Anda di halaman 1dari 12

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)


Persoalan sedimentasi, penurunan muka air suatu waduk, sungai, atau
danau serta maraknya kejadian bencana alam akhir-akhir ini seperti longsor, banjir
dan kekeringan, dapat dipandang sebagai indikator tidak optimalnya pengelolaan
sumberdaya (alam dan manusia) dalam Daerah Aliran Sungai (DAS). Intervensi
dan kebutuhan manusia dalam pemanfaatan sumber daya yang semakin meningkat
membuat makin banyaknya DAS yang rusak dan kritis.
Salah satu fokus kegiatan Departemen Kehutanan pada era Kabinet
Indonesia Bersatu adalah pengelolaan DAS. Saat ini diketahui bahwa jumlah DAS
kritis yang ada di Indonesia mencapai 458 DAS dimana 60 DAS diantaranya
termasuk kedalam prioritas I, 222 DAS termasuk ke dalam prioritas II dan sisanya
176 DAS tergolong ke dalam prioritas III untuk upaya penanggulangannya/
rehabilitasinya. Sedangkan lahan kritis di wilayah DAS kritis di Indonesia sangat
luas dan terbagi ke dalam lahan sangat kritis seluas 6.890.567 hektar dan
23.306.233 hektar merupakan lahan kritis (Darori, 2008).
Gambaran kerusakan DAS dan degradasi lahan menunjukkan peningkatan
setiap tahunnya. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan
luas 9.699.000 ha, kemudian meningkat menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1994
dengan luas lahan kritis mencapai 12.517.632 ha dan pada tahun 2000 DAS kritis
berjumlah 42 DAS dengan luas lahan kritis mencapai 23.714.000 ha (Soenarno,
2000; Ditjen RRL, 1999). Saat ini diperkirakan 13% atau 62 DAS dari 470 DAS
di Indonesia dalam kondisi kritis, meskipun kegiatan konservasi tanah dan air
dalam pengelolaan DAS sudah sejak lama dilakukan.
Pendekatan pengelolaan DAS menjadi relevan kembali setelah munculnya
persoalan pengelolaan sumber daya alam serta dampak pengelolaan yang buruk.
Selain itu pendekatan pengelolaan DAS yang lebih menonjolkan aspek erosi
sedimentasi ternyata menjadi bumerang bagi pengelolaan DAS. DAS tidak hanya
menghasilkan satu fungsi yang selama ini lebih ditonjolkan tetapi banyak fungsi
DAS seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, pendaur ulang sampah,
penyedia air, mitigasi kekeringan, mitigasi banjir, keanekaragaman hayati,
9

penyedia energi dan sebagainya. Selama ini multifungsi tersebut seakan


tenggelam dan ditenggelamkan oleh erosi sedimentasi yang sejak lama
dikampanyekan pemerintah dalam pengelolaan DAS. Paper ini menguraikan
imbal jasa multifungsi DAS untuk mendukung pengelolaan DAS dan
implementasi serta kendala yang mungkin terjadi.

2.2. Cakupan Pengelolaan DAS


Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu
hamparan/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang
menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Oleh
karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pembangunan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS
merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara
sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan
kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen
Kehutanan, 2000).
(DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara
organisme dari lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi
pertukaran material dan energi. Dalam ekosistem DAS dapat dilihat bahwa hujan
sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan air sebagai output. Hujan sebagai input
dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan
oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa diubah atau
diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan
untuk bisa menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena
DAS secara alamiah juga merupakan satuan hidrologis, maka dampak
pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan terindikasikan dari keluarannya
yang berupa tata air.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, di
mana hulu sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari
pengelolaan yang dilakukan di hulu. Sementara itu, hilir berperan sebagai
penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu (dampak baik atau buruk). Namun
10

