Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegiatan pembangunan yang makin meningkat sebagai upaya
peningkatan kesejahteraan hidup yang bertumpu pada pembangunan industri
yang diantaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radio aktif.
Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat,
industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah
bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), yang apabila dibuang kedalam
media lingkung- an hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan,
dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Berbagai jenis
limbah B3 yang di- buang langsung ke lingkungan merupakan sumber
pencemaran dan perusakan ling- kungan. Untuk menghindari terjadinya
dampak akibat limbah B3 diperlukan suatu sistem pengelolaan yang
terintegrasi dan berkesinambungan. Upaya pengelo- laan limbah B3 tersebut
merupakan salah satu usaha dalam pelaksanaan pem- bangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Sistem manajemen
pengelolaan yang baik perlu diterapkan agar usaha tersebut dapat berjalan
dengan baik pula, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat
berpotensi menghasilkan limbah B3 seperti sektor Industri, rumah sakit
dan pertambangan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memberlakukan
peraturan perun- dang-undangan lingkungan hidup sebagai dasar dalam
pelaksanaannya. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka hak,
kewajiban dan kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 oleh setiap
orang/badan usaha maupun organisasi kemasyarakatan dijaga dan dilindungi
oleh hukum.
Indonesia dengan wilayah negara yang luas tentu memiliki
masalah lingkungan yang kompleks dan perlu mendapat perhatian
serius. Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia
akan membawa dampak terhadap kehidupan rakyat Indonesia bahkan juga

1
rakyat negara tetangga kita. Lihatlah bagaimana Malaysia dan Singapura
mem- protes pemerintah Indonesia atas asap kebakaran hutan Indonesia yang
datang ke wilayah negara tersebut. Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada
upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan diserap sementara
limbah pertambangan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3)
dibuang sesukanya, penang- kapan ikan dengan cara meracuni atau sistem
peledakan, sampah-sampah di- buang didaerah aliran air dan sebagainya.
Usaha menegakkan hukum ling- kungan dewasa ini memang
dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi
antara aparatur pene- gak hukum dalam memahami dan me- maknai
peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani
penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah
ter- jadi pencemaran atau perusakan ling- kungan bukanlah pekerjaan
mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif
untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.
Masalah pencemaran sungai khu- susnya oleh industri di Provinsi
Lampung tampaknya merupakan masalah yang seakan tiada akhir. Dari
waktu ke waktu, tahun ke tahun telinga kita seringkali mendengar teriakan
penduduk khususnya yang bermukim disekitar daerah aliran sungai baik
Way Seputih, Way Tulang Bawang, Way Pangubuan, dan lain-lain. tentang
matinya ikan-ikan di sungai, di kerambah, keluhan gatal-gatal pada kulit
mereka setelah mandi di sungai, rusaknya daerah pertanian/sawah, dan lain-
lain. Konon kabarnya dari dahulu masyarakat disana hampir tidak pernah
mengalami hal seperti itu, namun semenjak kehadiran beberapa
pabrik/industri, baik industry singkong/tapioka, gula, nanas, Crde Palm Oil
(CPO), yang berarti minyak sawit mentah, seringkali air sungai mereka
menjadi keruh dan berbusa dengan warna coklat kehitam-hitaman, belum
lagi aroma bau tidak sedap yang terbawa angin yang biasanya berasal dari
pabrik singkong menerpa pemukiman mereka sudah menjadi santapan
sehari-hari. Dari catatan Walhi Lampung, selama kurun waktu 5 tahun
terakhir sedikitnya telah terjadi 9 kali kasus pencemaran oleh industri

2
khususnya yang berada di Lampung Tengah, Tulang Bawang, Lampung
Timur, Lampung Selatan dan Lampung Utara. Jumlah itu barangkali baru
yang terungkap dan di ekspose oleh media, dibalik itu angkanya mungkin
jauh lebih besar mengingat banyaknya jumlah industri yang tersebar di
wilayah ini. Menurut sumber Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
Lampung total jumlah industri di Provinsi Lampung adalah sebanyak 193
buah yang umumnya adalah berupa Agroindustri, di mana 160 buah
merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 33 buah
Penanaman Modal Asing (PMA), baik skala besar, menengah maupun kecil.
Dari jumlah itu sebagian besar merupakan industri singkong/tapioka (33
buah), gula (6 buah), nanas, sawit/CPO, karet, dan yang kesemuanya itu bila
pengelolaan lingkungannya dilakukan secara tidak hati-hati sangat

