Anda di halaman 1dari 19

Journal Reading

Time Outdoors and Physical Activity as Predictors of


Incident myopia in Childhood: A Prospective Cohort Study
Jeremy A. Guggenheim, Kate Northstone, George McMahon, Andy R. Ness, Kevin Deere,
Calum Mattocks, Beate St Pourcain, dan Cathy Williams

Investigative Ophthalmology & Visual Science, May 2012, Vol 53, No.6

Oleh
I Gusti Ayu Putu Wahyu Widiantari
H1A012022

Pembimbing
Dr. Siti Farida Santyo Wibowo, Sp.M (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
NUSA TENGGARA BARAT
2017
DATA JURNAL

Nama Penulis : Jeremy A. Guggenheim, Kate Northstone, George McMahon, Andy R. Ness,
Kevin Deere, Calum Mattocks, Beate St Pourcain, dan Cathy Williams
Judul Jurnal : Time Outdoors and Physical Activity as Predictors of Incident myopia in
Childhood: A Prospective Cohort Study
Jurnal Asal : The Association for Research in Vision and Ophthalmology, Inc. Investigative
Ophthalmology & Visual Science, May 2012, Vol 53, No.6
ISI JURNAL
1. Pendahuluan
Miopia terjadi ketika adanya ketidakcocokan antara panjang aksis mata dan daya
akomodasi dari elemen refraksi yakni kornea dan lensa kristalina. Hal tersebut menyebabkan
penglihatan jarak jauh yang kabur sehingga memerlukan koreksi berupa pemakaian kacamata,
lensa kontak dan bedah refraktif. Miopia tinggi berhubungan dengan kelainan yang mengancam
penglihatan. Eksperimen pada hewan sesuai urutan taksonomi, termasuk primata, menunjukkan
bahwa lingkungan visual dapat mempengaruhi perkemangan refraktif. Faktor genetik juga
berperan penting, karena setidaknya pada ayam, menjadi faktor utama terhadap kerentanan
individual pada hewan untuk terjadinya miopia yang dipengaruhi lingkungan visual. Derajat
penyinaran selama siang hari (dan tentunya saat fase gelap) juga dapat mempengaruhi
perkembangan refraktif.
Seiring meningkatnya tuntutan untuk membaca, dan kecenderungan miopia untuk
berkembang pada anak usia sekolah, waktu yang digunakan anak-anak dalam membaca dan
aktivitas jarak dekat lainnya telah dipertimbangkan memiliki kontribusi terhadap perkembangan
miopia walaupun dengan hasil yang masih kontroversial. Beberapa studi telah
mendokumentasikan hubungan erat antara lamanya waktu yang digunakan untuk aktivitas di luar
ruangan dan masalah refraktif mereka. Akan tetapi, seperti hubungan lamanya waktu membaca
dan miopia, temuan tersebut belum diobservasi secara universal.
Analisis data oleh Prssinen dan Lyyra dari uji coba terkontrol secara acak (randomized
controlled trial) terhadap tatalaksana optikal untuk miopia, pada anak laki-laki yang
menghabiskan waktu lebih banyak di luar ruangan menunjukkan laju progresivitas miopia yang
lebih lambat. Jones et al. menemukan bahwa lamanya waktu yang digunakan anak-anak dalam

1
kegiatan di luar ruangan/olahraga (menurut orang tua) dapat menjadi faktor prediktif terhadap
incident myopia, dengan derajat keterkaitan yang bervariasi terhadap orang tua yang memiliki
miopia, namun tidak berhubungan dengan jenis kelamin anak. Pada analisis data cohort dari
Collaborative Longitudinal Evaluation of Ethnicity and Refractive Error (CLEERE) oleh Jones-
Jordan et al juga menyatakan bahwa anak anak yang miopia menghabiskan waktu lebih sedikit di
luar ruangan sebelum mencapai onset miopia, bila dibandingkan dengan anak-anak yang masih
emetropia.
Pada penelitian ini akan dianalisis data dari penelitian cohort yang memuat informasi
tentang waktu yang dihabiskan untuk aktivitas di luar ruangan (time spent outdoors) dan aktivitas
fisik, sehingga dapat menganalisis faktor tersebut sebagai faktor prediktif yang terpisah pada
incident miopia. Pemisahan kedua faktor prediktif tersebut karena aktivitas fisik diketahui sebagai
prediktor dari progresivitas miopia pada dewasa muda (mahasiswa kedokteran) dan anak-anak usia
sekolah yang mengalami miopia dilaporkan kurang beraktivitas fisik daripada anak-anak tanpa
mipia. Oleh karena waktu yang dihabiskan untuk membaca juga menunjukkan hubungan dengan
incident miopia pada usia 11 tahun dalam Avon Longitudinal Study of Parents and Children
(ALSPAC), sehingga pada penelitian ini membahas hal tersebut sebagai prediktor incident miopia
pada usia mendatang.
2. Metode
2.1 Subyek
Penelitian ini menggunakan kelompok data yang digunakan untuk menyelidiki rentang
topik yang luas dalam bidang biomedik dan sosial yang disebut ALSPAC birth cohort. Ibu
hamil dengan taksiran hari persalinan antara 1 April 1991 dan 31 Desember 1992 yang berada
di wilayah kerja Avon, Inggris bagian tenggara, yang memenuhi syarat untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini. Studi cohort dari 14.541 ibu hamil dan 13.988 anak-anak yang hidup
hingga usia 12 bulan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode yang bervariasi, seperti
kuisioner yang diisi oleh ibu dan pasangannya, wawancara dan pemeriksaan langsung di klinik
setelah anak berusia 5 tahun, sampel biologis, dan pengembangan ke sekolah serta riwayat
medis. Persetujuan etik untuk penelitian didapatkan dari ALSPAC Law and Ethics committee
dan tiga komite etik penelitian lokal.