tidak selalu daerah hilir menerima dampak dari kegiatan di hulu karena dapat
terjadi daerah hulu menerima dampak dari aktivitas ekonomi di daerah hilir. Oleh
karena itu, pengelolaan sumber daya di dalam DAS perlu dilakukan secara
terpadu (integrated resource management) untuk dapat mengakomodir semua
kepentingan.
Kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pertama kali di
Indonesia dilakukan pada tahun 1970-an. Pada saat itu, pengelolaan DAS
merupakan respon terhadap banjir besar yang terjadi di kota Solo pada tahun 1966
(BTP DAS Surakarta, 2001). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk
mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia
dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000).
Pengelolaan DAS terpadu menurut Easter et al. (1986) adalah proses
formulasi dan implementasi suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut
sumberdaya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan memperhitungkan
kondisi sosial, politik, ekonomi, dan faktor-faktor institusi yang ada di DAS
tersebut dan sekitarnya untuk mencapai tujuan sosial yang spesifik. Hal ini
menunjukkan bahwa pengelolaan DAS ditujukan pada kesejahteraan manusia
dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam, sosial, politik, ekonomi,
budaya, dan kelembagaan. Pengelolaan DAS yang hanya bertumpu pada salah
satu aspek tanpa memperhatikan aspek yang lain akan mengalami kegagalan. Hal
ini terbukti bahwa pengelolaan DAS pada masa lalu yang lebih menonjolkan pada
monofungsi DAS yang disederhanakan sebagai pengendali erosi dan sedimentasi
ternyata telah gagal dengan ditunjukkannya banyaknya bencana dan kemiskinan.
Padahal DAS memiliki banyak fungsi baik tangible maupun intagible seperti
penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, kesejukan udara, jasa lingkungan,
keanekaragaman hayati, penyedia energi, dan sebagainya. Hilang atau
dihilangkannya multifungsi DAS tersebut telah membuat DAS hanya sebatas
wacana dan penarik dana keproyekan. Strategi pengelolaan DAS yang
memfokuskan pada pengendalian erosi sedimentasi ternyata tidak fokus dan gagal
mengkampanyekan bahwa DAS merupakan pendukung kehidupan. Untuk itu,
pendekatan perlu diubah menjadi multifungsi DAS dan peran DAS yang dominan
11

dalam kehidupan manusia. Secara topografi, DAS dibagi atas daerah hulu, tengah,
dan hilir yang saling terkait (Asdak, 1995). Aktivitas yang terjadi pada daerah
hulu akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap daerah hilir.
Sebagai salah satu sumberdaya alam, maka sumberdaya yang ada pada suatu
wilayah DAS dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Lahan di kawasan DAS
dipergunakan untuk pembangunan pertanian baik yang berada di kawasan hulu
maupun hilir. Pada daerah hulu umumnya merupakan lahan kering seperti huma,
tegalan, dan kebun. Adapun daerah hilir umumnya dipergunakan sebagai daerah
persawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Tabel 1. Perbandingan Antara Daerah Hulu dengan Hilir (Cahyono dan Purwanto, 2006)
HILIR HULU
Faktor Faktor Biofisik
Datar Berlereng miring
Tidak rentan terhadap erosi Rentan terhadap erosi
Relatif banyak sedimentasi Relatif sedikit sedimentasi
Seragam Beragam
Sedikit hutan yang tertinggal Masih cukup banyak sisa hutan
Lapisan olahnya tebal dan subur Lapisan olahnya dangkal, kritis
Umumnya lahan teririgasi Umumnya lahan kering
Sistem usahatani sejenis, padi Sistem usahatani beragam
Pertanian intensif Pertanian ekstensif
Faktor-Faktor Sosial Ekonomi
Keragaman etnis/suku yang kecil Keragaman etnis/suku besar
Budaya mayoritas Kelompok etnis minoritas
Mudah dicapai Terpencil
Infrastruktur yang baik Infrastruktur yang buruk
Pendidikan lebih tinggi Pendidikan lebih rendah
Pekerja buruh Pekerja keluarga
Kemampuan ekonomi lebih baik Kemampuan ekonomi rendah, miskin
Kredit lebih mudah diberikan Kredit sukar diberikan
Berorientasi pasar Berorientasi subsisten
Pusat aktivitas, pengambilan keputusan Bukan pusat aktivitas
Hak kepemilikan tanah jelas Hak kepemilikan tanah rumit
Kepemilikan tanah perseorangan Banyak tanah milik negara
12

