Anda di halaman 1dari 15

PROSES BERDUKA AKIBAT KEMATIAN ORANG YANG DICINTAI YANG

DIALAMI OLEH LANSIA DI KABUPATEN NGADA


2013

GRIEVING PROCESS DUE TO DEATH OF LOVED ONE SUFFERED BY THE


ELDERLY IN NGADA REGENCY
2013

OLEH:
JULIAN FRITZ CHESAR PRATAMA SALIM1
JESIKA PASARIBU2
WILHELMUS HARY SUSILO3

ARTIKEL ILMIAH

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIK SINT CAROLUS, JAKARTA
MARET, 2014
1
Mahasiswa STIK Sint Carolus
2
Dosen Tetap STIK Sint Carolus
3
Dosen Tidak Tetap STIK Sint Carolus

1
Research Tree
Sint Carolus School of Health Sciences
BML-12-03-08
BML-12-03-08

Bagian Penelitian STIK Sint Carolus


Jl. Salemba Raya 41 Jakarta 10440
Telp 3904441 (2465) Fax 3107157
-------------------------------------

2
ABSTRAK
Proses berduka merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang dapat
diekspresikan secara internal maupun eksternal setelah kehilangan.Proses berduka memiliki
karakteristik yang unik, membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi tidak dapat dipaksakan,
tetapi pada umumnya mengikuti tahap yang dapat diprediksi. Terutama pada lansia, salah
satu indikator kepribadian positif yang tampak adalah siap menerima kematian.Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran proses berduka akibat kematian orang yang dicintai
yang dialami oleh lansia. Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan desain fenomenologi.
Peneliti berperan sebagai instrumen penelitian.Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara mendalam menggunakan kuisioner sebagai panduan wawancara, yang direkam
menggunakan tape recorder dan dilengkapi catatan lapangan, dan dianalisis menggunakan
metode Colaizzi. Jumlah informan sebanyak 4 orang. Hasil penelitian, ditemukan empat sub
tema yaitu depresi, marah, tawar-menawar, dan mengingkari, dan empat sub tema tersebut
memiliki beberapa sub-sub tema. Depresi memiliki sub-sub tema putus asa, perasaan
kesepian dan kesedihan. Marah memiliki sub-sub tema memproyeksikan kemarahan pada diri
sendiri atau lainnya. Tawar-menawar memiliki sub-sub tema mempunyai keinginan untuk
merubah apa yang sudah terjadi. Mengingkari memiliki sub-sub tema menolak mempercayai
bahwa kehilangan terjadi secara nyata. Diharapkan pemerintah daerah membuat kebijakan
yang baik terkait pelayanan kesehatan jiwa bagi lansia di daerahnya. Bagi penelitian
keperawatan selanjutnya, diharapkan dapat menggali lebih dalam tentang proses berduka
yang dialami oleh lansia, dengan menggunakan desain penelitian kuantitatif.

Kata Kunci : Proses Berduka, Kematian,Lansia

ABSTRACT
The process of grieving is a psychological and emotional process that can be
expressed internally and externally after the loss. Grieving process has unique
characteristics, requires time, can be facilitated but can not be forced, but generally follow
predictable stages. Especially in the elderly, one of the indicators appear positive personality
is ready to accept death. This study aims to describe the process of grieving the death of a
loved one experienced by the elderly. This research method is qualitative with
phenomenological design. Researcher act as a research instrument. Data was collected
through in-depth interview using a questionnaire as an interview guide, which was recorded
using a tape recorder and include field notes. Data was analyzed using Colaizzi method. The
number of informants were 4 people. The results of the study, found four sub- themes:
depression, anger, bargaining, and deny. Each theme has its subthemes. Depression has
sub-themes of despair, feelings of loneliness and sadness. Anger has sub-themes projecting
anger at others. Bargaining has sub-themes have a pretension to change what's already
happened. Deny has sub-themes have refused to believe that the real loss occurs. It is
expected that local governments make better policies related to mental health services for the
elderly in the area. For further nursing research, is expected to dig deeper into the grieving
process experienced by the elderly, by using quantitative research designs.

