Anda di halaman 1dari 51

`

LAPORAN KASUS & REFERAT

1. Multiple Trauma (Multiple Fraktur)

2. SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)

OLEH :

Dede Taruna Kreisnna Murti


H1A011 016

Pembimbing:
dr. Rudi Febrianto, Sp.OT

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN


KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
2016
`

LAPORAN KASUS ILMU BEDAH ORTOPEDI

MULTIPLE TRAUMA (MULTIPLE FRACTURE)

OLEH :

Dede Taruna Kreisnna Murti


H1A011 016

Pembimbing:
dr. Rudi Febrianto, Sp.OT

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN


KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Multiple Trauma (Multiple Fraktur)


Nama : Dede Taruna Kreisnna Murti
NIM : H1A011016

Laporan kasus ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian
kepaniteraan Klinik Madya pada Bagian/SMF Bedah Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat / Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.

Mataram, Mei 2016

Pembimbing

dr. Rudi Febrianto, Sp.OT


LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Sahrul
Usia : 16 tahun
Alamat :Pejarakan, Ampenan
Agama :Islam
Suku :Sasak
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan :Pelajar
No MR :57 42 91
MRS : 21-02-2016
Tanggal periksa : 27-02-2016

B. Anamnesis
KU : nyeri pada kaki kanan
RPS : Pasien rujukan Puskesmas Narmada dengan riwayat post kecelakaan lalu lintas
(ditabrak lari) motor vs truk. Post kecelakaan tersebut pasien sempat pingsan beberapa
menit saat ditolong oleh orang, dan setelah sadar pasien mengeluh kaki kanannya terasa
nyeri hebat, dan keluar darah dalam jumlah banyak. Pasien juga merasakan seperti tidak
memiliki kaki kanan lagi setelah nyeri tersebut. Pada pasien tidak didapatkan mual,
muntah, pusing, nyeri kepala, kejang ataupun pingsan lama. Keluhan sesak, nyeri dada
atau nyeri pada perut juga disangkal oleh pasien. Pasien masih bisa mengingat kejadian
kecelakaan tersebut. Selain mengeluh nyeri pada kaki kanan, pasien megeluh juga nyeri
pada tangan kanan bagian atas. Nyeri dirasakan tidak terlalu hebat, tetapi pasien mengaku
tidak bisa menggerakkan tangan kanannya. Diakui tangan kanan juga terlihat berdarah
berdasarkan keterangan pasien.
Menurut pasien, kecelakaan yang dialaminya terjadi antara sepeda motor yang
dikendarainya dengan truk, saat perjalannnya ke lombok timur. Pasien mengaku bahwa
truk yang menuju ke arah mataram mengambil lajurnya dengan kecepatan tinggi lalu
menabraknya pada bagian sisi kanan tubuhnya. Saat itu pasien langsung terpental dari
motor dan menghantam aspal. Riwayat trauma kepala atau kepala terbentur saat
kecelakaan disangkal oleh pasien.
RPD : Riwayat penyakit jantung (-), batuk lama (-), penyakit keturunan (-), penyakit
tulang (-), riwayat demam lama (-).
RPK : Keluhan serupa (-), riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus(-), penyakit
keturunan (-),penyakit tulang (-).
R.Pengobatan : Pasien hanya diberikan obat dari puskesmas rujukan
R.Alergi : Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap makanan, obat maupun cuaca.

B. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran/GCS : Komposmentis/E4V5M6
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 112 kali/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi napas : 24 kali/menit
Suhu : 37,5oC

Kepala Bentuk kepala simetris


Ukuran kepala normosefali
Mata Palpebra : edema -/- , ptosis -/-
Konjungtiva : anemis -/-, hiperemi -/-
Sklera: ikterik -/-
Pupil : refleks cahaya langsung & tak langsung +/+
Telinga Bentuk aurikula normal, simetris, secret(-), pembesaran limfonodi (-),
pendengaran kesan normal
Hidung Bentuk normal, simetris, deviasi septum (-), penciuman kesan normal.
Mulut Bentuk simetris, sianosis (-).
Leher Tidak tampak luka maupun benjolan
Tidak tampak pembesaran tiroid
Deviasi trakea (-).
Pembesaran kelenjar getah bening (-).
SCM tidak aktif, hipertrofi SCM (-)
Toraks Inspeksi
Bentuk dan ukuran dinding dada simetris.
Permukaan dada: massa (-), jaringan sikatrik (-) dan jejas (+) v
excoriatum regio thorax dextra ukuran 2x0,5 cm perdarahan inaktif
Pulsasi iktus kordis terlihat di ICS V midclaviculaline sinistra.
Palpasi
Pergerakan dinding dada simetris.
Iktus kordis teraba di ICS IV linea midclavicula sinistra.
Nyeri tekan (-), benjolan (-), edema (-), krepitasi (-)
Perkusi
Perkusi oritentasi sonor di kedua lapang paru.
Batas Paru Hepar anterior dextra:
Inspirasi : ICS VI
Ekspirasi : ICS IV
Batas Jantung:
Dextra anterior: ICS IVlinea parasetrnalis dextra
Sinistra anterior: ICS Vlinea midclavicula sinistra

Auskultasi
Pulmo: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
Cor : S1dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen Inspeksi
Dinding abdomen : distensi (-), massa (-) jaringan sikatrik (-), jejas (-)
Auskultasi
Bising Usus (+) frekuensi normal 7x/menit, bising aorta abdominalis
(-), mettalic sounds (-)
Perkusi
Perkusi orientasi timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi
Nyeri tekan (-), distensi abdomen (-)
Hepar / Lien / Ren : tidak teraba
Ekstremitas Akral teraba hangat
atas dan + +
bawah - +
Edema
- -
- -
Deformitas pada tangan kanan dan kaki kanan, betis kanan pasien
terlihat bengkak, dengan perdarahan aktif dari paha dan betis kanan
terlihat dari balut, pergerakan minimal pada digiti pedis
Ditemukan vulnus laceratum pada regio lengan kanan atas bentuk
hampir bulat dengan diameter 2 cm
Ditemukan vulnus excoriatum regio manus dextra pada digiti II
dengan ukuran 0,5 cm
Ditemukan vulnus laceratum pada paha kanan dengan ukuran 2x0,5
cm; pada betis bagian depan dengan ukuran 3x2 cm dengan tulang
terlihat keluar.
Ditemukan vulnus excoriatum pada pedis dextra ukuran 0,5x0,5 cm
Perdarahan aktif pada regio betis kanan
Arteri dorsalis pedis teraba

Ket : Pada saat pemeriksaan (27/02/2016) kaki kanan pasien dan tangan kanan pasien
sudah dilakukan pembalutan dan pembidaian

C. Resume
Laki-laki, 16 tahun rujukan PKM Narmada dibawa dengan keluhan nyeri hebat pada
kaki kanan post KLL motor vs truk, hingga pasien tidak bisa merasakan kaki
kanannya lagi. Pasien juga mengeluh nyeri pada lengan tangan kanan atas post KLL
tersebut. Keluhan lain disangkal oleh pasien. Pasien ditabrak oleh truk yang melaju
berlawanan arah pada tubuh bagian kanan. Dari pemeriksaan fisik ditemukan
keadaan umum pasien sedang dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah dalam
batas normal, nadi 112 x/menit, frekuensi napas 24 x/menit, dan suhu 37,5 C. Pada
pemeriksaan fisik umum ditemukan vulnus excoriatum regio thorax dextra, vulnus
laceratum regio lengan kanan atas, paha kanan, dan betis kanan. Pada ekstremitas
ditemukan deformitas, perdarahan aktif, bengkak, dan pergerakan minimal pada
digiti pedis, asteri dorsalis pedis teraba.