Pendekatan Penyuluhan
Teknologi yang kompleks Teknologi yang sederhana
Paket teknologi Pilihan teknologi
Paket diberikan Proses difasilitasi
Fokus pada sistem pertanian Relevan dengan tata guna lahan
Pelayanan penyuluhan baik Pelayanan penyuluhan kurang baik
Teknologi Yang Menentukan
Penyediaan air/irigasi Konservasi tanah dan air
Jenis tanaman unggulan Konservasi unsur hara
Pengendalian hama penyakit, pemupukan Pola tanam intercropping dengan
berimbang tanaman tahunan

Adanya keterkaitan antara daerah hulu dan hilir sebagai suatu ekosistem
DAS membuat pengelolaan DAS harus terintegrasi dan holistik. Pengelolaan DAS
dilakukan melalui pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan prinsip
satu daerah aliran sungai, satu rencana, satu pengelolaan. Pengembangan hilir
tanpa memperhatikan wilayah hulu akan mengakibatkan rendahnya kesejahteraan
di hulu. Namun, hal itu akan mengancam kesinambungan pembangunan wilayah
di daerah hilir. Bila dicermati, pengembangan di daerah hulu relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan daerah hilir, baik dari segi perhatian, program, dana, dan
sebagainya. Hal ini wajar karena secara nilai ekonomis wilayah hilir yang bernilai
ekonomis tinggi akan lebih diperhatikan oleh pemerintah dibandingkan dengan
wilayah hulu. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara daerah hulu
dengan hilir. Daerah hilir umumnya menjadi pusat-pusat aktivitas manusia dan
daerah hulu merupakan pemasok bahan baku dan sumberdaya bagi daerah hilir.
Bila ini tidak diantisipasi akan menimbulkan konflik kepentingan antara daerah
hulu dengan hilir. Konflik yang sering terjadi berkaitan dengan pemanfaatan
sumberdaya alam dan pemberian kompensasi bagi daerah hulu dari hilir yang
selama ini cenderung menikmati apa yang dihasilkan oleh wilayah hulu.
Pengembangan budidaya tanaman pangan di wilayah hulu yang tidak
memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air biasanya menimbulkan degradasi
lingkungan yang dicerminkan dengan tingginya laju erosi, sedimentasi, dan
kehilangan unsur hara mineral. Upaya-upaya konservasi dan rehabilitasi telah
banyak dilakukan. Namun, tingkat partisipasi masyarakat rendah dan
13

kompleksitas kondisi sosial ekonomi dan fisik di daerah hulu membuat upaya
tersebut kurang signifikan.

2.3. Multifungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)


Daerah aliran sungai selama ini lebih sering dipahami dengan berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan erosi dan sedimentasi. Hal ini wajar
karena kampanye pengelolaan DAS pada periode yang lalu lebih menonjolkan
pada peran yang dapat dimainkan DAS dalam rangka mengeliminir dampak yang
merugikan dari erosi sedimentasi. Konsep DAS terlihat tengelam dan kehilangan
arus utamanya dalam pengelolaan sumberdaya alam maupun secara kewilayahan.
Hal tersebut kasat mata terlihat bahwa pembangunan dan pengelolaan sumberdaya
lebih berpegang pada batas administratif dibandingkan dengan batas alami DAS.
Daerah aliran sungai perlu dilihat dalam dimensi yang lebih luas, yaitu
tidak terbatas hanya sebagai pengendali erosi sedimentasi dan sedikit produksi.
DAS dapat menghasilkan produk yang dapat dipasarkan dan juga sekaligus
sebagai penghasil jasa yang tidak bisa dipasarkan. Berbagai fungsi itu antara lain
penyedia produk (pangan, sandang, dan papan), keindahan lansekap, mitigasi
banjir, mitigasi, kekeringan, mitigasi longsor, mengurangi erosi, mitigasi gas
rumah kaca, tempat rekreasi, penyejuk udara, mempertahankan keanekaragaman
hayati, pendaur ulang limbah organik, menjaga ketahanan pangan, penyangga
ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan sebagainya.
Daerah aliran sungai terdiri dari penggunaan lahan dan setiap penggunaan
lahan memiliki beragam fungsi. Misal, sawah memiliki banyak fungsi yang
penting bagi kehidupan. Berbagai studi menunjukkan bahwa sawah selain sebagai
penyedia pangan juga mempunyai jasa terhadap lingkungan baik lingkungan
biofisik, kimia maupun sosial ekonomi (Agus et al, 2003; Pawitan, 2004; dan
Wahyunto et al, 2004).

