beberapa hal
sebagai berikut: telah mendapatkan terapi dengan antibiotik, volume darah yang kurang,
riwayat vaksinasi, saat pengambilan darah setelah minggu pertama pada saat aglutinin
semakin meningkat.1

7. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai berikut
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal, pemberian
antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.1,4
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi, buang
air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan
yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.1,3
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita
akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan semakin lama.1,3
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau jperforasi usus.
Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus d; iistirahatkan. Beberapa
peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk-pauk
rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan
aman pada pasien dengan demam tifoid.1-3

Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
sebagai berikut:

Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid1


Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid1
8. KOMPLIKASI
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh dapat diserang
dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
demam tifoid yaitu:
Komplikasi intestinal :
perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis
Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis
Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1

9. PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 8
Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat
seperti : 4
a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu
b. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium
c. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)

10. PENCEGAHAN
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan terkontaminasi S. typhi, maka setiap
individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. S. typhi
di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 C untuk beberapa menit atau dengan
proses ionidasi/klorinasi. 8
Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid mencakup halhal berikut : 9
a. Penyediaan sumber air minum yang baik
b. Penyediaan jamban yang sehat
c. Sosialisasi budaya cuci tangan
d. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
e. Pemberantasan lalat
f. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
g. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
h. Imunisasi
Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di AS (kecuali pada kelompok yang beresiko
tinggi), imunisasi pencegahan tifoid termasuk dalam program pengembangan imunisasi
yang dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini masih belum diberikan secara
gratis karena keterbatasan sumber daya pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu orang tua
harus membayar biaya imunisasi untuk anaknya. 9
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
a. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel S. typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar 1
miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-4 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc,
dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping
dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi. 9
b. Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. typhi strain Ty21a hidup. Vaksin
diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu.
Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan perlindungan selama 5 tahun. 9
c. Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan
secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuskular pada usia mulai 2 tahun
dengan dosis ulangan setiap 3 tahun. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relatif
paling aman. 9

Anda mungkin juga menyukai