berpotensi dan riska sekali menimbulkan pencemaran lingkungan.1


Tragisnya setiap kali terjadi kasus pencemaran selama itu pula
yang selalu menjadi korban adalah rakyat kecil/-nelayan yang
notabene hidupnya sangat tergantung dari apa apa yang bisa
diberikan oleh sungai. Tragisnya lagi selama itu pula tidak ada satupun pihak
yang merasa bersalah dan bertang- gungjawab. Tidak perusahaan,
tidak pemerintah, lantas siapa? Salah satu contoh pencemaraan
lingkungan yang diduga akibat pembuangan limbah dari PT Sungai Mas
Agung Abadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat.
Problem lingkungan hingga kini terus menjadi isu yang selalu aktual
dan belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula
dari tuntutan demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka
mengantisipasi kian meluasnya dampak kontraproduktif terhadap ling-
kungan khususnya akibat perkembangan dunia industri yang pesat maka
penegakan hukum di bidang lingkungan hidup menjadi mutlak diperlukan.
Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk memelihara
lingkungan dari keme- rosotan fungsi yang senantiasa meng- ancam
kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hukum lingkungan dengan
demikian, mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu

3
mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS)sebagai institusi di luar Polri untuk membantu tugas-tugas
kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.Pasal 94
ayat (1) mengatur bahwa: Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik
Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
Ketentuan pada Pasal 94 ayat (1) seharusnya memberi batasan
secara jelas tentang pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan
sengketa lingkung- an hidup, sehingga tidak menimbulkan sengketa
kewenangan diantara Polri dan PPNS.Hal ini juga bisa dalam penjelasan
ketentuan tersebut, dimana dalam pen- jelasannya di katakan cukup jelas.
Tetapi justru ketentuan yang ada dalam Pasal 94 ayat (1) menimbulkan
multitafsir (tidak jelas).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk
membahas permasalahan Polri dalam melakukan penyidikan tindak
pidana lingkungan hidup yang diberjudul Pelaksanaan Tugas dan
Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi Pencemaran Limbah B3 di Provinsi
Lampung).
B. Tujuan
Untuk Mengetahui Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri
dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Studi Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung).

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan


Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berupa Pencemaran
Limbah B3di Provinsi Lampung
Penyidikan merupakan salah satu Tugas Pokok Polri dalam rangka
melaksanakan penegakan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 13 huruf
(b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Sementara dalam kaitannya dengan Polri sebagai penyidik didasarkan
kepada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
memberikan wewenang kepada Polri untuk melakukan tugas penyelidikan dan
penyidikan, namun tidak secara eksplisit mengatur mengenai penyelidikan dan
penyidikan, sehingga Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia ini masih tetap mengacu kepada KUHAP maupun
peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan penyelidikan dan
penyidikan.
Berkaitan dengan hal di atas, berikut ini diuraikan beberapa bentuk
kegiatan pelaksanaan penyidikan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan
Penyidikan tindak pidana dilaksanakan setelah diketahui bahwa
sesuatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana:
a. Diketahuinya Tindak Pidana
Dasar hukumnya adalah Pasal 102 ayat (2) dan (3) KUHAP; Pasal 106
KUHAP; Pasal 108 KUHAP; Pasal 109 ayat (1) KUHAP; Pasal 111
KUHAP. Suatu Tindak Pidana dapat diketahui melalui: Laporan,

5
Pengaduan, tertangkap tangan, diketahui langsung oleh petugas
Polri. Setiap petugas Polri tanpa menunggu surat perintah dapat
melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan lain sebagainya seperti dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf (b) KUHAP ketika terjadi tindak pidana tertangkap tangan. Terhadap
tindakan yang dilakukan, petugas tersebut wajib membuat berita acara dan
melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. Penyidikan yang
mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera
melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau
menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk
mengajukan laporan atau pengaduan kepada kepolisian baik lisan
maupun tertulis. Begitu juga bagi orang yang mengetahui permufakatan
jahat untuk me- lakukan tindak pidana, seketika itu juga agar
melaporkan hal tersebut kepada kepolisian. Kemudian pega- wai negeri
dalam rangka melak- sanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya
peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu
kepada kepolisian. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis
harus ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu. Laporan atau pengaduan
yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani
oleh pelapor atau pengadu dan penyidik. Setelah menerima laporan atau
pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda
penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Dalam
hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum.
b. Pelaksanaan Penyidikan
Setelah diketahui bahwa suatu peristiwa yang terjadi diduga atau
merupakan tindak pidana, segera dilakukan penyidikan melalui kegiatan-
kegiatan penyelidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan

