Dalam buku Kifayatul Akhyar, musaqah ialah bekerja mengairi dan memelihara
tanaman seseorang dengan upah hasilnya nanti dibagi (milik bersama). 1 Dalam kitab Fiqh
Islam, musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar
dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antar, keduanya, menurut
perjanjian keduanya sewaktu akad.2 Sedangkan dalam terjemah kitab Fathul Muin, musaqah
ialah perlakuan oleh pemilik kepada orang lain untuk mengairi serta merawat pohon kurma
atau anggur yang ditntukan dalam aqad dan diketahui oleh dua belah pihak, atas perjanjian
bahwa buah yang baru atau telah ada dimiliki bersama.3
Dasar
Akad ini diperbolehkan oleh agama karena banyak yang membutuhkannnya. Karena
banyak orang yang mempunyai kebun, tetapi tidak dapat memeliharanya; seangkan yang ain
tidak punya kebun, tetapi sanggup bekerja.4
Dasar yang membolehkan musaqah, adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, bahwa:
Dari Ibnu Umar, Sesunguhnya Nabi saw. Telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian. Mereka akan diberi
sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun. (HR Muslim)
Maksud pertahun zarin menurut bahasa Arab artinya tanaman yang berbuah hanya
satu kali, seperti padi, jagung, dan sebagian kacang-kacangan.6
Rukun Musaqah
1
Mohammad Rifai, Terjemah Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), hlm. 223.
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), hlm. 300.
3
Aliy Asad,Terjemah Fathul Muin, (Kudus: Menara Kudus, 1980), hlm. 306.
4
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), hlm. 300.
5
Kifayatul Akhyar, hlm. 223
6
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), hlm. 301
2. Kebun, yaitu semua pohon yang berbuah, boleh diparokan; demikian juga hasil
pertahun (palawija) boleh pula diparokan.
3. Pekerjaan. Hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun, dua tahun atau
lebih, sekurang-kurangnya kira-kira menurut kebiasaan dalam masa itu kebun-
kebun sudah mungkin berbuah. Pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh tukang
kebun ialah semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan kerusakan dan
pekerjaaan (perawatan yang berfaedah) untuk buah, seperti menyiram, dan
merumput.
4. Buah. Hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan
tukang kebun), misalnya seperdua, sepertiga, atau berapa saja asal berdasarkan
kesepakatan keduanya pada waktu akad.7
Muzaraah
Dalam buku Kifayatul Akhyar muzaraah ialah, mengerjakan tanah (orang lain)
dengan imbalan sebagian hasilnya dan biaya pengerjaan ditanggung pemilik tanah. 8 Dalam
buku Fathul Mu'in ialah, perlakuan pemilik bumi kepada orang lain untuk menggarapnya,
dengan perjanjian penggarap akan memperoleh sebagian tertentu dari pada hasilnya, sedang
bibit dari sang pemilik bumi.9 Sedangkan menurut Fiqh Islam ialah, paroan sawah atau
ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang
yang menggarap).10
sebagian ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadis
yang melarang paroan tersebut, diantaranya:
Rafi' bin Khadij berkata, "Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang
mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak
berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. melarang paroan dengan cara demikian." (Riwayat
Bukhari)
Namun, ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh
Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi; mereka mengambil alasan hadis Ibnu Umar:
7
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), hlm. 301.
8
Kifayatul Akhyar, hlm. 228
9
Fathul Muin, hlm. 307
10
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), hlm. 301.
(
Dari Ibnu Umar, "Sesungguhnya Nabi Saw. telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan." (Riwayat
Muslim)
Adapun hadis yang melarang tadi maksudnya hanya "apabila penghasilan dari sebagian tanah
ditentukan mesti kepunyaan salah seorang di antara mereka. Karena memang kejadian di
masa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari
sebagian tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masing pun tidak diketahui.
Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan kita Nabi Saw. dalam hadis tersebut, sebab
pekerjaab demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Pendapat ini pun dikuatkan dengan
alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhab orang banyak.11
Pada muzara'ah yang diwajibkan zakat petani penggarap, sebab pada hakikatnya dialah yang
bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasil dari
sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya.12
11
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), hlm. 302.
12
Ibid, hlm. 302.