D. Assesment
- Open fracture humerus dextra grade II, open fracture femur dextra grade IIIA,
open fracture tibia dextra grade IIIB, close fracture digiti IV pedis dextra
- Cedera Kepala Ringan

E. PlanningDiagnostik
- Pemeriksaan darah lengkap dan kimia klinik
- Foto rontgen skull, humerus dextra AP/Lateral, rontgen radius ulna dextra AP/ Lateral,
rontgen thorax, rontgen femur dextra AP/Lateral, cruris dextra AP/Lateral, pedis dextra,
dan rontgen pelvis

F. Planing Terapi
- IVFD RL 20 tpm (siapkan dan pasang double IV line)
- Oksigen nasal canule 3 lpm
- Pasang kateter dan observasi VS perjam
- Inj. Ketorolac 3% 1 amp/8jam
- Inj. Ranitidin /8jam
- Berikan ATS
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
- Lakukan pembalutan dan pembidaian serta perawatan luka secara steril pada daerah
frakture
- Transfusi PRC 1 kolf/hari hingga Hb > 10
Hasil pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah sebelum dilakukan operasi (21/02/2016)
Parameter Hasil Normal
HGB 9,1 11,5 16,5 g/dL
RBC 2,91 3 5,5 [106/L]
WBC 15,64 3,5 10,0 [103/ L]
HCT 26,5 35 - 55 [%]
PLT 269 150- 400 [103/ L]
GDS 123 <160
Kreatinin 0,6 0,6-1,3
Ureum 23 10-50
SGOT 33 <40
SGPT 27 <41

2. Pemeriksaan rontgen skull(21/02/2016)

Identitas : sesuai
Foto: rontgen skull
Proyeksi: AP, Lateral
Deskripsi: tidak terdapat diskontinuitas tulang
Kesan: normal tidak ada kelainan

Foto rontgen thorax (21/02/2016)

Identitas : sesuai
Foto: thorax
Proyeksi: PA
Deskripsi: terdapat peningkatan corakan bronkopulmoner dextra et sinistra, tidak ada tanda
fracture costa, klavikula
Kesan: susp bronkopneumoni
Foto humerus, radius dan ulna dextra (21/02/2016)

Identitas : sesuai
Foto: humerus, radius, ulna dextra
Proyeksi:AP/Lateral
Deskripsi: Tampak diskontinuitas complete os humerus pada bagian 1/3 distal dengan tipe
fracture obliq
Kesan : Fracture Humerus dextra 1/3 distal
Foto rontgen femur dextra

Identitas : sesuai
Foto: femur dextra
Proyeksi: Lateral
Deskripsi: Tampak diskontinuitas complete os humerus pada bagian 1/3 distal dengan tipe
fracture obliq displace tipe shrortening
Kesan : Fracture femur dextra 1/3 distal
Rontgen cruris dextra

Identitas : sesuai
Foto: cruris dextra
Proyeksi: AP/Lateral
Deskripsi: Tampak diskontinuitas complete os tibia pada bagian medial dengan tipe
fracture kominutif
Kesan : Fracture tibia medial dextra
Rontgen pedis dextra

Identitas : sesuai
Foto: pedis dextra
Proyeksi: AP
Deskripsi: Tampak diskontinuitas complete os metatarsal digiti IV pedis dextra dengan tipe
fracture obliq
Kesan : Fracture os metatarsal digiti IV pedis dextra
PEMBAHASAN

Pada kasus ini didapatkan pasien laki-laki usia 16 tahun yang dibawa dengan keluhan
nyeri kaki kanan dan tangan kanan pos KLL tabrakan dengan truk. Pasien mengaku tertabrak
truk pada bagian kanan tubuhnya dan terpental menghantam aspal. Pasien mengaku juga banyak
darah keluar dari kaki kanannya. Dari anamnesis pasien ini didapatkan bahwa pasien mengalami
suatu trauma yang menyebabkan keluhannya muncul. Trauma tersebut berupa trauma tumpul
dengan badan truk dan kemungkinan juga pasien mengalami trauma tajam dengan salah satu
bagian tajam dari badan truk. Berdasarkan keluhan dan trauma tersebut selanjutnya dilakukan
penilaian secara umum dengan sistem primary survey dan secondary survey.

Dari primary survey yang dilakukan pertama kali adalah melakukan penilaian terhadap
airway (A) pasien. Pada pasien ini didapatkan airway pasien baik dan tidak didapatkan kelainan
sehingga tidak diperlukan penanganan khusus. Penilaian airway disini dilakukan dengan
melakukan kontrok cervical karena pada pasien yang mengalami trauma haruslah tetap dicurigai
adanya trauma ataupun fraktur cervikal. Breathing (B) pada pasien didapatkan frekuensi napas
pasien meningkat, sedangkan lainnya masih tidak ada kelainan. Peningkatan ini disebabkan oleh
perdarahan yang terjadi sehingga perfusi jaringan perifer mengalami penurunan dan dampaknya
adalah peningkatan frekuensi napas untuk mencukupi kebutuhan perfusi jaringan perifer. Pada
kondisi ini pasien diberikan oksigen dengan menggunakan nasal canule agar mengurangi
frekuensi napas dan dapat memenuhi kebutuhan perfusi jaringan perifer.

Selanjutnya adalah menilai sirkulasi (C) pada pasien. Hal ini karena pada pasien
didapatkan adanya perdarahan aktif yang terlihat pada oleh pasien dan pada saat pasien masuk
RS. Pada penilaian sirkulasi haruslah dinilai denyut nadi, akral dan warna kulit serta haruslah
dilakukan kontrol perdarahan. Pada pasien didapatkan peningkatan denyut nadi tapi denyut nadi
pasien masih kuat angkat serta tekanan darah pasien masih dalam batas normal, sehingga
keadaan pasien masih cukup baik dan hanya dilakukan kontrol perdarahan dengan pembalutan
tekan. Hal lain yang dilakukan adalah pemasangan infus double line. Hal ini guna
mempersiapkan jika suatu saat terjadi syok yang disebabkan oleh perdarahan yang masih terjadi.
Lakukan pemeriksaan darah lengkap guna menilai kondisi pasien
Penilaian selanjutnya adalah terhadap disability, yaitu menilai kesadaran, refleks pupil
dan keadaan pupil, tanda lateralisasi ataupun level cedera spinal. Pada pasien ini didapatkan GCS
pasien E4V5M6, pupil isokor, ukuran kiri kanan sama, refpleks cahaya baik langsung maupun
tidak langsung positif dan tidak ada tanda lateralisasi. Sehingga dapat disimpulkan kondisi
pasien masih cukup baik.

Eksposure pada pasien dinilai dengan membuka seluruh pakaian pasien untuk melihat
kelainan apa saja yang di alami pasien, dan pemeriksaan dilakukan dari kepala hingga kaki (head
to toe). Dari pemeriksaan kepala leher tidak diapatkan adanya kelainan baik itu nyeri, cephal
hematome, krepitasi, hematom atau lainnya. Namun karena pasien mengalami trauma dan
mekanisme trauma juga jelas, pada pasien ini sebaiknya dilakukan rontgen kepala dan cervical
untuk melihat apakah ada fraktur atau tidak. Pada pemeriksaan thorax didapatkan adanya vulnus
excoriatum, sehingga hanya perlu dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan rontgen thorax juga
diperlukan karena trauma pasien pasti mengenai bagian thorax.

Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan adanya kelainan ataupun keluhan. Pada
pemeriksaan ekstremitas didapatkan fraktur terbuka pada regio humerus dextra, femur dextra dan
curis dextra. Selain itu juga didapatkan tanda deformitas dan krepitasi serta pembengkakan pada
regio tersebut dan regio pedis detxtra digiti IV sehingga dicurigai adanya fraktur. Dilakukan
rontgen humerus, radius ulna, femur, cruris, dan pedis dextra untuk melihat jenis fraktur yang
terjadi. Sedangkan pada extremitas kiri pasien hanya didapat vulnus excoriatum saja. Pada
ekstremitas kanan harus dilakukan pembalutan pembidaian terlebih dahulu untuk mencegah
fraktur semakin parah dan mencegah perdarahan semakin banyak. Selanjutnya lakukan
konsultasi rujukan dengan ortopedi setelah didapatkan hasil rontgen untuk menentukan tindakan
yang akan dilakukan.