6
penyerahan berkas perkara. Yang dapat dilakukan oleh Penyelidikan
Reserse, yang menjadi dasasr hukumnya adalah: Pasal 5 KUHAP; Pasal
9 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 102 s/d 105 KUHAP; Pasal
111 KUHAP.
Petugas Polri mempunyai kewewenangan menerima laporan
atau pengaduan tentan adanya tindak pidana, mencaru keterangan
dan barang bukti, menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, serta melakukan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Atas perintah
penyidik dapat melakukan tindakan berupa: Penangkapan, larangan
meninggalkan tempat penggeledahan dan penyitaan, Pemeriksaan dan
penyitaan surat, Mengambil sidik jari dan memotret seorang, Membawa
dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: Peme-
riksaan tersangka; Penangkapan; Penahanan; Penggeledahan; Pema-
sukan rumah; Penyitaan benda; Pemeriksaan surat; Pemeriksaan
saksi; Pemeriksaan di tempat kejadian; Pelaksanaan penetapan dan
putusan pengadilan; Pelak- sanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang. Berita acara dibuat oleh pejabat yang
bersangkutan dalam mela- kukan tindakan tersebut dan dibuat atas
kekuatan sumpah jabatan. Berita acara tersebut selain ditandatangani
oleh pejabat tersebut ditandatangani pula oleh semua pi- hak yang terlibat
dalam tindakan tersebut.
Penyelidikan yang menge- tahui, menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyeli- dikan
yang diperlukan. Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah
penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan
dalam rangka penyelidikan dan penyelidik wajib membuat berita acara
dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum. Laporan atau
pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh

7
pelapor atau pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditanda- tangani oleh pelapor atau
pengadu dan penyelidik. Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat
menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau
penga- duan tersebut. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyelidik wa- jib menunjukkan tanda pengenal- nya. Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoor- dinasi, diawasi dan
diberi petunjuk oleh penyidik.
2. Penindakan
Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang
maupun benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi.
Berkaitan dengan hal di atas, tindakan hukum tersebut antara lain, sebagai
berikut:
a. Pemanggilan Tersangka dan Saksi
Yang menjadi dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni Pasal 7 ayat (1) huruf
(g) dan (h) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 112 KUHAP; Pasal
113 KUHAP; Pasal 116 ayat (4) KUHAP. Undang- undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara
Pidana; Peraturan lain-lainnya.
Penyidik Polri mempunyai ke- wenangan memanggil orang untuk
didengar dan diperiksa sebagai ter- sangka atau saksi serta menda- tangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan peme- riksaan
perkara. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam
Pasal 7 ayat (1), ke- cuali mengenai penahanan yang wajib diberikan
dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Penyidik yang melakukan
pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan jelas,
berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu
untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan
tenggang waktun yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari

8
seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Orang yang
dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang,
penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk
membawa kepadanya. Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil
memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang
kepada penyidik yang melakukan pemerik- saan, penyidik itu datang ke
tempat kediamannya. Pada saat pemerik- saan tersangka, apabila si
tersangka menghendaki untuk dipanggilnya saksi yang menguntunkan,
penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
b. Penangkapan
Yang menjadi dasar hukumnya adalah: Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebagai berikut: Pasal 5 ayat
(1) huruf (b) angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal
11 sampai dengan 19 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 111
KUHAP; Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana; Peraturan lainnya (untuk
Pasal-pasal yang berhubungan dengan penangkapan). Di dalamPasal 5
ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP dijelaskan, Atas perintah penyidik
dapat melakukan tindakan berupa: penangkapan, larangan meninggalkan
tempat, penggeledah- an dan penyitaan.
Penyidik Polri mempunyai ke- wenangan untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggele- dahan dan penyitaan. Penyidik
pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat
(1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari apenyidik. Penyidik pembantu membuat berita acara dan
menyerahkan berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara
pemeriksaan singkat yang dapt langsung diserahkan kepada penuntut
umum. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perin- tah penyidik
berwenang melakukan penangkapan. Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.

9
Perintah penangkap- an dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memperlihatkan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan
tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau
penyidik pembantu yang terdekat. Tembusan surat perintah penangkapan
yang dilakukan oleh Polri harus diberikan kepada keluarganya segera
setelah penangkapan dilakukan.
Penangkapan sebagaimana di- maksud dalam Pasal 17, dapat
dilakukan untuk paling lama satu hari. Terhadap tersangka pelaku
pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia
telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan
itu tanpa alasan yang sah. Dalam hal terjadi tindak pidana yang
tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan
umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa
barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Setelah menerima
penyerahan tersangka, penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan
pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan. Penyelidik atau
penyidik yang menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian
dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama
pemeriksaan di situ belum selesai. Hal-hal yang harus diperhatikan:
1) Setelah penangkapan dilakukan, segera diadakan pemeriksaan untuk
dapat menentukan apakah perlu diadakan penahanan atau tidak,
mengingat jangka waktu penangkapan yang diberikan oleh Undang-
undang hanya 124 jam, kecuali terhadap tersangka kasus narkotik

