Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/Penyakit Refluks Gastroesofageal) adalah


suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk
melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan
paparan yang berulang.
Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari lambung ke
esophagus. Refluks ini sendiri bukan merupakan suatu penyakit, bahkan keadan ini merupakan
keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang, khususnya pada saat makan banyak,
tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya mukosa esophagus.
Pada GERD sendiri merupakan suatu spectrum dari penyakit yang menghasilkan gejala
heartburn dan regurgitasi asam. Telah diketahui bahwa refluks kandungan asam lambung ke
esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di esophagus, seperti esofagitis, striktur peptik,
dan Barrets esophagus dan gejala ekstraesophagus, seperti nyeri dada, gejala pulmoner, dan
batuk.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua umur, umum
ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di
Negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa
mengalami refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40%
mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat
mendekati 7%, sementara di negara-negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di
China dan 2,7% di korea). Gastroesophageal reflux disease (GERD) terjadi pada semua
kelompok umur. Prevalensi GERD meningkat pada orang tua 40 tahun. GERD terjadi pada
sebagian umum laki-laki daripada wanita. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk esophagitis
adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk Barrett esofagus adalah 10:1.
Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di
Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta,
didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan
endoskopi atas indikasi dyspepsia.1

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Esophagus

Pada kedua ujung esophagus terdapat otot sfingter, sfingter esophagus bagian atas (Upper
Esophageal Sphincter/UES) pada otot cricopharingeus dan sfingter esophagus bagian bawah
(Lower Esophageal Sphincter/LES) pada gastroesophageal junction (GEJ). Dalam keadaan
normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali waktu menelan. Sfingter esophagus
bagian bawah bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi
lambung ke esophagus.2

Dinding esophagus seperti juga bagian lain dari saluran cerna, terdiri dari 4 lapisan yaitu :
mukosa, submokasa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terbentuk dari epitel berlapis
gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel ini mengalami perubahan mendadak pada
berbatasan esophagus lambung (garis Z) dan menjadi epitel selapis toraks. Mukosa esophagus
dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang sangat asam.
Lapisan submukosa mengandung sel-sel sekretori yang menghasilkan mucus. Mukus
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melinduni mukosa dari cedera akibat
zat kimia.3

Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot pada 5%
bagian atas esophagus merupakan otot rangka sedangkan otot pada separuh bagian bawah
merupakan otot polos. Bagian yang diantaranya itu terdiri dari campuran otot rangka dan otot
polos. Berbeda dengan saluran cerna lainnya, bagian luar esophagus tidak memiliki lapisan
serosa maupun selaput peritoneum, melainkan lapisan luar yang terdiri dari lapisan ikat jarang
yang menghubungkan esophagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.3

Persarafan esophagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis dari sistem saraf
otonom. Serabut parasimpatis dibawa oleh nervus vagus yang dianggap merupakan saraf
motorik esophagus. Fungsi serabut simpatis kurang diketahui. Selain persarafan ekstrinsik
tersebut terdapat jala-jala serabut saraf intramural intrinsic diantara lapisan otot sirkular dan

2
otot longitudinal (pleksus Aurbach atau Myenterikus) dan berperan untuk mengatur peristaltik
esophagus normal.3

Distribusi darah esophagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai oleh cabang-
cabang arteri tiroidea inferior dan subclavia. Bagian tengah disuplai oleh cabang-cabang
segmental aorta dan arteri bronchial. Sedangkan bagian subdiafragma disuplai oleh arteri
gastrika sinistra dan frenika inferior. Aliran darah vena juga mengikuti pola segmental. Vena-
vena esophagus daerah leher mengalirkan darah ke vena azygous dan hemiazygous dan
dibawah diafragma, vena esofagia masuk ke dalam vena gasrika sinistra.3