2.4 Tanaman Kentang

Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman semusim yang


berbentuk semak, termasuk Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas
14

Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies


Solanum tuberosum L. (Beukema, 1977).
Tanaman kentang berasal dari Amerika Selatan (Peru, Chili, Bolivia, dan
Argentina) serta beberapa daerah Amerika Tengah. Di Eropa daratan tanaman itu
diperkirakan pertama kali diintroduksi dari Peru dan Colombia melalui Spanyol
pada tahun 1570 dan di Inggris pada tahun 1590 (Hawkes, 1990). Penyebaran
kentang ke Asia (India, Cina, dan Jepang), sebagian ke Afrika, dan kepulauan
Hindia Barat dilakukan oleh orang-orang Inggris pada akhir abad ke-17 dan di
daerah-daerah tersebut kentang ditanam secara luas pada pertengahan abad ke-18
(Hawkes, 1992).
Menurut Permadi (1989), saat masuknya tanaman kentang di Indonesia
tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan
telah ditanam di sekitar Cisarua (Kabupaten Bandung) dan pada tahun 1811
tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah
pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan,
Minahasa, Bali, dan Flores. Di Jawa daerah-daerah pertanaman kentang berpusat
di Pangalengan, Lembang, dan Pacet (Jawa Barat), Wonosobo dan Tawangmangu
(Jawa Tengah), serta Batu dan Tengger (Jawa Timur).
Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropika dan
subtropika (Ewing dan Keller, 1982), dapat tumbuh pada ketinggian 500 sampai
3000 m di atas permukaan laut, dan yang terbaik pada ketinggian 1300 m di atas
permukaan laut. Tanaman kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur,
mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir.
Tanaman kentang toleran terhadap pH pada selang yang cukup luas, yaitu 4,5
sampai 8,0, tetapi untuk pertumbuhan yang baik dan ketersediaan unsur hara, pH
yang baik adalah 5,0 sampai 6,5. Menurut Asandhi dan Gunadi (1989), tanaman
kentang yang ditanam pada pH kurang dari 5,0 akan menghasilkan umbi yang
bermutu jelek. Di daerah-daerah yang akan ditanam kentang yang menimbulkan
masalah penyakit kudis, pH tanah diturunkan menjadi 5,0 sampai 5,2.
Pertumbuhan tanaman kentang sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Tanaman
kentang tumbuh baik pada lingkungan dengan suhu rendah, yaitu 15 sampai 20
15

oC, cukup sinar matahari, dan kelembaban udara 80 sampai 90 % (Sunarjono,


1975).
Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh
curah hujan dan penyebarannya selama masa pertumbuhan. Selama
pertumbuhannya tanaman kentang menghendaki curah hujan 1000 mm atau setiap
bulan rata-rata 200 sampai 300 mm. Saat kritis bagi tanaman kentang adalah saat
ketika dibutuhkan lebih banyak air, yaitu pada permulaan pembentukan umbi dan
pembentukan stolon. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi, pada saat
itu kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh
kurang dari 56% kapasitas lapang (Nonnecke, 1989). Hal itu didukung oleh
Gandar dan Tanner (1976) yang menyatakan bahwa perpanjangan dan bentangan
daun menurun jika potensial air daun menurun. Hasil umbi kentang akan
terganggu jika kelembaban terlalu tinggi.

2.5. Mekanisme Pembayaran Jasa Multifungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)


Nilai finansial jasa multifungsi DAS dapat dipahami dan dimanfaatkan
untuk mendorong pengelolaan DAS yang lebih bijak dan menghambat praktek
pengelolaan DAS yang merusak. Sistem pasar dan kebijakan pembangunan yang
mengabaikan multifungsi DAS dan menganggap jasa yang dihasilkan sebagai
eksternalitas telah menyebabkan semakin rendahnya insentif pengelolaan DAS.
Nilai atau manfaat multifungsi DAS memiliki ciri seperti public goods, yakni
dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar. Keadaan ini membuat
pengambil manfaat dari multifungsi tersebut kurang menyadari dan tidak
memberikan perhatian yang sepatutnya pada penjaga dan pengelola penyedia jasa
multifungsi tersebut.
Tabel 2. Potensi Keuntungan dan Kerugian dalam Penerapan Mekanisme Pembayaran Jasa
Multifungsi Daerah Aliran Sungai (Cahyono dan Purwanto, 2006)
Potensi Keuntungan Potensi Kerugian
- Meningkatkan dan menjaga kualitas air - Kompleksitas permasalahan
- Pengalokasian suplai air lebih efisien manajemen DAS menyebabkan
- Pengadaan kembali aliran air alami kesulitan (atau bahkan tidak
- Mengurangi biaya sekunder yang muncul mungkin) dalam memperoleh
karena penyaringan endapan/sedimen informasi lengkap mengenai sebab
16