10
(224jam);
2)Terhadap tersangka pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan,
kecuali bila telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak
memenuhi panggilam itu tanpa alas an yang sah;
3) Segera setelah dilakukan penangkapan supaya diberikan 1 (satu)
surat perintah penangkapan wajib diberikan kepada tersangka dan 1
(satu) lembar kepada keluarganya.
c. Penahanan
Dasar hukum dalam melakukan penahanan oleh penyidik adalah: Pasal
7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal 20 ayat (1)
KUHAP; Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 KUHAP; Pasal 29 sampai
dengan Pasal 31 KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal 123 KUHAP. Dalam
melakukan penahanan, pen- yidik Polri mempunyai kewenang- an:
melakukan penangkapan, pe- nahanan, penggeledahan dan pen- yitaan.
Seperti tercantum di da- lam pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP. Penyidik
pembantu mem- punyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1),
kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari penyidik.
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh
penyidik atau penun- tut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan
memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang
mencantumkan iden- titas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan
penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan serta tempat ia ditahan. Tembusan surat penahanan atau
penahanan lanjutan atau penetapan hakim, harus diberikan kepada
keluarganya. Penahanan tersebut hanya dikenakan terhadap tersangka atau

11
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: Tindak pidana itu
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, dan tindak pidana
seba- gaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (4) huruf (b). Jenis penahanan
dapat berupa: Penahanan rumah tahanan Negara, Penahanan rumah, Penahanan
kota.
Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk meng-
alihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 KUHAP. Pengalihan jenis pena- hanan dinyatakan secara tersendiri dengan
surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang
tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya
dan kepada ins- tansi yang berkepentingan.
d. Penggeledahan
Dasar hukum penyidik untuk melakukan penggeledahan adalah: Pasal 5
ayat (1) huruf (b) angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP;
Pasal 11 KUHAP; Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP;
Pasal 75 KUHAP; Pasal 125 KUHAP; Pasal 126 KUHAP.
Penyelidik Polri atas perintah penyi- dik dapat melakukan penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Pen- yidik Polri
mempunyai kewenangan melakukan penangkapan, penahan- an, penggeledahan
dan penyitaan. Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut
dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, kecuali mengenai penahanan yang wajib di-
berikan dengan pelimpahan we- wenang dari penyidik. Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang. Dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat penyidik dalam melakukan penyi- dikan dapat mengadakan peng-
geledahan rumah yang diperlukan. Dalam hal yang diperlukan atas perintah
tertulis dari penyidik, petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
memasuki rumah. Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang

12
saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. Setiap kali me- masuki
rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus
dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau
penghuni rumah yang bersangkutan.
Pada saat keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana
penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat
izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5)
penyidik dapat melakukan penggeledahan: Pada halaman rumah tersangka
bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; Pada setiap
tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; Di tempat tindak
pidana dilakukan atau terdapat be- kasnya, serta di tempat penginapan dan
tempat umum lainnya. Dalam hal penyidik melakukan pengge- ledahan,
penyidik tidak diper- kenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan
tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak
pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak
pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua peng- adilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Kecu- ali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan me-
masuki: Ruang di mana sedang ber- langsung sidang Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan,
Ruang di mana sedang berlangsung sidang peng- adilan. Dalam hal penyidik
harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak
mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka pengge- ledahan
tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh
penyidik dari daerah hukum di mana pengge- ledahan itu dilakukan. Pada
waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang meng-geledah
pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras

13
dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang
dapat disita. Pada waktu menangkap tersangka dibawa kepada penyidik,
penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan
tersangka. Dalam hal pen- yidik melakukan penggeledahan rumah terlebih
dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada ter- sangka atau keluarganya,
selan- jutnya berlaku ketentuan seba- gaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan
Pasal 34 KUHAP.
Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil
penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam waktu dua hari setelah
memasuki dan atau meng- geledah rumah. Penyidik mem- bacakan lebih
dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah ke- pada yang
bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik
maupun tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam hal tersangka atau
keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangan-nya, hal itu dicatat
dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
e. Penyitaan
Dasar dalam penyitaan adalah: Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka
(1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d) KUHAP; Pasal 11 KUHAP;
Pasal 38 sampai dengan 49 KUHAP; Pasal 128 sampai dengan 132
KUHAP. Penyelidik Polri atas perintah penyidik dapat melakukan
tindakan berupa: penangkapan, larangan mening- galkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan. Penyidik Polri mempu- nyai kewenangan
melakukan penangkapan, penahanan, pengge- ledahan dan penyitaan.
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua
pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan
hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua
pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Berda- sarkan
ketentuan Pasal 39 KUHAP ayat (1), yaitu:

