Anda di halaman 1dari 6

TUGAS SEJARAH SITUS PURBAKALA SANGIRAN

RAFLY ARNANDA/2017
A. Sejarah terbentuknya Museum Purbakala Sangiran

Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa, Indonesia.
Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km (tepatnya di desa
krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen). Gapura Situs Sangiran berada di jalur jalan raya
SoloPurwodadi dekat perbatasan antara Gemolong dan Kalioso (Kabupaten Karanganyar).
Gapura ini dapat dijadikan penanda untuk menuju Situs Sangiran, Desa Krikilan. Jarak dari
gapura situs Sangiran menuju Desa Krikilan 5 km
Situs Sangiran memunyai luas sekitar 59, 2 km (SK Mendikbud 070/1997) secara
administratif termasuk kedalam dua wilayah pemerintahan, yaitu: Kabupaten Sragen
(Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) dan Kabupaten
Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto & Simanjuntak,
1995). Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia sebagai cagar budaya. Oleh Karenanya Dalam sidangnya yang ke 20 Komisi
Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal 5 Desember 1996, menetapkan
Sangiran sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia World Heritage List Nomor :
593. Dengan demikian pada tahun tersebut situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia
UNESCO.
Pada awalnya Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran.
Puncak kubah ini kemudian melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi
itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa
lampau. Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang
menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan
terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola
kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan
seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula,
untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu
spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koenigswald. Di
area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga 200.000 tahun masih
dapat ditemukan hingga kini. Relatif utuh pula. Sehingga para ahli dapat merangkai sebuah
benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara berurutan.
Bentang lahan situs tersebut meliputi areal seluas 48 km2 yang berbentuk seolah
seperti kubah (dome), sehingga situs tersebut dinamakan dengan SangiranDome. Situs
Sangiran merupakan salah satu situs manusia purba yang sangat berperan penting dalam
perkembangan penelitian di bidang palaeoanthropology di Indonesia. Pada tahun 1934
penelitian yang dilakukan oleh G.H.R. von Koenigswald yang menemukan beberapa alat
sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung, arah Baratlaut Sangiran Dome.
Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang tersingkap
lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan penurunan permukaan tanah)
dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun di atas permukaan
bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah tersebut juga mengakibatkan
terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar yang dikelilingi oleh tebing-tebing
terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai. Beberapa aktifitas alam di atas mengakibatkan
tersingkapnya lapisan tanah/formasi periode pleistocen yang susunannya terbentuk pada
tingkat-tingkatpleistocen bawah (lapisan Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh),
danpleistocen atas (lapisan Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di laipsan-
lapisan tersebut berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan
Trinil, dan lapisan Ngandong.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampu merupakan kawasan subur tempat
sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah katulistiwa, pada
jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan migrasi manusia purba
untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian kawasan sangiran pada
kala pleistocen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi bagi manusia pada masa itu.
Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil dekat
sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kalapleistocen.
Mereka membuat pangkalan (station) dalam aktifitas perburuan untuk m,endapatkan sumber
kebutuhan hidupnya. Pilihan situs Sangiran dome sebagai pangkalan aktifitas perburuan
mengingatkan kita dengan living floor (lantai hidup) atau old camp site di lembah Olduvai,
Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs sebagai tempat hunian dan ruang subsistensi adalah
temuan fosil manusia purba, fauna, dan artefak perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di
kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian
puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi
deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal,
Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di
bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka
menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai
jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata) (Widianto & Simanjuntak 1995).
Sejarah atau riwayat penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR. Von
Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis dan kalsedon di
sekitar bukit Ngebung pada tahun 1934 (Koenigswald, 1936). Temuan alat-alat serpih yang
kemudian terkenal dengan istilah Sangiran Flakes-industry tersebut diperkirakan berasal
dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah. Namun hasil pertanggalan
tersebut banyak dikritik oleh para ahli (de Terra, 1943; Heekeren, 1972) karena temuan
tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang tidak autochton (Bartstra dan
Basoeki, 1984: 1989) atau bukan dari hasil pengendapan primer (Bemellen, 1949).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun
1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo erectus yang
kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya. Setelah masa pasca Koenigswald atau pada
sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan paleotologis di situs ini
kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia (antara lain T. Jacob dan S. Sartono)
serta terus berkelanjutan sampai sekarang. Penelitian yang sangat spektakuler terjadi ketika
Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan Museum National dHistoire
Naturelle (MNHN), Perancis melalui ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989
1993) di bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan secara insitu dan
pertanggalan absolut yang sangat menarik. Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang
pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi
langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu (Widianto
1997; Jatmiko 2001).
B. Pengembangan Museum Purbakala Sangiran

