Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Dibuat oleh :

Fina Agustiani Liaw (112016268)

Pembimbing :

dr.Ivan Riyanto Widjaja, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Koja

Fakultas Kristen Krida Wacana

1
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari beberapa


penyakit ginjal dan saluran kemih. Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi secara primer dan
sekunder, primer apabila tidak menyertai penyakit sistemik. Sekunder apabila timbul sebagai
bagian daripada penyakit Sistemik atau yang berhubungan dengan obat / Toksin.

Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus primer dan 10%
adalah sekunder disebabkan oleh penyakit Sistemik. Resiko penyakit jantung koroner atau
Aterosklerosis pada penderita Sindroma Nefrotik anak belum diketahui dengan jelas.

Dalam laporan-laporan pemeriksaan post mortem pada anak-anak yang menderita


Sindroma Nefrotik Idiopatik tercatat adanya Ateroma yang awal. Sampai pertengahan abad
ke 20 Mordibitas SN pada anak masih tinggi, yaitu melebihi 50% pasien-pasien ini dirawat
untuk jangka waktu lama karena Edema Anasarka dengan disertai Ulserasi dan Interaksi kulit.

Dengan ditemukannya obat Sulfonamid dan Penisillin tahun 1940 dan dipakainya
hormon Adreno Kortikotropik (ACTH) dan Kortikosteroid pada tahun 1950, mortilitas
penyakit ini diperkirakan mencapai 67% yang sering disebabkan oleh komplikasi Peritonitis
dan Sepsis. Kematian menurun kembali mencapai 35% setelah obat penisilin mulai
digunakan tahun 1946-1950.

Pada awal 1950-an kematian menurun mencapai 20% setelah pemakaian ACTH atau
Kortison. Diantara pasien SN yang selamat dari infeksi sebelum Era Sulfonamid umumnya
kematian disebabkan oleh gagal ginjal kronik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilikus


dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi
cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai
lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan
duktus kolektivus, serta di lapisan dalam, medula yang mengandung bagian-bagian tubulus
yang lurus, lengkung (ansa) Henie, vasa rekita dan duktus koligens terminal.

Puncak pyramid medulla menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan
ujung kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada duktus papilaris Bellini yang
ujungnya bermuara di papil ginjal dan mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Karena ada
18-24 lubang muara duktus Belini pada ujung papil maka daerah tersebut terlihat sebagai
tapisan beras dan disebut juga dengan area kribosa

Antara dua pyramid tersebut, terdapat jaringan korteks tempat masuknya cabang-
cabang arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor membentuk kaliks
mayor yang bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal dan kemudian bermuara ke dalam ureter.
Ureter kanan dan kiri bermuara di kandung kemih yang juga disebut buli-buli atau vesika
urinaria. Urin dikeluarkan dari kandung kemih melalui urethra.

Sirkulasi Ginjal

Setiap ginjal menerima kira-kira 25% isi sekuncup janung. Bila diperbandingkan
dengan berat organ ginjal hal ini merupakan suplai darah terbesar didalam tubuh manusia.
3
Suplai darah pada setiap ginjal biasanya berasal dari arteri renalis utama yang keluar dari
aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama membagi
menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris
bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel
otot yagn terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian
distal tubulus (mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus
jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi
anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole
eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar dari pada arteriole
di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula.

Struktur Nefron

Tiap ginjal mengandung kurang lebih 1 juta nefron ( glomerolus dan tubulus yang
berhubungan dengannya). Pada manusia, pembentukkan nefron selesai pada janin 35 minggu.
Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah hyperplasia
dan hipertrofi struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional. Perkembangan paling
cepat terjadi pada 5 tahun pertama setelah lahir. Oleh karena itu bila pada masa ini terjadi
gangguan misalnya infeksi saluran kemih atau refluks, maka hal ini dapat mengganggu
pertumbuhan ginjal.

Tiap nefron terdiri atas glomerolus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, ansa
henle dan tubulus distal. Glomerolus bersama kapsula Bowman juga disebut badan Malpigi.
Meskipun ultrafiltrasi plasma terjadi di glomerolus tetapi peranan tubulus dalam
pembentukkan urin tidak kalah pentingnya dalam pengaturan meliau internal. Fungsi ginjal
normal terdiri atas 3 komponen yang saling berhubungan yaitu :

4
1. Ultrafiltrasi glomerolus
2. Reabsorbsi tubulus terhadap solute dan air
3. Sekresi tubulus terhadap zat-zat organic dan non-organik

Populasi glomerolus ada 2 macam :

1. Glomerolus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar
korteks
2. Glomerolus jukstamedular yang mempunyai ansa henle yang panjang sampai ke
bagian dalam medulla. Glomerolus semacam ini berada diperbatasan korteks dan
medulla dan merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsorpsi
air dan solute.

2.2 Fisiologi Ginjal

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan ekstrasel dalam
batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi
glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus.

Fungsi Utama Ginjal

Fungsi Ekskresi

1. Mempertahankan osmolalitis plasma sekitar 258 m osmol dengan mengubah-ubah


ekresi air.
2. Mempertahankan pH plasma skitar 7,4 dengna mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3.