Gambar 1: anatomi esofagus

Gambar 2: histologi esofagus

3
2.2 Fisiologi Menelan

Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan bolus
makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter mencegah terhamburnya
bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring
pada saat respirasi, (4) mencegah masuknya maknan dan minuman ke dalam nasofaring dan
laring, (5) kerjasama yang baik dari otot-otot rongga mulut untuk mendorong bolus makanan ke
arah lambung, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut, faring
dan esofagus secara keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.4
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase : fase oral, fase faringeal dan fase esofageal.4,5

a. Fase Oral

Fase oral terjadi secara sadar . Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga mulut melalui
dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.4,5
Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah
diperluas, palatum mole terangkat dan pada bagian atas dinding posterior faring (Passavants
ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas.
Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli
palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium
tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik
ke rongga mulut.4,5

b. Fase Faringeal

Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi
m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring.4,5
Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.ariepiglotika
dan m.aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini juga terjadi penghentian aliran udara ke

4
laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan
masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus,
karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.4,5

c. Fase Esofageal

Fase esofageal adalah fase perpindahan bolus makann dari esofagus ke lambung.
Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus

5
makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus
esofagus terbuka dan bolus makanan masuk ke dalam esofagus.4,5
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi
tonus introitus esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak kembali ke faring.
Dengan demikian refluks dapat dihindari.4,5
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhhi oleh kontraksi
m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan di
dorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus. Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus
bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam
lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esophageal
sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk
mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter
ini akan menutup kembali.4,5
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat dari faring ke
lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut. Normalnya, esofagus
memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik : peristaltik primer dan peristaltik sekunder.
Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai dari
faring danmenyebar ke esofagus selama tahap faringeal dari proses menelan. Gelombang ini
berjalan dari faring ke lambung dalam waktu sekitar 8 sampai10 detik. Makanan yang ditelan
seseorangdengan posisi tegak biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus bahkan lebih
cepat dari gelombang peristaltik itu sendiri, sekitar 5 sampai 8 detik, akibat aadanya efek
gravitasi tambahan yang menarik makananke bawah.4,5
Jika gelombang peristaltik gagal mendorong semua makanan yang telah masuk
esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari
peregangan esofagus oleh makanan yang tertahan, gelombang ini terus berlanjut sampai
semua makanan dikosongkan ke dalam lambung.4,5
Bila gelombang peristaltik esofagus mendekat ke arah lambung, timbul suatu
gelombang relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului
peristaltik. Selanjutnya, seluruh lambung, dan dalam jumlah yang lebih sedikit, bahkan
duodenum menjadi terelaksasi sewaktu gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus dan

6
dengan demikian mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan yang didorong ke
esofagus selama proses menelan.4,5
Pada ujung bawah esofagus, meluas sekitar 3cm di atas perbatasan dengan lambung,
otot sirkular esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah yang lebar, atau disebut juga
gastroesofageal.. Normalnya, sfingter ini tetap berkontriksi secara tonik dengan tekanan
intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30mmHg, berbeda dengan bagian tengah
esofagus yang normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik penelanan
melewati esofagus, terdapat relaksasi reseptif dari sfingter esofagus bagian bawah yang
mendahului gelombang peristaltik, yang mempermudah pendorongan makanan yang ditelan
ke dalam lambung. Kadang sfingter tidak berelaksasi dengan baik, sehingga mengakibatkan
keadaan yang disebut akalasia.4,5
Kontriksi tonik dari sfingter esofagus bagian bawah akan membantu untuk mencegah
refluks yang bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan abnormal.
Faktor lain yang membantu mencegah refluks adalah mekanisme seperti-katup pada bagian
esofagus yang pendek yang terletak agak dekat lambung. Peningkatan tekanan intraabdomen
akan mendesak esofagus ke dalam pada titik ini. Jadi, penutup seperti-katup pada esofagus
bagian bawah ini akan membantu mencegah tekana intraabdomen yang tinggi yang berasal
dari desakan isi lambung kembali ke esofagus.4,5

7
2.3 Defenisi

Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah suatu


keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan
berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas1

Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang
sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan,
karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang
mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi
berulang-ulang dan dalam waktu yang lama.