Pada pasien ini terapi yang diberikan ATS, ceftriaxon, ketorolac dan ranitidin. ATS
diberikan karena pada pasien didapatkan luka terbuka multiple dengan ukuran besar dan
terkontaminasi, oleh kotoran di jalan raya. Ini bertujuan untuk mencegah terjadinya tetanus.
Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi karena luka terbuka yang dialami pasien kotor.
Pemberian ketorolac sebagai analgetik.
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun di seluruh
dunia. Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun) adalah kecelakaan di jalan raya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas
menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan.1 Multipel trauma
adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang telah mengalami beberapa
luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain luka bakar yang serius. Multipel trauma atau
politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ
tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik,
kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Multipel trauma atau
politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pasien yang
mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan cedera yang lain, misalnya dua atau lebih
cedera berat yang dialami pada minimal dua area tubuh.2,3 Kondisi yang penting dalam
menggambarkan penggunaan istilah ini adalah pada keadaan trauma yang bisa disertai dengan
shock dan atau perdarahan serta keadaan yang dapat membahayakan jiwa seseorang.2 Beberapa
penelitian terdahulu, diantaranya Border dan kawan-kawan mendefinisikan multipel trauma
adalah cedera yang cukup signifikan mengenai dua atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-
kawan mengatakan multipel trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau
semuanya dapat mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma
menggunakan pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring Injury
Severity Score (ISS), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15 sampai 26 atau lebih
besar.1

Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah faktor, salah satunya tingkat ekonomi
merupakan faktor penentu utama. Laporan WHO 2004 mengutip angka kematian untuk dewasa,
yaitu mereka dengan cedera skor keparahan (ISS) dari 9 atau lebih tinggi. ISS akan diuraikan
secara lebih rinci dalam bagian berikutnya. Keseluruhan angka kematian, termasuk pra-rumah
sakit dan di rumah sakit, adalah 35% di negara-negara berpenghasilan tinggi, namun meningkat
menjadi 55% di negara berpenghasilan menengah dan 63% di negara berpenghasilan rendah.
Lebih serius pasien cedera (ISS 15-24) mencapai rumah sakit menunjukkan peningkatan enam
kali lipat dalam mortalitas pada pasien berpenghasilan ekonomi rendah.1,4

Dalam sistem kesehatan yang canggih, korban dibawa ke rumah sakit terdekat kemudian
dilakukan manajemen komprehensif di instalasi gawat darurat. Pengobatan berpusat pada
evaluasi, resusitasi dan stabilisasi. Fase ini menyatu ke perawatan definitif dalam operasi, dengan
kontrol jalan napas, ventilasi, dan bedah (pengelolaan perdarahan). Cedera muskuloskeletal pada
awalnya stabil, diikuti oleh pengobatan definitif. Level 2 atau 3 perawatan kritis mungkin
diperlukan untuk meminimalkan komplikasi dan mencegah kematian, dan rehabilitasi
berkepanjangan mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan korban dengan cedera otak dan
kerusakan muskuloskeletal kompleks.1

Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik memiliki 3 penyebaran, yang
berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif yang dilakukan untuk mengatasi
mortalitas : 1,2

1. Immediate deaths (kematian yang segera) Dimana pasien meninggal oleh karena trauma
sebelum sampai ke rumah sakit. Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal cord.
Hanya sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena hampir
60% dari kasus ini pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.

2. Early deaths Dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma. Sebagian
disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi disebabkan oleh cedera sistem
saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma ini potensial dapat ditangani.
Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus membutuhkan pertolongan dan perawatan
definitif yang sesuai di pusat-pusat trauma. Khususnya pada institusi yang dapat
melakukan resusitasi segera, identifikasi trauma, dan sarana pelayanan operasi selama 24
jam.

3. Late deaths Dimana pasien meninggal beberapa hari atau minggu setelah trauma. Sepuluh
sampai dua puluh persen (10%-20%) dari seluruh kematian kasus trauma terjadi pada
periode ini. Kematian pada periode ini mayoritas disebabkan oleh karena infeksi dan
kegagalan multipel organ. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien multipel
trauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran
dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain.

Manajemen trauma

Manajemen cedera diprioritaskan untuk mengobati cedera yang mengancam nyawa


terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE. Pengecualian ini adalah korban yang menderita
perdarahan perifer. Hal ini telah menyebabkan pengembangan dari urutan CABC, di mana C
merupakan singkatan untuk bencana perdarahan. Mengancam jiwa, perdarahan eksternal
dikendalikan, maka urutan ABC yang biasa diikuti. Pada korban dengan obstruksi jalan napas
dalam beberapa menit, mengamankan jalan napas pasien selalu menjadi prioritas. Setelah jalan
napas terbuka, korban harus diberi oksigen dan dipasang ventilasi jika napas tidak memadai.4,5

Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana kerusakan servikal dan
tulang belakang lumbal thoraco mungkin terjadi. Stabilitas tulang belakang leher harus
dilindungi sampai leher dijamin bebas dari risiko cedera.2

A. Airway2,3,4

Napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan' angkat dagu dan dorong rahang,
kepala tidak boleh dimanipulasi dan harus dalam posisi netral. Jika darah, air liur atau
muntah ada dalam napas, suction harus digunakan. Jika 'tangan kosong' teknik yang tidak
memadai, saluran udara orofaringeal atau nasofaring (NP) jalan napas harus hati-hati
ditempatkan untuk mencegah aspek posterior lidah menghalangi faring. NP saluran udara
sangat berguna bagi korban dalam menghalangi saluran udara yang dipertahankan dari
gag refleks untuk menahan orofaringeal, namun mereka harus digunakan hati-hati pada
korban dengan patah tulang tengkorak basal dengan klinis jelas. Jika manuver ini tidak
berhasil, ada perangkat seperti Laringeal Mask Airway (LMA), yang dapat dimasukkan
ke dalam situasi sulit. Definitif nafas securement dengan intubasi atau krikotiroidotomi
sangat sulit dalam korban terjebak. Tanpa penggunaan obat bius dan otot relaksan,
korban hanya dapat diintubasi.
B. Breathing3,4

Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian pernapasan korban dibuat. Jika
bernapas baik, oksigen diberikan dengan laju alir 5 L/menit. Jika ada keraguan bahwa
pernapasan tidak memadai, maka ventilasi harus didukung dengan bag-valve-mask
(BVM). Ini harus memiliki reservoir yang melekat dengan oksigen mengalir dari 15
L/menit. Kecukupan oksigenasi harus dinilai oleh penilaian klinis seperti warna bibir
untuk mendeteksi sianosis, atau menggunakan pulse oksimetri. Kecukupan ventilasi
dapat dinilai oleh penilaian klinis ekspansi dada dan suara napas, atau penggunaan
elektronik end tidal karbon dioksida (EtCO2) monitor. Tidak adanya bunyi nafas
menunjukkan pneumothoraks atau hemothoraks. Sebuah pneumothoraks harus diperbaiki
secepatnya karena merupakan cedera yang mengancam jiwa, dan harus segera
didekompresi dengan jarum besar (14 gauge) kanula intravena melalui interkostal kedua
di garis mid clavicularis pada sela iga VVI. Open atau Sucking pneumothoraks harus
ditutup dengan plester pada tiga sisi -sisi keempat terbuka untuk mencegah tension
pneumotoraks berkembang. Ventilasi tekanan positif kemungkinan untuk mempercepat
konversi tension pneumothoraks menjadi pneumothorax sederhana. Jika korban yang
diintubasi dan berventilasi, dan pneumothoraks dicurigai, simple thoracostomy dibuat di
ruang intercostal 5, anterior garis mid-clavikularis. Hal ini memungkinkan tension
pneumothoraks untuk di dekompresi.