- Mengurangi biaya kesehatan tambahan - akibat dan pengukuran dampak


Memberikan layanan yang diperlukan pengguna - Pengembangan pasar dan
atau industri dengan lebih efisien dan murah kelembagaan merupakan proses yang
dibandingkan dengan pendekatan kebijakan atau lambat, berulang serta memerlukan
pengawasan waktu
- Berpotensi sebagai sumber pendapatan dalam - Tingginya biaya transaksi yang
jangka waktu yang lama untuk melindungi dikaitkan dengan pengembangan
kawasan termasuk ekosistem kritis. pasar yang mungkin berupa: (a)
- Mendorong makin diakuinya nilai ekonomis dan perencanaan dan negosiasi, (b)
ekologis DAS pemantauan dan penerapan
- Keuntungan sekaligus biaya jasa DAS dapat - Kesepakatan dan kerjasama diantara
tersebar dengan lebih merata pemangku kepentingan multipihak
- Mengurangi jurang perbedaan urban-rural dan (multiple stakeholder agreements
meningkatkan pemerataan and collaboration) untuk mengatasi
- Memberikan kesempatan untuk pengembangan masalah free-riding
mekanisme pengaturan yang partisipatif dan - Pengumpulan informasi ilmiah dan
kooperatif yang berdampak positif yang bersifat informasi lainnya untuk mendukung
sosial lebih luas pembuatan keputusan
- Memperbaiki regulasi atau struktur hukum - Penjelasan kepada para pemangku
perlindungan air dan DAS Komunikasi yang kepentingan dan membuat mereka
lebih baik di antara para pemangku kepentingan mnyadari kemungkinan
- Penyedia jasa lingkungan memperoleh ketidakpastian yang muncul sehingga
kompensasi. Ini berarti meningkatkan harapan yang tidak realistik dapat
pendapatan masyarakat miskin pedesaan jika dihindarkan
hak mereka diakui dan kepastian kepemilikan - Kejelasan hak atas lahan
lahan meningkat - Memperkuat kerangka hukum dan
- Peningkatan kapasitas masyarakat pedesaan perundangan
melalui pengembangan keterampilan dalam - Pengembangan lembaga perantara
praktik pemanfaatan lahan, manajemen, dan - Pemecahan permasalahan akses pasar
kesempatan baru yang muncul dapat berupa (a) rendahnya
- Peningkatan representasi politik masyarakat pendidikan, (b) isolasi geografis, (c)
miskin kurangnya hak atas lahan, (d)
- Peningkatan pemahaman secara ilmiah kekuatan tawar yang tidak merata
- Perlindungan warisan budaya/leluhur - - Biaya penerapan langkah
Peningkatan kesempatan rekreasi perlindungan
- Peningkatan penyediaan jasa DAS - Ketidakadilan mungkin akan timbul
- Potensi pasar yang sangat besar untuk jasa ketidakadilan yang ada semakin
hidrologi tajam jika tidak ditangani secara
17

intensif
- Hilangnya biaya peluang terhadap
pemanfaatan lahan tertentu. Daya
beli pemakai air mungkin rendah
- Potensi kehilangan hak guna
informasi akibat meningkatnya
kompetisi dan pemberlakuan
berbagai pembatasan
- Peliknya prosedur valuasi ekonomi
jasa lingkungan