GERD terdiri dari dua tipe, yakni : NERD ( Non-erosive Reflux disease ) dan ERD(
Erosive Reflux Disease )6

2.4 Etiopatogenesis

Penyakit GERD bersifat multifaktorial1,7. GERD dapat merupakan gangguan fungsional (90%)
dan gangguan struktural (10%).8 Gangguan fungsional lebih pada disfungsi SEB dan gangguan
struktural pada kerusakan mukosa esofagus.8 Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD
apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus.
Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun
kontak dengan refluksat tidak terlalu lama.1 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus
bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab
terjadinya refluks.7
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan, kecuali
pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa).1
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter
esofagus bawah.1,7 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang terlambat
dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah.7 Tonus SEB dikatakan rendah bila
berada pada < 3 mmHg .1 Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.8

8
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya,dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam
keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya
sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambungmengalir atau terdorong
kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapaiesofagus bagian proksimal dan sfingter
esofagus atas berkontraksi, maka isilambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannyake dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon
terhadapdistensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut ataunasofaring.7
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme 1:
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang
termasuk faktor defensif dari refluks adalah:1

Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen.1
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat
menurunkan tonus SEB antara lain 1,7,
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus
GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient LES
relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang lebih 5
detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya

9
TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan
pengosongan lambung dan dilatasi lambung 1,7.

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak pasien
GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD yang
signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari
esofagus serta menurunkan tonus SEB1.

Bersihan asam dari lumen esofagus


Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya
akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus 1.
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan maka
semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula kemungkinan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu transit refluksat yang normal,
sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal1.
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus, karena
selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif1.

Ketahanan Epitelial Esofagus.

10
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus untuk
melindungi mukosa esofagus 1.
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari1 :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intrasel
dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.

Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus. Sedangkan
alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan
faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut
berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl,
pepsin, garam empedu, enzim pankreas1.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan garam
empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi1.
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan lambung
yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau obstruksi
gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori
dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang ada 1.
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD . Pada
kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini
berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini akan
berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan
intragaster dan terjadilah refluks7.

11
Peran Sfingter Atas Esofagus
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke larinofaring. Studi
menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap refluksat menimbulkan
distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring
atau laring.8

Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus


Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme tersebut
antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan SEA
yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan spasme
bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.8

12
2.5 Manifestasi Klinik

Gejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di dada
atau epigastrium . Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar atau heartburn.
Selain itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau water brash.Regurgitasi yaitu
pergerakan kembali isi lambung (material refluks)sampai esofagus atau faring yang
menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulutrasa asam atau pahit. Pada beberapa kasus,
timbul juga keluhan disfagia atau sulit menelan saat memakan makanan padat. Hal ini mungkin
sudah terjadi striktur atau keganasan yang berkembang dari Barretts esophagus. Odinofagia
mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah terbentuk ulserasi esofagus yang
berat.1
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti laringitis,
suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma. 1Manifestasi non esofagus pada GERD
dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara
(Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay).9 Di lain pihak, penyakit paru juga
dapat memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat
menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.1
Pada pasien GERD yang datang ke dokter THT, seringkali tidak mengeluhkan gejala
tipikal, melainkan gejala atipikal seperti, suara serak pagi hari, mulut berbau, lendir kental, mulut
kering, sering meludah. Bila hal ini terjadi maka beri tatalaksana PPI selama 8 minggu, bila
gejala hilang maka merupakan kasus GERD sekunder dengan manifestasi THT.8

13
2.6 Diagnosis

Diagnosis GERD umumnya didasarkan pada kombinasi riwayat penyakit, pemeriksaan


fisik, tes diagnostik yang tepat. Pasien yang datang pada ahli THT seringkali tidak disertai gejala
refluk tipikal seperti dada panas dan regurgitasi. Menentukan tes yang potensial untuk
menegakkan diagnosis GERD dengan gejala tipikal atau tipikal, ada 3 kategori tujuan
pemeriksaan.4

1. Ada/tidaknya refluk

a. pemeriksaan radiologi untuk menentukan hiatus hernia.


b. Pemeriksaan manometri: menentukan tonus spingter gastro esofagus.
c. Pemeriksaan endoskopi: esofagoskopi, laringoskopi.