C. Circulation4,5

Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh tekanan langsung dengan


dressing, dan anggota tubuh di elevasi jika memungkinkan. Metode lain yang digunakan
adalah penggunaan tourniquet, dressintag hemostatik juga dapat digunakan pada setiap
tahap. Torniket tidak dianjurkan dalam perawatan pra-rumah sakit, karena signifikan
menimbulkan risiko komplikasi serius. Tidak tepat diterapkan torniket dalam perdarahan
karena hasil di distal ekstremitas menjadi iskemia, dan menyebabkan kerusakan tekanan
langsung pada kulit, otot dan saraf. Namun, dengan cedera ekstremitas dapat
mengakibatkan perdarahan. Shock cenderung merupakan hasil dari perdarahan yang tidak
terkendali baik eksternal atau ke internal (dada, perut, panggul, dan beberapa tulang
panjang).2
Kehilangan cardiac output juga dapat disebabkan oleh tension pneumothorax atau
tamponade jantung. Tamponade jantung paling sering dikaitkan dengan trauma tembus
dada pada garis putting anterior atau scapula posterior. Shock berat menyebabkan
aktivitas listrik pulseless (PEA) atau henti jantung asystolic merupakan indikasi untuk
thoracostomy bilateral dan atau pembukaan clamshell dada. Resusitasi adalah usaha
dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang
cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. Ini
adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa yang dilakukan ketika pernapasan
seseorang atau detak jantung telah berhenti. Hal ini mungkin terjadi setelah sengatan
listrik, serangan jantung, atau tenggelam.3,4,5

Berdasarkan Advanced Trauma Life Support, Dosis awal pemberian cairan


kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan
cepat. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal:2

a. Respon cepat - Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance - Tidak


ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah - Pemeriksaan
darah dan cross-match tetap dikerjakan - Konsultasikan pada ahli bedah karena
intervensi operatif mungkin masih diperlukan

b. Respon sementara - Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian


darah - Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif -
Konsultasikan pada ahli bedah

c. Tanpa respon - Konsultasikan pada ahli bedah - Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau
kontusio miokard - Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya.

Konsep laparotomi damage control untuk resusitasi pasien dengan trauma berat mulai
dikembangkan pada tahun 1983 oleh Stone dan kawan-kawan di Grady Memorial Hospital
A.S.terbukti berhasil menurunkan kematian akibat perdarahan massif yang mulai mengalami
koagulopati. Moore dan kawan-kawan pada tahun 1993 mengembangkan teknik laparotomi
bertingkat sebagai usaha damage control pada pasien perdarahan masif yang akan mengalami
asidosis metabolik, hipotermia, dankoagulopati progresif yang disebut trias kematian atau
lingkaran setan perdarahan massif. Rotondo dan kawan-kawan pada tahun 1993 kemudian
menamakannya sebagai laparotomi damage kontrol.3,4

Operasi damage kontrol adalah operasi yang terbatas, singkat dan bertahap sebagai
bagian dari usaha penyelamatan jiwa atau resusitasi pada pasien dengan syok hemorragik berat
yang telah atau akan mengalami gangguan metabolik pre operatif ataupun intraoperatif yang
akan menyebabkan kematian dikamar bedah atau setelah di ICU. Ada tiga tahap damage kontrol
:2,4,5

a. Tahap I : Operasi singkat dan terbatas dikamar bedah sebagai bagian dari resusitasi,
untuk menghentikan perdarahan dan mencegah kontaminasi, termasuk :

Menghentikan segera perdarahan luka jantung atau paru

Packing perdarahan organ solid, dengan tindakan minimal

Packing rongga badan yang berdarah bila telah terjadi koagulopati (non surgical
bleeding)

Reseksi bagian saluran pencernaan yang rusak berat tanpa reanastomosis. Ujung-
ujung saluran cerna yang terbuka ditutup cepat dengan klip kulit, tali umbilikal
atau jahitan jelujur. Hindari pembuatan kolostomi karena akan membuang waktu.

Luka operasi pada leher, torakotomi, laparotomi atau pada tempat eksplorasi
ekstremitas kulitnya tidak usah ditutup.

b. Tahap II : Melanjutkan resusitasi di icu, termasuk :

Mengatasi hipotermi (rewarming)

Menstabilkan fungsi kardiovaskuler dengan infus cairan, PRC, inotropik

Mengatasi koagulopati kalau kalau masih ada, dan hanya akan berhasil baik bila
hipotermia telah diatasi.

Memperbaiki gagal paru dan ginjal.


c. Tahap III :

Re operasi atau operasi definitif kalau mungkin

Apakah ada cedera lain yang terlewati diagnosisnya, kalau ada segera atasi.
Luka insisi operasi laparotomi, torakotomi, dan luka eksplorasi ditutup kembali
bila keadaan telah memungkinkan. (Warko karnadiharja, DSTC, 2010).

D. Disability

Dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan penilaian untuk ukuran
pupil dan kesesuaian.3

Primary survey and resucitation

Setelah setiap tahap dalam ABC selesai, korban dievaluasi kembali untuk menilai
kerusakan atau perbaikan. Pada saat penyelesaian penilaian pernapasan, jalan napas diperiksa
ulang dan jalan napas dan pernapasan ulang sebelum pindah ke sirkulasi.3,4

A - Airway dan kontrol tulang belakang leher.

Ada dua teknik untuk ini : 1. Manual, in-line imobilisasi. 2. Cervical collar.

B Breathing. Segera setelah jalan napas dijamin, dada harus terbuka dan diperiksa dengan
melihat, mendengar dan merasakan. Trakea adalah teraba dalam kedudukan supra sternal untuk
mendeteksi penyimpangan yang disebabkan oleh tension pneumothorax, dan dada percussed
untuk hiper - resonansi tension pneumothorax atau hemothorax.

C Circulation. Kontrol perdarahan, sirkulasi dinilai dengan mencari perdarahan eksternal dan
terlihat tanda-tanda syok seperti pucat, dan penurunan tingkat kesadaran. Pada jantung,
dilakukan auskultasi untuk mendeteksi jantung tamponade, dan perfusi rendah dinilai dengan
meraba berkeringat dan mendinginkan kulit. Nadi perifer dan sentral nadi teraba untuk
mendeteksi tachycardia. Perdarahan eksternal dikendalikan oleh tekanan, dan dua 14-gauge
kanula digunakan untuk pemberian cairan dan darah.

D- Disability. Hal ini jauh lebih tepat dari nilai AVPU (Aware, verbal responsif, Nyeri responsif
dan tidak responsif). GCS dianggap sekunder untuk cedera otak sampai terbukti sebaliknya.
Secondary survey

Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-toe untuk


mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Ini terjadi setelah survei
primer selesai, jika pasien cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif. Pentingnya
survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat ditemukan selama survei primer dan resusitasi,
tapi menyebabkan jangka panjang morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi kecil.
Komponen dari survei sekunder adalah: 1. Riwayat cedera 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan
neurologis 4. Tes diagnostik lebih lanjut 5. Evaluasi ulang.2,4,5

Trauma servikal dan tulang belakang

Hanya 2% - 3% dari trauma tumpul yang menyebabkan cedera servikal, tetapi potensi
untuk cedera neurologik membuatnya harus dikenal dengan baik dan penanganannya sulit.
Tulang servikal subaxial (C3-C7) adalah tempat dimana terjadi dua-pertiga dari semua fraktur
servikal dan tiga perempat dari semua dislokasi servikal. Seperti halnya dengan torakolumbal,
klasifikasi dari cedera servical subaxial masih merupakan permasalahan besar, sering klasifikasi
memfokuskan pada mekanisme cedera, dan tidak memperhatikan stabilitas ligament-ligament
dan defisit neurologik. Baru-baru ini sebuah sistim klasifikasi juga telah dikembangkan, sama
halnya seperti klasifikasi torakolumbal TLIC, yang dikenal dengan nama subaxial injury
classification (SLIC), yang memfokuskan pada : morfologi cedera, defisit neurologik dan
integritas discoligament complex (DLC), untuk memberikan petunjuk penanganan pada cedera
servikal.2,5 Morfologi cedera pada SLIC sama dengan cedera torakolumbal: kompresi, distraksi,
dan rotasi/ translasi, dengan memberikan skor angka yang meningkat sesuai dengan derajat
keparahan. Defisit neurologik juga diklasifikasikan dengan cara yang sama. DLC berbeda
dengan PLC, karena pada tulang servikal, anterior lungitudinal ligament (ALL) dan diskus
intervertebralis juga terlibat bersama posterior longitudinal ligament (PLL), ligamentum flavum,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan kapsul faset. Alignment faset yang
abnormal dan pelebaran anterior disc space merupakan tanda kerusakan DLC.5