Key words : Grieving Process,Death, Elderly

3
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kehilangan adalah suatu keadaan ketika individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada atau dimiliki, baik sebagian atau keseluruhan (Riyadi dan Purwanto, 2009).
Menangis, memanggil nama orang yang sudah meninggal secara terus-menerus, marah, sedih
dan kecewa merupakan beberapa respon yang tampak saat seseorang mengalami peristiwa
kehilangan, terutama akibat kematian orang yang dicintai. Keadaan seperti inilah yang
menurut Puri, Laking, dan Treasaden (2011) disebut sebagai proses berduka, yang
merupakan suatu proses psikologis dan emosional yang dapat diekspresikan secara internal
maupun eksternal setelah kehilangan.
Individu yang berduka membutuhkan waktu untuk menerima suatu peristiwa
kehilangan, dan proses berduka merupakan suatu proses yang sangat individual. Fase akut
berduka biasanya berlangsung 6-8 minggu dan penyelesaian respon kehilangan atau berduka
secara menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan sampai 3 tahun (Keliat, Helena, dan Farida,
2011). Rotter (2009) mengatakan bahwa proses berduka memiliki karakteristik yang unik,
membutuhkan waktu, dapat difasilitasi tetapi tidak dapat dipaksakan, tetapi pada umumnya
mengikuti tahap yang dapat diprediksi. Proses berduka merupakan suatu proses yang unik
dan berbeda pada setiap individu. Tidak ada yang dapat memastikan kapan seseorang dapat
melewati semua tahapan dalam proses berduka, yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi
sehingga proses berduka yang dialami individu dapat sampai pada suatu tahap penerimaan.
Sanders dalam Bobak, Lowdermilk, dan Jeasen (2005) mengatakan bahwa intensitas
dan durasi respon berduka bergantung pada banyak hal dan salah satunya adalah usia.
Indriana (2012) mengatakan bahwa perbedaan usia antara orang tua dan anak-anak
memengaruhi pola pikir mereka tentang kematian, dengan perkembangan anak, maka
merekapun lebih matang menghadapi kematian. Seiring dengan meningkatnya usia seseorang
maka seharusnya mereka akan lebih banyak memiliki pengalaman langsung mengenai
kematian ketika teman-teman atau kerabat mereka menderita sakit dan meninggal, sehingga
peristiwa kematian seharusnya tidak lagi menjadi suatu peristiwa yang tidak bisa untuk
mereka hadapi.
Indikator kepribadian positif yang tampak pada usia dewasa akhir atau lansia adalah
siap menerima kematian (Erikson dalam Nasir dan Muhith, 2011). Semakin meningkat usia
seseorang maka akan semakin meningkat juga pemahaman dan penerimaan orang tersebut
akan kematian, yang menyebabkan akan semakin mudah juga orang tersebut untuk melalui

4
semua tahapan proses berduka yang harus dilalui untuk pada akhirnya mencapai suatu tahap
penerimaan dari suatu peristiwa kematian.
Hasil pengamatan yang dilakukan pada lansia di Kabupaten Ngada pada saat
mengalami peristiwa kehilangan akibat kematian orang yang dicintai, menggambarkan bahwa
sangat sulit bagi mereka untuk menerima peristiwa kematian itu sebagai suatu bentuk
kehilangan yang aktual dan wajar, yang secara perlahan suka atau tidak suka harus diterima
dan diikhlaskan sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi.Mereka akan selalu tampak
sedih, mengkritik diri sendiri, memiliki pandangan hidup yang pesimis, kurang
memperhatikan perawatan diri, menarik diri dari pergaulan bahkan dengan anggota
keluarganya sendiri, berbicara lambat dengan nada suara lemah, dan lebih banyak menunduk
dan merenung sendiri dalam kesehariannya. Kejadian ini dapat berlangsung dalam jangka
waktu yang lama yaitu sepanjang kehidupannya.
Tidak ada ritual budaya khusus yang harus dilakukan oleh lansia dalam jangka waktu
lama terkait peristiwa kematian yang menyebabkan mereka tidak dapat menerima suatu
peristiwa kematian sebagai sesuatu yang harus diterima dan diikhlaskan. Fenomena inilah
yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian mengenai gambaran proses
berduka akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh lansia di Kabupaten Ngada.

Rumusan masalah
Bagaimana gambaran proses berduka akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh
lansia di kabupaten Ngada?