2. Kerusakan esofagus akibat refluk

a. Tes perfusi asam (Bernstein)


b. Endoskopi: esofagoskopi, laringoskopi
c. Biopsi mukosa esofagus
d. Barium esofagrogram

3. Mengukur refluk

a. Barium esofagogram
b. Scintiscan gastroesofagus
c. Tes refluk asam standar
d. Monitor pH lumen esofagus 24 jam

Endoskopi saluran cerna atas pada pasien dengan gejala heartburn atau regurgitasi bukan
keharusan bagi pasien GERD, mengingat lebih dari 90% pasien GERD di Asia tidak
menunjukkan kelainan pemeriksaan endoskopi. Selain itu, karena mahalnya biaya pemeriksaan
dan tidak semua daerah memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna atas, penggunaan endoskopi
sebagai modalitas diagnostik masih terbatas di Indonesia. Setelah diagnosis ditegakkan, PPI

14
dosis standar dapat diberikan selama 1 atau 2 minggu. Pada penderita dengan gejala tipikal. Tes
PPI bersifat sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis GERD yang mempunyai gejala tipikal,
strategi ini dapat menghemat biaya secara nyata dan mengurangi penggunaan tes diagnostik yang
invasive. 4
Beberapa tahun ini, teknologi endoskopi telah berevolusi disertai resolusi tinggi dan adanya
magnifikasi kromoendoskopi digital. Teknologi ini secara praktis berguna untuk mendeteksi
berbagai lesi halus sepanjang saluran gastrointestinal mulai dari kerongkongan ke usus. Selain
dapat mendeteksi perubahan halus refluk esofagitis, alat ini terbukti bermanfaat dalam deteksi
dini epitel Baret yang merupakan daerah target biopsi pada daerah yang dicurigai metaplasia
usus ke lambung.4

1. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas.


Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan
melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus,
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika
tidak ditemukan, mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflex disease
(NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau
regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan
adanya Barrets esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya
pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.

15
Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles
Derajat kerusakan Gambaran Endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 MM
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling
berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen


D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

Tabel 2. Klasifikasi Savary dan Miller

Tingkat Gambaran Endoskopi


I Adanya gambaran erosi kecil-kecil yang tidak menyatu (non-confluent)
disertai bercak-bercak atau garis-garis merah, sedikit proksimal dari
daerah peralihan mukosa
II Erosi memanjang, menyatu (confluent), yang tidak melingkar (non-
circumferential)
III Erosi longitudinal, menyatu , dan melingkar, mudah berdarah
IV a. adanya satu atau lebih dari satu tukak pada daerah peralihan mukosa
yang bisa disertai metaplasi atau striktur.
b. adanya striktur tanpa tukak atau erosi

2. Esofagografi dengan Barium.


Dibandingkan dengan endoskopi. pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiologi dapat berupa penebalan dinging dan lipatan mukosa,atau penyempitan lumen.
Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan
tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada
1). stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia,
2) hiatus hernia

16
3. Pemantauan pH 24 jam.
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode
ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal
esofagus. pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal.

4.Tes Bernstein.
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari sam jam.
Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala
yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri, maka test ini dianggap positif. Test
Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.

5. Manometri Esofagus.
Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan
gejala nyeri epigastriurn dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.

6. Sintigrafi Gastroesofageal.
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang dilabel
dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung
gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari cairan/ makanan yang dilabel
tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini masih diragukan.

7. Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Test/ Tes supresi asam) Acid
Supression Test.
Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan
memberikan PPI dosis tinggi selama 1 -2 minggu sambil melihat respons terjadi. Test ini
terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan lain-
lain. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang teriadi. Dewasa

17
ini terapi empiric/PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme
tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama. Untuk pasien-pasien yang tidak
disertai dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun,
anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker
esofagus/lambung) dan umur >40 tahun.1

2.7 Diagnosis Banding7

1. Akalasia (Kardiospasme, Esophageal aperistaltis, Megaesofagus) adalah suatu kelainan

yang berhubungan dengan saraf, yang tidak diketahui penyebabnya.

2. Gastritis (radang lapisan lambung), gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung.

3. Kanker esophagus, pada kanker kerongkongan adalah squamous sel carcinoma dan

adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding pada kerongkongan.

Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam kerongkongan dan bisa terlihat sebagai

penyempitan pada kerongkongan (penyempitan), sebuah pembengkakan, daerah flat yang

tidak normal (plaque), atau jaringan yang tidak normal (fistula).

4. Ulkus Peptikum, luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi karena lapisan lambung atau

usus dua belas jari (duodenum) telah termakan oleh asam lambung dan getah pencernaan.