5
3. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea,
asam urat dan kreatinin.

Fungsi Non-ekskresi (Endokrin)

1. Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.


2. Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah merah
oleh sumsum tulang.
3. Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
4. Degenerasi insulin
5. Menghasilkan prostaglandin

2.3 Sindrom Nefrotik

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif,


hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia. Yang dimaksud proteinuria masif adalah
apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin
dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Kadang- kadang gejala
disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Angka kejadian bervariasi
antara 2-7 per 100.000 anak, dan lebih banyak pada anak lelaki daripada perempuan dengan
perbandingan 2:1. Penyebab sindrom nefrotik bervariasi tetapi penyebab tersering pada anak-
anak adalah idiopatik. Pasien Sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra atau
pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Gejala yang
dapat ditemui pada sindrom nefrotik berupa anorexia,rasa lemah, urin berbusa yang
disebabkan oleh konsentrasi protein urin yang tinggi. Retensi cairan dapat menyebabkan
sesak nafas jika terdapat efusi pleura, oligouri, arthralgia, ortostatik hipotensi, dan nyeri
abdomen serta kembung akibat adanya asites dapat dijumpai.1

Berdasarkan gambaran histologinya sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga jenis,


Minimal Change Disease merupakan jenis histologik sindrom nefrotik yang paling sering
dijumpai pada anak. MCD bermanifestasi sebagai terjadinya sindrom nefrotik secara
tersembunyi pada anak kecil yang kelihatannya sehat-sehat saja. Tidak ada hipertensi dan
hematuria, sedangkan pada pada FSGS kejadian hipertensi dan hematuria lebih sering terjadi.
Di bawah mikroskop cahaya terlihat struktur glomerulus yang normal, tetapi pada mikroskop
elektron memperlihatkan fusi (juluran kaki) podosit dan terlepasnya sel dari struktur
membran basalis ginjal. Ketika perubahan podosit bisa diperbaiki (misalnya karena

6
pengobatan kortikosteroid), maka proteinuria akan mengalami remisi. Sel di tubulus
kontortus proksimal ginjal biasanya banyak mengandung droplet protein dan lipid, tapi hal ini
dikarenakan reabsorbsi lipoprotein tubular yang melewati struktur glomerulus yang sudah
bermasalah. Gambaran tubulus kontortus proksimal yang dipenuhi droplet protein dan lipid
inilah yang mencetuskan istilah lipoid nekrosis dulunya.2

Jenis histologik sindrom nefrotik kedua adalah Focal Segmental Glomerular Sclerosis
yang lebih banyak terjadi pada orang dewasa dibanding anak. Tidak seperti MCD, insiden
hematuria dan hipertensi lebih sering terjadi pada FSGS; dan sifat proteinurianya adalah
nonselektif dan relatif tidak berespon baik terhadap kortikosteroid.4 Diagnosis FSGS
memerlukan biopsi ginjal. Mikroskop cahaya memperlihatkan sklerosis pada bagian tertentu
tapi tidak pada semua glomerulus (fokal, bukan penyakit difus).3 Kelainan mula-mula terjadi
pada nefron bagian juxtamedular, lalu kalau sudah menjadi lanjut akan melibatkan juga
semua bagian korteks. Secara histologi, glomerulus yang terkena akan mengalami
peningkatan matriks mesangial, lumen kapiler yang terobliterasi, dan penumpukan masa
hialin (hyalinosis) dan droplet lipid. Kadang-kadang glomeruli mengalami sklerosis total
(sclerosis global).4 IgM dan C3 terlihat pada lesi sklerotik pada pemeriksaan imunofluoresen,
walaupun hanya diasumsikan bahwa kompleks imun ada di lesi sklerotik karena terperangkap
dan tidak berpartisipasi dalam pathogenesis FGSG.3 Seperti pada MCD juga terlihat difusi
foot processes pada mikroskop elektron.3

Membranous nephropathy (membranous glomerulonephritis) merupakan penyakit


yang berkembang secara lambat tapi progresif, paling sering pada usia 30-50 tahun dan
dikarakteristikkan sebagai adanya kompleks immunoglobulin di subepitel membran basalis
ginjal.3 Pasien dengan glomerulonephritis membranosa memiliki resiko hiperkoagulasi lebih
tinggi dibandingkan sindrom nefrotik lain; ada predisposisi khusus terjadi trombosis vena
renalis pada pasien-pasien ini.2 Glomerulonefritis membranosa iodophatik pada manusia
dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang disebabkan oleh antibodi terhadap
autoantigen renal yang belum teridentifikasi.3 Onset Glomerulonefritis membranosa juga
bersifat terselubung tetapi beberapa orang dengan penyakit ini mengalami proteinuria yang
lebih ringan dibandingkan sindrom nefrotik lainnya. Proteinuria bersifat nonselektif dengan
adanya globulin dan albumin di urin dan tidak berespon baik terhadap terapi kortikosteroid. 3
Dengan mikroskop cahaya, terjadi penebalan membran basalis ginjal yang difus tanpa
perubahan inflamasi atau proliferasi sel.2 Dengan mikroskop elektron dapat terlihat bahwa
penyebab penebalan membran basal ginjal adalah karena deposit subepitel yang terletak di

7
membran glomerulus dan deposit ini dipisahkan satu sama lain oleh protrusi matrik membran
basalis yang berbentuk seperti tanduk (spikelike protrusion). Spikelike protrusion (spike and
dome pattern) ini diakibatkan oleh reaksi membran glomerulus terhadap deposit subepitel.
Seiring dengan perjalanan penyakit, spike ini menutupi deposit subepitel dan akan menyatu
dengan deposit pada membran basal ginjal. Selanjutnya akan terjadi katabolisme deposit
subepitel dan meninggalkan lubang di membran basal ginjal. Deposit subepitel yang terus-
terusan akan menyebabkan membran basal lebih tebal dan akhirnya terjadi sklerosis
glomerular.