Sebaliknya, ligamentum interspinosum merupakan komponen yang paling lemah dari


DLC, jadi pelebaran interspace saja tidak merupakan DLC compromise pada tulang servikal.
Total skor 3 ditangani non operatif, sedangkan skor 5 memerlukan intervensi bedah. Trauma
yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta pada aktivitas
olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian ini. Antara
kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah seperti berikut:4,5

a. Dislokasi atlanto-oksipital (atlanto-occipital dislocation) - Kebanyakan penderita


meninggal karena kerusakan batang otak dan apnea atau kerusakan neurologis yang
menetap (kuadriplegia serta ventilator dependent)

b. Fraktur atlas (C1) Merupakan kurang lebih 5% dari kasus fraktur servikal. Mekanisme
terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh benda
berat atau penderita terjatuh dengan puncak kepala terlebih dahulu.

c. Rotary subluxation dari C1. Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak, terjadi
spontan setelah terjadinya cedera berat/ringan, infeksi saluran nafas atas, atau penderita
dengan rheumatoid artritis.

d. Fraktur Axis (C2) Merupakan 18% dari seluruh fraktur tulang servikal. Merupakan tulang
vertebra terbesar sehingga mudah mengalami berbagai jenis fraktur, tergantung arah dan
kekuatan trauma.

e. Fraktur dislokasi ( C3-C7 ) Pada orang dewasa level C5 merupakan level tersering tulang
servikal mengalami fraktur, sedangkan antara C5-C6 merupakan level tersering
mengalami dislokasi.

f. Fraktur vertebra thorakalis ( T1-T10 ) Terbagi 4 : 1. Fraktur baji karena kompresi korpus
anterior, terjadi akibat axial loading disertai dengan fleksi. 2. Fraktur burst disebabkan
oleh kompresi vertikal-aksial 3. Fraktur chance, merupakan fraktur transversal pada
korpus vertebra, disebabkan oleh fleksi dengan aksis anterior dari kolumna vertebralis
dan sering dijumpai setelah kecelakaan dimana penderita hanya menggunakan lap belt
saja tanpa shoulder belt. Biasanya berhubungan dengan cedera retroperitoneal dan cedera
organ abdomen. 4. Fraktur dislokasi, relatif jarang pada daerah thorakal dan lumbal.

g. Fraktur thorako lumbal (T11-L1) Biasanya disebabkan oleh kombinasi dari hiperfleksi
akut dan rotasi, dan sebagai konsekuensinya fraktur ini biasanya tidak stabil. Sering
terjadi pada penderita yang jatuh dari ketinggian atau pengemudi mobil yang memakai
sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi. Cedera pada daerah ini menyebabkan
disfungsi dari kandung kencing dan usus serta penurunan sensasi dan motorik pada
daerah ekstremitas bawah.

h. Fraktur lumbal Kemungkinan terjadinya defisit neurologis komplit jarang dijumpai pada
cedera ini.

Cedera kepala (Traumatic Brain injury)

Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma yang mengenai kepala, dapat
menyebabkan gangguan struktural dan atau gangguan fungsional sementara atau menetap.
Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan, setiap tahun di Amerika
Serikat paling tidak 1.4 juta orang mengalami TBI. Dari jumlah ini kira-kira 1,1 juta orang
ditolong dan diizinkan pulang dari Unit Gawat Darurat, 235.000 dirawat di rumah sakit dan
50.000 meninggal dunia. Penyebab utama dari kematian yang berhubungan dengan TBI adalah
kecelakaan lalu lintas, jatuh dan penyerangan/perkelahian (assaults). Klasifikasi mengenai berat
ringannya TBI sangat penting untuk mengarti dan menjelaskan penanggulangan TBI. Beberapa
sistem skoring dapat menilai status neurologik awal pada pasien TBI, diantaranya Glasgow
Coma Scale (GCS), Trauma Score, Trauma Score Revised, dan Abbreviated Injury Scale (AIS).
GCS terlepas dari berbagai kekurangannya, merupakan sistem yang paling banyak dipakai. GCS
sederhana, merupakan skala praktis untuk menilai derajat kesadaran pasien TBI dan untuk
memprediksi hasil akhirnya. Secara sederhana juga dapat mengklasifikasikan berat ringannya
penderita TBI. TBI ringan, GCS 13-15, TBI sedang, GCS 9-12, dan TBI berat, GCS 3-8.3,4,5

TBI memicu sederetan kejadian pada tingkat selular dan molekular sehingga
menimbulkan histochemical responses, molecular responses, dan genetic response yang
menyebabkan secondary insult, terutama keadaan iskemia, dan memperberat cedera otak primer
(primary braindamage). Akan tetapi sebaliknya, beberapa dari responses ini ada yang bersifat
neuroprotective.2,4

Trauma thoraks

Trauma thoraks bisa terbagi dua yaitu :3,4,5

a. Trauma thoraks yang langsung dapat mengancam jiwa


Tension pneumothoraks Terjadi karena adanya one way valve (fenomena
pentil) dimana kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari luar
melalui dinding dada, masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar
lagi. Sehingga tekanan intra pleura meninggi, paru-paru menjadi kolaps,
mediastinum terdorong ke kontralateral dan menghambat pengembalian darah
vena ke jantung, dan akan menekan paru kontralateral.3,4

Pericardial tamponade. Sering disebabkan oleh luka tembus, namun cedera


tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah, baik dari jantung,
pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard.4

Open Pneumothoraks (Pneumothoraks Terbuka) Defek atau luka yang besar


pada dinding dada akan menyebabkan pneumothoraks terbuka. Tekanan
intrapleura akan sama dengan tekanan atmosfer. Jika defek pada dinding dada
lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir
melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trachea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.4,5

Hemothoraks masif Terjadi bila terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari
1500cc di dalam rongga pleura. Sering disebabkan oleh luka tembus yang
merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.2,4

Flail chest Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Terjadi bila adanya fraktur iga
yang multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis
fraktur.5

b. Trauma thoraks yang potensial dapat mengancam jiwa

Ruptur aorta Sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil


dengan tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang
selamat sesampainya dirumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan
bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi.4,5
Cedera tracheobronkial Sering disebabkan oleh cedera tumpul dan terjadi
pada 1 inci dari karina. Sering ditemukan hemoptisis, emfisema subkutis dan
tension pneumothoraks dengan pergeseran mediastinum. Adanya
pneumothoraks dengan gelembung udara yang banyak pada WSD setelah
dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeo bronkial.2,5

Cedera tumpul jantung Dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur


atrium atau ventrikel ataupun kebocoran katup.4

Cedera diafragma Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosa pada


sisi kiri karena obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi
kanan sehingga mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya
ruptur diafragma kanan.2,5

Kontusio paru Merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada pada
golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul
perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah
kejadian.3,5

Trauma abdomen

Abdomen dibagi 3 bagian: 1. Rongga peritoneum : terdiri dari liver, lien, gaster, usus
halus, sebagian duodenum, dan sebagian usus besar 2. Retroperitoneum : terdiri dari ginjal,
ureter, pankreas, aorta dan vena cava. 3. Rongga pelvic : terdiri dari vesica urinaria, rectum dan
genitalia interna pada wanita. Trauma abdomen juga dapat dibagi dua yaitu : 1.Trauma tumpul
(Blunt abdominal trauma) 2.Trauma tembus (Penetrating abdominal trauma).3,5

Trauma musculoskeletal

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan
fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari
dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek
yang tajam dari luar hingga ke dalam.4,5 Setelah patah tulang terjadi maka otot, pembuluh darah,
dan jaringan lunak lainnya mengalami kerusakan. Sebuah respon sel dengan sel-sel inflamasi dan
sel mesenkimal dibedakan yang menonjol dalam tiga sampai lima hari pertama. Peristiwa
biologis yang menyebabkan fraktur yang komplek tidak sepenuhnya dipahami.3,5 Kebanyakan
patah tulang sembuh dengan cara pembentukan kalus. Dalam penyembuhan fraktur pada tulang
panjang menjalani proses klinis dalam lima tahap : inflamasi, proliferasi, pembentukan callus,
konsolidasi, remodelling. Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai
usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari
fraktur dipengaruhi oleh beberapa faktor lokal dan faktor sistemik, adapun faktor lokal: a) Lokasi
fraktur, b) Jenis tulang yang mengalami fraktur, c) Reposisi anatomis dan immobilasi yang
stabil, d) Adanya kontak antar fragmen. e) Ada tidaknya infeksi. f) Tingkatan dari fraktur. Dan
faktor sistemik : a) umur, b) nutrisi, c) riwayat penyakit sistemik, d) hormonal, e) obat-obatan, f)
rokok.3,4,5

a. Klasifikasi fraktur

Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan


disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.5

Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar Fraktur dapat dibagi


menjadi : 1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar. 2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Klasifikasi patah tulang
terbuka yang dibuat oleh Gustillo and Anderson pada tahun 1976 sebagai berikut:

