Anda di halaman 1dari 9

Pradipa P Rasidi // 1606942722

Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi


1
Semester Gasal 2017

Ulasan
Proses terbentuknya Negara-Bangsa

Anderson, B. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of


Nationalism. New York, Verso: 48-59.
J. Kelly and M. Kaplan. 2001. Nation and Decolonization: Toward a New Anthropology
of Nationalism, Anthropological Theory 1(4): 419-437.

D alam berbagai teori tentang nasionalisme, karya Benedict Anderson (1991)


adalah karya yang monumental. Anderson menggeser pemahaman mengenai
nasionalisme, dari sebagai sebuah konstruk ideologis (-isme) seperti liberalisme atau
fasisme, menjadi sebagai sebuah pandangan hidup (world view)ia adalah gagasan
yang diterima begitu saja (taken for granted), yang diterima tanpa disadari oleh yang
terikat kepadanya. Bagi Anderson, nasionalisme lebih cocok disejajarkan dengan
ikatan kekerabatan atau agama ketimbang liberalisme atau fasisme.

Nasionalisme, menurut Anderson, didasari pada kemampuan untuk membayangkan


suatu komunitas terbayang (imagined communities). Ia menjadi terbayang (imagined)
karena anggota dari bangsa yang paling kecil pun tak pernah mengenal sebagian besar
anggota lainnyatak juga pernah mendengar merekatetapi dalam pikiran
masing-masing terbayang kehidupan dalam satu komuni yang sama. Ia dibayangkan
sebagai terbatas, karena tiap bangsa, bahkan yang paling besar pun, memiliki cakupan
ruang yang terbatas. Ia dibayangkan sebagai sebuah komunitas, karena meski pada
kenyataannya terdapat ketidaksetaraan dan eksploitasi antar-individu di dalamnya,
sebuah bangsa selalu dibayangkan sebagai suatu bentuk persaudaraan yang
mendalam.

Imagined community yang disebut Anderson dapat terbayang ketika ia dibentuk


melalui sebuah waktu simultan (simultaneous time)waktu yang memungkinkan
individu-individu di dalamnya membayangkan bahwa di luar sana, dalam komunitas
yang sama, ada orang-orang lain yang melakukan hal sebagaimana yang ia lakukan.
Menurut Anderson, waktu yang simultan hanya dapat dimungkinkan lewat
pembayangan waktu yang kosong dan homogen (homogeneous, empty time).
Pradipa P Rasidi // 1606942722
Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi
2
Semester Gasal 2017

Pembayangan waktu yang kosong dan homogen ini, berikutnya, hanya dimungkinkan
oleh keberadaan kapitalisme cetak (print capitalism), yaitu adanya kemampuan
industri percetakan modern untuk mendistribusikan media cetak seperti buku dan
koran. Media cetak memungkinkan orang-orang untuk membayangkan dirinya berada
dalam ruang dan waktu yang sama: seorang Fulan di suatu taman kota dapat
membayangkan kecelakaan yang menimpa Fulani di suatu desa yang jauh dari
tempatnya tinggal, karena cerita tentang kecelakaan itu dimuat di koran nasional. Dia
membayangkan bahwa dirinya dan diri Fulani, sama-sama bagian dari komunitas
nasional yang tercakup dalam ruang yang sama. Dengan dirinya mengetahui apa yang
terjadi pada Fulani lewat kabar yang dicetak secara cepat tersebut, Fulan bisa
mengetahui informasi secara langsung di hari yang sama dan membayangkan dirinya
sebagai sesama anggota suatu komunitas nasionalsama-sama warga negara. Bukan
hanya itu, kapitalisme cetak juga memungkinkan informasi yang dimediasi lewat
bahasa yang sama. Tulis Anderson,

Bahasa cetak (print languages) membangun pondasi kesadaran nasional


melalui tiga cara. Pertama, dia menciptakan medan pertukaran dan
komunikasi bersama, yang bertempat di bawah bahasa Latin [bahasa resmi
dan gereja orang Eropa] dan di atas dialek sehari-hari (vernacular). ... Kedua,
kapitalisme cetak memberikan kepastian baru pada bahasa [ada bahasa yang
baku], yang membantu menciptakan bayangan akan kekunoan yang penting
bagi gagasan tentang bangsa. ... Ketiga, kapitalisme cetak menciptakan suatu
bahasa kekuasaan yang berbeda dari dialek sehari-hari di kalangan
administrasi. (Anderson, 2006:44-45)