2
2.2. Ketersediaan Data
Semua anak yang berpartisipasi dalam ALSPAC diundang setiap tahun (dimulai dari usia
7 tahun) ke sebuah sesi yang diadakan di lokasi pusat dimana sejumlah pemeriksaan dan
wawancara dilakukan. Data terkait penglihatan termasuk hasil pemeriksaan saat usia 7, 10, 11,
12 dan 15 tahun, dimana masalah refraksi diperkirakan dengan autorefraksi nonsikloplegi
(intrumen Canon R50, Canon USA Inc., Lake Success, NY). Data diinterpretasikan sebagai
skrining untuk mungkin miopia (likely miopia), namun untuk memudahkan membaca pada
penelitian ini peneliti merujuk pada myopia dan incident myopia. Setelah menyingkirkan
outlier reading, mean spherical equivalent (MSE) dari kesalahan refraktif dikalkulasi sebagai
autorefraksi daya sferis ditambah setengah dari daya silinder. Subyek diklasifikasikan sebagai
myopia bila rata-rata MSE pada mata kanan dan kirinya -1.00 D untuk mendeteksi myopia,
dimana subyek yang berusia 15 tahun memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk
mendeteksi individu dengan refraksi subyektif - 0.75 D, dengan merujuk pada kriteria untuk
menentukan myopia oleh Jones et al dari pemeriksaan refraksi dengan sikloplegi. Peneliti
memilih nilai - 0.25 D sebagai batas untuk mendeteksi subyek dengan emetropia atau
hiperopia untuk menyocokkan nilai yang digunakan oleh Jones-Jordan et al.

2.3. Data Pajanan (Data on Exposures)


Derajat Aktivitas Fisik
Anak-anak yang datang ke klinik pada usia 11 tahun diminta untuk memakai akselerometer
Actigraph (dimensi 45 x 35 x 10 mm, berat 43 gram; model WAM 7164, Actigraph, Fort
Walton Beach, FL) selama 7 hari, dan mengembalikannya dengan pos dalam amplop berbayar.
Tipe akselerometer ini dipakai pada pinggang kanan pada sebuah ikat pinggang elastis. Data
dari akselerometer yang dikembalikan diunduh dan dimasukkan ke dalam database. Anak-
anak yang tidak mengumpulkan data minimal 10 jam pada minimal 3 hari yang terpisah akan
dieliminasi dari analisis. Kedua variabel aktivitas fisik yang didapatkan dari data: Mean counts

3
per minute (CPM) untuk semua minggu, dan minutes of moderate to vigorous activity (MVPA)
per hari. Rata-rata CPM sepanjang minggu digunakan untuk memperkirakan total aktivitas dari
anak tersebut. Terdapat kemungkinan adanya bias pada nilai CPM bila seorang anak memakai
monitor lebih lama di saat tidak beraktivitas. Akan tetapi, tidak terdapat pengaturan terhadap
durasi pemakaian monitor untuk mempertahankan konsistensi aktivitas sebelumnya. MVPA,
yang ditetapkan yakni 3600 jumlah aktivitas per menit, digunakan untuk menangkap waktu
yang digunakan dalam olahraga. Dalam mendukung alasan ini, telah dilaporkan bahwa MVPA
berhubungan erat dengan obesitas dibandingkan CPM. Akan tetapi, waktu yang digunakan
untuk berenang tidak dapat didokumentasikan oleh monitor, karena tidak digunakan saat
berenang. Sebagai tambahan, peneliti juga mendapatkan variabel yang merepresentasikan
kebiasaan sedentari, karena hal ini memiliki ketertarikan sebagai konsep yang terpisah dari
aktivitas fisik dan kemungkinan memiliki hubungan tersendiri dengan faktor risiko metabolik
pada anak-anak. Adanya nilai yang lebih rendah dari batas bawah CPM yakni 200 CPM
digunakan untuk menentukan waktu yang digunakan untuk perilaku sedentari.
Waktu yang digunakan di luar ruangan
Ketika subyek penelitian merupakan anak-anak usia 8-9 tahun, kuisioner dilengkapi oleh
ibu mereka, yang meliputi 4 pertanyaan, Pada (hari sekolah atau akhir pekan), berapa lama
rata-rata waktu yang anak anda habiskan di luar ruangan tiap harinya dalam (musim
panas/musim dingin). Pilihan respon untuk pertanyaan tersebut yaitu, tidak sama sekali, 1
jam, 1-2 jam, dan 3 jam. Karena rendahnya jumlah pada beberapa kategori respon untuk
2 pertanyaan yang berhubungan dengan waktu yang dihabiskan di luar ruangan pada musim
panas, peneliti mengklasifikasikan waktu yang dihabiskan di luar ruangan oleh anak-anak ke
dalam kelompok jumlah yang tinggi (3 jam) dan rendah bila durasi waktu sebaliknya. Untuk
2 pertanyaan yang berhubungan untuk waktu yang dihabiskan selama musim dingin, peneliti
mengklasifikasikan anak-anak ke dalam kelompok jumlah yang rendah bila respon yang
diberikan tidak sama sekali atau 1 jam, bila selain respon tersebut maka dikelompokkan
menjadi kelompok jumlah yang tinggi. Untuk menghindari model yang terlalu besar, peneliti
memilih variabel yang memiliki hubungan paling kuat dengan hasil yang diharapkan dalam
analisis univariat, dan variabel tersebut merupakan variabel yang sesuai dengan waktu yang
digunakan untuk aktivitas di luar ruangan pada akhir pekan di musim panas.