Ulkus yang dangkal disebut erosi.

5. Esophagitis, esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat pula disebabkan

oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan trauma.

2.8 Penatalaksanaan

Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan


timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus Barrett
yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat penatalaksanaan

18
yang adekuat.Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah: a). menyembuhkan lesi esofagus, b).
menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, e).
mencegah timbulnya komplikasi.1

a. Modifikasi Gaya Hidup1


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum adastudi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk
mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan umuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambung ke esophagus
2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan
torus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel
3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan
karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
4. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat
sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen
5. Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman
bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
6. Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan torus LES seperti
anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik,
progesteron.

b. Terapi Medikamentosa1
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini
GERD merupakan atau ten-masuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cema

19
bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi
supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki
gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H) atau golongan prokinetik, bila
gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
lebih lama (penghambat pompa proton IPPI). Sedangkan pada pendekatan step down
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H,
atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih
ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan
terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD
adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di
atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on demand therapy)
yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada
kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan
adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya
lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana
GERD.
Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa
GERD:1
1. Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD
tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadan HCl, obat ini
dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah.Kelemahan golongan obat ini

20
adalah 1). Rasanya kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung alumunium,
3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Dosis: sehari 4 x I sendok makan

2. Antagonis Reseptor H2
Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, raniditin, famotidin dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk
terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Dosis pemberian:
Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
Ranitidin : 4 x 150 mg
Famotidin : 2 x 20 mg
Nizatidin : 2 x 150 mg

3. Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini
dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namur pada prakteknya, pengobatan
GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam.
Metoklopramid :Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin.. Efektivitasnya
rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di
esofagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa
proton.. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia.Dosis: 3 x 10 mg
Domperidon :Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek samping
yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah
otak.Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esofageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan
tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.

21
Dosis: 3 x 10-20 mg sehari
Cisapride : Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.Efektivitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibanding domperidon.
Dosis 3 x 10 mg sehari.

4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)


Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek
langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan
mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin
dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara
topikal (sitoproteksi)
Dosis: 4 x 1 gram.

5. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI).


Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.Golongan obat-
obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim
H,K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembertukan asam
lambung.Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat serta yang
refrakter dengan golongan antagonist reseptor H,.
Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu:
Omeprazole : 2 x 20 mg
Lansoprazole :2x30mg
Pantoprazole :2x40mg
Rabeprazole :2x 10 mg
Esomeprazole : 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy: selama 4 bulan atau on
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.Efektivitas golongan obat ini
semakin bertambah jika dikombinasikan dengan golongan prokinetik.

22
Untuk pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu:
Omeprazole 1 x 20 mg
Lansoprazole 1 x 30 mg
Pantoprazole 1 x 40 mg
Rabeprazole 1 x 10 mg
Esomeprazole 1 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan
on demand therapy.
Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pelayanan kesehatan
lini pertama, salah saw di antaranya adalah direkomendasikan dalam Konsensus Nasional
untuk Penatalaksaan GERD di Indonesia (2004). (Skema 1)
Adapun algoritme penatalaksanaan GERD di pusat pelayanan memiliki fasilitas
diagnostik memadai terdapat pada skema 2.

Table 3. Efektivitas Terapi Obat-obatan Tersebut di Atas


Golongan Obat Mengurangi Penyembuhan Mencegah Mencegah
gejala komplikasi kekambuhan

Antasid +1 0 0 0
Prokinetik +2 +1 0 +1
Antagonis +2 +2 +1 +1
reseptor H2
Antagonis reseptor +3 +3 +1 +1
H2 + prokinetik
Antagonis reseptor +3 +3 +2 +2
H2 dosis
Penghambat pompa +4 +4 +3 +4
proton
Pembedahan +4 +4 +3 +4

23
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

Gejala khas GERD

Umur <40 tahun


Umur >40 tahun

PPI tes/ terapi empiris

Gejala menetap/berulang Respon baik

Endoskopi Terapi minimal 4minggu

kekambuhan Terapi on demand

Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki fasilitas diagnostik
memadai.
Terduga kasus GERD

Tidak diselidiki Diselidik


Keluhan menetap

Terapi empiris/Tes PPI Terapi awal


Esofagitis ringan Esofagitis sedang dan berat
PPI test 1-2 minggu dosis
Gejala berulang
ganda (sensitivitas 60-80%) NERD