Bahasa adalah pokok penting dalam tesis Anderson tentang nasionalisme. Pada bab
empat Anderson membahas tentang para creole pioneers, yaitu orang-orang berbahasa
campuran (creole) yang pernah dijajah oleh Eropa dan memiliki semangat untuk
membentuk negara dalam semangat itu, yakni suatu negara creole, yang dibentuk
dan dipimpin oleh orang-orang yang memiliki bahasa dan leluhur yang sama dengan
orang-orang yang mereka lawan. (Anderson, 2006:48) Anderson mengambil contoh
Amerika Serikat, Brazil, dan bekas jajahan Spanyol. Menurut Anderson, para
komunitas creole ini mampu mengembangkan konsep nasionalismemembayangkan
diri mereka sebagai negara-bangsajauh sebelum sebagian besar Eropa bisa
melakukannya. Anderson menyebutkan bahwa ada peran besar ide-ide Pencerahan
dan perubahan ekonomi dalam memungkinkan orang-orang creole mengembangkan
ide tentang nasionalisme vis-a-vis konteks penguasaan kekaisaran. Tapi, yang paling
Pradipa P Rasidi // 1606942722
Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi
3
Semester Gasal 2017

penting, adalah bagaimana unit administratif kekaisaranyang membagi-bagi betapa


luasnya wilayah jajahan mereka menjadi ke dalam beberapa unit
administratifmemungkinkan orang-orang di dalamnya untuk membayangkan diri
mereka sebagai bagian dari komunitas nasional tersebut. Bila seseorang lahir di koloni
negara jajahan, satu-satunya cara untuk meraih mobilitas sosial ke atas adalah dengan
mendekatkan diri ke pemerintahan administratif koloni tersebut.

Luasnya kekaisaran Spanyol di dataran Amerika, beragamnya iklim dan


tananhya, dan, terutama, sulitnya komunikasi di masa pra-industrial,
cenderung membuat unit-unit [administratif] tersebut terkungkung dalam diri
mereka sendiri ... Untuk bisa melihat bagaimana unit-unit administratif itu
bisa dibayangkan sebagai tanah airbukan cuma di Amerika tapi juga di
penjuru duniakita harus melihat bagaimana pengorganisasian administratif
menciptakan makna. Antropolog Victor Turner sudah pernah menulis tentang
perjalanan, antara waktu, status, dan 26 tempat, sebagai pengalaman yang
menciptakan makna ... untuk kepentingan pembahasan kita, contoh perjalanan
yang saya bahas adalah perjalanan ziarah. Dalam pikiran para Kristen,
Muslim, atau Hindu, kota Roma, Mekah, atau Benares bukan sekadar pusat
dari geografi yang sakral, tapi terpusatnya bayangan itu dialami dan
disadari dengan adanya penziarah yang terus melaju ke tempat-tempat itu
dari lokalitas lain yang terpencil dan tidak terhubung sama sekali. ...
Keterpakuan para orang Melayu, Persia, India, Berber, dan Turki di Mekah
tidak bisa kita pahami tanpa memahami adanya semacam gagasan tentang
komunitas. Orang Berber yang menjumpai orang Melayu di hadapan Kabah
pastinya bertanya hal ini pada dirinya: Kenapa orang ini melakukan apa
yang saya lakukan, mengucapkan kalimat yang sama dengan yang saya
ucapkan, walaupun kami tak bisa saling berkomunikasi? Hanya ada satu
jawaban, bila dia sudah memahaminya: Karena kami... adalah Muslim.
(Anderson, 2006:53-54)

Maka, seperti halnya ziarah ke Mekah, arus orang yang berputar di wilayah-wilayah
koloni, yang menggunakan bahasa dan kesejarahan yang sama, memungkinkan
negara-negara creole untuk mengimajinasikan diri mereka ke dalam suatu bangsa
yang samamemungkinkan nasionalisme. Anderson memaparkan bagaimana proses
ini terjadi di Amerika Selatan (jajahan Spanyol), Amerika Serikat, Afrika, dan Asia.
Dia menyeleksi data-data biografis dan publikasi sepanjang abad ke-18 hingga ke-20
yang memungkinkan imajinasi tentang bangsa.

