Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

Pneumonia atau dalam bahasa awam disebut radang paru, merupakan jenis penyakit
yang menyebabkan masalah serius. Penyakit yang disebabkan infeksi kuman ini, menyerang
paru, dan menyebabkan berbagai gangguan organ pernapasan. Kuman yang ada dalam paru
ini bahkan dapat pula kemudian menyebarkan infeksi di seluruh tubuh yang sangat
berbahaya.1

Di Indonesia, penyebab yang paling umum dari pneumonia adalah bakteri


Streptococcus peumoniae. Pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ini, biasanya
didapatkan suatu gejala tiba-tiba seperti menggigil, demam dan produksi dari suatu sputum
yang bewarna pekat. Penyakit ini merupakan penyakit yang serius yang dapat mengenai
semua umur terutama pada bayi atau anak, usia lebih dari 65 tahun, dan orang dengan
penyakit pemberat lain seperti penyakit jantung kongestif, diabetes, dan penyakit paru
kronis.1

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah merupakan penyakit yang dapat dicegah
dan diobati dengan karakteristik adanya keterbatasan aliran udara persisten yang biasanya
disebabkan oleh respon inflamasi kronis pada jalan nafas dan paru-paru terhadap partikel atau
gas berbahaya.2

PPOK eksaserbasi adalah suatu kondisi akut yang ditandai oleh perburukan gejala
respiratori pada penderita yang melebihi variasi keseharian dan menyebabkan terjadinya
pengubahan pada pengobatan. Penyebab tersering pada eksaserbasi akut adalah infeksi pada
saluran nafas trakeobronkhial (virus atau bakteri) dan polusi udara, namun pada sekitar
sepertiga kasus eksaserbasi akut tidak dapat diketahui penyebabnya.2

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pneumonia


Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, yang menimbulkan konsolidasi paru
yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin.2 Pneumonia
adalah suatu peradangan pada paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing.1

2.2. Epidemiologi Pneumonia


Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi
di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan
dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat atau di dalam rumah sakit.
Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut di parenkim paru
yang serius dijumpai sekitar 15-20%. Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa
kelainan imunitas yang jelas. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia
(lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat
terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes melitus, payah jantung, penyakit
arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf kronik, dan penyakit hati
kronik.3

2.3. Klasifikasi Pneumonia


Untuk penatalaksanaannya klasifikasi pneumonia lebih tepat didasarkan kepada
interaksi berbagai faktor, yaitu faktor inang, patogen penyebab dan faktor lain yang
terkait. Interaksi ketiga faktor ini memberikan gambaran pneumonia yang berbeda.
Dengan demikian pneumonia saat ini dikenal 2 kelompok utama yaitu:2,3
a. Pneumonia komunitas
Pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit.
b. Pneumonia nosokomial
Pneumonia yang terjadi pada 48 jam atau lebih setelah dirawat di bangsal atau ICU
rumah sakit dan masa inkubasinya tidak terjadi di luar rumah sakit, yang terbagi atas
pneumonia yang berhubungan dengan pemakaian ventilator (PBV) yaitu pneumonia

2
yang timbul setelah 48-72 jam setelah intubasi endotrakeal, dan yang didapat di pusat
perawatan kesehatan (PPK).
Disamping kedua bentuk utama PK dan PN terdapat pula pneumonia bentuk khusus yang
masih sering dijumpai dan bisa terkait dengan kedua bentuk pneumonia tersebut,
misalnya pneumonia akibat aspirasi, gangguan imun, pneumonia lansia. Pneumonia
bentuk ini bersifat khusus karena dapat terkait dengan kondisi pasien yang khusus dan
patogen yang berbeda.2,3

2.4. Etiologi Pneumonia


Tabel 2.1. Etiologi Tersering Pada Pneumonia

Gologan pasien Etiologi


Rawat jalan a. Streptococcus pneumoniae
b. Mycoplasma pneumoniae
c. Haemopilus influenza
d. Chlamydophila pneumoniae
e. Virus respirasi
Rawat inap (non-ICU) a. S pneumoniae
b. M pneumoniae
c. C pneumoniae
d. H influenza
e. Legionella species
f. Virus respirasi
g. Bakteri aspirasi
Rawat inap (ICU) a. S pneumoniae
b. Staphylococcus aureus
c. Legionella species
d. H influenza
e. Bakteri Gram-negatif