4
Pembias Potensial
Saat masa kehamilan, setiap ibu ditanyakan untuk mengkategorikan etnisnya
(menggunakan kelompok yang terdapat pada United Kingdom Census tahun 1991) sebagai :
kulit putih, hitam/Karibia, hitam/Afrika, hitam/lainnya, Indian, Pakistani, Bangladeshi,
Tiongkok, dan lainnya. Didapatkan 98% respon adalah kulit putih, subyek yang ibunya bukan
merupakan etnis kulit putih dieksklusi karena jumlahnya yang sedikit. Setiap ibu dari subyek
dan pasangannya melengkapi kuisioner yang meliputi pertanyaan seperti, Bagaimana
penglihatan anda tanpa memakai kacamata? Pilihan responnya yakni untuk setiap mata secara
terpisah, selalu sangat baik, tidak dapat melihat jauh dengan jelas, tidak dapat melihat
dekat dengan jelas, dan tidak dapat melihat sama sekali. Pasien diklasifikasikan menjadi
miopia bila memberikan respon tidak dapat melihat jauh dengan jelas untuk kedua mata,
dan sebagai non-miopia bila memberikan respon lainnya. Pada kuisioner yang dilengkapi oleh
ibu subyek, mereka ditanyakan, Pada hari biasa saat libur sekolah, berapa lama waktu yang
digunakan oleh anak-anak anda untuk membaca buku sebagai kegemaran, dengan respon
seperti pertanyaan waktu yang digunakan untuk aktivitas di luar ruangan. Kemudian
diklasifikasikan menjadi kelompok jumlah yang tinggi untuk waktu yang digunakan untuk
membaca sebagai kegemaran bila respon yang diberikan 1-2 jam atau 3 jam, sedangkan
respon yang lainnya diklasifikasikan menjadi jumlah yang rendah.
2.4. Analisis Statistik
Idealnya, informasi tentang refraksi dikumpulkan dari seluruh partisipan pada setiap target
selama periode 8 tahun (dari usia 7-15 tahun). Pada praktiknya, banyak subyek yang
melewatkan satu atau lebih sesi pemeriksaan. Usia sebenarnya untuk tiap anak ketika mereka
datang untuk direkam, dan pada beberapa kasus subyek datang saat usia yang lebih tua dari
usia perkiraan oleh karena sakit, liburan dan lainnya. Peneliti menggunakan analisis survival
untuk menyelidiki faktor mana yang memprediksikan laju subyek menjadi miopia dengan
cohort, karena memungkinkan untuk menggunakan seluruh data walaupun terdapat beberapa
nilai yang hilang.
Peneliti menyusun tabel kehidupan dan menggunakan plot Kaplan-Meler untuk analisis
univariat pada prediktor yang diinginkan. Peneliti juga menggunakan analisis univariat dan
multivariat dengan model regresi Cox untuk meneliti efek dari 2 prediktor yang diinginkan

