Persoalan-persoalan Ekonomi Pembangunan di Indonesia
1.Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi.
Menurut catatan statistik pada tahun 1991/92, diperkirakan lebih dari 100 juta orang Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Kalau dianggap tidak ada perbedaan garis kemiskinan antara kota dan desa, dan diambil angka Rp.1000 pengeluaran sehari seorang (atau Rp. 30,000 sebulan seorang) sebagai garis kemiskinan, maka di bawah garis tersebut ada 120 juta yang masih miskin, yaitu di kota 20 juta dan di desa 100 juta orang. Kalau diambil garis kemiskinan yang lebih rendah, yaitu Rp. 500 sehari seorang (atau Rp. 15,000 sebulan seorang), maka akan terdapat 28 juta orang miskin, yaitu 2 juta di kota dan 26 juta di desa. Pengeluaran ini belum termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Belum lagi, kalau diperhitungkan untuk suatu keluarga yang terdiri dari 4 orang. Tentu pengeluarannya sehari jauh lebih besar daripada sekedar 4 kali Rp. 30,000. Keadaan sekarang diperkirakan tidak berbeda jauh dari itu. Data bisnis juga menunjukkan kesenjangan ekonomi yang sangat besar antara mereka yang miskin di atas dengan yang kaya raya. Grup-grup perusahaan yang tergabung dalam 200 konglomerat Indonesia menghasilkan omset (nilai penjualan) sebesar ekivalen dengan 80 persen dari pendapatan nasional (Produk Domestik Bruto, sekitar Rp. 250 trilyun pada 1992/93). Kesenjangan pendapatan juga terjadi antara sektor pertanian-pedesaan dan sektor industri- perkotaan. Kesenjangan yang sangat tajam juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa, dan antara Kawasan Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Masalah kemiskinan dan kesenjangan ini bisa menimbulkan friksi-friksi sosial yang bisa merusak hasil pembangunan selama ini. 2.Ketidakmampuan Pengembangan SDM dan Penguasaan Ilmu Pengetahuan. Ketidakmampuan pengembangan SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah inti dari semua persoalan ekonomi di Indonesia. Selama pembangunan jangka panjang 25 tahun yang pertama, Indonesia hampir samasekali melupakan pentingnya pengembangan SDM dan penguasaan Iptek. Dari 140 juta angkatan kerja (umur 10 tahun ke atas) Indonesia, hampir 80 persen daripadanya berpendidikan setingkat sekolah dasar (SD), yaitu 45 juta tamat, 43 juta drop-out, dan 20 juta samasekali tidak pernah sekolah. Jumlah sarjana hanya sekitar 2 juta, dan sisanya 30 juta adalah dari SLTP dan SLTA, tamat atau tidak tamat. Dengan kemampuan dan produktivitas yang rendah itu, maka tenaga kerja Indonesia menjadi sangat mahal dalam proses produksi. Sebagai akibatnya lemah pula industrialisasi Indonesia. Akibat selanjutnya adalah munculnya produk- produk yang tidak mampu bersaing di pasar dunia, yang tidak mampu menghasilkan devisa. Struktur industri Indonesia juga tidak didasarkan pada comparative advantange sesuai dengan kekayaan alam Indonesia, sehingga pada akhirnya produk-produknya tidak mampu berkompetisi di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan pilihan teknologi yang salah, yang mahal karena tidak sesuai dengan kemampuan domestik. Seharusnya dikembangkan pula jenis teknologi murah dan madya, yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan yang mampu mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengangguran angkatan kerja di Indonesia juga cukup tinggi. Bahkan, pengangguran telah pula melanda mereka yang berpendidikan sarjana. Dikabarkan oleh Menteri Tenaga Kerja pada awal tahun ini, bahwa dari 150 ribu sarjana yang dihasilkan setahun, hanya maksimal sekitar 60 ribu yang memperoleh pekerjaan. Pilihan teknologi yang terlalu padat modal, dan yang menjurus ke tingkat menengah (medium technology)-atas dan tingkat tinggi (high technology) juga menjadi salahsatu sebab terjadinya pengangguran yang besar dan berbagai inefisiensi dalam industri. Broad-base technology lah yang mestinya dikembangkan di Indonesia, yaitu yang mengutamakan penggunaan jenis-jenis teknologi yang rendah (low technology) hingga menengah-bawah, yang murah, dan yang mudah disediakan, diadopsi dan dikuasai oleh masyarakat banyak. 4. Penyempitan Infrastruktur. Tidak ada pembangunan yang tidak dimulai dengan pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, listrik, air bersih, telepon, dll. Selain ketidakmampuan SDM dan penguasaan Iptek yang disebutkan di atas, juga ketidakmampuan menyediakan dana dan alokasinya yang tak sesuai mempengaruhi pula perkembangan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Secara umum, penyempitan infrastruktur (infrastructure bottleneck) telah terjadi di Indonesia. Dibanding dengan permintaan yang begitu besar terhadap investasi, maka jalan-jalan di Indonesia terasa sempit, dan tenaga listrik serta air bersih terasa sangat kurang. Pada gilirannya, penyempitan infrastruktur ini akan mengakibatkan menyusutnya penanaman modal di Indonesia, khususnya di sektor industri. Selain itu perlu diperhatikan, bahwa penyempitan infrastruktur bisa menjadi sumber inflasi yang sangat tinggi (hyper-inflation). Oleh sebab itu, masalah penyempitan infrastruktur ini juga harus diatasi segera. Investasi yang terus-menerus di tanah Jawa akan diikuti dengan permintaan infrastruktur yang semakin meningkat, sesuatu yang semakin sulit dipenuhi oleh tanah Jawa yang semakin terbatas. Kesulitan air bersih di Jawa dan semakin sempitnya lahan untuk industri dan perumahan (yang juga mempersempit lahan pertanian subur) adalah contoh semakin sempitnya infrastruktur di Jawa. Penyempitan infrastruktur juga terjadi di luar Jawa, khususnya Kawasan Indonesia Timur. Keadaan ini tentu mengakibatkan terhambatnya pembangunan wilayah. Pembangunan infrastruktur di luar Jawa sudah harus diperhatikan, untuk mulai menggali sumber- sumber kemakmuran untuk meningkatkan pendapatan wilayah di sana dan mengurangi tekanan-tekanan di Jawa.