Tidak seperti insentif finanisal yang tergantung pada subsidi pemerintah,


imbal jasa ini mensyaratkan pemanfaat jasa multifungsi DAS membayar jasa yang
diterimanya kepada penyedia jasa tersebut. Selain itu harus disepakati jasa apa
saja yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa. Penyedia jasa
pun harus dapat memastikan bahwa jasa multifungsi DAS tersebut merupakan
hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang
diambil oleh penyedia jasa. Namun, banyaknya stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan DAS dapat menyebabkan situasi yang kompleks, rumit dan
membutuhkan biaya transaksi yang tinggi.
Menurut Cahyono dan Purwanto (2006), mekanisme imbal jasa
multifungsi DAS dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk yaitu:
a. Kesepakatan yang diatur sendiri
Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa,
biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap
muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari
pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak
pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara
pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang
bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi DAS.
b. Skema pembayaran publik
Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan
landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan
investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis
18

iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan


penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme
pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi
penyedia jasa dan menerapkan denda bagi pelanggarnya.
c. Skema pasar terbuka
Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang
sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau jasa apa saja dari
multifungi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi
yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang
kuat dan penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang
akurat dan sistem verifikasi yang terjamin.
Selain mekanisme yang dipergunakan dalam imbal jasa multifungsi DAS,
tipe imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan akan menentukan implementasi
lapangan. Gouyon (2004) membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan
dalam 3 kategori yaitu:
1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas
pertukaran suatu perubahan tata guna lahan.
2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan,
manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa
lingkungan.
3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar
yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema
alokasi kontrak publik

2.6. Bahaya Usaha Tani yang Serampangan


Apa yang terkandung dalam tanah merupakan unsur hara atau makanan
yang sangat diperlukan tanaman. Kemampuan tanah dalam memenuhi kebutuhan
tanaman disebut dengan produktifitas tanah. Produktifitas tanah semakin lama
akan semakin menurun akibat Usaha tani yang tidak benar, pengikisan lapisan
tanah atas yang dibiarkan, pencemaran lingkungan, dan bencana alam.
Usaha tani yang kita lakukan secara terus menerus dengan mengangkut
hasil panenan keluar tanpa dilakukan upaya pengembalian kembali sisa bahan
19

tersebut dan bahan organik lainnya, akan menguras kesuburan tanah. Unsur hara
atau makanan yang ada di tanah akan diambil tanaman untuk pertumbuhan
batang, daun dan buah. Unsur hara yang diambil itu adalah unsur hara Makro
(unsur yang diambil tanaman dalam jumlah besar) yaitu, N (nitrogen), P (fosfor),
K (kalium), Ca (Calsium), Mg (magnesium), dan S (sulfur) dan juga unsur mikro
(unsur yang diperlukan dalam jumlah sedikit) yaitu Fe (besi), Mn (mangan), Bo
(boron), Mo (molibdenum), Cu (tembaga), Zn (seng), Cl (klor)dan Co (kobalt).
Oleh karena itu setiap panenan banyak sekali unsur hara yang terangkut dari
dalam tanah tanpa dikembalikan lagi ke dalam tanah.
Pada lahan-lahan miring, kehilangan lapisan tanah atas akan terjadi
bersamaan dengan mengalirnya air ke bawah. Lapisan atas yang mengandung
unsur hara akan segera habis dengan besarnya pengaliran air di atasnya.
Hilangnya lapisan atas akan menyisakan lapisan tanah dalam atau yang sering
disebut tanah tulang. Tanpa usaha pencegahan tanah tidak akan mampu lagi
mendukung pertumbuhan tanaman secara maksimal. Penggunaan bahan-bahan
kimia dan racun secara berlebihan akan mengganggu kondisi lingkungan kita.
Racun akan terserap ke dalam tanah dan akan membunuh makhluk hidup lain di
dalam tanah, sehingga tanah menjadi mati dan tidak mampu berproduksi dengan
semestinya.
Bencana alam baik yang terjadi secara alamiah seperti banjir, dan tanah
longsor akibat ulah manusia seperti penggundulan hutan akan mempengaruhi
produktifitas tanah. Oleh karenanya usaha yang akan kita lakukan harus selalu
diiringi dengan upaya pemeliharaa nnya agar usaha yang sedang kita kembangkan
dapat mencapai tujuan dan langgeng. Keberhasilan dalam berusaha tani tidak
hanya diukur dengan berapa banyak keuntungan yang kita dapatkan saat ini, tetapi
juga sampai berapa lama keuntungan itu dapat kita peroleh.

Anda mungkin juga menyukai