Dari pemaparan singkat ini dapat dipahami beberapa hal. Pertama, ide Anderson
tentang nasionalismedan juntrungannya, nation-stateadalah ide yang bermazhab
sangat modernis. Anderson mensyaratkan keberadaan kapitalisme cetak sebagai
Pradipa P Rasidi // 1606942722
Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi
4
Semester Gasal 2017

faktor yang memungkinkan adanya ide tentang nasionalisme. Tanpa kapitalisme cetak,
sebuah ruang dan waktu yang terkompresi dan hampa (homogenous empty time) tidak
mungkin bisa terbayang. Tanpa kapitalisme cetak, Fulan yang tinggal di kota tak bisa
membayangkan dirinya berada dalam satu keanggotaan komunitas yang sama dengan
Fulani yang tinggal di ujung desa. Karena, dalam tesis Anderson, hanya media cetak
yang bisa memungkinkan hal itu. Selain keberadaan kapitalisme cetak, Anderson juga
beberapa kali menyebutkan pentingnya Abad Pencerahan dalam menyebarluaskan
ide-ide tentang determinasi dan otonomi politik bagi khalayak luas dalam membentuk
gerakan politik yang mendasarkan dirinya pada imajinasi tentang bangsa. Tentunya,
penyebarluasan ide-ide ini hanya mungkin difasilitasi oleh keberadaan kapitalisme
cetak.

Anderson juga menyoroti pentingnya perubahan ekonomi dan pengaturan


spasialseperti unit administratif di kawasan Amerika yang disebutkan
sebelumnyasehingga ada sedikit nuansa materialis (Marxis) dalam tesis Anderson
tentang nasionalisme. Namun saya sepakat dengan kategorisasi Umut Ozkirimli
(2010:105-113) yang menempatkan Anderson sebagai teoretikus nasionalisme yang
menekankan pada transformasi sosial-kultural lantaran fokus pembahasannya yang
menempatkan pada pentingnya kompresi ruang dan waktu (homogenous empty time)
sebagai cara untuk membayangkan diri sebagai bagian dari komunitas nasional.
Kapitalisme cetak dan konfigurasi politik yang memungkinkannya, meski demikian
penting dalam tesis Anderson, adalah suatu cara yang memungkinkan kompresi itu
terjadi.

P embahasan Kelly dan Kaplan (2001) adalah kritik langsung akan tesis
Anderson tentang nasionalisme. Kelly dan Kaplan membukanya dengan
pernyataan yang berani: cara pikir teoretikus nasionalisme seperti Anderson yang
melihat nasionalisme sebagai produk modernitas dan menautkannya ke hasil
pemikiran abad Pencerahan, adalah suatu cara pikir yang mengabaikan cara
imperialisme menuliskan sejarah. Kelly dan Kaplan berpendapat bahwa nasionalisme
adalah produk pasca-Perang Dunia II. Nation-state baru lahir di tahun 1945.

Kelly dan Kaplan membangun argumennya dari pandangan pemikir pasca-kolonial


seperti Chatterjee yang menyebutkan bahwa menyebutkan kemunculan nasionalisme
Pradipa P Rasidi // 1606942722
Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi
5
Semester Gasal 2017

memerlukan Pencerahan berarti seperti mengatakan bahwa orang-orang Eropa dan


Amerika, satu-satunya subjek utama dalam sejarah, telah berpikir demi kita [orang
non-Eropa], bukan cuma memikirkan naskah kolonialisme dan eksploitasi, tapi juga
memikirkan perjuangan anti-kolonial dan kemelaratan pasca-kolonial kita. (Kelly
dan Kaplan, 2001:420) Seakan-akan hanya lewat Eropa lah orang-orang non-Eropa
bisa berbicara dan berpikir.

Kelly dan Kaplan juga menyoroti bagaimana istilah nation-state tidak muncul dalam
kosakata Bahasa Inggris hingga tahun 1918 di Oxford English Dictionary. Di abad
ke-19, orang-orang Eropa tidak mengenal istilah nation-state. Mereka mengenal
konsep-konsep yang bertautanmodern state, people qua state, dan nationalstaattapi
bukan nation-state sebagaimana dimaknai di abad ke-20. Yang ada di bayangan orang
Eropa saat itu, termasuk Max Weber, adalah negara yang berkompetisi dan saling
menguasai satu sama lain di tengah kondisi anarkinya dunia. Konsep negara modern
ini juga bersinggungan dengan asumsi ras a la Darwin yang berkompetisi satu sama
lain sebagai survival of the fittest. Apa yang dipaparkan oleh Kelly dan Kaplan
sepintas mengingatkan pada konteks perkembangan disiplin antropologi pada abad
yang sama: ketika Darwinisme masuk ke dalam cara pikir ilmu sosial dalam
memandang dunia, orang Eropa memandang Eropa sebagai suatu bentuk paling
mutakhir peradaban yang harus diikuti oleh orang-orang non-Eropa melalui
pencerahan yang hanya dimungkinkan oleh kolonialisme (Stocking, 1968).
Dengan demikian, ide tentang nation-state di abad ke-19 dan ide tentang kolonialisme
Eropa adalah ide yang saling bertautan.