5. Masalah Pangan dan Beras.
Usaha besar-besaran telah dilakukan oleh Indonesia untuk berswasembada beras. Pada masa lalu, pada saat infrastruktur bendungan, sawah dan irigasi rusak, sehingga Indonesia tidak mampu menyediakan cukup beras, Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia, yang mengakibatkan terkurasnya devisa. Sejak awal 1980-an, Indonesia telah berhasil berswasembada beras. Tetapi swasembada beras ini, kini, terancam bahaya. Tahun ini diperkirakan Indonesia harus mengimpor sekitar 2 juta ton beras. Terjadinya paceklik pada beberapa tahun terakhir ini, antara lain karena banjir dan kemarau yang panjang, mengakibatkan terjadinya penurunan produksi beras. Apabila pola konsumsi beras tidak diperbaiki, penduduk semakin bertambah (sekitar 10 juta setiap 5 tahun), maka kesulitan beras yang terjadi pada masa yang silam akan bisa terulang kembali. Patut pula dicatat, bahwa investasi dan pembangunan industri di Jawa yang subur telah semakin mempersempit lahan pertaniannya dimakan oleh areal industri dan perumahan. Banyak sawah-sawah dengan irigasi teknis yang dikonversikan menjadi kawasan industri dan perumahan. Demikian pula tiadanya penambahan areal sawah baru, khususnya di luar Jawa, akan lebih menyulitkan penambahan produksi beras di masa mendatang. Selain itu juga perlu difahami, bahwa untuk meningkatkan produksi beras pada masa lalu, segala dana dan daya dicurahkan habis- habisan untuk meningkatkan produksi beras ini. Sebagai akibatnya, meskipun ada peningkatan produksi beras secara substansial, tetapi hal itu diikuti pula dengan menurunnya produksi-produksi lain, khususnya tanaman-tanaman pangan lain.
6. Masalah Pertanahan dan Hak Atas Tanah.
Patut dicatat, bahwa tidak ada pembangunan yang tanpa dimulai dengan pengendalian penggunaan tanah dan hak atas tanah, atau land reform. Land reform tidak saja mengatur alokasi penggunaan tanah, tetapi juga hak kepemilikan dan penggunaan atas tanah, baik untuk individu atau kelompok, menetapkan hak maksimum dan minimum, serta lamanya memegang hak tersebut. Selain berdampak sosial, karena pertanahan ini berkaitan pula dengan kebutuhan tanah untuk investasi, maka persoalan pertanahan sangat mungkin mengakibatkan terhambatnya banyak sektor dalam pembangunan. Di Indonesia masalah pertanahan dan hak atas tanah tersebut belum diatur dengan baik. Sebetulnya sudah ada UU Pokok Agraria (1960), akan tetapi UU tersebut pada kenyataannya tidak berjalan atau sengaja tidak dijalankan sepenuhnya. Sebagai akibatnya, muncullah masalah pertanahan yang meliputi berbagai kasus penggusuran atas hak memiliki dan menggunakan lahan, pengalihan fungsi lahan, dan banyak masalah lainnya. Di samping ada penggusuran atas hak minimum individu, ada pula kasus tentang penguasaan lahan yang tak terbatas. Tentu saja hal tersebut mengakibatkan persoalan-persoalan baru yang berkaitan dengan kemiskinan dan kesenjangan sosial. Pengalihan fungsi lahan meliputi penggusuran daerah kumuh yang padat hunian dan pengalihan fungsi sawah atau lahan pertanian untuk tujuan-tujuan pembangunan, termasuk perumahan dan kawasan industri, telah menjadi persoalan pembangunan yang serius. Masalah pertanahan juga muncul dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan transmigrasi, relokasi penduduk, serta pembukaan lahan baru dan pembangunan wilayah untuk tujuan-tujuan produktif. 