3
2.5. Patogenesis Pneumonia
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan keadaan (imunitas) inang dan faktor
penyebab yang kemudian berhubungan dengan keadaan yang dialami pasien hingga
memberikan risiko. Pneumonia akan terjadi bila proses pertahanan tubuh berupa daya
tahan mekanik (epitel silia dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler
(leukosit polinuklir, makrofag, limfosit dan sitokinnya) tidak dapat mengatasi proses
infeksi dari bakteri.3
Faktor inang dapat berupa hilangnya refleks proteksi saluran nafas atas hingga dapat
terjadi aspirasi cairan faring, misalnya adanya gangguan menelan, penurunan kesadaran,
dan intubasi trakea. Faktor luar berupa paparan bakteri yang bervariasi luas menurut
daerah dan fasilitas kesehatan, bahan iritan atau trauma langsung pada paru. Mekanisme
ini akan menjadi dasar klasifikasi dan bentuk manifestasi pneumonia, berat ringannya
penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi empiris serta prognosis pasien.3
a. Patogenesis Pneumonia Komunitas
Pada pneumonia PK terdapat faktor perubah yang menimbulkan kecenderungan
terjadinya infeksi oleh kuman tertentu, seperti terlihat pada tabel 2 di bawah ini2 :
Tabel 2.2. Faktor Perubah yang Meningkatkan Risiko Infeksi oleh Patogen
Tertentu pada Pneumonia Komunitas
Pneumokokus yang resisten penisilin dan obat lain
a. Usia > 65 tahun
b. Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir
c. Alkoholisme
d. Penyakit imunosupresif (termasuk kortikosteroid)
e. Penyakit penyerta yang multipel
f. Kontak pada klinik lansia
Patogen gram negatif
a. Tinggal di rumah jompo
b. Penyakit kardiopulmonal penyerta
c. Penyakit penyerta yang jamak
d. Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika
Pseudomonas aeruginosa
a. Penyakit paru struktural (bronkiektasis)
b. Terapi kortikosteroid (> 10 mg prednisone/hari)

4
c. Terapi antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan sebelumnya
d. Malnutrisi

b. Patogenesis Pneumonia Nosokomial


Patogen yang sampai ke trakhea terutama berasal dari aspirasi bahan orofaring,
kebocoran melalui mulut saluran endotrakheal, inhalasi dan sumber bahan patogen
yang mengalami konsolidasi di pipa endotrakheal setelah dapat melewati hambatan
mekanisme pertahanan inang. Kolonisasi pada PN ini terkait adanya berbagai faktor
inang dan terapi yang telah dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat,
tindakan bedah, pemberian antibiotik, obat-obatan lain dan tindakan invasif pada
saluran pernafasan. Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru,
penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi.2

2.6. Penegakan Diagnosis Pneumonia


Penegakan diagnosis secara umum pada pneumonia berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2,3
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan penderita seperti2,3 :
1. Demam
Demam bisa disertai dengan menggigil
2. Batuk
Batuk dapat batuk kering, atau produktif mukoid atau sputum purulen
3. Nyeri pada dada
4. Sesak nafas
5. Karakteristik sputum
Karakteristik sputum seperti warna, konsistensi, bau, bentuk agar
b. Pemeriksaan fisik
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan gejala
klinis yang mengarah pada tipe kuman penyebab dan tingkat berat penyakit.3
1. Awitan akut biasanya disebabkan oleh S. Pneumoniae, Streptococcus sp,
Staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering
dan nonproduktif.3

5
2. Tanda-tanda fisik pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa2 :
a) Temperature
Demam > 380C atau dapat hipotermi < 350C
b) Sesak nafas/ takipnue
Pernafasan > 18 x/menit
c) Tekanan darah
Takikardia > 100 x/menit atau bradikardia < 60 x/menit
d) Penggunaan otot pernafasan tambahan, sianosis sentral, penurunan kesadaran
e) Tanda-tanda konsolidasi paru
Suara pekak pada perkusi, peningkatan taktil dan vocal fremitus, suara nafas
bronkial dan ronki basah halus/sedang, egofoni, mengi, bising gesek pleura
f) Limfadenopati
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologis
Pola radiologis dapat berupa2,3 :
a) Air bronkogram (airspace disease)
b) Distribusi infiltrat pada segmen apikal lobus bawah atau inferior lobus atas
c) Lesi berupa kavitas dengan air-fluid level untuk abses paru yang diakibatkan
infeksi kuman anaerob, gram negatif atau amiloidosis
2. Pemeriksaan laboratorium2,3
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri, leukosit normal atau
rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus/mikoplasma atau pada infeksi yang
berat sehingga tidak terjadi respon leukosit.
3. Pemeriksaan bakteriologis2,3
Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan bahan yang berasal dari
sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi jarum transtorakal,
torakosentesis, bronkoskopi, atau biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan
pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, Quellung test dan Z. Nielsen. Kultur kuman
merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi
selanjutnya.
4. Pemeriksaan khusus2,3
Titer antibodi terhadap virus, legionella, dan mikoplasma. Nilai diagnostik bila
titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali. Analisis gas darah dilakukan untuk