1. Tipe I

o Panjang luka < 1 cm, biasanya luka tusukan atau puncture dimana
patokan ujung tulang menembus kulit.

o Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada tanda-tanda


Crushing Injury.

o Fraktur biasanya simple, tranverse atau oblique pendek dan sedikit


comminutive.
2. Tipe II

o Panjang luka > 1 cm dan tidak ada kerusakan jaringan lunak


yang luas, flap atau infeksi.

o Terdapat Crushing Injury ringan sedang.

o Fraktur comminutive sedang dan kontaminasi sedang.

3. Tipe III

o Ditandai dengan kerusakan jaringan lunak luas meliputi otot, kulit


dan struktur neurovaskuler serta kontaminasi tinggi, sering
disebabkan oleh trauma high velocity yang menyebabkan derajat
comminutive dan instabilitas tinggi. Tipe III ini dibagi lagi menjadi
:

Tipe IIIA Jaringan lunak yang meliputi tulang yang patah


cukup adekuat meskipun terdapat laserasi luas, flap atau
trauma high velocity, tanpa memandang ukuran luka.

Tipe IIIB Cedera luas, terdapat atau hilangnya sebagian


dari pada jaringan lunak dan stripping periosteal dan bone
expose, kontaminasi dan fraktur comminutive yang berat.

Tipe IIIC Meliputi semua fraktur yang terbuka yang


berhubungan dengan kerusakan pembuluh darah yang harus
di repair tanpa memandang cedera jaringan lunak.

b. Prinsip penanganan fraktur

Penatalaksanaan sebagai alat triase. Secara Umum, penanganan pada fraktur


dibagi menjadi beberapa hal antara lain:3,5
1. Penanganan langsung

Pasang bidai sebelum memindahkan pasien atau pertahankan gerakan diatas dan
dibawah tulang yang fraktur sebelum dan transplantasi

Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi oedema

Kirim pasien untuk pertolongan emergency

Pantau daerah yang cedera dalam periode waktu yang pendek untuk sedini
mungkin dapat melihat perubahan waktu, pernafasan, dan suhu.

2. Imobilisasi

X-Ray

Fiksasi eksternal bidai dan gips

Traksi

Fiksasi internal jarum, plat, skrup, kawat

Bone Scans, termogram atau MRI Scan

Arteriogram, dilakukan bila ada kerusakan vaskuler

CCT kalau banyak kerusakan otot

3. Penanganan pada tulang terbuka

Debridemen untuk membersihkan kotoran atau benda asing

Pemakaian toksoid tetanus

Kultur jaringan dan luka

Kompres terbuka

Pengobatan dengan antibiotik


Penutupan luka bila ada benda infeksi

Imobilisasi fraktur yaitu mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah


dalam bentuk semula (anatomis) imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki
fungsi bagian tulang yang rusak. Cara-cara yang dapat dilakukan meliputi:3,4,5

1. Reposisi atau reduksi

a. Manipulasi atau Close reduction adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan
posisi, panjang dan bentuk. Close reduksi dilakukan dengan lokal anestesi ataupun
umum.

b. Open reduction adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan. Sering
dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat, screws, pins, plate,
intermedulari rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah kemungkinan infeksi dan
komplikasi berhubungan dengan anestesia.

2. Traksi, alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk
meluruskan bentuk tulang. Ada dua macam yaitu: a. Skin traction (traksi kulit) adalah
menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plaster langsung pada kulit
untuk mempertahankan bentuk, membentuk menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cidera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48 72 jam). b. Skeletal traction
adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang
untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins atau kawat ke dalam tulang.

3. Imobilisasi setelah dilakukan reposisi dan posisi fragmen tulang sudah dipastikan pada
posisi baik hendaknya diimobilisasi dan gerakan anggota badan yang mengalami fraktur
diminimalisir untuk mencegah fragmen tulang berubah posisi.
Daftar Pustaka
1. Cebicci H, Bulut M, Aydin AS, Ozdemir F. Emergency management of multiple trauma
patient in a level I trauma center: Time as a quality assurance. 2008 [citied 2016 March
17]. Accessed from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2605738/.

2. Burd R, Ellicot S. Evaluation, stabilization, and initial management after multiple trauma.
2012 [citied 2016 March 18]. Accessed from: www.tru-
it.rutgers.edu/publications/Ch112-Burd.pdf.

3. Duunser M, et al. Severe and multiple trauma. PACT: Patient Centred Acute Care
Training. 2013 [citied 2016 March 10]. Accessed from: www.avlib.in/ebook/title/pact-
esicm.html.

4. Demetriades D. Assessment and management of trauma. Division of Trauma and


Surgical Critical Care Department of Surgery University of Southern California. 2009
[citied 2016 March 11]. Accessed from:
www.surgery.usc.edu/acutecare/downloads/redbook.pdf.

5. World Health Organization. Guideline for essential trauma care. 2004 [citied 2016 March
21]. Accessed from:
http://www.who.int/violence_injury_prevention/publications/services/guidelines_traumac
are/en/.
REFERAT ILMU BEDAH ORTOPEDI
SIRS (SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE
SYNDROME)

Oleh

Dede Taruna Kreisnna Murti

H1A011016

Pembimbing

dr. Rudi Febrianto, Sp.OT

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN

KLJNIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)


Nama : Dede Taruna Kreisnna Murti
NIM : H1A011016

Referat ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan
Klinik Madya pada Bagian/SMF Bedah Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat /
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.

Mataram, Mei 2016

Pembimbing

dr. Rudi Febrianto, Sp.OT


SIRS (SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE SYNDROME)

DEFINISI

SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah respon klinis terhadap


rangsangan (insult) spesifik dan non spesifik. Dikatakan SIRS apabila terdapat 2 atau lebih dari 4
variabel berikut:1,2,3

1. Suhu lebih dari 38oC atau kurang dari 36oC


2. Denyut jantung lebih dari 90 x/menit
3. Frekuensi naoas lebih dari 20 x/menit atau tekanan parsial karbondioksida (PaCO2)
kurang dari 32 mmHg
4. Leukosit > 12.000/uL atau < 4000/uL atau > 10% bentuk immatur

Gambar 1. Definisi2
Gambar 2.Definisi Sepsis dan SIRS2

FAKTOR PREDISPOSISI

Beberapa faktor yang diduga menjadi faktor predisposisi munculnya SIRS adalah :2

Infeksi : saluran napas, urogenital, kulit dan jaringan lunak


Terganggunya imunitas : keganasan, terapi radiasi, terapi hormonal
Prosedur invasif : tindakan pembedahan, kateter urine, jalur intravena
PATOGENESIS

Gambar 3. SIRS non infeksi dan Sepsis2

Sebagai respon terhadap insult, tubuh akan menghasilkan :2,3

Sitokin (tumor necrosis factor-a [TNF-a], interleukin)


Substansi vasodilator (nitrite oxide [NO], prostaglandin 2, prostasiklin)
Gambar 4.Mekanisme masuknya limfosit melalui celah endotel 14
Makrofag jaringan, monosit, sel mastosit, sel platelet, dan sel endotel akan
memproduksi sitokin. TNF-a dan interleukin 1 (IL-1) pertama kali dilepas dan memulai
beberapa kaskade. Terlepasnya IL-1 dan TNF-a (atau adanya endotoksin atau eksotoksin)
menyebabkan pembelahan nuclear factor-kB (NF-kB). NF-kB akan memicu produksi
mesengger ribonucleic acid (m-RNA), yang akan menginduksi produksi
sitokinproinflamasi lain. IL-6, IL-8, dan interferon gamma (IFN-y) adalah mediator
proinflamasi primer yang dipicu oleh NF-kB.2,4