7. Korupsi dan Inefisiensi Ekonomi. Masalah korupsi dan inefisiensi ekonomi meliputi berbagai macam kebocoran dalam ekonomi dan pembangunan. Selain korupsi yang murni, ada korupsi tidak langsung yang dilakukan melalui praktek- praktek mark-up dalam pelaksanaan pembangunan proyek. Berbagai kebocoran ini menunjukkan pemakaian dana yang tidak produktif, termasuk pemilihan proyek-proyek yang tak bermanfaat. Praktek korupsi melibatkan dana negara, dan terjadi akibat kolusi antara birokrat dan pengusaha berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang. Ini semua menimbulkan keadaan high-cost dalam ekonomi. Selain itu, ada pula kebocoran-kebocoran ekonomi yang bermuara pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengakibatkan inefisiensi ekonomi, seperti monopolisme-oligopolisme, pemberian fasilitas keagenan dan proteksi dalam industri dan perdagangan, serta berbagai kemudahan secara sembarangan bagi sekelompok kecil masyarakat. Menurut Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, kebocoran ekonomi Indonesia dikabarkan mencapai paling sedikit 30 persen, yaitu dikaitkan dengan angka ICOR (incremental capital-output ratio) yang terlalu tinggi (5). Apabila ICOR bisa dipertahankan rendah (3,5), maka pertumbuhan ekonomi, dengan dana yang ada, dapat mencapai 8,5 persen per tahun sekalipun tanpa hutang asing. Sedang kalau hutang asing tetap dibuat, maka pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 9,5 persen. Padahal untuk mencapai angka pertumbuhan 6-7 persen saja sulit sekarang ini. Satu bukti lagi tentang inefisiensi pembangunan di Indonesia ditunjukkan dari penelitian oleh Dr. Jeffrey A. Winters, dimana Indonesia (1973/74-1989/90) disebutkan membutuhkan dana sebesar USD 166,5 milyar, yang 20 kali lebih besar dari yang dibutuhkan Korea Selatan (1959-1975) dalam periode 17 tahun konsolidasi ekonomi. Padahal jumlah penduduk Indonesia hanya sekitar 5 kali lipat penduduk Korea Selatan. Dan agaknya, 15 tahun dari sekarang tidak mungkin ekonomi Indonesia akan mencapai pendapatan perkapita 10 kali dari yang sekarang untuk menyamai Korea Selatan yang telah mencapai USD 7000.
8. Sentralisasi Pembangunan dan Tiadanya Otonomi Daerah.
Salah satu sumber inefisiensi pembangunan Indonesia adalah sistim pemerintahan yang sangat sentralistis. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas, dan beragam dalam suku, adat istiadat, bahasa dan kebudayaannya. Meskipun begitu, semangat persatuan dan kesatuan di antara berbagai keragaman itu justru tumbuh secara alamiah sejak beratus tahun yang lampau. Negara yang begitu luas dan beragam ini tidak mungkin akan dibangun secara baik dengan sistim yang sentralistis. Meskipun berbentuk negara kesatuan, tetapi otonomi pemerintahan di daerah-daerah (provinsi) sangat diperhatikan oleh para pemimpin kemerdekaan. Sehingga, otonomi daerah dinyatakan dalam pasal khusus dalam Konstitusi, yaitu Pasal-18 UUD-1945. Dalam prakteknya sekarang, otonomi daerah sebagaimana dituntut oleh negara seluas dan seberagam Indonesia ini tidak berlangsung. Sstim pembangunan yang sentralistis tanpa otonomi daerah akan menghasilkan pembangunan yang timpang. Ketimpangan seperti ini sudah sangat terlihat manakala pembangunan di Jawa dibandingkan dengan luar Jawa atau antara Kawasan Indonesia Barat dan Timur. Bahkan antara Jakarta (Jabotabek) dan daerah-daerah lain. Kesenjangan-kesenjangan tersebut akan memicu konflik-konflik sosial yang bisa menghambat laju pembangunan, dan kemungkinan perpecahan, sebagaimana terjadi di Soviet Uni dan Jerman Timur. Dengan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian pekerjaan administrasi pemerintahan kepada daerah-daerah. Misalnya, urusan produksi dan industri, perdagangan, pendidikan, keamanan daerah dan banyak hal lain. Dengan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan tersebut, daerah memperoleh kewenangan pula untuk mengidentifikasi sendiri kemampuan, kekayaan dan keunggulan komparatif daerahnya untuk dikembangkan dalam suatu konsep pembangunan daerah yang diselenggarakan oleh putra- putra daerah sendiri. Pemerintah pusat hanya sekedar menetapkan garis-garis besar pembangunan, khususnya dalam upaya membuat keseimbangan pembangunan antar daerah.