14
(1) Yang dapat dikenakan penyi- taan adalah
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian di- duga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai
hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergu- nakan secara langsung untuk melakukan
tindak pida na atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk mengahalang-halangi penyelidikan
tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melaku- kan tindak
pidana;
e. Benda lain yang mem- punyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan.
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena
pailit dapat juga disita untuk kepentingan pen- yidikan, penuntutan dan meng-
adili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut
diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang
dapat dipakai sebagai barang bukti dalam hal tertangkap tangan. Penyidik juga
berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau
pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda
tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk
itu kepada tersangka dan atau kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor
pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.
Penyidik berwenang meme- rintahkan kepada orang yang menguasai benda
yang disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan
pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda
penerimaan. Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan
kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa
atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau

15
jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.
Penyitaan surat atau tulisan dari mereka yang berkewajiban menurut
undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia
Negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus
ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

B. Faktor yang menjadi Kendala Penyidikan yang dilakukan Penyidik Polri


dalam melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup berupa
Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung
Usaha menegakan hukum ling- kungan dewasa ini memang dihadapkan
sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur
penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan
yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup
terbatas. Ketiga, membuktikan telah ter- jadi pencemaran atau perusakan ling-
kungan bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai
peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum
lingkungan. Untuk itu, sudah saatnya penegakan hukum bagi setiap usaha dan
aktivitas yang membebani lingkungan diintensifkan agar kelestarian fungsi
lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik. Persoalan lingkungan hidup bagi
negara berkembang seperti Indonesia dilematis bagaikan buah simalakama. Di
satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap
lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan.
Solusinya, dalam melaksanakan pem- bangunan praktis sekaligus meningkatkan
mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin ling- kungan amat urgen dalam artian menaati
aturan yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang
kian marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian
ling- kungan hidup, mencegah, dan menanggu- langi pencemaran serta perusakan
ling- kungan hidup. Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan
ling- kungan, seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya
(B3) me- lebihi ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan

16
yang bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi ad-
ministrasi, perdata, maupun pidana.
Menurut Kepala Bidang (Kabid) Pengawasan dan Pengendalian Ling-
kungan BLHD Provinsi Lampung men- yatakan bahwa hingga kini problem
lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum tertanggulangi,
terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan demokratisasi dan
transparansi.
Dalam rangka mengantisipasi kian me- luasnya dampak kontraproduktif
terhadap lingkungan khususnya akibat per- kembangan dunia industri yang
pesat maka penegakan hukum di bidang ling- kungan hidup menjadi mutlak
diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk memelihara
lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam
kehidupan masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian, hukum
lingkungan mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu me- wujudkan
pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka
berikut adalah kendala- kendala dalam penyidikan yang dilakukan penyidik polri
dalam melakukan pen- yidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa
pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung:
1. Faktor hukumnya sendiri
Pembuktian tindak pidana ling- kungan, terutama pembuktian materiil
tidaklah sederhana. Prosesnya memerlukan dukungan para ahli dari
berbagai latar belakang keilmuan.Untuk membuktikan tindak pidana
lingkungan hidup, maka harus memenuhi unsur unsur yang terkadung
dalam Pasal 97, 98 UUPLH No. 32 Tahun 2009 yaitu sengaja
melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya bakut mutu udara
ambien, baku mutu air, air laut, atau kriteria baku mutu kerusakan lingkungan
hidup dan bahaya keselamatan manusia dan akibatkan orang luka berat atau
mati dapat dipidana dan memperoleh sanksi yang tegas. Dalam kasus
perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup terdapat kesulitan bagi aparat
penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan
Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Di samping itu, pembuktian unsur hubungan