5
(waktu yang digunakan di luar ruangan dan derajat aktivitas fisik yang terukur) satu sama lain,
selain prediktor onset myopia lainnya (jumlah orang tua dengan myopia, jenis kelamin, dan
waktu yang dihabiskan untuk membaca sebagai kegemaran). Hasil dinyatakan sebagai
perkiraan survival, rasio laju, dan hazard ratio dengan confidence interval (CI) 95%. Karena
peneliti hanya memiliki estimasi titik tunggal pada waktu yang digunakan untuk aktivitas di
luar ruangan dan derajat aktivitas fisik saat periode observasi, peneliti melakukan analisis
sekunder untuk mengetahui apakah prediktor tersebut masih berhubungan dengan
perkembangan myopia ketika mempertimbangkan hanya partisipan yang menjadi myopia
setelah terpapar faktor risiko yang diukur, yakni antara usia 11 dan 15 tahun. Peneliti juga
menggunakan regresi logistik untuk mengetahui faktor prediktif untuk onset myopia setelah
usia 11 tahun, dan peneliti menyajikan hasil sebagai unadjusted dan adjusted odds ratio (OR).
Analisis menggunakan SPSS (v16.0.2 untuk Windows) dan STATA/MP 11.2 untuk Windows.
3. Hasil
Demografi subyek ditunjukkan pada Tabel 2. Setidaknya penilaian refraktif telah dilakukan
pada 9109 anak-anak, dengan 1236 memiliki myopia, didapatkan prevalensi 13.6%. Titik data
pertama merupakan anak usia 6 tahun dan terakhir usia 17 tahun. Tabel kehidupan (Tabel 3)
menunjukkan usia saat myopia berkembang pada partisipan yang terakhir terlihat dan partisipan
yang non-myopia. Data tersebut juga disajikan dalam kurva Kaplan-Meier pada Gambar 1.

6
Gambar 2A menunjukkan kurva Kaplan-Meier untuk 2 kelompok pada variabel waktu yang
dihabiskan untuk aktivitas di luar ruangan (jumlah tinggi dan rendah). Gambar 2B-D menunjukkan
kurva Kaplan-Meier untuk menilai secara langsung aktivias fisik/sedentari pada usia 11 tahun,
yang dikategorikan sebagai (1) CPM untuk sepanjang minggu, (2) minutes with sedentary counts
dan (3) minutes with MVPA.

7
Untuk mengetahui faktor yang memiliki kekuatan prediktif terkuat, peneliti melakukan analisis
regrasi Cox meliputi waktu yang dihabiskan di luar ruangan dan aktivitas fisik. Hasilnya terdapat
pada Tabel 4. Pada Model 1, suatu analisis univariat, hanya 1 prediktor yang termasuk, pada Model
2, meliputi jumlah orang tua dengan myopia, waktu yang dihabiskan untuk membaca (laporan

8
maternal saat usia 8-9 tahun) dan jenis kelamin. Pada Model 3 waktu yang dihabiskan di luar
ruangan dan 1 dari 3 aktivitas fisik, serta prediktor pada Model 2 (jumlah orang tua dengan myopia,
waktu yang dihabiskan untuk membaca dan jenis kelamin). Pada model univariat dan multivariat,
semakin lama waktu yang dihabiskan untuk aktivitas di luar ruangan berhubungan dengan semakin
menurunnya risiko myopia. Semakin tinggi derajat aktivitas fisik keseluruhan (CPM) dan MVPA
maka semakin menurun pula risiko myopia. Namun, peningkatan waktu untuk kebiasaan sedentari
berhubungan dengan peningkatan perkembangan myopia. Perubahan hazard ratio (HR) aktivitas
fisik minimal setelah pengaturan waktu yang dihabiskan di luar ruangan (Tabel 4), sementara HR
untuk waktu yang dihabiskan di luar ruangan berubah dari 0.70 menjadi 0.76 setelah pengaturan
aktivitas fisik.

Sekelompok analisis regresi logistik juga dilakukan, restriktif terhadap anak-anak tanpa
myopia (non-myopia) pada usia 11 tahun (Tabel 6). Terdapat 2005 anak-anak dengan informasi
yang lengkap pada variabel prediktor. Waktu yang dihabiskan di luar ruangan menjadi faktor
prediktif kembali. Untuk mengkonfirmasi hasil penelitian tidak dipengaruhi oleh misklasifikasi
true myopes dan non-myopes, peneliti melakukan analisis tambahan yang dibatasi pada anak-
anak dengan emetropia maupun hiperopia pada usia 11 tahun. Hal yang menarik bahwa variabel
prediktor yakni waktu yang dihabiskan di luar rumah dengan waktu yang dihabiskan untuk
membaca tidak berkorelasi (r= 0.01, p = 0.528), menandakan bahwa anak-anak yang membaca
lebih lama kemungkinan menghabiskan waktu yang sama saat di luar ruangan dengan anak-anak
kurang membaca.

9
4. Diskusi

Peneliti menggunakan analisis survival untuk mengetahui apakah waktu yang digunakan untuk
aktivitas di luar ruangan atau aktivitas fisik dapat menjadi faktor prediktif pada perkembangan
myopia, menggunakan kelompok data multidisipliner dari studi cohort terhadap kelahiran. Peneliti
hanya memiliki estimasi titik waktu tunggal untuk variabel yang diinginkan, karena variabel
bervariasi dari waktu ke waktu, idealnya peneliti memasukkan data pajanan di luar ruangan dan
aktivitas fisik yang diukur secara reguler. Akan tetapi, hal tersebut tidak tersedia dalam studi
ALSPAC. Terdapat bukti bahwa perilaku tersebut diikuti sepanjang waktu, terutama pada jangka
waktu pendek, sehingga estimasi titik tunggal peneliti akan memiliki beberapa hubungan dengan
aktivitas sepanjang periode waktu. Akan tetapi, analisis peneliti tidak akan seakurat kelompok data
yang telah ada, menghasilkan kehilangan daya untuk mendeteksi hubungan.