6
menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen. Pada pasien PN/PK yang
dirawat inap perlu diperiksakan analisis gas darah, dan kultur darah.

Tabel 2.3. Kriteria PK Berat Menurut ATS Guidelines 2005


Kriteria minor (dasar) saat masuk rawat inap :
a. Frekuensi respirasi > 30 x/menit
b. Gagal nafas berat (rasio PaO2/ FI O2 < 250)
c. Foto torak : infiltrat bilateral pada paru
d. Foto torak : melibatkan > 2 lobus (multilobus)
e. Tensi sistolik < 90 mmHg
f. Tensi diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor saat masuk rawat inap
a. Membutuhkan ventilator
b. Peningkatan ukuran infiltrat > 50% (infiltrate progresif) dan tanpa respon klinik
terhadap terapi (memburuk)
c. Kebutuhan vasopresor > 4 jam (syok septik)
d. Kreatinin serum > 2 mg% atau kenaikan 2 mg% pada pasien dengan penyakit ginjal
atau gagal ginjal akut yang memerlukan dialisis
aO2 = tekanan O2 arteri; FIO2 = fraksi O2 inspirasi

Tabel 2.4. Kriteria Diagnosis Pneumonia Nosokomial Menurut CDC

Harus memenuhi satu dari 4 kriteria


a. Ronki atau dullness pada perkusi torak, ditambah salah satu :
1. Onset baru sputum purulen atau perubahan karakteristiknya
2. Isolasi kuman dari darah, isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirasi
transtrakeal, biopsi atau sapuan bronkus
b. Gambaran radiologis berupa infiltrat baru yang progresif, konsolidasi, kavitasi, atau
efusi pleura. Dan salah satu dari 1, atau 2 di atas
3. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari sekret respirasi
4. Titer antibodi tunggal yang diagnostik (IgM) atau peningkatan 4 x titer IgG dari
kuman
5. Bukti histopatologis dari pneumonia

7
c. Pasien 12 tahun dengan 2 dari gejala-gejala berikut : apnea, takipnea, bradikardia,
mengi, ronki, atau batuk, disertai salah satu dari :
6. Peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu dari kriteria b di atas
d. Pasien 12 tahun yang menunjukkan infiltrat baru atau progresif, kavitasi,
konsolidasi atau efusi pleura pada foto torak. Ditambah salah satu dari kriteria c di
atas.

2.7. Penatalaksanaan Pneumonia


a. Pneumonia Komunitas
Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah antibiotik sebagai terapi kausal
terhadap kuman penyebab. Pada awalnya diberikan terapi empirik terhadap patogen
yang paling mungkin menjadi penyebab, penyesuaian obat monoterapi berdasarkan
hasil kultur. Lama pemberian terapi ditentukan berdasarkan adanya penyakit penyerta
dan bakteremi, beratnya penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien.
Umumnya terapi diberikan selama 7-10 hari, untuk infeksi M. pneumoniae dan C.
Pneumoniae selama 10-14 hari, sedangkan dengan pasien dengan terapi steroid
jangka panjang, selama 14 hari atau lebih.2,3
b. Pneumonia Nosokomial
Tabel 2.5. Langkah Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial
1. Evaluasi Dapatkan spesimen untuk kultur sebelum pemberian
antibiotik
2. Dimulai antibiotik Inisiasi terapi AB spektrum luas berdasarkan:
spektrum luas a. Gambaran klinik
b. Data kepekaan bakteri lokal
c. Pedoman terapi
d. Dapatkan dan analisa data mikrobiologi
3. Evaluasi ulang Evaluasi ulang pasien
4. Modifikasi AB ke Modifikasi terapi AB, pertimbangkan :
spektrum sempit a. Kemungkinan monoterapi
b. Penukaran AB ke spektrum sempit
c. Lama terapi yang tepat