Manifestasi histologi dari membranoproliferatif glomerulonephritis adalah perubahan


membran basal ginjal dan mesangium serta proliferasi sel glomerular. Beberapa pasien hanya
mengalami hematuria atau proteinuria, sedangkan yang lainnya mengalami gabungan gejala
nefritik dan nefrotik. Pada gambaran mikroskop cahaya terlihat glomerulus menjadi besar,
dengan penampakan lobular yang jelas dan memperlihatkan proliferasi sel mesangial dan sel
endotel serta adanya infiltrat leukosit. Membran basal ginjal mengalami penebalan dan
dinding kapiler glomerular sering memperlihatkan gambaran double contour atau tram track
appearance khususnya jika diwarnai dengan pewarnaan perak atau pewarnaan PAS.3

2.4 Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma nefrotik
primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila ini timbul sebagai bagian
daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma
nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per-tahun tiap
100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap
100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang
dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar
negeri menunjukkan 2/3 kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.4

2.5 Etiologi
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, sindrom nefrotik
kongenital, primer(idiopatik) dan sekunder.5 Sindrom nefrotik kongenital terjadi akibat
kelainan bawaan sejak lahir, sindrom nefrotik primer atau idiopatik terjadi tanpa sebab yang
jelas sedangkan sindrom nefrotik sekunder terjadi akibat penyakit sistemik, antara lain lupus
eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein, dan lain lain.

8
Sindrom nefrotik primer lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan dan terjadi antara usia 2-6 tahun.3 Penyebab dan jenis histologik sindrom nefrotik
bervariasi menurut umur. Pada anak-anak, penyebab sindrom nefrotik adalah lesi primer di
ginjal, sedangkan pada orang dewasa penyebab utamanya adalah sekunder akibat penyakit
lain. Penyebab sekunder sindrom nefrotik paling sering pada dewasa adalah diabetes,
amyloidosis, dan SLE.2 Selain itu dapat juga terjadi akibat setelah infeksi virus saluran napas
atas (terutama pada anak), malaria, hepatitis B dan C, gromerulonefritis akut, HIV, sifilis,
TB, lepra, skistosoma, penyakit tumor(leukemia, Hodgkins disease, adenokarsinoma paru,
payudara, colon, myeloma multiple, karsinoma ginjal), obat (lithium), dan reaksi
hipersensitivitas (kortikosteroid, sengatan lebah).5 MCD merupakan penyebab penyakit ginjal
proteinuria tersering pada anak-anak, yaitu bisa mencapai 80% dari semua kasus sindrom
nefrotik primer,sedangkan pada dewasa tipe sindrom nefrotik tersering adalah FSGS.2

2.6 Patofisiologi
Abnormalitas utama pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding
kapiler yang mengakibatkan proteinuria massif dan hipoalbuminemia. Seperti kita ketahui,
glomerulus yang berfungsi menfiltrasi plasma terdiri dari 3 lapis penting penyaring yaitu
endothelium yang fenestrated, membran basalis ginjal, dan sel epitel visceral ginjal (podosit)
yang juluran kakinya membentuk celah filtrasi (filtration slit). Ginjal menyaring zat sesuai
dengan ukurannya. Semakin kecil ukuran molekul, semakin mudah zat itu lolos dari ketiga
lapisan penyaring itu. Protein merupakan molekul yang besar dan tidak pernah melewati
penyaring pertama yaitu fenestrated endothel, kecuali protein yang ukurannya kecil,
contohnya albumin. Hal itu tidak serta membuat albumin ada di dalam urin. Hal ini dapat
terjadi karena membran basalis ginjal mengandung kolagen dan glikoprotein. Kolagen
berfungsi untuk keutuhan struktural ginjal, sedangkan glikoprotein berfungsi untuk
menghalangi filtrasi protein dengan berat molekul kecil.
Glikoprotein yang bermuatan negatif akan menghambat keluarnya albumin yang juga
sama bermuatan negatif. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari protein yang kecil misalnya albumin, sedangkan proteinuria non-selektif terjadi
jika protein yang keluar adalah protein yang besar seperti immunoglobulin.6
Proteinuria pada berbagai kelainan sindrom nefrotik disebabkan oleh berbagai hal.
Pada MCD, proteinuria yang terjadi adalah proteinuria selektif. Penyebab proteinuria pada
MCD adalah berkurangnya heparin sulfat proteoglikan menyebabkan muatan negatif