Kuisioner untuk waktu yang dihabiskan di luar ruangan sangat prediktif terhadap incident
myopia. Anak-anak yang diklasifikasikan menghabiskan sedikit waktu di luar ruangan (low
amount) pada usia 8-9 tahun memiliki 40% kemungkinan lebih besar untuk memiliki myopia pada

10
usia 11-15 tahun dibandingkan dengan mereka yang diklasifikasikan menghabiskan banyak waktu
di luar ruangan (high amount). Anak-anak dengan 1 SD di bawah rata-rata peningkatan aktivitas
fisik secara umum (mean CPM) atau MVPA diperkirakan memiliki10% kemungkinan lebih besar
untuk mengalami myopia saat berusia 15 tahun, seiring dengan anak-anak dengan 1 SD di atas
rata-rata peningkatan waktu yang dihabiskan untuk perilaku sedentari.Oleh karena itu, hasil
menunjukkan waktu yang dihabiskan untuk aktivitas di luar ruangan merupakan prediktor yang
lebih kuat untuk incident myopia daripada waktu yang digunakan untuk olahraga.

Anak-anak non-myopia menghabiskan waktu rata-rata 11.5 jam per minggu untuk aktivitas di
luar ruangan, dibandingkan dengan anak-anak dengan incident myopia yang menghabiskan 8 jam
per minggu. Subyek dengan incident myopia menghabiskan waktu 10-20% lebih sedikit untuk
aktivitas di luar ruangan selama 4 tahun sebelum onset myopia. Hasil penelitian menunjukkan
elemen outdoor dari respon kuisisoner olahraga/aktivitas di luar ruangan yang menjadi faktor
prediktif utama pada studi oleh Jones et al dan Jones-Jordan et al.

Namun sebaliknya, peneliti tidak menemukan adanya hubungan antara waktu yang digunakan
untuk aktivitas di luar ruangan dengan jumlah orang tua dengan myopia untuk memperkirakan
incident myopia dalam studi cohort ALSPAC, tidak seperti yang ditemukan oleh Jones et al.
Peneliti menyadari bahwa tidak semua penelitian telah mengobservasi hubungan antara waktu
yang dipergunakan untuk aktivitas di luar ruangan dan incident myopia. Menurut studi cohort oleh
Saw et al yang menggunakan anak anak dari Singapura, didapatkan hasil bahwa waktu yang
dipergunakan untuk aktivitas di luar ruangan setiap minggu tidak bisa digunakan untuk
memperkirakan terjadinya myopia, walaupun terdapat sedikit bukti mengenai hubungan antara
variabel tersebut, yang diteliti secara bersamaan. Salah satu alasan yang mendukung tidak adanya
hubungan antara variabel tersebut adalah penelitian di Singapura, yang mana prevalensi myopia
mencapai 60% saat penelitian berakhir dan subject penelitian hanya berusia 10 12 tahun.
Penelitian tersebut memiliki prevalensi myopia yang jauh lebih tinggi daripada dua penelitian
sebelumnya yang dilakukan di Amerika Serikat dan penelitian ALSPAC di Inggris, hal ini
menunjukkan adanya pengaruh dari faktor lain yang mungkin merupakan pengaruh paparan
lingkungan pada anak anak yang tinggal dan tumbuh di Singapura.

11
Kelebihan dan kekurangan penelitian.

Pada penelitian ini terdapat empat kelemahan utama. Pertama, kelainan refraksi jarang
diperiksa, dan dilakukan tanpa menggunakan autorefraksi sikloplegik. Pada penelitian sebelumnya
waktu pasti onset myopia dapat ditentukan, penelitian tersebut melakukan pemeriksaan
autorefraksi sikloplegik secara berkala. Autorefraksi sikloplegik memiliki spesifitas dan
sensitifitas yang relatif tinggi untuk mendeteksi anak anak yang lebih tua, namun cenderung
terjadi kesalahan untuk menentukan myopia pada anak yang lebih muda. Namun, peneliti telah
menentukan batas yang konsisten ( - 1.00 D) sebagai dasar penentuan myopia, oleh karena batas
ini mampu meminimalisir kesalahan dalam mendeteksi myopia, selain itu juga mampu meng-
eksklusi anak anak yang sebelumnya telah mengalami myopia sejak usia 11 tahun. Untuk
menunjang validitas dari klasifikasi myopia pada penelitian ini, risiko dari incident myopia pada
penelitian ini sangat mendekati saat peneliti menganggap semua subjek tidak myopia pada usia 11
tahun, dan saat peneliti membatasi penelitian ini pada sampel yang termasuk kategori
emetropia/hiperopia pada usia ini.