8
Terapi suportif pneumonia2,3 :

1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pencegahan dahak yang kental, dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.
3. Fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan
nafas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi
dan pengeluaran CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan.
4. Pengaturan cairan, pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan
ganguan sirkulasi dan gagal ginjal.
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan.
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin diperlukan bila terdapat komplikasi
gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
7. Ventilasi mekanis dengan indikasi.
8. Drainase empiema bila ada.
9. Bila terdapat gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang
didapatkan terutama dari lemak (> 50%), hingga dapat dihindari produksi CO2 yang
berlebihan.

2.8. Pencegahan Pneumonia


a. Pneumonia Komunitas
Vaksinasi anti influenza terutama pada pasien lansia dan dengan komorbiditas seperti
penyakit paru kronik, penyakit hati dan ginjal.2,3
b. Pneumonia Nosokomial
Pencegahan PN ditujukan kepada upaya program pengawasan dan pengontrolan
infeksi termasuk pendidikan staf pelaksana, pelaksanaan teknik isolasi dan praktek
pengontrolan infeksi, seperti cuci tangan, isolasi pasien dengan patogen multi
resisten, perbaikan gizi, pengawasan pemakaian intubasi nasogastrik, dan alat selang
lainnya, pemakian obat sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid.2,3

9
2.9. Komplikasi Pneumonia
a. Pneumonia Komunitas
Komplikasi pneumonia ekstrapulmoner, misalnya pada pneumonia pneumokokkus
berupa bakteremi sebesar 10% kasus berupa meningitis, arthritis, endokarditis,
perikarditis, peritonitis, dan empiema. Komplikasi lain berupa ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndorme), gagal multi organ, dan komplikasi lanjut berupa
pneumonia nosokomial.2,3
b. Pneumonia Nosokomial
Pasien yang cenderung mengalami komplikasi adalah pada usia tua atau anak kecil,
dengan penyakit dasar kronik, gangguan imunitas, kormobiditas dan dengan
pneumonia yang berat. Komplikasi dapat berupa : desktruksi dan fibrosis paru,
bronkiektasis, pneumonia nekrotikans, kavitasi, empiema, abses paru, sepsis dan
syok septik, gagal nafas, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome),
ketergantungan ventilator, superinfeksi dan kematian.2,3

2.10. Prognosis Pneumonia


a. Pneumonia Komunitas
Kejadian PK di USA adalah 3,4 - 4 juta kasus pertahun, dan 20% diantaranya perlu
dirawat di RS. Secara umum angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah
sebesar 5% namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk.
Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor perubah yang ada pada pasien.2,3
b. Pneumonia Nosokomial
Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50%, yang bisa mencapai 70% bila
termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab kematian
biasanya adalah akibat bakteriemi terutama oleh Ps. Aeruginosa atau Acinobacter
spp.2,3

2.11. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


PPOK adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. Gejala utama
PPOK adalah sesak nafas memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum. 4
PPOK eksaserbasi adalah suatu kondisi akut yang ditandai oleh perburukan gejala
respiratori pada penderita yang melebihi variasi kesaharian dan menyebabkan terjadinya
pengubahan pada pengobatan.2

10
2.12. Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
GOLD memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke 6 pada tahun 1990 dan
akan meningkat menjadi penyebab ke 3 pada tahun 2020 di seluruh dunia. PPOK akan
diprediksi menjadi penyebab kematian ke 4 pada tahun 2030.4,5 Prevalensi dan angka
mortalitas PPOK terus meningkat, di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi
gawat darurat mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit
dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK
menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan serebrovaskular.6