9
membran basalis ginjal menurun sehingga akan menyebabkan albumin dapat lolos ke urin.
Pada FSGS, proteinuria disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi yang
kemudian menyebabkan terlepasnya epitel visceral glomerulus dari membran basalis ginjal.
Proteinuria pada membranous nephropathy disebabkan karena kerusakan struktur membran
basalis ginjal akibat dari endapan kompleks imun di subepitel. Kompleks C5b-9 akan
meningkatkan permeabilitas membran basal ginjal walaupun mekanismenya belum
diketahui.6
Proteinuria massif akan menyebabkan hipoalbuminemia yang lalu akan menyebabkan
transudasi plasma ke jaringan interstitial sehingga akan menyebabkan edema. Kadar albumin
plasma ditentukan oleh asupan albumin dari luar, sintesis albumin oleh hati, dan kehilangan
albumin melalui urin. Pengurangan volume cairan intravaskular akibat transudasi ke jaringan
interstitial juga akan menyebabkan perfusi ginjal berkurang. Hal ini akan merangsang ginjal
untuk mengaktifkan sistem RAAS, sehingga akan teraktivasi angiotensin 2 yang akan
meningkatkan produksi aldosteron dan ADH sehingga retensi air akan meningkat.
Sebagai mekanisme kompensasi dari keadaan hipoalbumin ini, hati akan berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Hipoalbuminemia akan menyebabkan peningkatan sintesis
semua jenis protein, termasuk lipoprotein. Hiperlipidemia (terutama peningkatan kolesterol
dan trigliserid darah) disebabkan oleh peningkatan sintesis lipoprotein oleh hati dan
penurunan katabolismenya. Peningkatan lipoprotein ini akan meningkatkan kadar trigliserid
(karena peningkatan VLDL) dan kolesterol (karena peningkatan LDL) darah, serta faktor
koagulasi darah sehingga kecenderungan trombosis juga akan meningkat. Hiperkoagulasi
terjadi pada sindrom nefrotik akibat hilangnya faktor antikoagulan seperti antitrombin (AT)
III, protein S, C, dan plasminogen activating factor dalam urin. Selain itu hiperkoagulasi juga
terjadi akibat peningkatan fibrinogen, factor V, VII, VIII, dan X, hiperagregrasi trombosit,
dan penurunan fibrinolisis.6
Peningkatan trigliserid dan kolesterol darah juga diakibatkan oleh penurunan kadar
lipoprotein lipase yang hilang lewat urin. Lipiduria juga sering ditemukan pada sindrom
nefrotik dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak
berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria
dibandingkan dengan hiperlipidemia. Pasien dengan sindrom nefrotik juga lebih rentan
mengalami infeksi terutama infeksi organisme yang berkapsul (Streptoccocus pneumoniae
dan Hemmophillus influenza) karena hilangnya faktor komplemen C3b, opsonin seperti
properdin factor B, dan immunoglobulin di urin, serta akibat dari penggunaan agent
immunosupresif untuk mengobati sindrom nefrotik ini sendiri.

10
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser
dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan
onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema.
Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natirum
dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan
konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu
juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan
penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan
ekskresi natrium.

2.7 Manifestasi Klinis

Pasien dengan sindrom nefrotik biasanya akan diawali dengan gejala edema perifer
yang terutama terjadi pada kelopak mata dan pada betis. Edema pada tubuh ini sering kali
dipikirkan sebagai suatu bentuk alergi pada tubuh karena akan hilang seiring dengan
berjalannya waktu. Pada kasus yang lebih berat edema tidak hanya terjadi dibagian perifer
namun juga dapat mengenai seluruh tubuh yang disebut sebagai edema anasarka, kelamin
juga dapat mengalami edema sehingga membengkak menyerupai hidrokel. Edema bahkan
dapat mengenai organ dalam seperti paru-paru menyebabkan efusi pleura, edema pada rongga
abdomen menyebabkan asites. Apa bila terjadi efusi pleura dan asites pasien dapat mengeluh
sesak terutama saat beraktivitas serta kembung pada perutnya.

Pasien sindrom nefrotik juga biasanya akan merasa lemas dan tidak nafsu makan,
mual muntah serta urinnya akan berbusa karena mengandung protein tinggi. Pasien juga
rentan terkena infeksi karena penurunan sistem pertahanan tubuh.

11
Pada sindrom nefrotik tipe MCD jarang ditemukan adanya hipertensi dan juga gross
hematuria. Hal ini berbeda dengan FSGS yang justru sebaliknya sering disertai dengan
adanya hipertensi dan gross hematuria.