Kedua, peneliti menggunakan metode yang belum dimodifikasi (kuisioner untuk orang tua)
dan hanya digunakan sekali. Penilaian yang lebih sering dan metode penilaian kuantitatif yang
lebih baik mungkin dapat memberikan hasil kuantitatif pada waktu yang dipergunakan untuk
aktivitas di luar ruangan yang lebih baik. Respon kuisioner orang tua yang tidak sesuai, atau
perubahan pada durasi waktu tiap individu untuk beraktivitas di luar ruangan selama periode
tertentu pada usia 11 sampai 15 tahun, kemungkinan akan dapat mengurangi tingkat keakuratan
dari hubungan antara waktu yang dipergunakan untuk beraktivitas di luar ruangan dan terjadinya
miopia secara statistik, dan menyebabkan peneliti mengesampingkan pengaruh dari ukuran
variable. Dari analisis peneliti dapat diasumsikan adanya kecenderungan paparan yang konsisten
pada usia 11 hingga 15 tahun, dengan kata lain kebiasaan anak anak dapat digunakan untuk
memperkirakan atau berbagai pengaruh yang beruhubungan dengan paparan dapat terjadi setelah
rentang 4 tahun pada periode follow up peneliti.

Ketiga, sampel yang digunakan pada usia 15 tahun bukanlah sampel yang acak dibandingkan
dengan sampel pada usia 11 tahun. Walaupun perbedaan antara sampel dan bukan sampel usia 15
tahun hanya sedikit, namun jumlah ini dapat membatasi cakupan yang menyebabkan generalisasi
lebih luas. Yang terpenting, pada study ALSPAC pasien usia 15 tahun keatas sulit untuk diperiksa

12
kembali. Hal tersebut ditambah dengan tingginya tingkat kehilangan data untuk variable perdiksi
kunci, menyebabkan, sebagai contoh, hanya 2.845 dari perkiraan 14.000 anak yang masih hidup
pada usia satu tahun dan bisa digunakan karena memenuhi kriteria inklusi pada analisis incident
myopia pada usia 11 tahun ( perlu diingat bahwa hanya 2542 anak yang belum myopia pada usia
11 tahun yang dapat dipergunakan). Karena hubungan antara waktu yang digunakan untuk
beraktivitas di luar ruangan dan myopia bisa dibedakan antara anak yang rutin datang ke klinik
dan yang jarang/tidak pernah datang ke klinik, hal ini dapat dijadikan alasan untuk meningkatkan
ketelitian dalam menerapkan hasil penelitian ini ke masyarakat. Keterbatasan sampel dari subjek
ini juga berlaku untuk studi cohort lain yang meneliti hubungan antara waktu yang dipergunakan
untuk aktivitas di luar rungan dan myopia. Sebenarnya perkembangan visus hanya merupakan
salah satu komponen pada penelitian ALSPAC, kemungkinan hasil yang peneliti dapatkan lebih
akurat dibandingkan penelitian studi cohort yang memang ditujukan untuk meneliti perkembangan
refraktif. Keempat, penelitian ini memiliki tingkat kehilangan data variable kunci yang tinggi,
myopia pada orang tua sampel (31%), aktivitas fisik (14%) dan waktu yang digunakan diluar
ruangan (12%). Apabila data ini tidak hilang, walaupun faktanya kehilangan data ini menyebabkan
terjadinya bias pada hasil penelitian. Hal ini bisa menguatkan atau justru melemahkan hubungan
pada penelitian ini, tergantung dari hubungan dari data yang hilang data yang tidak hilang dan data
yang diteliti.

Sifat hubungan antara waktu yang digunakan untuk beraktivitas di luar ruangan dan
myopia.

RCT merupakan metode yang ideal untuk menguji apakah waktu yang dipergunakan untuk
beraktivitas di luar ruangan dan onset/progresifitas myopia memiliki hubungan sebab akibat.
Berdasarkan pengetahuan peneliti, hasil penelitian yang menggunakan RCT sampai saat ini hanya
satu yakni studi pendahuluan selama 1 tahun dari Guangzhou Outdoor Activity Longitudinal
(GOAL). Perlakuan yang digunakan pada RCT GOAL adalah dengan memberikan anak anak 1
jam tambahan beraktivitas di luar ruangan setiap hari saat sekolah. Anak anak yang mendapatkan
perlakuan memiliki myopia yang lebih kecil (-0.25 0.42 VS -0.34 0.46 D) dan pemanjangan
jarak aksial yang lebih rendah (0.29 0.18mm VS 0.33 0.23mm) dibandingkan kontrol, hal ini
mendukung adanya hubungan antara waktu yang dipergunakan untuk beraktivitas di luar ruangan
dengan myopia. Pada penelitian lain menunjukkan hasil bahwa progresifitas myopia lebih lambat

13
pada musim panas dibandingkan musim dingin, kemungkinan hal ini terjadi karena anak anak
lebih sering beraktivitas di luar ruangan saat musim panas dibandingkan musim dingin, hasil ini
sesuai dengan adanya hubungan antara waktu yang dipergunakan untuk beraktivitas di luar
ruangan dengan incident myopia.