Tujuan penelitian
Mengetahui gambaran proses berduka akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh
lansia di kabupaten Ngada.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain penelitian fenomenologi.
Penelitian dilakukan selama bulan Juli-Agustus 2013 di Kabupaten Ngada. Data diperoleh
melalui wawancara mendalam selama 30-45 menit yang dilakukan oleh diri peneliti sendiri,
dengan menggunakan kuisioner sebagai panduan wawancara mengenai proses berduka yang
informan alami, dan direkam menggunakan tape recorder. Populasi yang menjadi sasaran
dalam penelitian ini adalah lansia di kabupaten Ngada. Sampel yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah 3 orang lansia di kabupaten Ngada atau sampai terjadi saturasi, dan

5
maksimal adalah 10 orang informan. Data yang telah didapatkan kemudian dianalisa
menggunakan metode Colaizzi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Putus asa
2. Perasaan
Depresi kesepian
3. Kesedihan

Marah Memproyeksikan
Gambaran kemarahan pada diri
sendiri atau lainnya
Proses
Berduka Tawar-
Mempunyai keinginan
menawar untuk merubah apa
yang sudah terjadi
Mengingkari
Menolak
mempercayai bahwa
kehilangan terjadi

Dari hasil verbatim wawancara didapatkan hasil bahwa ada beberapa gambaran proses
berduka yang dialami oleh lansia akibat kematian orang yang dicintai yaitu : depresi, marah,
tawar-menawar, dan mengingkari. Dari gambaran proses berduka tersebut, terbagi dalam
kategori-kategori. Untuk depresi terbagi dalam kategori putus asa, perasaan kesepian dan
kesedihan. Untuk marah terdiri dari kategori memproyeksikan kemarahan pada diri sendiri
atau lainnya. Untuk tawar menawar terdiri dari kategori mempunyai keinginan untuk
merubah apa yang sudah terjadi. Untuk mengingkari terdiri dari kategori menolak
mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata.

Depresi
Depresi merupakan tahap keempat dari Kubler-Rosss Stage of dying, yaitu suatu
tahapan dimana seseorang yang menghadapi suatu peristiwa kematian menghabiskan banyak
waktu untuk menangis dan berduka, dan orang yang berada pada tahap ini dapat berkata
saya sangat sedih, mengapa peduli dengan yang lainnya?, saya akan mati, apa
keuntungannya?, saya merindukan orang yang saya cintai, dan mengapa saya harus

6
hidup? (Santrock, 2007).Keadaan seperti ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa
depresi dapat terjadi akibat adanya suatu pengalaman yang menyakitkan bagi seseorang
sehingga orang tersebut mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata yang
menggambarkan adanya suatu bentuk rasa keputusasaan, kerinduan, dan kesedihan yang
mendalam terhadap sesuatu. Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Lubis (2009) yang mengatakan bahwa depresi merupakan suatu keadaan akibat pengalaman
yang menyakitkan, dimana individu yang mengalami depresi akan menunjukan gejala seperti
sedih yang berkepanjangan, perasaan tidak ada harapan lagi, sensitif, hilang rasa percaya diri
dan munculnya pikiran tentang kematian yang berulang.
Semua informan memiliki pandangan bahwa dirinya sudah tidak berarti lagi sejak orang
yang mereka cintai meninggal dunia.Keadaan seperti ini dapat terjadi karena adanya
hubungan dan interaksi yang baik dalam keluarga yang berlangsung dalam jangka waktu
yang lama. Kusumawati dan Hartono (2010) mengatakan bahwa hubungan dalam keluarga
yang mendukung dan interaksi yang berlangsung sepanjang proses tumbuh kembang akan
mempengaruhi sikap dan perilaku individu untuk menanggapi,berhubungan serta berpikir
tentang diri dan lingkungan dalam konteks hubungan personal yang luas pada saat
menghadapi suatu peristiwa perpisahan atau kehilangan.
50% informan menginginkan dirinya untuk dipanggil Tuhan atau meninggal dunia juga
dalam waktu secepatnya agar bisa bertemu dengan orang yang mereka dicintai, yang telah
meninggal dunia.Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa informan mengalami suatu kondisi
depresi yang bersifat negatif dan juga menunjukan adanya suatu tekanan yang besar dalam
diri mereka akibat suatu pengalaman tidak menyenangkan yang mereka alami. Mereka
beranggapan bahwa dengan meninggalnya orang mereka cintai, mereka tidak akan bisa
menyelesaikan masalahnya sendiri karena mereka sangat membutuhkan orang yang mereka
cintai itu, untuk membuat keputusan terkait suatu masalah, melakukan suatu kegiatan,
memikul suatu tanggung jawab, memberi nasehat maupun untuk menghibur diri mereka
setiap hari dengan berbagai tindakan yang dilakukan bersama. Chaplin (2002) mengatakan
bahwa depresi yang bersifat negatif merupakan perasaan-perasaan, emosi, atau suasana hati
yang dirasakan negatif seperti perasaan sedih (blues), tertekan (depressed), kesepian (lonely),
putus asa dan menangis (cry sad).
Seluruh informan juga mengungkapkan bahwa mereka sampai saat penelitian dilakukan
masih merasa sedih, sepi dan hidup hanya seorang diri karena ditinggal pergi untuk selama-
lamanya oleh orang yang mereka cintai dan beranggapan bahwa perasaan sedih yang mereka
rasakan saat ini merupakan suatu bentuk perasaan yang paling pantas untuk mereka akibat