2.8 Kriteria Diagnostik

Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan


fisik serta pemeriksaan penunjang yang terkait. Pada anamnesis hal-hal yang perlu kita
tanyakan antara lain berupa, penyakit-penyakit yang sedang diderita, obat-obatan yang
dikonsumsi, tersengat lebah atau serangga, serta faktor-faktor resiko lain yang dapat
mencetuskan sindrom nefrotik. Setelah itu pada pemeriksaan fisik kasus sindrom nefrotik
akan ditemukan adanya edema terutama pada periorbita dan tibia. Edema dapat juga
mengenai alat kelamin dan organ dalam serta seluruh tubuh(edema anasarka). Gejala lain
seperti sesak dan kembung dapat juga ditemukan apabila disertai dengan komplikasi berupa
efusi pleura dan asites.
Apabila anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah pada diagnosis sindrom nefrotik
maka pemeriksaan penunjang yang dapat dianjurkan untuk menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan urin, albumin serum dan profil lipid.
Pada pemeriksaan urin akan didapatkan albuminuria (>3,5 gr/dl), urin tampak berbusa
dan berat jenisnya tinggi karena tingginya protein dalam urin. Sebaliknya pada pemeriksaan
albumin serum akan didapatkan hipoalbuminemia (<30 gr/L) akibat kebocoran albumin
melalui ginjal, profil lipid akan dijumpai hiperkolestrolnemia (>200mg/dl) sebagai
kompensasi hepar dalam membentuk lipoprotein akibat kondisi hipoalbuminemia.
Apabila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan maka selanjutnya untuk
menentukan tipe kelainan histologi sindrom nefrotik dapat dilakukan biopsi untuk
pemeriksaan patologi anatomi. Keperluan pemeriksaan patologi anatomi ini terutama
dilakukan pada pasien yang tidak responsif pada pengobatan kortikosteroid dan
dipertimbangkan membutuhkan tambahan obat lain dalam pengobatannya.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan urinanalisis dapat ditemukan proteinuria 3+ atau 4+ dan hematuria


mikroskopik terjadi hanya pada 20% pasien.4 Tes screening untuk proteinuria adalah analisis
dipstick urin, tapi test ini hanya diindikasikan untuk albumin. Penambahan asam sulfosalisilat
pada sedimen urin menjadikan paraprotein abnormal lain dapat terdeteksi.5

12
Pemeriksaan spot urine ratio protein dan kreatinin memberikan perkiraan berapa gram
protein yang disekresikan tiap hari. Ratio protein : kreatinin urin melebihi 2,0 dan ekskresi
protein urin melebihi 40 mg/m2/jam pada anak, sedangkan pada orang dewasa ambang
proteinuria adalah >3,5 gr/dL/1,73 m2.7 Berat jenis urin juga lebih tinggi akibat proteinuria.
Hipoalbuminemia merupakan marker penting dari sindrom nefrotik. Level hipoalbuminemia
dimana edema dapat terjadi bervariasi. Sindrom nefrotik pada anak terjadi jika albumin
serum <2,5 gr/dL. Pemeriksaan lain yang dilakukan pada sindrom nefrotik adalah
pemeriksaan kolesterol dan trigliserid darah. Tes fungsi renal biasanya normal kecuali pada
kasus-kasus dimana terjadi FSGS yang tidak terdiagnosis atau pada kasus-kasus yang
berlanjut menjadi gagal ginjal akut. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan penyakit
sistemik penyebab sindrom nefrotik meliputi kadar komplemen C3, komplemen C4, ANA
(anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA, dan pemeriksaan serologi untuk Hepatitis.
Pemeriksaan biopsi ginjal untuk keperluan pemeriksaan histologi apabila diperlukan untuk
menentukan tipe sindrom nefrotik.

2.10 Diagnosis Banding

Diagnosa banding sindrom nefrotik primer pada anak yang sering adalah sindrom
nefrotik sekunder, glomerulonephritis akut post infeksi streptococcus, serta sindrom nefrotik
kongenital. Sindrom nefrotik sekunder perlu dipertimbangkan pada pasien >8 tahun dan
pasien dengan hipertensi, hematuria, disfungsi renal, gejala extrarenal (ruam, arthralgia,
demam) atau penurunan serum komplemen.3
Glomerulonefritis akut post streptococcus adalah contoh klasik sindrom nefritik akut
yang dikarakteristikkan dengan onset gross hematuria yang tiba-tiba, edema, hipertensi, dan
insufisiensi renal.4 Gross hematurianya lebih terlihat coklat keruh daripada merah. Proteinuria
dapat terjadi dan jika cukup berat dapat memberikan gejala sindrom nefrotik.3 Penyakit ini
merupakan penyakit glomerulus yang paling sering menyebabkan gross hematuria pada anak-
anak. Glomerulonefritis akut post streptococcal paling sering menyerang anak usia 5-12
tahun dan jarang pada anak sebelum usia 3 tahun.3 Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis glomerulonephritis akut post streptococcal adalah
dengan pemeriksaan titer ASTO yang akan meningkat post infeksi. Selain itu juga dapat
dilakukan urinalisis, dimana penemuan primernya antara lain hematuria yang nyata,
proteinuria, oligouria, disertai dengan silinder eritrosit (red blood cell cast), eritrosit yang
dismorfik, silinder hialin dan granuler, dan leukosit. Seiring dengan toksisitas terhadap