Kritik Kelly dan Kaplan terhadap ide Anderson tentang nasionalisme, berpijak dari
kemungkinan cara pikir Anderson melanggengkan cara pikir kolonial. Bangsa dalam
negara-bangsa (nation-state) Anderson, menurut Kelly dan Kaplan, tidak lain adalah
suatu fase. Karena pengimajinasian nation-state membutuhkan keberadaan
kapitalisme cetak, yang asalnya berkembang dari kebutuhan negara-negara Eropa dan
kemudian Revolusi Industri. Menurut Kelly dan Kaplan, ini tidak jauh berbeda
dengan asumsi teori modernisasi: bahwa negara non-Eropa harus mengikuti jejak
langkah negara Eropa untuk bisa menjadi modern. Bahwa satu perubahan di Eropa
lah yang dapat menyebabkan perubahanseperti kemunculan nation-statedi luar
Eropa. Ini terjadi lantaran, menurut Kelly dan Kaplan, Anderson menggunakan
Pradipa P Rasidi // 1606942722
Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi
6
Semester Gasal 2017

analisis dialektis dalam melihat kemunculan nation-state. Akibatnya Anderson harus


melihat kemunculan nation-state sebagai konsekuensi dari rangkaian peristiwa yang
terukur: kemunculan kapitalisme cetak, Abad Pencerahan, dan modernitas. Kelly dan
Kaplan menawarkan alternatif lain, yakni dengan melihatnya secara dialogis.

Pandangan dialektis akan nasionalisme bisa dihubungkan ke model-model


sederhana maupun rumit akan moda produksi (seperti kapitalisme cetak
Anderson) atau ke tahapan-tahapan ideologis, seperti modernitas yang
digeneralisasi. ... Kami merasa [cara pikir dialektis ini] terlalu banyak
mempersingkat analisis dan bertumpu pada pengandaian (wishful thinking)
ketimbang keketatan analisis akan hubungan kausal. Tradisi dialektis, sejauh
yang kami pahami, adalah petualangan akademis dalam mencoba
menjelaskan sesuatu dengan menangkap beberapa hubungan kausal yang
memiliki elemen yang saling ketergantungan (interdependent elements)
dalam jumlah tertentu (misalnya kekuatan dan relasi produksinya Marx, atau
subjek dan objeknya Hegel). Kami lebih mendukung antropologi yang lebih
dialogis, dalam artian Bakhtinean. ... Bagi Bakhtin dan lainnya, sejarah
sebagai suatu proses dialogis adalah suatu rangkaian terbuka, yang tidak
memiliki tingkat prioritas yang pasti maupun jumlah subjek dan objek terlibat
yang jelas. Dalam pandangan dialogis, bahkan sejarah global adalah
rangkaian respons yang direncanakan dan dihidupi, yang menanggapi kondisi
tertentu yang dikonstitusi oleh subjek manusia. Hal ini menciptakan bukan
suatu rantai panjang subjek yang dipengaruhi oleh objek dan demikian
sebaliknya, melainkan menciptakan suatu jaringan yang kompleks dan padat
yang berisi individu dan subjek kolektif yang terus-menerus saling merespons.
(Kelly dan Kaplan, 2001:423-424)