On demand therapy Terapi Maintenance

24
2.9 Komplikasi
1 Esofagitis
Terjadinya esofagitis apabila isi beserta asam lambung masuk ke dalam esofagus
kemudian merusak permukaan mukosa dari esofagus. Tubuh kemudian merespon hal
tersebut sehingga terjadilah suatu proses inflamasi. Terjadinya suatu respon inflamasi ini
bertujuan untuk menetralisir agen yang telah rusak dan memulai proses penyembuhan.
Namun apabila kerusakan yang ditimbulkan pada esofagus tersebut cukup dalam, lama
kelamaan akan terbentuk suatu tukak/ulkus dimana ulkus tersebut sangat rapuh. Ulkus
yang meradang tersebut lama-kelamaan akan mengikis mukosa hingga sampai ke
pembuluh darah esofagus (esofagitis erosive) sehingga pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya perdarahan pada esofagus.
2 Striktur
Striktur esofagus disebabkan karena ulkus-ulkus yang terdapat pada esofagus
telah pulih namun membentuk suatu jaringan fibrosis. Selanjutnya jaringan fibrosis
tersebut lama kelamaan akan menyusut dan menyempit sehingga lumen esofagus pun
ikut menyempit. Penyempitan ini disebut dengan striktur. Apabila penyempitan ini
semakin parah, hal ini dapat menyebabkan makanan yang masuk ke dalam esofagus tidak
dapat sampai ke lambung karena adanya obstruksi yang disebabkan oleh
penyempitan/striktur pada lumen esofagus tersebut.
3 Barret esofagus
Merupakan bentuk komplikasi dari gerd derajat berat dimana terjadi metaplasia
dari sel epitel squamous berubah menjadi esofagus columnar. Barret merupakan factor
resiko terjadinya adenoca esofagus. Perubahan epitel dari squamous menjadi columnar
pada esofagus terjadi pada saat proses penyembuhan dari esofagitis erosive namun
selama dalam masa proses pemulihan tersebut, refluks asam lambung ke esofagus juga
terus berlangsung. Akibat adanya paparan yang berulang-ulang terhadap asam lambung
tersebut maka sel epitel squamous esofagus tersebut lama kelamaan bermetaplasia jadi
epitel sel columnar.

25
4 Mallory-Weiss tear
Merupakan mukosa linear yang robek(ruptur) pada gastroesofageal junction yang
sering diakibatkan oleh muntah, ketika tear mengganggu submukosa arteriola, dapat
menyebabkan perdarahan cepat. Endoskopi adalah metode diagnostic terbaik, dan
perdarahan aktif tear dapat diobati dengan menggunakan endoskopi yaitu injeksi
epinefrin, koagulan, hemoclips atau ligasi band. Berbeda dengan peptic ulcers, Mallory-
weiss tear non bleeding dengan sentinel clot pada alasnya jarang rebleeds dan dengan
demikian tidak diperlukan terapi endoskopi.

2.10 Prognosis
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80%
dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan
(maintenance therapy) atau bahkan terapi bila perlu (on-demand therapy) yaitu pemberian
obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala
hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya
respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis
bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.

26
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien

Nama : Tn. P

Umur : 55 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pendidikan : SMP

Agama : Islam

Alamat : Aek Ledong

Status pernikahan : Menikah

Anamnesis

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur tahun di RSUD Karawang sejak tanggal
31 Agustus 2014, Anamnesis dilakukan secara auto-anamnesis dan allo-anamnesis dengan
keluarga pasien

Keluhan Utama

Os datang dengan keluhannyeri dada seperti rasa terbakar yang dirasa sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit.

27
Riwayat Penyakit Sekarang

Os mengeluh nyeri dada seperti rasa terbakar sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, selain
itu terdapat nyeri tenggorok sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Os mengatakan bahwa
setiap habis makan terasa asam pada lidah dan ada makanan yangkeluar dari mulut sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit.Os juga mengeluh suaranya serak sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Os mengatakan bahwa ada rasa mual dan nyeri ulu hati.