2.13. Faktor Resiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Faktor yang mempengaruhi perkembangan dan progresifitas PPOK, antara lain :
a. Merokok
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Derajat berat merokok dapat ditentukan
dengan menggunakan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan dengan lama merokok dalam tahun, ringan (0-200),
sedang (200-600), berat (> 600).7
b. Genetik
Faktor genetik yang utama adalah kurangnya 1-antitripsin, yang merupakan serin
protease inhibitor. Defisiensi 1- antitripsin, umumnya jarang terdapat di Indonesia.7
c. Usia dan Jenis Kelamin
Faktor risiko untuk menderita PPOK baik secara retro maupun prospektif, didapatkan
hasil bahwa laki-laki mempunyai risiko lebih besar daripada wanita. Hal tersebut
disebabkan beberapa faktor antara lain perbedaan genetik, jumlah rokok yang dihisap,
atau adanya pencemaran di tempat kerja.8
d. Perkembangan paru
Pertumbuhan paru dikaitkan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa
anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga
berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.9
e. Polusi Udara
Polusi udara dapat mengakibatkan terjadinya radang paru dan jika hal ini berlangsung
terus-menerus dapat mengakibatkan kelainan faal paru obstruktif kronis. Hal ini
terjadi karena perubahan seluler pada saluran pernapasan, udara yang tercemar akan

11
meningkatkan jumlah kelenjar mukus dan sel goblet sehingga terjadi penyumbatan
saluran pernapasan serta peningkatan tahanan udara.10

2.14. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Rokok dan partikel beracun lain seperti asap dari pembakaran menimbulkan inflamasi
paru. Respon inflamasi kronis ini bisa menginduksi destruksi parenkim jaringan
(menimbulkan emfisema) dan mengganggu perbaikan normal dan mekanisme pertahanan
(menimbulkan fibrosis jalan nafas kecil).2,4
a. Emfisema
Emfisema ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang dikuti oleh destruksi dari
dinding alveoli. Pada emfisema, enzim elastase lisosomal dibebaskan dalam jumlah
yang sangat banyak dari neutrofil dalam paru. Hal ini menyebabkan kerusakan elastin,
sebuah protein struktural penting pada paru. Elastase Neutrofil juga memecah kolagen
tipe IV, dan molekul ini penting untuk menentukan kekuatan bagian tipis kapiler paru
dan juga integritas dinding alveolar.11
Merokok adalah faktor patogenik yang penting dan bekerja dengan merangsang
makrofag untuk melepaskan kemoatraktan neutrofil, seperti C5a atau dengan
mengurangi aktivitas inhibitor elastase. Merokok juga membuat 1- antitripsin tidak
aktif. Defisiensi 1- antitripsin mengakibatkan tidak adanya antiprotease yang
seharusnya menghambat elastase, kelainan herediter ini membentuk sekelompok kecil
kasus emfisema (lebih kurang 1%).12
Hilangnya sifat rekoiling elastik pada parenkim paru akan menyebabkan
penurunan tekanan yang menggerakkan aliran udara ekspirasi, sehingga waktu
ekspirasi untuk pengosongan paru yang maksimal akan memanjang. Fase ekspirasi
yang memanjang pada emfisema akan memperpanjang keseluruhan durasi siklus
respiratorik yang tunggal. Karena pasien harus bernapas dengan frekuensi yang cukup
tinggi untuk mempertahankan oksigenasi karena siklus respiratoriknya memanjang,
maka pasien sering sudah mulai menarik nafas berikutnya sebelum semua udara dari
pernapasan sebelumnya dihembuskan keluar. Keadaan ini akan membuat
terperangkapnya udara yang tidak diventilasikan dalam paru (air tappering).12

12
b. Bronkitis kronis
Bronkitis kronis adalah batuk produktif yang terjadi sedikitnya tiga bulan per
tahun selama paling tidak dua tahun berturut-turut. Ditandai oleh produksi mukus
yang berlebihan dalam jalan nafas, mukus itu sendiri secara khas lebih kental
dibandingkan dahak biasa.12 Merokok merupakan penyebab utama, sedangkan polusi
udara yang disebabkan oleh kabut asap atau asap industri adalah faktor penyebab lain.
Pajanan berulang terhadap iritan inhalan ini menyebabkan peradangan kronis.11
Merokok menyebabkan proliferasi dan hipertrofi kelenjar mukosa bronkus serta
peningkatan jumlah sel goblet. Selain itu juga merusak lapisan silia yang menjadi
dinding lumen bronkus dan menghalangi klieren mukus. Pada keadaan ini juga terjadi
infulks sel-sel inflamasi yang menyebabkan inflamasi jalan nafas.12
Peningkatan produksi mukus dan penebalan dinding jalan nafas akan mengurangi
luas penampang lumen sehingga meningkatkan resistensi dan menghambat aliran
udara pernapasan. Obstruksi aliran udara pernapasan pada bronkitis kronis terdapat
dalam bronkiolus terminalis yang terletak di sebelah proksimal obstruksi pada
emfisema.12 Pasien dengan bronkitis kronik lanjut mengalami penurunan dorongan
respirasi dan retensi CO2, hipoksemia menyebabkan polisitemia dan peningkatan
tekanan arteri pulmonalis. Gangguan yang terjadi pada fungsi jantung kanan
menyebabkan retensi cairan oleh ginjal, peningkatan tekanan vena sentralis, dan
edeme perifer.13