7
kehilangan yang mereka alami. Anggapan informan tersebut menunjukan bahwa mereka
mengalami depresi yang sudah berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dan secara tidak
langsung menunjukan bahwa mereka menganggap dirinya tidak pantas lagi untuk merasakan
kebahagiaan setelah ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh orang yang mereka cintai.
Pernyataan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Baier dan Buechsel (2012)
bahwa gejala proses depresi saat menghadapi suatu peristiwa kematian adalah mengalami
penurunan mood, sedih dan menangis setiap hari, merasa putus asa, merasa bersalah yang
luar biasa, dan mulai percaya bahwa setelah peristiwa itu dirinya tidak akan pernah merasa
bahagia lagi.
25% informan mengungkapkan bahwa dirinya sudah berusaha untuk mencari dan
melakukan kegiatan lain agar tidak selalu merasa sepi karena ditinggal pergi untuk selama-
lamanya oleh orang yang ia cintai, tetapi tetap saja pada saat-saat tertentu dirinya kembali
merasakan perasaan sepi dan sendiri. Keadaan ini menunjukan bahwa informan sudah
berusaha melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah yang dimiliki namun belum juga
berhasil mengatasi masalah tersebut karena pada suatu saat masalah tersebut akan kembali
muncul. Keadaan ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hawari (2011) yang
mengatakan bahwa depresi terjadi dalam rentang waktu tertentu. Sebuah episode depresi pada
umumnya berlangsung 6 hingga 9 bulan, namun pada beberapa orang dapat berlangsung
dalam rentang waktu 2 tahun bahkan lebih. Depresi memiliki episode yang berulang dan
dapat terjadi beberapa kali.
Marah (Anger)
Indriana (2012) mengatakan bahwa marah merupakan tahap kedua dari Kubler-Rosss
Stage of dying, yaitu suatu tahapan dimana seseorang yang menghadapi suatu peristiwa
kematian merasa bahwa penyangkalan tidak mungkin lagi diteruskan, dan orang tersebut
menjadi sulit untuk dirawat, karena kemarahan akan diarahkan dan diproyeksikan kepada
para tenaga medis, perawat, anggota keluarga, bahkan Tuhan. Peneliti beranggapan bahwa
seseorang yang berada pada tahapan ini akan mengekspresikan bentuk kemarahannya dan
ketidakpuasannya melalui berbagai macam kata-kata dan tindakan kepada siapa saja dan apa
saja yang dianggapnya sebagai pihak yang bertanggung jawab baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap meninggalnya orang yang ia cintai. Pendapat ini sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Riyadi dan Purwanto (2009) yang mengatakan bahwa
seseorang yang berada ditahapan marah akan memunculkan ekspresi seperti bicara kasar,
agresif, dan akan berkata seperti Saya benci dengan dia karena... dan Ini terjadi karena
dokter tidak sungguh-sungguh dalam pengobatannya.