13
membran glomerulus yang berkurang, maka hasil urinanalisis akan kembali normal dengan
kemungkinan hematuria mikroskopik yang terus berlanjut sampai kerusakan membran basal
ginjal bisa diperbaiki.8 Pada mikroskop cahaya, perubahan paling khas pada
glomerulonephritis akut post infeksi streptococcus adalah peningkatan selularitas yang
seragam pada gumpalan kapiler glomerulus (glomerular tuft) yang mengenai semua
glomerulus sehingga disebut difus. Peningkatan selularitas disebabkan oleh proliferasi dan
pembengkakan dari sel endotel dan mesangial dan oleh karena infiltrate neutrophil serta
monosit. Pada mikroskop elektron bisa terlihat adanya deposit kompleks imun yang
berbentuk seperti tonjolan subepitel (subepitel humps) yang terletak di membran basal
ginjal.2 Tatalaksana terutama ditujukan untuk menangani efek akut insufisiensi renal dan
hipertensi. Selain antibiotik penisilin sistemik yang diberikan selama 10 hari, perlu juga
diberikan obat lain untuk mengurangi gejala nefritiknya. Pembatasan natrium, diuresis yang
biasanya dicapai dengan furosemide, dan terapi farmakologi dengan channel calcium blocker,
vasodilator, atau ACE-inhibitor untuk menangani hipertensinya.3
Sindrom nefrotik kongenital dapat mulai terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan
anak. Sindrom nefrotik kongenital adalah sindrom nefrotik yang terjadi saat lahir atau dalam
3 bulan pertama kehidupan.3 Pada penelitian kohort besar di Eropa pada anak dengan
sindrom nefrotik kongenital, 85% pasien mengalami mutasi pada 4 gen (NPHS1, NPHS2,
WT1, LAMB2). Bayi yang terkena mengalami edema saat lahir karena proteinuria massif dan
biasanya lahir dengan plasenta yang besar (>25% dari berat bayi). Diagnosis prenatal dapat
dilakukan dengan adanya peningkatan kadar alfa fetoprotein maternal dan amniotik.3

2.11 Komplikasi

1. Infeksi
Pasien dengan sindrom nefrotik lebih rentan mengalami infeksi terutama
infeksi organisme yang berkapsul (Streptoccocus pneumoniae dan Hemmophillus
influenza) karena hilangnya faktor komplemen C3b, opsonin seperti properdin factor
B, dan immunoglobulin di urin, serta akibat dari penggunaan agent immunosupresif
untuk mengobati sindrom nefrotik ini sendiri. Peritonitis bakterial spontan merupakan
infeksi yang paling sering pada sindrom nefrotik, walaupun infeksi lainnya seperti
sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih dapat ditemukan.
Vaksin pneumokokus harus diberikan kepada semua pasien dengan booster
vaksin konjungasi pneumokokus dan vaksin pneumokokus polivalen untuk anak

14
dengan sindrom nefrotik kambuh atau persisten. Vaksin influenza setiap tahun
dianjurkan untuk penderita sindrom nefrotik dan orang serumah. Untuk vaksin hidup
harus ditunda sampai dosis prednisolone kurang dari 1 mg/kg setiap hari(20mg/hari)
atau 2 mg/kg dosis selang sehari(40mg/kg dosis selang sehari), siklofosfamid telah
dihentikan selama 3 bulan dan obat imunosupresif lainnya seperti siklosporin,
tacrolimus, mofetil mycophenolate, levamisole telah dihentikan selama lebih dari 1
bulan.
2. Trombosis
Hiperkoagulasi terjadi pada sindrom nefrotik akibat hilangnya faktor
antikoagulan seperti antitrombin (AT) III, protein S, C, dan plasminogen activating
factor dalam urin. Selain itu hiperkoagulasi juga terjadi akibat peningkatan fibrinogen,
factor V, VII, VIII, dan X, hiperagregrasi trombosit, dan penurunan fibrinolisis.
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal terutama dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang bukan tipe
MCD. Perjalanan penyakit sindrom nefrotik menjadi gagal ginjal juga bervariasi
menurut tipenya.
4. Malnutrisi
Malnutrisi dapat terjadi pada pasien dengan asites. Nafsu makan menjadi turun
dan perut selalu meras kembung walaupun asupan yang masuk sedikit. Hal ini
menyebabkan intake menjadi sulit dan gizi anak semakin turun hingga menjadi
malnutrisi.
5. Hipokalsemia
Hipoalbuminemia pada penderita sindrom nefrotik menyebabkan protein
pengikat Vitamin D berkurang, vitamin D berkurang menyebabkan proses penyerapan
kalsium menurun sehingga terjadi hipokalsemia. Hipokalsemia akan menyebabkan
terjadinya kelainan neuromuskular, kardiovaskular, mental dan kelainan pembentukan
tulang pada anak.