Gambar 5. Peran TNF-a5


TNF-a dan IL-1 akan terlepas dalam jumlah besar dalam 1 jam pasca insult dan
menyebabkan reaksi lokal dan sitemik. TNF-a dan IL-1 berperan terhadap demam dan
pelepasan homon stress (norepinefrin, vasopressin, aktivasi sistem renin-angiotensisn-
aldosteron). Interleukin proinflamasi mempunyai fungsi lain terhadap jaringan atau
bekerja melalui mediator sekunder untuk mengaktifkan kaskade koagulasi dan kaskade
komplemen serta pelepasan NO, plateket activating factor, prostaglandin, dan leukotrien.
Sejumlah polipeptida proinflamasi ditemukan dalam kaskade komplemen. Protein
komplemen C3a dan C5a akan menyebabkan pelepasan sitokin tambahann, menyebabkan
vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Prostaglandin dan leukotrien
menyebabkan kerusakan endotelial sehingga akan terjadi multiple organ failure
(MOF).5,6

Gambar 6. Algoritma SIRS14

Kebocoran Kapiler Sistemik7

Kebocoran kapiler sistemik (systemic capillary leakage) merupakan tanda awal


inflamasi setelah cedera dan secara proporsional menunjukkan insult severity. Reaksi
kaskade inflamasi, termasuk berbagai mediator, dijumpai pada SIRS, seperti macrophage
inflammatory protein-2 (MIP-2 dan intercellular adhesion molecule -1 (ICAM-1). Hal ini
menginduksi terjadinya peningkatan kebocoran kapiler, mengakibatkan terjadinya
akumulasi cairan interstisial, hilangnya protein, dan edema jaringan. Dilepaskannya
sitokin IL-1 dan TNF-a, serta sel mastosit menyebabkan perubahan pada endotel
pembuluh darah, sehingga endotel menjadi berkontraksi. Hal ini mengakibatkan
peregangan sel-sel endotel.

Gambar 7. Mekanisme inflamasi pada endotel14

Selanjutnya, neutrofil di dalam pembulub darah akan keluar melalui endotel yang
berkontraksi melalui beberapa mekanisme : (1) leukositosis (neutrofil masuk ke
peredaran darah), (2) margination (neutrofil menempel pada endotel pembuluh darah), (3)
diapedesis (neutrofil mengalami pencuitan dan terdorong keluar dari pembuluh darah ke
jaringan), (4) kemotaksis (pergerakan neutrofil mengikuti rangsangan kimia).7
Gambar 8. Mekanisme terjadinya kebocoran vaskuler14

Selain itu, insult juga akan mengaktivasi limfosit dalam darah. Permukaan
limfosit mengandung LFA-I (leukocyte function associated antigen I) yang akan
berikatan pada ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang berada dipermukaan
endotel, sehingga limfosit akan memasuki jaringan melalui endotel yang berkontraksi.
Tingginya kadar NO yang teridentifikasi pada SIRS akan meningkatkan vasodilatasi dan
permeabilitas vaskuler. Tonus ototpolos berkurang karena stimulasi NO terhadap soluble
guanylyl cyclase (sGC) dan guanosine triphosphate (GTP) membentuk cyclic GMP
(cGMP).8
Gambar 9. Rangsangan luar dan kemotatic agen14

NO menurunkan agregasi trombosit dan menyebabkan inotropik negatif melalui


jalur PAF (platelet activating factor). Kedua hal tersebut akan menyebabkan gangguan
hemodinamik. NO juga merupakan radikal bebas dan bereaksi dengan superoksida untuk
menghasilkan peroksinitrit, molekul toksik yang menyebabkan cedera jaringan pada
SIRS dan akan mengganggu meetabolisme seluler. Peningkatan produksi NO diduga
terjadi karena aktivasi inducible NO synthase (iNOS) selama inflamasi. NO disintesis
dari L-arginin dan terdapat pada sel endotel, monosit, dan PMN. Istilah severe SIRS dan
SIRS shock merujuk pada disfungsi organ dan hipotensi refrakter berkaitan dengan suatu
proses iskemik atau inflamasi.7,8
Gambar 10. Efek NO terhadap tonus otot polos14

ANTIINFLAMASI PADA SIRS

Pada awalnya sepsis dan SIRS dihubungkan dengan eksaserbasi atau munculnya
mediator proinflamasi yang biasa disebut badai sitokin (cytokine storm). Namun,
kemudian SIRS ataupun sepsis juga dihubungkan dengan dikeluarkannya mediator anti-
inflammatory seperti soluble tumour necrosis factor receptor (sTNF), interleukin-10 (IL-
10), IL-1 receptor antagonist (IL-1Ra) dan transforming growth factor (TFG- ).
Mediator anti-inflamasi ini berperan dalam respon normal tubuh dalam dalam mencegah
inflamasi sistemik.9

Suatu respons anti-inflamatorik kompensatorik yang segera timbul setelah


munculnya sitokin pro-inflamasi, memastikan bahwa efek dari mediator mediator
inflamasi ini tidak menjadi destruktif. Molekul molekul seperti IL-4, IL-10, IL-11, IL-13,
reseptor faktor nekrosis tumor solubel (TNF), antagonis reseptor IL-1, faktor perubah
pertumbuhan dan lainnya yang masih belum ditemukan bekerja untuk menekan
ekspresi kompleks histokompatibilitas II monositik, menekan aktivitas penghantaran
antigen dan menurunkan kemampuan sel untuk menghasilkan sitokin-sitokin
inflamatorik. Kadar lokal baik mediator mediator proinflamatorik dan anti-inflamatorik
dapat secara substansial lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan secara sistemik.9,10

Gambar 11. Sitokin antiinflammatory9

Apabila gangguan awal cukup berat, pertama mediator proinflamatorik dan


kemudian anti-inflamatorik akan timbul pada sirkulasi sistemik melalui berbagai
mekanisme. Adanya mediator-mediator proinflamatorik di dalam sirkulasi adalah bagian
dari respons normal terhadap infeksi dan meerupakan sinyal peringatan bahwa
lingkungan mikro tidak mampu mengendalikan gangguan awal. Mediator mediator
proinflamatorik membantu untuk merekrut netrofil, trombosit dan faktor-faktor koagulasi
ke lokasi kerusakan atau infeksi. Kaskade ini merangsang suatu respons anti-inflamatorik
sistemik kompensatorik, yang biasanya akan menekan secara cepat respons
proinflamatorik. Sedikit, bila ada, tanda dan gejala klinis yang ditimbulkan organ-organ
mungkin dapat dipengaruhi oleh kaskade inflamatorik, namun disfungsi organ signifikan
jarang ditemukan.10
Terdapat kemungkinan reaksi anti-inflamatorik kompensatorik dapat berlebihan
dengan akibat terjadi imunosupresi. Beberapa peneliti telah menamakannya sebagai
paralisis imun, sedangkan pada konsep ini dinamakan sebagai sindrom respons anti-
inflamatorik kompensatorik (compensatory anti-inflammatory respons syndrome/CARS).
CARS merupakan respons tubuh terhadap inflamasi dan lebih dari sekedar paralisis imun.
CARS dapat menjelaskan kelainan kelainan seperti meningkatnya kerentanan pasien luka
bakar terhadap infeksi dan bahkan anergi pasien pankreatitis. Baru-baru ini telah
ditunjukkan bahwa terapi pada pasien sepsis dengan IFN tidak hanya mengembalikan
ekspresi HLA-DR pada monosit namun juga mengembalikan kemampuan monosit untuk
mensekresi sitokin IL-6 dan TNF.9