8
Seluruh informan meluapkan dan memproyeksikan kemarahannya atas peristiwa yang
terjadi kepada diri sendiri, orang lain maupun apa saja yang dianggap menjadi penyebab
suatu peristiwa kematian orang yang ia cintai. Mereka beranggapan bahwa orang lain yang
berada disekitarnya termasuk diri mereka sendiri tidak lebih penting dari orang yang mereka
cintai yang sudah meninggal dunia dan tidak pantas lagi untuk dipedulikan.Peneliberpendapat
bahwa kejadian yang terjadi sebelum peristiwa kematian orang yang dicintai terjadi
merupakan suatu hal yang sangat mempengaruhi bagaimana pandangan dan perilaku yang
ditampilkan seseorang yang ditinggalkan terhadap kejadian tersebut. Pendapat tersebut
sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kusumawati dan Hartono (2010) yang
mengatakan bahwa persepsi individu terhadap kejadian, arti kejadian tersebut pada individu,
pengaruh kejadian terhadap masa depan individu, mekanisme koping yang dimiliki individu
dan kehilangan orang yang dicintai merupakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan
seseorang mengalami suatu masalah dalam dirinya, yang jika berlangsung terus menerus akan
mengakibatkan timbulnya rasa marah yang dianggap menyebabkan masalah itu timbul.
50% informan memiliki suatu bentuk kemarahan dan dendam yang berkepanjangan
terhadap hal-hal yang mereka anggap menyebabkan orang yang mereka cintai meninggal
dunia. Mereka selalu memproyeksikan kemarahannya melalui berbagai macam cara yang
mereka lakukan apabila bertemu atau berhadapan dengan hal-hal atau orang lain yang mereka
anggap merupakan penyebab kematian orang yang mereka cintai. Kemarahan seperti ini
menurut asumsi peneliti, secara tidak langsung menunjukan bahwa orang yang ditinggalkan
sudah mulai menyadari bahwa orang yang ia cintai sudah benar-benar meninggal dunia, dan
orang yang ditinggalkan ini mengekspresikanbentuk kemarahannya akibat peristiwa yang
telah terjadi, kepada orang lain atau hal lain yang dianggapnya menyebabkan peristiwa
kematian tersebut terjadi. Pernyataan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Santrock (2007) yang mengatakan bahwa ketika berada pada tahap marah dalam suatu proses
berduka, individu akan menyadari bahwa ia tidak dapat senantiasa menyangkal, oleh karena
itu, orang tersebut akan sangat sulit untuk diperhatikan karena perasaan marah yang
dirasakan.
Tawar-menawar
Tawar-menawar merupakan suatu tahap dalam proses berduka dimana seseorang
mengembangkan harapan bahwa kematian dapat saja diundur atau ditunda. Secara psikologis,
orang itu berkata iya, aku, tapi.Penambahan waktu hidup dalam hari, minggu atau bulan
menjadi harapannya dan orang itu berjanji untuk mengabdikan hidupnya kepada Tuhan atau
untuk melayani sesama (Indriana, 2012). Pendapat ini menunjukan bahwa seseorang yang