Dari cara pandang ini, Kelly dan Kaplan menyitir Weber dalam melihat satu hal
penting yang memungkinkan kemunculan nation-state, yaitu adanya rutinisasi.
Rutinisasi, seperti yang terjadi dalam rutinisasi pasar, memungkinkan kemunculan
suatu apparatus hukum yang merancang dan menegakkan hukum kontrak. (Weber,
dalam Kelly dan Kaplan, 2001:424) Rutinisasi inilah yang terjadi pasca-Perang Dunia
II. Kelly dan Kaplan membahas bagaimana proyek dekolonisasi yang terjadi
pasca-Perang Dunia di antara wilayah-wilayah bekas jajahan, rupanya disertai juga
dengan politik luar negeri yang agresif dari Amerika Serikat. Dua institusi keuangan
internasional segera terbentuk: IMF dan ITO. Departemen Keuangan Amerika Serikat
segera membentuk kebijakan pembebasan tarif. Gerak cepat Amerika Serikat ini,
papar Kelly dan Kaplan, terjadi dalam konteks jatuhnya empat tatanan kekaisaran:
yang dirancang oleh Inggris ... proyek ras Jerman dan Jepang dan, akhirnya, sistem
Soviet yang membayangkan diri mereka sebagai pasca-kapitalis. (Kelly dan Kaplan,
2001:429). Inggris kehabisan uang karena Perang Dunia II dan harus menghadapi
Pradipa P Rasidi // 1606942722
Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi
7
Semester Gasal 2017

gerakan anti-kolonial dari wilayah jajahan. Jerman dan Jepang kalah perang.
Sementara Soviet, menurut Kelly dan Kaplan, tidak mampu menjadi kekuatan yang
dibayangkannya. Sebut Kelly dan Kaplan, di antara kejatuhan empat kekaisaran itu
bangkitlah satu tatanan yang barutatanan kelima, yaitu Amerika Serikat.

Sudah saatnya untuk melihat dekolonisasi lebih dari akhir suatu hal, dan
pascakolonial sebagai suatu ruang yang tidak cuma ada di luar sesuatu.
Dekolonisasi jugalah suatu pembebanan akan sesuatu, [yaitu] suatu
rekonfigurasi hierarki sipil lokal ke dalam rencana global dan baru akan
tatanan politik. Dan tanpa melupakan bahwa elemen-elemen lokal itu pada
akhirnya akan bertautan dalam nation-state bekas wilayah koloni, kami ingin
menggarisbawahi bahwa [fenomena ini] adalah rencana Amerika. Bukan
suatu hal yang paradoks bila kita bilang bahwa Amerika Serikat, meski
merupakan penjajah lintas-samudera yang tak signifikan, adalah pemimpin
dunia dalam dekolonisasi. ... Amerika Serikat sejak awal ingin menunjukkan
dirinya sebagai republik di tengah dunia yang penuh dengan kekaisaran,
khawatir dikuasai pihak asing, menyerupai Republik Romawi yang tidak
stabil walau di saat yang sama tetap menjadi agresif, bahkan predatoris,
dengan cara mereka sendiri. ... Seiring waktu, AS merancang rencana
alternatif yang jelas, menggabungkan perampasan lahan di masa manifest
destiny di tanah sendiri dan tuntutan untuk kebijakan open door di tempat lain.
Kecenderungan Amerika untuk menguasai wilayah ketimbang memiliki
koloni kelihatan jelas bahkan sebelum aneksasi Hawaii di tahun 1898.
Bahkan dalam beberapa pengecualian tertentu, suatu upaya coba-coba Partai
Republik dalam menyicipi salt water imperialism, yakni mengklaim Filipina,
Kuba, dan Puerto Rico setelah mencari masalah dengan Spanyol, pada
juntrungannya menunjukkan suatu strategi yang sangat Amerika. ... Logika
militer predatoris dari penguasaan itu tak bisa kita lihat dengan jelas jika
hanya dibandingkan sebagai imperialisme barat biasa. Bukan kebetulan
bahwa Amerika Serikat, ketika ingin menguasai sesuatu, justru mengambil
gugusan pulau-pulau geostrategis tetapi tak pernah mencoba menguasai
wilayah yang besar, mahal, dan padat penduduk, seperti Cina atau bahkan
Meksiko. (Kelly dan Kaplan, 2001:427-428)

Kelly dan Kaplan menyitir kebijakan pemikir militer Amerika Serikat, A. T. Mahan,
yang sering menjadi rujukan sebagai pemikir kekuatan militer di laut modern paling
pertama dalam studi Hubungan Internasional. Sebut Kelly dan Kaplan, Mahan
mengembangkan geostrategi yang berfokus pada menjaga agar medan laut tetap
terbuka dan memproyeksikan kekuatan militerdengan memasang kapal-kapal di
lautsebagai ancaman terhadap lawan. Menguasai wilayah lain secara politik atau
mengeksploitasi ekonominya bukanlah hal penting. Yang penting adalah keberadaan
pangkalan-pangkalan militer dan akses terhadap sumber daya. Maka, menurut Kelly
dan Kaplan, nation-state yang lahir pasca-1945, dengan demikian, adalah hasil dari
Pradipa P Rasidi // 1606942722
Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi
8
Semester Gasal 2017

strategi jangka panjang Amerika: keinginan untuk menentukan nasib sendiri


(self-determination), kebijakan pintu terbuka (open door), dan pertanggungjawaban
yang terbatas (limited abilities). (Kelly dan Kaplan, 2001:428)