17
kausal merupakan kendala tersendiri. pencemaran lingkungan hidup sering
terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber
pencemaran, terutama yang bersifat kimiawi. Selain menyediakan alat bukti,
penyidik juga harus cermat dalam menentukan tersangkanya yang ternyata
sulit untuk menempatkan korporasi sebagai tersangka. Kesulitan ini
dirasakan oleh penyidik pada saat menghu- bungkan antara tindak pidana
dengan bukti-bukti yang mengarah pada sua- tu pelaku tindak pidana yang no-
tabene adalah fiksi hukum.
2. Faktor aparat penegak hukum
Pengetahuan dan keterampilan yang belum memadai pada kasus tindak
pidana berupa pencemaran limbah B3, sehingga terjadi perbedaan
pemahaman dalam penuntasan kasus lingkungan hidup biasanya terjadi
pada penerapan asas ultimum remedium dan premium remedium, pembuktian
terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, serta impor dan
identifikasi limbah berbahaya dan beracun membuat penyelesaian perkara
tindak pidana lingkungan berupa pencemaran B3 memakan waktu yang panjang
Selanjutnya Sulit menangkap pelaku pencemaran karena dalam pem
buktianya tidak sesederhana dalam kasus-kasus lain, dimana dalam kasus
pencemaran limbah cair (air sungai) merupakan akibat kumulatif dari
pembuagan limbah cair yang ada di aliran sungai, maka penerapan azas
kausalitas akan memakan waktu, dan biasanya pelaku telah menghilangkan
bukti-bukti pencemaran. Pembuktian dalam proses penegakan hukum pidana
sejatinya telah dimulai dari proses pengumpulan bahan dan keterangan dan jika
diindikasikan bahwa suatu laporan dan/atau peng- aduan merupakan suatu
tindak pidana maka penyidik Polri maupun PPNS- LH dapat meningkatkan
statusnya menjadi penyidikan. Penyidikan me- rupakan suatu tahapan untuk
mencari dan menemukan alat bukti yang men- dukung bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana lingkungan. Berikutnya yaitu pengambilan sampel limbah
dari suatu industri tidak mudah, ka- dangkala petugas harus membawa surat
pengantar dari instansi petugas, sehingga perusahaan yang diduga melakukan
pencemaran sudah mela- kukan pembersihan terhadap pen- cemaran pada saat

18
petugas datang.

3. Faktor saran atau fasilitas pendukung penegakan hukum


Kurang memadainya sarana prasarana seperti laboratorium membuat
petugas kesulitan dalam hal penggolongan pencemaran yang telah terjadi.
4. Faktor masyarakat
Ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi sosial dilingkungannya
turut mendorong terjadinya instabilitas sosial. Masyarakat yang
seharusnya melaporkan beragam masalah social yang terjadi di
lingkungannya kepada aparat berwajib namun justru bersikap diam akan
menyebabkan kondisi instabilitas tetap tumbuh dan berkembang tanpa bisa di
atasi. Ironisnya, banyak anggota masyarakat yang justru terlibat
dalam aktivitas menyimpang tersebut.
Pelibatan masyarakat dalam menjaga dan memelihara Kamtibmas
sejatinya tidak sekedar membantu aparat Polri dalam melaksanakan
tugas-tugasnya sebagai aparat pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat, namun yang lebih penting adalah memberikan ruang bagi
pemberdayaan masyarakat
(empowerment). Masyarakat diberdayakan sehingga tidak semata- mata
sebagai obyek dalam penyelengaraan fungsi kepolisian melainkan
sebagai subyek yang menentukan dalam mengelola sendiri upaya
penciptaan lingkungan yang aman dan tertib.
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam upaya
menjaga dan memelihara Kamtibmas dapat menjadi pemicu maraknya kasus-
kasus kriminalitas di masyarakat. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah
adanya kebersamaan antara aparat Polri dan masyarakat karena kebersamaan
menjanjikan kekuatan yang luar biasa, sesuatu yang besar hanya dapat
diraih melalui kebersamaan terutama dalam hal pencemaran limbah B3
yang terjadi dilingkungannya.
5. Faktor kebudayaan
Pada faktor ini penulis menitik beratkan kepada budaya dari perusahaan

19
yang melakukan pencemaran limbah, seperti:
a. Pembuangan limbah cair, kadangkala dibarengi dengan
kondisi alam seperti adanya banjir di aliran sungai, pada malam hari, dan
membuat aliran pembuangan tersembunyi yang sulit diketahui oleh
orang tua perusahaan dan dilakukan secara tersembunyi dan kurangnya
tenaga ahli di bidang lingkungan.
b.Tertutupnya Area perusahaan dengan pagar tinggi atau bangunan besar
dan merupakan area yang tidak mudah dimasuki oleh masyarakat atau
petugas sekalipun, sehingga menyulitkan masyarakat ikut mengawasi
pencemaran di lingkungan.
c. Urusan Ekonomi menjadi hal yang utama sehingga lingkungan
dinomor duakan oleh para pengusaha.
d. Tidak semua pimpinan perusahaan sampai tingkat manager atau
pemilik mempunyai Visi dalam pengelolaan lingkungan sehingga
pengelolaan limbah hanya merupakan pemborosan biaya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Kasubdit IV Krimsus
Polda Lampung, bahwa teknik investigasi dalam pengumpulan data pada kasus
pembuangan limbah yang tergolong dalam B3 oleh PT. Bea Sari Jelita secara garis
besarnya dilakukan melalui:
1. Penelitian Dokumen
Kegiatan pada penelitian dokumen mencakup penelitian keabsahan
dokumen dan substansi dokumen. Dalam melaksanakan penelitian keabsahan
dokumen, harus dilengkapi dengan pedoman- pedoman teknis dan peraturan
yang berlaku. Selanjutnya seluruh dokumen dan peta dinilai keabsahannya
sesuai pedoman/peraturan yang berlaku.
Penelitian substansi dokumen khususnya dokumen lingkungan
(AMDAL, RPL/UKL) dimaksudkan untuk melihat sejauh mana informasi
yang terkandung di dalam data dasar digunakan sebagai acuan perencanaan
yang dibuat. Dalam penelitian substansi dokumen, informasi yang
dimuat dalam dokumen-dokumen perencanaan, laporan kegiatan
pelaksanaan, dan dokumen data dasar, dilakukan uji silang (cross check)