2.12 Tatalaksana

Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi gejala proteinuria, edema, dan
mengontrol komplikasi.8 Pasien anak dengan episode pertama sindrom nefrotik dapat diterapi
sebagai pasien rawat jalan. Anak kecil usia 1-8 tahun dengan sindrom nefrotik tanpa penyulit

15
lebih mungkin mengalami MCD yang responsif terhadap terapi steroid dan pemberian terapi
steroid dapat dilakukan tanpa melakukan biopsi diagnostik. Anak dengan gejala hematuria,
hipertensi, dan insufisiensi renal, hipokomplementemia, atau anak usia <1 tahun atau >8
tahun harus dipertimbangkan untuk melakukan biopsi ginjal.3 Kortikosteroid adalah terapi
pilihan yang dapat membuat terjadi remisi total proteinuria pada kebanyakan kasus. Pasien
dewasa berespon lebih lambat terhadap terapi kortikosteroid dibanding pasien anak. Pada
beberapa anak, proteinuria gagal mengalami remisi dalam 6-8 minggu, dan pada kasus seperti
ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk mengetahui lebih detail penyakitnya.6,8

Pada anak dengan kecurigaan MCD, Prednison harus diberikan (seteleh terkonfirmasi
tes PPD negatif dan telah mendapat vaksinasi pneumococcus) dengan dosis 60 mg/m2/hari
(dosis maksimal harian 80 mg) dalam dosis tunggal selama 4-6 minggu berturut-turut.3
Kortikosteroid harus dilanjutkan selama beberapa minggu setelah mengalami remisi. Setelah
dosis inisial kortikosteroid selama 6 minggu, dosis Prednison harus diturunkan menjadi 40
mg/m2/hari diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal selama minimal 4 minggu(2-5
bulan).11 Dosis ini kemudian diturunkan terus dosisnya dan bisa berhenti lebih dari 1-2 bulan
berikutnya. Ada bukti yang menyatakan bahwa peningkatan dosis steroid dan peningkatan
durasi pemberian adalah faktor penting untuk mengurangi resiko relaps.2 Pasien anak yang
tetap mengalami proteinuria (2+ atau lebih) setelah 8 minggu terapi dimasukkan dalam
kategori resisten steroid, dan biopsi ginjal diagnostik direkomendasikan.

Banyak pasien anak dengan sindrom nefrotik mengalami setidaknya 1 kali relaps (3-4
+ proteinuria dan edema). Relaps harus diobati dengan kortikosteroid 60mg/m2/hari (dosis
maksimal 80 mg/hari) dosis tunggal sampai anak mengalami remisi (urin tidak mengandung
protein lagi selama 3 hari berturut-turut). Setelah mengalami remisi, regimennya diubah lagi
menjadi dosis selang sehari seperti pada dosis inisial dan secara gradual diturunkan selama 4-
8 minggu. Sejumlah pasien mengalami relaps ketika dalam regimen alternate-day dosing
(dosis selang hari) atau 28 hari setelah menyelesaikan terapi prednison yang sukses. Pasien
seperti ini dikategorikan sebagai pasien steroid dependent. Pasien yang berespon baik
terhadap terapi prednisone tapi mengalami relaps 4 kali dalam 12 bulan dikategorikan
sebagai frequent relapsers. Anak yang tidak berespon baik terhadap pengobatan steroid
dalam 8 minggu terapi dikategorikan sebagai steroid resistant.

Pengobatan sindrom nefrotik kambuh sering atau sindrom nefrotik ketergantungan


steroid, setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis penuh diteruskan dengan dosis

16
1,5mg/kgbb secara alternate, kemudian dengan dosis yang diturunkan secara bertahap 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan kekambuhan, yaitu
antara 0,1-0,5 mg/kgbb alternate dipertahankan 6-12 bulan.10

Untuk mencegah kekambuhan selama infeksi, pada sindrom nefrotik remisi yang
sedang mendapat terapi kortikosteroid alternate, pemberian kortikosteroid dirubah menjadi
tiap hari dengan dosis yang sama selama 7 hari atau selama infeksi berlangsung.10

Sindrom nefrotik yang resisten steroid diantaranya disebabkan oleh FSGS (80%),
MCD, atau proliferasi mesangial glomerulonephritis proliferatif. Pasien yang steroid
dependent, frequent relapser, dan steroid resisten adalah kandidat untuk menerima
pengobatan lain selain kortikosteroid, khususnya jika anak memperlihatkan gejala toksisitas
steroid (cushingoid appearance, hipertensi, katarak, dan/atau gagal tumbuh). Siklofosfamid
akan memperpanjang durasi remisi dan mengurangi jumlah relaps pada anak dengan sindrom
nefrotik yang sering mengalami relaps dan steroid dependent. Siklosporin atau tacrolimus
juga efektif untuk menginduksi dan mempertahankan remisi pada anak dengan steroid
resistant.3

Anak dengan gejala edema yang berat meliputi efusi pleura yang berat dan asites, atau
edema genital yang berat harus dirawat inap. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah
baring dapat membantu mengontrol edema, tetapi karena peningkatan resiko tromboemboli,
penggunaan diuretik harus hati-hati dan hanya diberikan pada pasien dengan gejala berat dan
harus dimonitor dengan ketat. Pembengkakan di scrotum dapat diringankan dengan dielevasi
menggunakan bantal untuk meningkatkan penurunan cairan oleh gravitasi. Ketika pasien
mengalami edema umum yang signifikan dengan bukti adanya deplesi volume intravaskular
(hemokonsentrasi), dapat dilakukan pemberian 25% albumin secara IV sebagai infus lambat
dan diikuti furosemid.3,9

Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik. Peritonitis bakterial


spontan merupakan infeksi yang paling sering pada sindrom nefrotik, walaupun infeksi
lainnya seperti sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih dapat ditemukan.
Pengasuh anak (orang tua atau pengasuhnya) harus diedukasi untuk segera ke tenaga medis
jika anak terlihat sakit, demam, dan mengeluh nyeri abdomen yang persisten. Anak dengan
sindrom nefrotik harus menerima vaksin pneumococcus serotype 23 yang idealnya diberikan
ketika anak mengalami remisi dan sedang tidak mendapat terapi prednison. Vaksin dapat
diberikan setelah terapi kortikosteroid setidaknya 1 bulan setelah berhenti terapi

17
kortikosteroid.3 Peningkatan resiko trombotik juga terjadi pada pasien sindrom nefrotik.
Terapi antikoagulan profilaksis pada anak tidak direkomendasikan kecuali telah terjadi
insiden tromboembolik sebelumnya.