9
berada pada tahap tawar-menawar secara sadar telah menyadari bahwa orang yang ia cintai
sudah benar-benar pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya, namun seseorang yang
berada pada tahapan ini, dengan berbagai alasan beranggapan bahwa kematian yang sudah
terjadi itu merupakan suatu kejadian yang belum seharusnya terjadi pada saat itu, oleh karena
itu kematian orang yang ia cintai tersebut masih bisa dirundingkan dan dipindahkan ke waktu
yang lain.
75% informanmemiliki pandangan bahwa mereka dengan usianya saat ini, sudah tidak
memiliki manfaat apa-apa lagi di dunia ini dan dirinya sebenarnya tidak lebih berharga dari
orang yang sudah meninggal tersebut dan lebih pantas untuk mati. Pandangan informan yang
seperti ini menurut asumsi peneliti, menunjukan bahwa sejak ditinggal pergi untuk selama-
lamanya oleh orang yang dicintai informan memiliki pandangan yang negatif dan pesimis
terhadap diri sendiri. Pandangan informan yang seperti ini bertentangan dengan pandangan
yang dikemukakan oleh Jahoda (2010) yang mengatakan bahwa sikap yang baik terhadap diri
sendiri, yaitu tidak merasakan harga diri yang rendah, tidak memiliki perasaan yang negatif
tentang kondisi diri dan selalu optimis dengan kemampuan diri merupakan sikap yang harus
tetap dimiliki oleh seseorang dalam menjalani kehidupannya terutama dalam menghadapi
pengalaman yang buruk.
Seluruh informan juga menginginkan suatu keadaan yang sebaliknya dari kenyataan
yang terjadi saat ini, yaitu mencoba meminta kepada Tuhan bahwa sebaiknya diri mereka saja
yang meninggal bukan orang yang mereka cintai. Potter dan Perry (2005) mengatakan bahwa
ciri lain dari proses tawar-menawar adalah orang akan mencoba membuat kesepakatan secara
halus atau terang-terangan seolah kehilangan yang sudah terjadi dapat dicegah. Secara tidak
langsung menurut asumsi peneliti, hal ini juga menggambarkan suatu bentuk rasa bersalah
dari diri informan karena membiarkan orang yang sudah meninggal melakukan hal yang
sudah informan larang untuk dilakukan pada saat itu, sehingga informan berusaha untuk
memperbaiki kesalahannya dengan terus-menerus berharap bahwa dirinya saja yang
meninggal daripada orang yang ia cintai itu.
50% informan memiliki anggapan yang lain, yaitu bahwa kematian orang yang dicintai
itu juga terjadi karena orang yang mereka cintai tersebut tidak mau menuruti larangan dan
saran yang mereka berikan, jika saja orang yang sudah meninggal itu menaati larangan dan
saran yang mereka berikan pasti kematian itu tidak akan terjadi atau paling tidak tidak terjadi
pada saat itu. Pendapat ini menunjukan bahwa informan yang terlibat dalam penelitian
berpendapat bahwa kematian yang terjadi pada orang yang mereka cintai terjadi akibat
kelalaian diri mereka sendiri dan orang yang sudah meninggal. Mereka beranggapan bahwa

10
jika saja kelalaian diri mereka sendiri maupun kelalaian orang yang sudah meninggal itu
tidak terjadi maka kematian itu tidak akan terjadi kepada orang yang mereka cintai pada saat
itu.
Mengingkari (Denial)
Indriana (2012) mengatakan bahwa penyangkalan merupakan tahap pertama dari
Kubler-Rosss Stage of dying dimana pada tahap ini seseorang menyangkal bahwa kematian
itu akan benar-benar datang. Penyangkalan, bagaimanapun hanya merupakan defence yang
bersifat sementara, dan biasanya digantikan oleh bertambahnya kesadaran ketika seseorang
itu dihadapkan pada hal-hal seperti pertimbangan keuangan, permasalahan yang belum
selesai, dan perasaan khawatir mengenai keluarga yang ditinggalkan. Teori ini
menggambarkan bahwa penyangkalan merupakan sebuah fase dimana seseorang yang
mengalami peristiwa kematian orang yang ia cintai merasa kaget dan tidak percaya dengan
peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Keadaan ini menurut asumsi peneliti dapat terjadi
akibat peristiwa kematian yang dialami terjadi secara tiba-tiba dan siapa orang yang
meninggal tersebut bagi orang yang ditinggalkan untuk selama-lamanya. Pendapat ini sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rando dalam Rotter (2009) yang mengatakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan dimana seseorang akan sulit
menerima suatu peristiwa kehilangan diantaranya adalah arti kehilangan, serta sifat
kehilangan yang tiba-tiba (tidak dapat diramalkan) dan tidak diharapkan.
50% informan yang mengalami suatu proses berduka akibat kematian orang yang
dicintainya sudah menyadari bahwa orang yang meninggal sudah pergi meninggalkan mereka
dalam bentuk fisik, sehingga mereka tidak akan bisa melihat ataupun menyentuh orang yang
sudah meninggal itu secara nyata lagi, tetapi mereka beranggapan bahwa orang yang sudah
meninggal itu akan selalu berada dalam bentuk yang tidak nyata disamping mereka dan selalu
menemani mereka dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Keadaan inilah yang menyebabkan
mereka sering mengungkapkan bahwa mereka merasa bahwa orang yang sudah meninggal
berbicara, ada di samping mereka, menemani mereka dalam bekerja dan lain sebagainya,
yang menyebabkan mereka saat ditanya, akan sulit mengatakan bahwa orang yang telah
meninggal itu benar-benar pergi secara jiwa dan raga atau seutuhnya dari kehidupan mereka.
Keadaan seperti ini, menurut asumsi peneliti menggambarkan bahwa informan masih
belum bisa menerima peristiwa kehilangan yang dialaminya sehingga informan tetap melihat
dan merasa bahwa orang yang ia cintai tersebut tetap berada di sampingnya dan
menemaninya dalam kesehariannya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Suseno (2004) yang mengatakan bahwa fase penyangkalan (denial) merupakan reaksi