20
untuk melihat keterkaitan dalam hal target, materi, dan jangka waktunya atau
mencocokan antara laporan perencanaan dengan laporan pelaksanaan di
lapangan dalam upaya pencegahan dampak negatif atau kerusakan
lingkungan yang akan terjadi.
Kelemahan investigasi berda- sarkan penelitian dokumen yaitu pihak
pelaku pencemar dan atau perusakan lingkungan jarang memberikan
dokumen kegiatan lapangan kepada pihak penyidik (dimusnahkan), sering
kali data pada dokumen kurang akurat (perlu validasi) dan memerlukan
waktu yang cukup lama dalam memahami keterkaitan data yang ada dengan
kejadian kerusakan lingkungan yang terjadi. Kelebihan investigasi
berdasarkan penelitian dokumen adalah cepat dan tidak memerlukan analisa
laboratorium, dan merupakan barang otentik yang dapat digunakan sebagai
bukti awal terjadinya tindak kerusakan lingkungan. Berdasarkan penelitian
dokumen yang dilakukan bahwa PT. Bea Sari Jelita tidak memiliki ijin TPS
Limbah B3, yang perijinan tersebut seharusnya dikeluarkan oleh BPLH
Lampung Selatan.
2. Penelitian Lapangan
Berdasarkan temuan-temuan pada penilaian substansi dokumen terkusus
dokumen lingkungan, dilakukan pelingkupan kegiatan lapangan. Pelingkupan
kegiatan lapa- ngan dilakukan untuk memfokuskan hal-hal yang dianggap
penting/kritis dalam pengambilan keputusan penapisan dan lebih memberi
keyakinan dalam pengambilan keputusan tentang terjadinya dugaan
pencemaran dan atau perusakan lingkungan.
Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan bahwa bak IPA yang
dimiliki PT. Bea Sari Jelita pada Pabrik pembuatan sabun tidak di-
fungsikan dan dibuang langsung ke tanah kosong di samping pabrik,
sedangkan sisa pembakaran batubara dibuang dan dihamparkan di halaman di
halaman kosong belakang pabrik dan tidak ditempatkan di TPS Limbah B3.
Pengamatan lapangan sangat diperlukan kompetensi saksi ahli
dalam menggungkap dugaan terjadinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan yang meliputi tipe dan komponen sumberdaya alam dan eko-

21
sistem yang terkena dampak, proses dan mekanisme terjadinya pencemar- an
dan atau perusakan lingkungan, derajat kerusakan yang terjadi dan lamanya
kerusakan. Hal tersebut sangat diperlukan untuk menentukan pengamatan,
penelitian dan peng- ambilan sampel yang tepat dan akurat untuk dianalisa di
laboratorium. Pengambilan sampel yang dilakukan harus diupayakan
memenuhi kom- ponen ekosistem yang mengalami kerusakan baik komponen
biotik (flora, fauna, tanaman, tumbuhan bawah, jamur dan sebagainya) dan
komponen abiotik (tanah, batu, bahan mineral, air, serasah, kayu terbakar,
kayu dan sebagainya). Pengambilan komponen ekosistem tersebut juga
berdasarkan metode ilmiah yang tepat, efektif dan efisien dengan
ditunjang peralatan yang baik (kompas, GPS, penetrometer, alti- meter, peta
dan lain lain). Adapun pengamatan lapangan dapat dila- kukan melalui
metode analisa vegetasi dan pengambilan sampel tanah (legal sampling) serta
mengamati dampaknya.
Kelemahan investigasi berdasarkan penelitian lapangan yaitu pihak
pelaku perusakan kurang kooperatif, data yang diperoleh terbatas, kadang
memerlukan waktu yang lama, asessibilatas yang kurang baik dan
terpengaruh oleh kondisi cuaca dan iklim. Kelebihan investigasi ber- dasarkan
penelitian lapangan adalah obyektif, reprentatif, dapat men- dukung atau
membantu jawaban atas analisa laboratorium dan saksi ahli atau penyidik
dapat mengamati komponen ekosistem atau lingkungan yang mengalami
perusakan ling- kungan yang terjadi.
3. Analisa Laboratorium
Setelah didapat komponen dan proses perusakan dapat diungkap
maka saksi ahli melakukan legal
sampling terhadap komponen lingkungan untuk memastikan tingkat
pencemaran dan atau perusakan yang terjadi. Sampel tersebut dibuatkan
berita acara pengambilan sampel, penyegelan, penyitaan sampel dan analisa
laboratorium terhadap sampel tanah yang didapat dari lapangan.
Kelemahan investigasi berdasarkan analisa laboratorium
yaitu memerlukan peralatan dan bahan kimia yang biayanya mahal,