Menurut mereka, titik inilahupaya Amerika Serikat melakukan dekolonisasiyang


harusnya jadi acuan dalam teoretisasi nasionalisme dan nation-state. Peran Amerika
Serikat dalam Perang Dingin juga menciptakan imajinasi tentang peradaban:
peradaban Barat yang bebas, mandiri, dan bisa menentukan nasib mereka sendiri,
vis-a-vis peradaban non-Barat (Soviet) yang tertutup, terbelakang, dan represif. Hal
ini, bersamaan dengan asumsi teori modernisasi yang juga berkembang pasca-Perang
Dunia II, membuat bayangan tentang bangsa menjadi bayangan akan tradisi vs
modernitas. Untuk menjadi modern, maka kita perlu membangun suatu
nation-state dengan aparatus politik dan hukum Barat. Kita harus membangun
masyarakat yang terbuka dan beradab seperti Barat. Bila tidak, kita akan kehilangan
semangat itu dan menjadi tradisional dan represif. Seperti yang terjadi dengan
Soviet. Maka, dengan sendirinya, proyek dekolonisasi menjadi proyek modernisasi,
yang memungkinkan rutinisasi yang menciptakan kemunculan nation-state.

Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa cara analisis Kelly dan Kaplan adalah
cara yang sama sekali berbeda dengan yang dilakukan oleh Anderson. Anderson
menekankan pada homogenous empty time dan berpijak pada kapitalisme cetak yang
memungkinkan hal tersebut. Ada hubungan kausal jelas di sini: faktor-faktor yang
saling ketergantungan seperti kapitalisme cetak, modernitas, pemikiran Abad
Pencerahan, dan homogenous empty time. Sementara Kelly dan Kaplan melihat
kemunculan nation-state secara lebih trajektoris. Tidak ada kausalitas di sini,
melainkan respons di antara faktor-faktor yang kebetulan semuanya terlibat: logika
modernisasi, kejatuhan mode kekuasan kekaisaran, keinginan untuk menentukan
nasib sendiri, dan rutinisasi kesadaran nasional. Menurut saya, bila meminjam
kategorisasi teoretisasi nasionalisme Ozikirimli, Kelly dan Kaplan berada dalam
kategori nasionalisme sebagai proses politik. Lantaran analisisnya yang sangat
menitikberatkan pada konfigurasi politik negara-negara pasca-Perang Dunia II dan
kebijakan ekonomi politik yang mengatur ulang tatanan global.
Pradipa P Rasidi // 1606942722
Negara, Masyarakat, Pasar: Perspektif Antropologi
9
Semester Gasal 2017

Kelly dan Kaplan melihat keberadaan nation-state sebagai suatu proses sejarah yang
sangat spesifik, yang merupakan respons dari wilayah-wilayah bekas jajahan akibat
rekonfigurasi yang dimungkinkan Amerika Serikat. Seperti Anderson, Kelly dan
Kaplan jugalah saya kira seorang modernis, tapi untuk alasan yang sama sekali
berbeda. Saya tidak yakin apakah teoretisasi Kelly dan Kaplan soal nation-state bisa
diperluas dalam konteks lain yang berbedatidak seperti Anderson, yang analisis
imagined communities-nya dipakai untuk menjelaskan keberadaan konsep bangsa di
masa pra-modern--karena pijakan analisisnya yang sangat ekonomi politik. Mereka
secara spesifik melihat relasi ini hanya berlaku dalam konteks abad ke-20, dengan
adanya relasi antara Eropa, Amerika Serikat, dan wilayah-wilayah bekas jajahan.

Referensi tambahan

Ozkimrili, Umut. 2010. Theories of Nationalism: A Critical Introduction. London:


Palgrave Macmillan.

Stocking, Jr., George W. Race, Culture, and Evolution: Essays in the History of
Anthropology. Chicago: University of Chicago Press, 1968

Anda mungkin juga menyukai