Hubungan antara waktu yang dipergunakan untuk beraktivitas di luar ruangan dan terjadinya
miopia telah diketahui oleh banyak orang. Durasi waktu di luar sepertinya tidak bisa digunakan
sebagai variable pengganti untuk durasi waktu membaca, kecuali pada suatu penelitian di Taiwan,
perlu diingat pula bahwa anak anak yang menghabiskan banyak waktunya di luar rumah jarang
melakukan aktivitas yang memiliki jarak dekat (membaca). Berdasarkan ALSPAC, tidak ada
hubungan antara waktu yang dipergunakan untuk aktivitas di luar ruangan dan waktu yang
dipergunakan untuk membaca. Sebagai gantinya, tingginya tingkat cahaya ambient pada paparan
di luar ruangan menjadi salah satu mediator yang mendukung durasi waktu di luar ruangan. Pada
penelitian dengan menggunakan hewan, tingkat cahaya ambient mempengaruhi myopia yang
diinduksi oleh visual, dan juga mempengaruhi laju kompensasi terhadap myopia yang diinduksi
oleh satu mata dan hypermetropia. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanaya pengaruh cahaya
ambient dengan tingkat yang tinggi yang dimediasi oleh sistem dopamine, dengan memberikan
antagonist reseptor D2, spiperone, terdapat perbedaan terhadap kompensasi ketidakfokusan lensa.
Walaupun prevalence miopia sedikit bervariasi berdasarkan letak geografis, hal ini dapat
mengakibatkan perbedaan yang jauh pada durasi siang dan intensitas cahaya ambient. Tambahan
penelitian pada hewan mungkin mampu menjelaskan tingkatan cahaya mana yang memiliki efek
perlindungan paling baik pada proresifitas mata myopia, dan durasi paparan cahaya harian yang
diperlukan. Penelitian seperti itu juga dapat menjelaskan bagaimana cahaya dengan tingkat
intensitas tinggi dan perkembangan refraktif. Sebagai contoh, penelitian mahasiswa kedokteran di
Turki, progresifitas myopia berhubungan dengan aktivitas di luar ruangan pada anak usia tujuh
tahun kebawah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terdapat hubungan langsung antara
terjadinya myopia pada anak- anak dan kegiatan di luar ruangan, namun tertunda, pengaruh durasi
waktu yang digunakan untuk beraktivitas di luar ruangan pada anak anak, atau mungkin dewasa
muda akan mengalami myopia tinggi akibat terjadinya myopia sejak masa anak anak. Selain
intensitas cahaya ambient, spectrum penyusun cahaya ambient kemungkinan juga merupakan
faktor penting yang berpangaruh terhadap hubungan antara waktu yang digunakan untuk
beraktivitas di luar dan terjadinya myopia.

14
Jika dilihat dari sudut pandang kuantitatif dari sifat kegiatan fisik/sedentari, dan karena
pemilihan subyek penelitian pada usia 11 15 tahun oleh karena alasan personal peneliti, masuk
akal jika mereka mendapatkan informasi tentang durasi waktu yang dipergunakan di luar ruangan
berlebihan dan selain itu data dikumpulkan berdasarkan penilaian orang tua subyek. Hal ini berarti
aktivitas fisik mungkin menunjukkan adanya hubungan dengan incident myopia karena adanya
hubungan yang residual dengan durasi waktu di luar ruangan. Mungkin juga, terdapat hubungan
antara aktivitas fisik dan onset myopia, terutama oleh karena diketahuinya hubungan antara
perkembangan mata, glukosa, glucagon dan kadar insulin.

Kesimpulan

Dari penelitian cohort ini, durasi waktu aktivitas di luar ruangan yang lebih lama pada usia 8
9 tahun mampu menurunkan incident myopia dari penelitan pada usia 7 15 tahun, dan secara
spesifik pada usia 11 15 tahun. Waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas fisik, yang
dinilai menggunakan metode kuantitatif , juga menunjukkan hubungan dengan onset myopia,
namun hanya sedikit. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan hasil dari studi pendahuluan RCT
GOAL, yang mengatakan semakin lama durasi waktu di luar ruangan dapat mempengaruhi
perkembangan myopia walaupun hanya memberi pengaruh secara parsial. Dari penelitian ini juga
dapat disimpulkan aktivitas fisik berbanding terbalik dengan incident myopia.

LAPORAN ANALISA JURNAL


Topik Keterangan Penjelasan
Judul dan a. Menjelaskan tujuan, a. Ya, pada abstrak jurnal telah dijelaskan
abstrak metode, hasil tujuan, metode, dan hasil penelitian serta
penelitian dan kesimpulan secara ringkas dan jelas.
kesimpulan b. Informasi yang disajikan dalam abstrak
berupa ringkasan yang jelas dan lengkap
b.Memberikan dan sesuai dengan hasil yang didapatkan
ringkasan yang dalam penelitian.
informatif dan
seimbang atas apa