Sejak dibangun pada 2005 silam, museum sangiran yang terletak di Kecamatan
Kalijambe, akhirnya diresmikan penggunaannya oleh Wakil Menteri pendidikan dan
Kebudayaan Bidang Kebudayaan yang juga sebagai pembuat Desain Engginering Plan
Sangiran, Prof Dr. Windu Nuryati, PHD. Dua puluh tahun silam tempat tersebut masih
berupa joglo sederhana yang dijadikan tempat pengumpulan fosil-fosil purba oleh kepala
desa Krikilan, Toto Marsono. Kini, ditanah yang berusia 1,8 juta tahun itu telah berdiri
megah sebuah bangunan museum bertaraf internasional. Berbagai rangkaian acara digelar
mengiringi peresmian museum, mulai dari seminar internasional yang mendatangkan 100
pakar arkelologi di dunia hingga pelaksanaan penggailian di Sangiran bersama ilmuwan dari
Uni Eropa. Selain itu, pada acara tesebut diserahkan rekonstruksi rangka kuda air berusia 1,2
juta tahun yang ditemukan di Bukuran oleh tim gabungan Indonesia Perancis. Museum
Sangiran berdiri di dalam Cluster Krikilan yang merupakan Cluster pertama yang telah
selesai dibangun. Masih ada tiga Cluster lainnya yang akan mulai dibangun tahun depan,
yaitu Cluster Ngebung, Cluster Bukuran, keduanya terletak di wilayah Kab. Sragen, dan
Cluster Ndayu yang terletak di wilayah Kab. Karanganyar.
Tiap Cluster tersebut akan menjadi pusat-pusat penelitian zaman purba sesuai masing-
masing bagiannya. Misalnya Cluster Ndayu akan dijadikan pusat penelitian arkeologi
mutakhir dan Cluster Ngebung akan menjadi pusat sejarah temuan fosil. Pembangunan
Cluster akan melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sragen serta
Kabupaten Karanganyar. Selain itu ada beberapa upaya pemerintah yang dicanangkan untuk
mengembangkan situs Manusia Purba Sangiran antara lain :
Melengkapi kompleks Museum Manusia Purba Sangiran dengan bangunan audio visual di
sisi timur museum. Dan Bupati Sragen mengubah interior ruang kantor dan ruang pertemuan
menjadi ruang pameran tambahan.
Pemerintah merencanakan membuat museum yang lebih representative menggantikan
museum yang ada secara bertahap. Didirikan bangunan perkantoran tiga lantai yang terdiri
dari ruang basemen untuk gudang, lantai I untuk Laboratorium, dan lantai II untuk
perkantoran. Program selanjutnya adalah membuat ruang audio visual, ruang transit untuk
penerimaan pengunjung, ruang pameran bawah tanah, ruang pertemuan, perpustakaan, taman
purbakala, dan lain-lain.
Menghadirkan investor investor guna memaksimalkan pengadaan pembangunan yang
lebih lanjut dengan didukung fasilitas fasilitas yang memadai.
Melakukan beberapa pengenalan pengenalan mengenai Situs Purbakala Sangiran kepada
publik nasional.
Museum Sangiran yang mempunyai 14.000 an koleksi fosil ini menawarkan tiga titik
wisata purba yang menakjubkan. Di museum I, pengunjung dapat menyaksikan pameran
fosil-fosil asli dan peralatan manusia purbakala. Kemudian dimuseum II dihadirkan 12
langkah kemanusiaan, mulai dari terciptanya alam, terbentuknya kepulauan Indonesia dan
Jawa, kedatangan manusia pertama, proses evolusi sekitar 1,5 juta tahun lalu dan
perkembangannya hingga menjadi manusia modern. Sedang museum III dipertunjukkan
tentang zaman keemasan Homo Erectus Sangiran yang bterjadi sekitar 500.000 tahun .
Pengumpulan fosil fosil Sangiran tidak terlepas dari peran serta Masyarakat
Krikilan. Peresmian pada tanggal 15 Desember 2011 bertepatan dengan peristiwa lima tahun
silam 15 Desember 2006, waktu itu terjadi peristiwa penting di Meridian Mexico, dimana
Pemerintah Indonesia menerima tanda pengesahan Situs Sangiran ditetapkan sebagai warisan
dunia. Bupati Sragen mengharapkan Situs Sangiran yang sangat membanggakan namun
kadang kurang dikenal oleh masyarakat Sragen sendiri mengharapkan agar bisa dinikmati
oleh semua kalangan tidak hanya kalangan peneliti. Sragen telah menjadi City of Java Man
yang memiliki situs yang mengungkap rahasia sejarah manusia purba. Di situs kebanggaan
ini memuat cerita tak terputus sejarah perjalanan manusia purba hingga menjadi manusia
modern. Dan di tanah yang telah berusia lebih dari 1,8 juta tahun ini ternyata masih banyak
menyimpan fosil-fosil purba yang bisa digali, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk
menemukan fosil-fosil ini dan menyerahkannya kepada pemerintah Indonesia.

Sumber : http://h-argio-no.blogspot.co.id/2012/12/makalah-situs-sangiran.html di akses pada tgl 07/05/17 jam


18:44

C. SARAN
Sebagai warga negara yang baik dan khususnya kita sebagai mahasiswa harus bisa
melestarikan kekayaan budaya baik itu wisata maupun sejarah bangsa. Agar tidak punah oleh
waktu. Selain itu kita juga harus bisa menjaganya agar tetap lestari dan berkembang.

Anda mungkin juga menyukai