22
data sangat dipengaruhi pada metode analisis, data yang diperoleh ditentukan
oleh sampling yang
dilakukan, memerlukan waktu lama dan saksi ahli kuarng dapat
menjelaskan proses dan mekanisme terjadinya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan (terutama apabila tidak melalukan sampling).
Kelebihan investigasi berdasarkan analisa laboratorium adalah merupakan
alat bukti yang akurat, data yang diperoleh akurat dan lebih objektif
Indikator yang konsisten untuk menentukan derajat kerusakan melalui
kriteria baku kerusakan yaitu komponen.
4. Wawancara
Teknik investigasi dengan wawancara umumnya dilakukan
bersamaan dengan penelitian di lapangan. Wawancara umumnya
merupakan data tambahan yang fungsinya bertujuan untuk lebih mengetahui
mengungkap proses terja- dinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan.
Kelemahan investigasi berda- sarkan wawancara yaitu memerlukan
kemampuan berkomunikasi, pihak pelaku perusak dan pencemar bersifat
resisten, data kuantitatif kurang akurat, bersifat subjektif dan data bersifat
kualitatis. Kelebihan investigasi berdasarkan wawancara adalah data
yang diperoleh secara cepat, mudah dan murah.
Tahap berikutnya menurut Penyidik Subdit IV Krimsus Polda
Lampung yaitu perintah penangkapan terhadap seseorang berdasarkan Pasal
17 KUHAP, dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti
permulaan yang cukup yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya tindak
pidana sesuai Pasal 1 ayat (14) KUHAP. Dengan demikian, Ketentuan Pasal
17 KUHAP mengatur bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang, akan te- tapi hanya dapat dilakukan terhadap
mereka yang betul-betul telah me- lakukan tindak pidana.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebe- lumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik Polri dalam penyidikan
tindak pidana lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di wilayah
hukum Polda Lampung berjalan berdasarkan sesuai ketentuan di dalam
KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI,
dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ling- kungan Hidup. Namun dalam pelaksanaannya
Penyidik Polri dan PPNS-LH masih harus berkoordinasi dengan instansi
pemerintah lain untuk saksi ahli sesuai dengan bidangnya, sehingga
membutuhkan waktu yang lama dan tidak efisien.
2. Faktor atau kendala yang dihadapi penyidik Polri khususnya pada
Ditreskrimsus Polda Lampung dalam melakukan penyidikan tindak
pidana lingkungan berupa pencemaran lim- bah B3 di Provinsi Lampung
berupa: sulitnya pengambilan sampel limbah, pembuktian yang tidak
sederhana, tertutupnya areal pabrik yang men- yebabkan tidak mudah
dimasuki masyarakat ataupun petugas, keti- dakpedulian masyarakat
sekitar se- olah tutup mata dengan apa yang terjadi di sekitarnya termasuk
dalam hal pencemaran limbah B3, kurang memadainya pengetahuan dan
kete- rampilan penyidik, kurang mema- dainya sarana prasarana seperti
laboratorium membuat petugas kesulitan dalam hal penggolongan
pencemaran yang telah terjadi.
B. Saran
1. Kepada Pemerintah pusat hendaknya dibuat petunjuk teknis yang lebih
jelas dan tegas terkait dengan tugas dan wewenang penyidikan khususnya
terhadap tindak pidana lingkungan antara Penyidik Polri dengan PPNS- LH.
2. Hendaknya Kepolisian Daerah Lampung mengirimkan anggotanya

24
atau penyidik untuk pelatihan dan pendidikan khususnya terkait dengan
tindak pidana lingkungan guna meningkatkan kemampuan dan intelejensi
penyidik Polri.

25

Anda mungkin juga menyukai