Gambar 2.1. Konsep Patofisiologi PPOK


(Sumber : PDPI. Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia. 2011.

13
2.15. Gambaran Klinis Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Batuk berdahak dan sesak nafas merupakan gejala yang sering dialami oleh penderita
PPOK. Batuk biasanya timbul sebelum atau bersamaan dengan sesak nafas. Dahak
umumnya tidak banyak hanya beberapa sendok teh per hari, bersifat mukoid namun
menjadi purulen pada keadaan infeksi. Sesak nafas terutama waktu beraktivitas.5

Tabel 2.6. Gambaran Klinis Tipe A dan Tipe B pada PPOK


Tipe A Pink Puffer Tipe B Blue Bloater
a. Dispneu yang memberat dalam a. Dispneu yang bertambah dalam
beberapa tahun beberapa tahun
b. Sedikit atau tanpa batuk b. Batuk berdahak sering
c. Ekspansi berlebihan yang jelas pada c. Penambahan volume dada atau tidak
dada bertambah
d. Tidak ada sianosis d. Mungkin ada rales, ronki
e. Suara nafas yang bersih e. Mungkin ada peningkatan tekanan
f. Tekanan vena jugularis normal vena jugularis
g. Tidak ada edema perifer f. Mungkin ada edema perifer
h. PO2 arteri hanya berkurang sedikit g. PO2 biasanya sangat rendah
i. PCO2 arteri normal h. PCO2 sering meningkat
Sumber : West J B. Patofisiologi Paru Esensial. 2010.

2.16. Diagnosis Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Diagnosis eksaserbasi berdasarkan pada presentasi klnis pasien mengeluh perubahan
akut gejala seperti sesak nafas, batuk, dan produksi sputum yang meleihi variasi gejala
keseharian. Penilaian eksaserbasi PPOK yang mengalami tanda-tanda keparahan, antara
lain2 :
a. Penggunaan otot pernafasan tambahan
b. Gerakan dinding dada yang berlawanan
c. Perburukan atau onset baru sianosis sentral
d. Pembentukan edema
e. Ketidakstabilan hemodinamika
f. Pemburukan status mental

14
Tes berikut yang perlu dipertimbangkan untuk menilai beratnya eksaserbasi2 :
a. Pulse Oxymetry berguna untuk menyesuaikan terapi suplemen oksigen
b. Penilaian AGD penting jika ditemukan tanda akut atau acute on chronic
respiratory failure (PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7
kPa (50 mmHg) pada konsentrasi ruangan), mengindikasikan adanya gagal nafas.
Pemeriksaan AGD ini harus dilakukan sebelum tindakan ventilasi mekanik
c. Foto toraks berguna dalam menyingkirkan diagnosis alternatif
d. EKG membantu dalam mendiagnosis problem kardiak yang menyertai
e. Pemeriksaan darah lengkap dapat mengidentifikasi adanya polisitemia, anemia,
atau leukositosis
f. Sputum purulen selama eksaserbasi cukup sebagai indikasi terapi antibiotik
empiris, jika infeksi pada eksaserbasi tidak berespon terhadap antibiotik inisial
maka dilakukan sputum kultur dan tes resitensi
g. Tes abnormalitas biokimia termasuk gangguan elektrolit dan hiperglikemia bisa
berhubungan dengan eksaserbasi.
Indikasi perawatan di rumah sakit, antara lain2 :
a. Peningkatan yang nyata dari intensitas gejala seperti terjadinya sesak nafas
mendadak saat istirahat
b. PPOK berat
c. Onset baru tanda fisik (sianosis, edema perifer)
d. Kegagalan respon terhadap terapi medikal inisial
e. Adanya komorbid yang serius (gagal jantung atau aritmia baru)
f. Eksaserbasi sering
g. Usia tua
h. Support di rumah yang tidak cukup