15
yang dilakukan dan
apa yang ditemukan
Latar belakang Menjelaskan latar Ya, pada halaman awal di jelaskan alasan
belakang yang ilmiah perlu dilakukannya penelitian ini karena
dan rasional mengapa myopia sangat banyak dialami oleh
penelitian perlu masyarakat terutama dewasa muda dan
dilakukan myopia derajat tinggi dapat mengancam
penglihatan, namun sebenarnya progresivitas
myopia dapat dihambat dan dicegah dengan
mengendalikan faktor prediktif, yang pada
jurnal ini dibahas beberapa faktor prediktif
terutama waktu yang digunakan untuk
aktivitas di luar rumah dan aktivitas fisik.
Tujuan Menentukan tujuan Ya, jurnal ini menyampaikan bahwa tujuan
spesifik, termasuk penelitian adalah untuk mengetahui
hipotesis yang diajukan hubungan incident myopia dengan waktu
yang dihabiskan untuk aktivitas di luar
ruangan dan aktivitas fisik secara terpisah.
Populasi Menjelaskan Tidak, penelitian ini tidak menjelaskan
bagaimana populasi populasi yang digunakan dalam penelitian.
ditentukan
Subyek Kriteria subyek Penelitian menjelaskan kriteria inklusi salah
penelitian penelitian satunya adalah ras kulit putih karena setelah
dilakukan analisis, 98% subyek merupakan
ras kulit putih sehingga subyek selain ras
kulit putih dieksklusi. Selain itu, anak-anak
yang tidak mengumpulkan data minimal 10
jam pada minimal 3 hari yang terpisah akan
dieksklusi dari analisis. Anak-anak dengan
emetropia dan hiperopia juga termasuk ke
dalam kriteria eksklusi.

16
Besar sampel Menjelaskan kriteria Tidak, jurnal ini tidak menjabarkan secara
penentuan sampel jelas mengenai kriteria penentuan besar
minimal yang sampel, metode sampling.
diperlukan untuk
menghasilkan kekuatan
penelitian serta teknik
pengambilan sampel.
Prosedur Menjelaskan secara Ya, pada penelitian dijabarkan prosedur
penelitian rinci dan sistematik penelitian yaitu mulai dari penentuan subyek,
prosedur penelitian variabel dan analisis data.
(teknik pengambilan
data)
Rancangan Menjelaskan rancangan Tidak, penelitian ini tidak secara jelas
penelitian penelitian menjelaskan rancangan penelitian yang
dilakukan.
Teknik analisa Teknik analisa data Ya, dalam penelitian ini data yang diperoleh
data yang digunakan untuk dilakukan beberapa analisis data yakni
membandingkan hasil analisis univariat, multivariat dan regresi
penelitian logistik untuk mengetahui hubungan antara
variabel.
Alur penelitian Menjelaskan waktu Tidak, penelitian ini tidak menjelaskan waktu
penelitian pelaksanaan penelitian yang dilakukan
secara jelas.
Outcome Untuk outcome hasil Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif
penelitian penelitian dan dalam bentuk tabel serta kurva.
Interpretasi Interpretasi hasil Interpretasi hasil dalam penelitian ini juga
dibandingkan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya yang memiliki topik yang sama.
Generalizability Apa hasil bisa Hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan di
digeneralisasikan di masyarakat walaupun masih membutuhkan
masyarakat

17
penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki
kekurangan penelitian.
Overall Interpretasi umum Penelitian ini telah cukup baik menjabarkan
evidence terhadap hasil dalam hasilnya secara deskriptif, tabel maupun
konteks penelitian kurva. Penelitian ini juga membandingkan
dengan hasil penelitian lainnya yang
memiliki keterkaitan dengan topik tersebut.
Penelitian ini juga dapat menunjukkan
semakin lama durasi waktu di luar ruangan
dapat mempengaruhi perkembangan myopia
walaupun hanya memberi pengaruh secara
parsial. Penelitian ini juga dapat memberikan
informasi bahwa aktivitas fisik berbanding
terbalik dengan incident myopia.
Kelebihan Penelitian

1. Judul dan abstrak memberikan gambaran penelitian yang jelas dan informatif bagi pembaca
2. Latar belakang dan tujuan penelitian dijabarkan jelas bagi pembaca.
3. Penelitian menyampaikan prosedur penelitian secara jelas.
4. Penelitian ini memberikan informasi penting mengenai hubungan waktu yang digunakan
di luar ruangan dan aktivitas fisik terhadap incident myopia sehingga dapat menambah
wawasan untuk memberikan KIE pada pasien untuk mencegah progresivitas myopia,
sehingga pasien tidak sampai mengalami miopia tinggi yang mengancam penglihatan.
Kekurangan Penelitian
1. Jurnal ini tidak menyebutkan cara menentukan besar sampling dan cara pengambilan
sampling.
2. Pada penelitian tidak dilakukan autorefraksi sikloplegik, sedangkan autorefraksi
sikloplegik memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada anak-anak.
3. Diperlukan jenis sampel yang lebih acak sehingga menambah spektrum faktor prediktif
dan pembahasan lebih lanjut.
4. Adanya kehilangan data pada penelitian ini menyebabkan terjadinya bias pada hasil
penelitian.

18

Anda mungkin juga menyukai