11
individu terhadap kehilangan dimana pada fase ini individu tidak percaya, menolak, atau
tidak menerima kehilangan yang terjadi dan seseorang yang mengalami kehilangan karena
kematian orang yang berarti baginya, tetap merasa bahwa orang tersebut masih hidup. Dia
mungkin mengalami halusinasi, melihat orang yang sudah meninggal tersebut berada di
tempat yang biasa digunakan dan mendengar suaranya.
50% informan yang lain mengungkapkan bahwa sampai saat wawancara dilakukan
mereka belum percaya akan peristiwa kematian yang sudah terjadi dan belum bisa dan tidak
akan pernah bisa mengikhlaskan kepergian orang yang mereka cintai untuk selama-lamanya
bahkan sampai mereka meninggal dunia juga. Pernyataan informan ini, menurut asumsi
peneliti menunjukan bahwa informan dengan usianya saat ini memiliki indikator
perkembangan kepribadian yang negatif. Pendapat peneliti ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Erikson dalam Nasir dan Muhit (2011) yang mengatakan bahwa indikator
negatif yang muncul tahap dewasa akhir (65 tahun ke atas) dimana pada tahap ini
berkembang suatu kepribadian khusus yaitu integritas ego vs putus asa adalah perasaan
kehilangan.
25% informan tetap saja tidak bisa mengikhlaskan kepergian orang yang ia cintai
untuk selama-lamanya, meskipun mereka sudah dihibur dan ditemani serta dinasehati oleh
teman atau keluaga yang ada di dekat mereka bahkan oleh pemuka agama untuk mencoba
mengikhlaskan kepergian orang yang mereka cintai untuk selama-lamanya itu.Ungkapan ini
menurut asumsi peneliti menunjukan bahwa informan memiliki suatu bentuk proses berduka
yang patologis karena tidak mampu atau memiliki masalah dalam menerima suatu peristiwa
kematian yang sudah terjadi. Pendapat ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Dillen (2009)yang mengatakan bahwa salah satu gejala dari berduka yang patologis adalah
bermasalah dalam menerima kematian.

SIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Gambaran proses berduka akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh lansia
di Kabupaten Ngada terdiri dari proses depresi, marah, tawar-menawar, dan mengingkari.
Gambaran proses depresi yang teridentifikasi adalah putus asa, perasaan kesepian dan
kesedihan. Gambaran proses marah yang teridentifikasi adalah memproyeksikan kemarahan
pada diri sendiri atau lainnya. Gambaran proses tawar-menawar yang teridentifikasi adalah
mempunyai keinginan untuk merubah apa yang sudah terjadi. Gambaran proses mengingkari
yang teridentifikasi adalah menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata.

12
Saran
Penelitian keperawatan jiwa selanjutya dapat melakukan pengembangan penelitian
kualitatif fenomenologi dengan topik mengenai gambaran proses berduka pada lansia dengan
menggunakan metode pengumpulan data melalui diskusi kelompok terarah, metode
kuantitatif, dan menggunakan sampel penelitian yang lebih heterogen agar maendapatkan
hasil penelitian yang lebih mendalam dan bervariatif, serta mengkaji dan memvalidasi
kepada pihak keluarga terlebih dahulu terkait perubahan perilaku yang terjadi pada informan,
sehingga kemungkinan data yang didapatkan menjadi bias, bisa lebih diminimalisir.
Pemerintah Kabupaten Ngada sebagai pembuat kebijakan terkait pelayanan lansia di
daerahnya haruslah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang efektif dan efisien terkait
pelayanan yang berhubungan dengan keperwatan jiwa, khususnya bagi lansia di daerahnya
agar terciptanya suatu bentuk pelayanan yang terpadu dan menjamin ketersediaan layanan
yang komprehensif dan berkesinambungan, baik dari segi infrastruktur, tenaga ahli, dan
peraturan daerah, sehingga semua masalah kesehatan jiwa yang semula tidak disadari sebagai
suatu masalah oleh masyarakat, dapat disadari dan dilakukan penanganan segera oleh tenaga
ahli, sehingga gangguan jiwa yang lebih berat akibat gangguan jiwa kecil yang tidak dikaji
dan ditangani sebelumnya dapat dicegah.
Informan harus bersosialisasi lebih sering dan lebih intensif melalui berbagai cara yang
masih dapat dilakukannya, baik itu dengan tetangga di lingkungan tempat tinggalnya maupun
dengan anak-anaknya yang tinggal terpisah dengannya. Kegiatan ini ditujukan agar informan
tidak terlalu terfokus pada peristiwa kematian yang telah terjadi dan perlahan-lahan dapat
menerima peristiwa kematian yang telah terjadi sebagai sesuatu yang wajar terjadi dan
memang sudah seharusnya terjadi.
Pihak keluarga dan orang terdekat harus lebih memberikan perhatian dan meningkatkan
intensitas komunikasi serta pertemuan dengan lansia, agar pikiran dan fokus lansia terhadap
peristiwa kematian yang terjadi bisa berkurang dan perlahan-lahan bisa menerima peristiwa
kematian itu sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi dan harus diikhlaskan.