Riwayat Penyakit Dahulu

Os tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Os memiliki riwayat penyakit
maag sejak 2 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 36.4C

Kesan gizi : gizi baik

28
Status Generalis

Kepala : bulat, simetris

Rambut : hitam lebat, tersebar merata dan tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva anemis (-/-), skleraikterik(-/-)

Telinga : sekret tidak ada, nyeri tekan dan ketok mastoid tidak ada

Hidung : tidak ditemukan kelainan

Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis

Gigi dan Mulut : mukosa dan bibir basah. Caries gigi tidak ada. OH baik

Leher : KGB tidak ditemukan pembesaran

Thoraks : I = normochest, iktus tidak terlihat

Pa = fremitus sama Ki=Ka, iktus teraba di 1 jari medial LMCS RIC V

Pe = Sonor. Batas jantung dalam batas normal

Au= Suara nafas vesikular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-. BJ I BJ II reguler
Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen : I = datar, distensi tidak ada

Pa = supel, hepar dan lien tidak teraba. Nyeri tekan epigastrium (+)

Pe = Timpani

Au = bising usus (+) normal

Genital/anus : tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas :akral hangat, perfusi baik. Refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-.
Tidak terdapat edema pada kedua ekstremitas bawah pasien

29
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pada tanggal 31 Agustus2014

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hematologi
Hemoglobin 13.8 gr/dl 13 18 gr/dl
Leukosit 11.260 / l 3.800 10.600 / l
Hematokrit 43,1 % 40 52 %
Trombosit 198.000 / l 150.000 440.000 / l
Basofil 0 01
Eosinofil 1 13
Neutrofil 75 40 70
Limfosit 13 20 40
Monosit 11 28
Kimia
Glukosa Darah Sewaktu 108 <140
Ureum 32.9 15 50 mg/dl
Kreatinin 1.45 0,6 1,1 mg/dl

Diagnosis Banding
Chest pain et causa Gastroesophageal reflux disease (GERD)
Chest pain et causa Gastritis
Chest pain et causa Ulkus peptikum
Chest pain et causa Angina pectoris
Chest pain et causa MCI

30
Diagnosis Kerja
Chest pain et causa Gastroesophageal reflux disease (GERD)

Anjuran Pemeriksaan :
Cek H2TL
EKG
Ro Thorax
Endoskopi

Terapi awal:
Antagonis reseptor H2: Ranitidin 2x1g
Penghambat Pompa Proton: Omeprazole 1x1g
Antasida syrup 3x1 sendok makan
Aprazolam 1x0,5mg

Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

31
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN

GERD umumnya didasarkan pada kombinasi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, tes
diagnostik yang tepat. Pasien yang datang pada ahli THT seringkali tidak disertai gejala refluk
tipikal seperti dada panas dan regurgitasi. Menentukan tes yang potensial untuk menegakkan
diagnosis GERD dengan gejala tipikal atau tipikal, ada 3 kategori tujuan pemeriksaan.4

1. Ada/tidaknya refluk

d. pemeriksaan radiologi untuk menentukan hiatus hernia.


e. Pemeriksaan manometri: menentukan tonus spingter gastro esofagus.
f. Pemeriksaan endoskopi: esofagoskopi, laringoskopi.

2. Kerusakan esofagus akibat refluk

e. Tes perfusi asam (Bernstein)


f. Endoskopi: esofagoskopi, laringoskopi
g. Biopsi mukosa esofagus
h. Barium esofagrogram

3. Mengukur refluk

e. Barium esofagogram
f. Scintiscan gastroesofagus
g. Tes refluk asam standar
h. Monitor pH lumen esofagus 24 jam

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2007.
2. Wilson LM, Lindseth GN. Gangguan esofagus. Dalam: Price SA,Wilson LM.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta : EGC ; 2006. h.
404-16.
3. Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus. Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of pediatrics.edisi ke-17.
Philadelphia : Sounders ; 2004. h.1217-27.
4. Soepardi, E.A. Disfagia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher edisi keenam. FKUI. Jakarta.2007. Hal. 276-280
5. Guyton, A.C & Hall, J.E. Propulsi dan Pencampuran Makanan dalam Saluran
Pencernaan. Dalam : Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. EGC.
Jakarta. 2007. Hal. 821-831
6. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009

33

Anda mungkin juga menyukai