2.17. Penatalaksanaan Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


a. Terapi farmakologis
Tiga kelas obat yang biasa digunakan untuk eksaserbasi pada PPOK adalah
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik.2
1) Bronkodilator
Short-acting 2 agonist inhalasi dengan atau tanpa Short-acting anticolinergic
merupakan bronkodilator pilihan untuk terapi eksaserbasi. Methylxantine
intravena (Teofilin, Aminofilin) dipertimbangkan sebagai pilihan kedua, hanya

15
digunakan pada kasus tertentu jika respon terhadap Short-acting bronchodilator
tidak cukup.2
2) Kortikosteroid
Obat yang diberikan Prednisolon dengan dosis 30-40 mg perhari 10-14 hari.
Terapi dengan Prednisolon oral lebih dipilih, nebulasi Budesonide bisa sebagai
alternatif (meskipun lebih mahal).2
3) Antibiotik
Meskipun agen infeksi pada PPOK eksaserbasi bisa viral atau bakteri,
penggunaan antibiotik pada eksaserbasi masih kontroversi. Antibiotik diberikan
pada pasien PPOK eksaserbasi dengan kondisi, antara lain :
i. Memiliki tiga gejala kardinal yaitu, sesak nafas yang makin bertambah,
jumlah sputum meningkat dan sputum purulen
ii. Peningkatan purulensi sputum dan satu tanda kardinal
iii. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)
Waktu pemberian antibiotik yang direkomendasikan biasanya 5-10 hari.
Pilihan antibiotik biasanya empiris inisial, Aminopenisilin dengan atau tanpa
Asam klavulanat, Makrolid, atau Tetrasiklin. Rute pemberian antibiotik (oral atau
intravena) tergantung pada kemampuan pasien untuk makan dan farmakokinetik
obat, meskipun lebih dipilih antibiotik diberikan per oral. Perbaikan sesak nafas
dan sputum purulen merupakan keberhasilan klinis.2
b. Terapi non farmakologis
1) Oksigen
Hal ini merupakan komponen kunci dari terapi eksaserbasi di Rumah Sakit.
Suplemen oksigen harus dititrasi untuk memperbaiki gejala hipoksemia
dengan target saturasi 88-92%. Ketika oksigen diberikan, AGD harus
diperiksa 30-60 menit berikutnya untuk memastikan kecukupan oksigen tanpa
retensi karbondioksida atau asidosis. Penggunaan masker Venturi untuk
pemberian oksigen lebih akurat dan terkontrol dibanding nasal kanul.2
2) Dukungan ventilasi
Beberapa pasien membutuhkan terapi segera di ICU. Ventilatory support
pada kondisi eksaserbasi bisa berupa non invasif (nasal atau face mask) atau
invasif (oro-tracheal tube atau tracheostomy). Stimultan respirasi tidak
direkomendasikan pada kondisi gagal nafas akut.2

16
Ventilasi mekanik non invasif/ non invasive ventilation (NIV) memperbaiki
asidosis respirasi (meningkatkan pH dan menurunkan PCO2) dan menurunkan
respiratory rate, sesak nafas, komplikasi seperti VAP, dan waktu perawatan di
RS, yang paling penting mortalitas dan intubasi dikurangi dengan intervensi
ini.
Tabel 2.7. Antibiotik yang Umumnya Dipakai pada PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi Ringan sampai Sedang* Eksaserbasi Sedang sampai Berat#
Lini pertama a. Sepalosporin
a. Doksisislin (Vibramycin), 100 mg 2x/hari 1) Ceftriakson, 1-2 gr IV/ hari
b. Trimethoprim-sulfametoksazol, satu tablet 2) Cefotaksim, 1 gr IV tiap 8-12 jam
2x/hari 3) Ceftazidime, 1-2 gr IV tiap 8-12 jam
c. Amoksisilin-klavulanat, satu 500 mg/125 b. Penisilin antipseudomonal
mg tablet 3x sehari atau satu 875 mg/125 1) Piperasilin-tazobaktam, 3.375 gr IV
mg tablet 2x sehari tiap 6 jam
d. Makrolides 2) Ticarcillin-clavulanate potassium,
1) Klarithromisin (Biaxin), 500 mg 2x 3.1 gr IV tiap 4-6 jam
sehari c. Fluoroquinolones
2) Azitrommisin (Zithromaks), 500 mg 1) Levofloksasin, 500 mg IV 1x/hari
pertama, selanjutnya 250 mg/hari 2) Gatifloksasin, 400 mg IV 1x/hari
e. Fluoroquinolones d. Aminoglikosid
1) Levofloksasin, 500 mg/hari Tobramisin, 1 mg per kg IV tiap 8-12
2) Gatifloksasin, 400 mg/hari jam, atau 5 mg per kg IV/hari
3) Moksifloksasin, 400 mg/hari
Ket : IV = Intravena
* Untuk antibiotik oral, lama pemberian umumnya 5-10 hari
# = Obat umumnya dikombinasi untuk mendapatkan efek sinergi
Sumber : Riyanto et al. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. 2014.