2.13 Prognosis

Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang responsif terhadap steroid lebih bagus
dibanding dengan pasien sindrom nefrotik yang tidak responsif. Kebanyakan anak dengan
sindrom nefrotik yang responsif terhadap steroid akan mengalami relaps berulang yang
umumnya akan berkurang ketika anak semakin dewasa.3 Pasien MCD jarang yang berakhir
sebagai end stage renal disease (gagal ginjal).5 Sebaliknya, pasien dengan FSGS akan
mengalami gagal ginjal dalam 6-8 tahun.5 Pada pasienmembranous glomerulonephritis,
walaupun proteinuria persisten terjadi pada lebih dari 60% pasien, tetapi hanya 40% yang
mengalami penyakit ginjal progresif yang berakhir pada gagal ginjal setelah 2-20 tahun.
Membranoproliferative glomerulonephritis secara umum memiliki prognosis yang jelek.
40% pasien mengalami gagal ginjal tahap akhir, 30% mengalami insufisiensi renal, dan 30%
lagi mengalami sindrom nefrotik tanpa gagal ginjal.2

18
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala yang terdiri dari edema, proteinuria,
dan hiperlipidemia. Sindrom nefrotik terjadi akibat kelainan pada kemampuan filtrasi ginjal.
Menurut etiologinya, sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik primer
(iodophatik) dan sindrom nefrotik sekunder serta sindrom nefrotik kongenital. Klasifikasi
menurut gambaran histologi, sindrom nefrotik primer dibagi menjadi empat, yang paling
sering mengenai anak-anak adalah MCD yang prognosisnya lebih baik dibandingkan dengan
3 spektrum sindrom nefrotik primer lainnya. MCD selain perlu dibedakan dari spektrum
sindrom nefrotik primer yang lain juga perlu dibedakan dari sindrom nefrotik sekunder dan
kongenital serta dibedakan juga dengan glomerulonephritis akut post infeksi Streptococcus.

Karakteristik utama yang membedakan MCD dari spectrum sindrom nefrotik primer
lainnya adalah tidak adanya gejala hematuria dan hipertensi, serta MCD relatif lebih
responsif terhadap kortikosteroid. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis adalah urinalisis, serta pemeriksaan histopatologi di bawah mikroskop
cahaya atau elektron. Pemberian kortikosteroid dapat diberikan secara empiris pada anak
yang dicurigai menderita MCD tanpa melakukan biopsi ginjal. Pemberian kortikosteroid
kemudian harus di-tappering off perlahan sampai akhirnya berhenti. Selain diberi
kortikosteroid, pasien juga harus diberi obat untuk mengurangi gejala edema. Pasien sindrom
nefrotik rentan mengalami komplikasi infeksi serta tromboemboli (walaupun pada anak
resikonya kecil). Infeksi yang sering adalah peritonitis bakterial spontan dan pneumonia,
dianjurkan pasien setelah menyelesaikan terapi kortikosteroid, sebulan setelahnya melakukan
imunisasi pneumococcus. Prognosis MCD relatif lebih baik dibandingkan dengan dengan
spektrum sindrom nefrotik yang lain.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: IDAI;209


2. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed.
Philadelphia : Saunder Elsevier;2007.p.549-54
3. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics.19th
ed. United States of America: Elsevier;2011.p. 1783-1807
4. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Tatalaksana sindrom nefrotik
idiopatik pada anak. 2nd ed. Jakarta: IDAI;2012
5. Papadakis MA, McPhee SJ. Current medical diagnosis and treatment. 52nded. New
York: McGraw-Hill; 2013.p.927-30
6. Sherwood L. Fundamental of human physiology. 4th ed. Canada: Cengage Learning;
2011.p.537
7. Mansur A. Minimal change disease. Cited from : www.medscape.com Feb 14th 2013;
October 23rd 2014
8. Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Urinanalysis and body fluids.5th ed. Philadelphia: F.A
Davis Company; 2008.p.144
9. Yoshitsugu K, Yasufumi O, Yasuhiro K, Toshiyuki O, Takuhito N, et all. Clinical
practice guideline for pediatric idiopathic nephrotic syndrome 2013: general therapy.
Japanese Society of Nephrology and The Japanese Society for Pediatric Nephrology
2015.
10. Rachmadi D. New insight nefrotic syndrome in childhood. Sari pediatric. Vol.18,
No.1, 2016

20

Anda mungkin juga menyukai