Gambar 12. Karakteristik CARS10

TANDA DAN GEJALA SIRS DAN MEKANISMENYA

a. Demam
Demam terjadi karena adanya efek dari pyrogen pada hipotalamus, sehingga set point
sentral berubah menjadi atau bergeser menjadi set point suhu tubuh yang lebih tinggi.
Untuk mencapai set point baru yang lebih tinggi ini adalah dengan meningkatkan
mekanisme pembentukan panas, tapi meminimalisir mekanisme kehilangan panas (heat
loss), sehingga set point suhu tubuh baru ini dapat tercapai. Mekansime ini akan terus
tetap dipertahankan hingga pyrogen berkurang secara spontan baik itu dengan respon
imun atau dengan terapi.2,7\
b. Hipotensi
Merupakan suatu konsekuensi menurunnya tahanan vaskuler perifer yang diakibatkan
oleh vasodilatasi akibat cytokin dan agen inflamasi lainnya, dan juga efek inhibisi
jantung oleh molekul proinflamasi.8
c. Takikardi
o Penurunan tekanan darah menghambat mekanisme penembakan atau rangsangan
baroreseptor di arcus aorta.8
o Terjadi peningkatan dominan dari pusat simpatis di dalam batang otak yang pada
jantung efeknya adalah peningkatan frekuesni jantung-takikardi dan peningkatan
kekuatan kontraksi miokardial.11
o Demam yang terjadi akan meningkatkan metabolisme tubuh sehingga
membutuhkan asupan oksigen yang lebih banyak, dan sebagai kompensasinya
adalah dengan peningkatan denyut nadi.8
d. Peningkatan frekuensi napas
Merupakan akibat demam yang meningkatkan metabolisme tubuh sehingga
membutuhkan suplai oksigen berlebih.8
e. Perubahan jumlah WBC2,8
o Akibat dari sitokin proinflamasi, jumlah WBC di dalam sumsum tulang
distimulasi untuk berproliferasi dan matang, untuk menyiapkan mekanisme
pertahanan.
o Jika stimulasi WBC ini kuat, selanjutnya WBC muda dan immatur dilepaskan dari
sumsum tulang ke aliran darah.
f. Kegagalan organ2,8,11
Mekanisme terjadinya kegagalan organ pada SIRS, diperankan oleh :
o Vasodilatasi volume sirkulasi abnormal hipoperfusi jaringan
o Peningkatan permeabilitas vaskuler berubahnya Starlings mechanism
pergeseran cairan ke ruang interstisial
o Kerusakan endotel akibat ekspresi dari molekul adhesi dan thrombus pada
mikrosirkulasi (DIC)
o Produksi oksigen reaktif oleh neutrofil
o Produksi protease oleh neutrofil
o Produksi NO oleh No synthase vasodilatasi refrakter

TERAPI

Perbaikan hemodinamik-preload (terapi cairan), afterload, dan contractility (tahap


akhir). Preload : dapat diawali dengan pemberian cairan kristaloid (Ringers lactate),
dapat dilanjutkan dengan cairan kolois (HES[hydroxyethil starch]) bila tidak terjadi
perbaikan. Keuntungan cairan koloid HES adalah memiliki efek antiinflamasi dengan
menghambat produksi mediator inflamasi termasuk NF-kB.8,12 HES dengan berat
molekul besar (100.000-300.000 dalton) mempunyai pengaruh baik terhadap volume
intravaskuler dan mempunyai sealing efect. Larutan seimbang adalah cairan yang
memiliki komposisi mendektai komposisi cairan tubuh, mengandung elektrolit fisiologis
(Na, K, Ca, Mg dam Cl) yang memberikan kontribusi terhadap osmolalitas, dan dapat
mempertahankan keseimbangan asam-basa yang normal dengan bikarbonat atau
metabolisme anion.12,13

Cairan koloid HES tersedia dalam beberapa pelarut: NaCl, larutan seimbang, dan
RL. McFarlane dkk membandingkan pemberian NaCl 0,9% dengan dosis 15
mL/kgBB/jam pada 30 pasien yang menjalani pembedahan pankreas dan hepatobilier.
Hasilnya asidosis lebih sering terjadi pada pemberian saline. Sedangkan Scheingraber
dkk melakukan studi pada 24 pasien yang akan menjalani operasi ginekologik yang diberi
NaCl 0,9% atau RL dengan dosis 30 mL/kgBB/jam. Pemberian NaCl dalam volume
besar dapat mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik karena penurunan SID (strong
ion difference). Pemakaian salin dalam jumlah besar mengakibatkan asidosis
hiperkloremik. Wilkes dkk membandingkan pemberian cairna intravena (HES dalam
elektrolit seimbang + RL) atau saline (HES dalam 0,9% NaCl + saline normal) pada
pasien yang mengalami pmbedahan mayor. Hasilnya lebih banyak terjadi asidosis
hiperkloremik pada kelompok saline jika dibandingkan pemberian elektrolit seimbang.
Sehingga rekomendasi cairan yang diberikan adalah pemakaian cairan balance cristaloid
atau koloid dalam larutan elektrolit seimbang dibandingkan saline.12,13

Gambar 13.Sintesis NO14


Daftar Pustaka
1. Brun-Buisson C. The epidemiology of systemic inflammatory response. Intensive Care
Med. 2008;26 (Suppl 1):S64-74.
2. Plevkova J. Ssistemic inflammatory response syndrome. 2011. Accessed on February 26,
2016. Available from:
http://eng.jfmed.uniba.sk/fileadmin/user_upload/editors/PatFyz_File/Handouty/angl/Syst
emic_inflammatory_response_syndrome_2011.pdf.
3. Kaukonen KM, et al. Systemic inflammatory response syndrome : Criteria in defining
severe sepsis. New England Journal of Medicine. 20015. Accessed on February 29, 2016.
Available from : http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMoa1415236.
4. Guzman JA, et al.The systemic inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, dan
septic shock. Septicaemia, Toxin and Inflammatory Mediated Syndrome. 2014. Accessed
on February 26, 2016. Available from:
http://geriwiki.mcmaster.ca/documents/13LongChap11-septicshock.pdf.
5. Comstedt P, Storgaard M, Lassen AT. The Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) in acutely hospitalised medical patients: a cohort study. Scandinavian Journal of
Trauma Resuscitatio and emergency Medicine. 2009. Accessed on February 28, 2016.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2806258/pdf/1757-7241-
17-67.pdf.
6. Cytokines in the systemic inflammatory response syndrome: A review [Internet]. [cited
2016 February 24]. Available from:
http://www.hsrproccedings.org/?pag=sezione=143&id_supersezione=13.
7. Feng X, Yan W, Liu X, Duan M, Zhang X, Xu J. Effect hydroxylethly starch 130/0.4 on
pulmonary capillary leakage and cytokines production and NF-kappaB activation in CLP-
induced sepsis in rats. J Surg Res. 2006;135(1):129-36.
8. Terblanche M, Almog F, Rosenson R, Smith TS, Hacker DG. Statins and sepsis: multiple
modifications at multiple levels [imageon the internet]. Lancet Infect Dis [Internet]. 2007
[cited 2016 Feb 24] 7(5):358-68. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1473309907701111.
9. Conquy MN, Cavaillon JM. Compensatory anti-inflammatory response syndrome. 2009
[citied 2016 March 17]. Vol 101, pp.36-47. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/23766961_Adib-
Conquy_M_Cavaillon_JM_Compensatory_anti-inflammatory_response_syndrome.
10. Ward NS, Casserly B, Ayala A. The compensatory anti-inflammatory response syndrome
(CARS) in critically ill patients. Elsevier. 2008 [citied 2016 March 20]. Vol 29(4).
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2786900/pdf/nihms-
160579.pdf.
11. McFarlane C, Lee A. A comparison of Plasmalyte 148 and 0.9% saline for intraoperative
fluid replacement. Anesthesia 1994;49(9):779-81
12. Scheingraber S, Rehm M, Sehmisc C, Finsterer U. Rapid infusion produces
hyperchloremic acidosis in patients undergoing gynecologic surgery. Anaesthesiology
2009;90(5);1265-70.
13. Wilkes NJ, Woolf R, Mutch M, Mallett SV, Peachey T, Stephens R. et al. The effects of
balanced versus saline-based hetastarch and crystalloid on acid-base and electrolyte status
and gastric mucosal perfusion in elderly surgical patients. Anesth Analg.2010;93(4);811-
6.
14. Leksana E. Systemic Inflammatory Response Syndrome. CME 40(1). 2013.

Anda mungkin juga menyukai