2.18. Pencegahan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


a. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar
tetap sehat atau mencegah yang sehat menjadi sakit. Tujuan pencegahan primer
adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-
penyebab penyakit dan faktor-faktor risikonya.2

17
Pencegahan primer antara lain2 :
1) Berhenti merokok
Karena kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya (PDPI, 2003)
2) Memakai alat pelindung seperti masker saat bekerja di pabrik yang terdapat asap
atau debu
3) Membuat cerobong asap di rumah atau di tempat kerja
4) Memberikan penyuluhan mengenai PPOK ke masyarakat.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar
sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi.
Pencegahan sekunder antara lain2 :
1) Diagnosis dini
Untuk menetapkan diagnosis dini PPOK pada pasien adalah dengan melakukan
pemeriksaan faal paru, radiologis, dan analisa gas darah
2) Pemberian pengobatan yang tepat
3) Pencegahan eksaserbasi pada PPOK
PPOK eksaserbasi bisa dicegah dengan berhenti merokok, vaksinasi influenza
dan pneumokokus, pengetahuan mengenai terapi terbaru teknik inhalasi dan
terapi dengan long-acting bronchodilator inhalasi dengan atau tanpa
kortikosteroid inhalasi, merupakan terapi untuk mengurangi eksaserbasi dan
perawatan di Rumah Sakit (Dahlan et al, 2012).
c. Pencegahan tersier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi.2

2.19. Komplikasi Penyakit Paru Obstrktif Kronis (PPOK)


Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah7:
a. Gagal nafas
1) Gagal nafas kronik
Hasil analisa gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal
2) Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik, ditandai oleh:
i. Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis

18
ii. Sputum bertambah dan purulen
iii. Demam
iv. Kesadaran menurun
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini
imunitas menjadi rendah, yang ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah
c. Kor pulmonal
Kor pulmonal ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematrokit > 50% dapat disertai
gagal jantung kanan.

2.20. Prognosis Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Prognosis keseluruhan untuk pasien PPOK bergantung pada keparahan obstruksi
aliran udara. Pasien dengan FEV1 < 0,8 L mempunyai angka mortalitas tahunan ~25%.
Pasien dengan kor pulmonal, hiperkapnia, kebiasaan merokok, dan penurunan berat
badan memiliki prognosis buruk. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal nafas
akut, embolus paru, atau aritmia jantung.13

19
BAB 3

KESIMPULAN

Risiko mengalami pneumonia bervariasi pada setiap individu, berhubungan dengan


merokok, infeksi virus yang mendahului, ganguan menelan, gangguan kesadaran dan ingatan
misalnya stroke, dementia, penyait kronik seperti diabetes melitus, PPOK, penyakit jantung
dan ginjal, gangguan imunitas misalnya kanker, dan hidup di panti jompo. Pneumonia
terutama terjadi pada orang dengan adanya 1 atau lebih penyakit dasar yang mengangu daya
tahan tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpai sebagai komorbiditas pada orang-orang
lanjut usia (lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronis.

Penyebab tersering pada eksaserbasi akut adalah infeksi pada saluran nafas
trakeobronkhial (virus atau bakteri) dan polusi udara, namun pada sekitar sepertiga kasus
eksaserbasi akut tidak dapat diketahui penyebabnya. Melakukan penanganan yang tepat pada
Pneumonia, akan memperbaiki prognosis dan mengurangi angka kematian. Kematian
biasanya terjadi akibat infeksi, gagal nafas akut, embolus paru, atau aritmia jantung

20

Anda mungkin juga menyukai