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta; Graha Ilmu
Baier, M & Ruth, B. (2012). A Model to Help Bereaved Individuals Understand the Grief
Process. Academic Journal Vol.16 (no.1), 28-

13
32.,http://connection.ebscohost.com/c/articles/80033042/model-help-bereaved-
individuals-understand-grief-process. Diperoleh 28 Mei 2013
Bobak., Lowdermilk., & Jeasen. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. Diterjemahkan
oleh: Wijayarini. Jakarta; EGC.
Chaplin, J. P. (2006). Kamus Lengkap Psikologi. Diterjemahkan oleh Kartini. Jakarta; Raja
Grafindo Persada
Hartono, Y & Kusumawati, F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta; Salemba
Medika
Indriana, Y. (2012). Gerontologi dan Progeria. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Keliat, B.A., Novy H.C.D., & Pipin, F. (2011). Manajemen Keperawatan Psikososial dan
Kader Kesehatan Jiwa. Jakarta; EGC
Lubis, N. L. (2009). Depresi: Tinjauan Psikologis. Jakarta; Prenada Media Grup
Maryam, S. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta; Salemba Medika
Nasir, A & Abdul, M. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa: Pengantar dan Teori.
Jakarta; Salemba Medika
Puri, B.K., P.J. Laking, & I.H. Treasaden. (2011). Buku Ajar Psikiatri.Edisi 2. Diterjemahkan
oleh: W. M. Roan dan Huriawati Hartanto. Jakarta; EGC
Potter & Perry (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik.
Diterjemahkan oleh Agung Waluyo. Jakarta: ECG
Riyadi, S & Teguh, P. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta; GRAHA ILMU
Rotter, J.C. (2009). Family Grief and Mourning. The Family Journal Vol.8 (no 3), 275.,
http://tfj.sagepub.com/cgi/content/abstract/8/3/275. Diperoleh 28 Mei 2013
Santrock, J. W. (2007). Psikologi Abnormal. Edisi 5. Diterjemahkan oleh Tim Fakultas
Psikologi UI. Jakarta; Erlangga
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Suseno, T. A. (2004). Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan
Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta; Sagung Seto
Stanley, M & Patricia G.B. ( 2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2.
Diterjemahkan oleh: Nety J. dan Sari K. Jakarta; EGC
Stuart & Sundeen. (2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Diterjemahkan oleh Achir Yani S.
Hamid. Jakarta;ECG

14
Filename: ARTIKEL PENELITIAN
Directory: D:\SKRIPSI KUMPUL KE PRODI
Template: C:\Users\USER\AppData\Roaming\Microsoft\Templates\Normal.dotm
Title:
Subject:
Author: USER
Keywords:
Comments:
Creation Date: 4/1/2014 6:23:00 PM
Change Number: 32
Last Saved On: 4/12/2014 1:55:00 AM
Last Saved By: USER
Total Editing Time: 196 Minutes
Last Printed On: 4/15/2014 12:01:00 AM
As of Last Complete Printing
Number of Pages: 14
Number of Words: 4,645 (approx.)
Number of Characters: 26,481 (approx.)

Anda mungkin juga menyukai