Anda di halaman 1dari 6

Pagi. Setetes embun yang terjatuh dari sebuah daun. Masih tersisa beberapa tetes lainnya.

Sebelum berakhir, sebelum matahari menaik dan menyerap lewat panasnya, teramat sayang
untuk dibiarkan. Butiran-butiran embun bagaikan kristal dengan ruang penuh imajinasi di
dalamnya.

Warna kemerahan sudah terlihat di bagian Timur. Tubuh bukit mulai menampak. Kabut yang
perlahan menurun dan menghilang. Awan putih di langit. Cerah sekali. Pada ruang kosongnya,
menembus ke langit biru.

Ini hari Sabtu. Entah tanggal berapa. Tapi pastilah hari ini, ketika janji siap untuk ditepati. Dari
goresan tiap kata yang terlahir, dari awal perkenalan, hingga pada akhirnya kata-kata mengalir,
menjadi ruang penyejuk dalam jiwa. Memainkan imajinasi dan rasa. Kosong dan menyiksa, bila
dalam perjalanan hari, tiada kata tersapa. Darinya.

Perempuan itu telah siap. Telah keluar dari rumahnya yang mungil. Masih berdiri di pagar
rumah. Menanti taksi yang segera menjemputnya. Tidak banyak barang bawaannya. Hanya
sebuah travel bag. Cukuplah. Cukup aneh pula sebenarnya bagi seorang perempuan yang
biasanya membawa dua tas besar-pun masih terasa kurang.

Menunggu taksi datang, ia keluarkan handphone tuanya. Terbuka memopad, matanya seksama
memandangi kata-kata yang mulai tereja dari sela bibirnya yang mungil. Tak perlu mengeja
seperti anak sekolah, tapi ia merasa lebih mantap mengeja. Menggerakkan bibir, seakan
menggerakkan seluruh energi bahagianya.

Aku merindukanmu dengan segala rupa hari ketika pagi, siang dan malamnya.
Maka siapakah yag bisa menghalangi gelora cinta bila ia telah membuih hingga samudera
kehilangan buihnya, haha. Tak ada. Tidak kau, dia, atau siapa saja. Kecuali oleh mereka yang
tak menerima rasanya.
Sebab sederhana itu meringankan, maka aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Sebab
embun itu sederhana, bening, juga menyejukkan maka kita jadikan cinta kita embun. Sebab kau
embun, maka ingin mencintaimu dengan sederhana.

Ya, itulah kata-kata yang terlontar dari seorang lelaki. Disampaikan semalam. Ia simpan dalam
dekapan. Dan tentu saja tersimpan dalam HP tuanya.

Hampir setahun tampaknya, namun telah bertahun terasa mengenalnya. Pengembaraan


jiwanya bertahun telah merasa menemukan dermaga untuk melabuhkan dirinya. Bagaimanakah
rupa sang lelaki itu? Benarkah sosok-sosok yang ditampilkannya lewat foto-foto ataupun lewat
webcam? Apakah kata-katanya patut dipercaya? Jangan-jangan ia sudah beristri? Jangan-
jangan telah memiliki beberapa anak? Ah, ia sisihkan segala keraguan di saat pertemuan
tinggallah menunggu hitungan jam. Ia harus menanamkan kepercayaan. Jangan lagi muncul
keraguan. Torehan kata-kata setiap harinya telah melekat di dalam kepala, di dalam hati,
menjadi kesatuan dalam dirinya.

Perempuan itu membuka rekaman kata-katanya ketika menjawab kata-kata lelaki itu:
Kukatakan padamu, kelak sinar mentari akan kita nikmati bersama
sembari kita minum kopi dan saling memeluk bahu
sebab samudra tak cukup luas tuk pisahkan kita
sebab langit kita sama dan angin selalu mempertemukan jiwa kita kemanapun kita
mengembara
Kukatakan padamu, kelak kita akan berdiri bersisian
sembari kita memandang hujan teteskan rintiknya
sebab kau dan aku saling mengukir nama di jiwa-jiwa kita
dan kurasakan sehelai daun jatuh ke bumi di tempatmu saat kau hembuskan namaku padanya

Ya, lelaki itu. Lelaki yang kelak akan menjadi tumpahan segala rasa di mana ia akan serahkan
segala-galanya, termasuk mengarungi perjalanan hidup yang beraneka. Ia merasa telah siap.

***

Di belahan bumi yang lain. Di sebrang samudra. Pada saat yang sama, seorang lelaki muda,
masih berada di pembaringannya. Ia menatap langit-langit. Tetap tak berubah sejak ia
menempati kamar ini. Namun bayangannya menembus langit-langit, membayangkan seorang
perempuan muda, yang baru saja mengirimkan sms kepadanya. Sayang, aku telah berangkat.
Telah tiba di bandara. Siap mengangkasa, bermain dan berloncatan di awan. Ah, seandainya
saja perjalanan ini bersama dirimu, tentulah bahagia rasanya. Tunggulah aku, segera tiba

Ia melirik jam weker di samping tempat tidurnya. Ah, masih lima-enam jam lagi, Kembali
matanya menatap ke atas, memandang langit-langit. Menembusnya kembali melewati lorong
waktu untuk menyibak berbagai peristiwa perbincangan melalui layar monitor. Kata-kata yang
mengalir jernih di anak sungai dengan ketinggian yang tidak pernah melebihi batas sungai.
Sosok penuh senyum yang terlempar ribuan kilometer yang hingga di kamar ini. Atau melalui
sms ke handphonenya.

Dunia kamar telah mempertemukan dua insan yang berjauhan jaraknya menjadi tidak lebih dari
30 cm dari pandangan mata. Pertemuan yang diawali dari sebuah blog keroyokan, ketika
perempuan itu hadir dengan sebuah puisinya yang menyisakan kegetiran bagi pembacanya.
Ah, ia torehkan komentar. Berbalas. Saling berbalas. Seperti chatting rasanya. Ah, gak perduli
dengan pembaca yang lain, akhirnya lebih dari 100 komentar tertera. Hanya mereka berdua.
Ingin rasanya tertawa merasakan kegilaan semacam itu.

Berlanjut pesan lewat inbox. Add di jejaring sosial Facebook. Chatting. YM. Skype. HP. Tak
ada alat komunikasi murah yang tidak tergunakan. Wah, luar biasa teknologi ini. Membuat
dunia tanpa batas. Terbentang sepanjang samudra, gunung, bukit, danau, sungai, hutan. Tak
perlu paspor dan biaya mahal. Tidak lebih dari dari 10,000 yang bisa terpuaskan untuk
berkomunikasi.

Ah, terima kasih kepada Cooke dan Wheatstone yang telah menemukan telegram pada tahun
1836. Terima kasih pada Alexander Graham Bell yang telah menemukan telpon pada tahun
1876. Berawal dari penemuan keduanya, revolusi komunikasi telah dimulai. Apalagi pada saat
perang dingin antara Uni Sovyet dan Amerika. Amerika yang merasa kebakaran jenggot
(walaupun tak punya jenggot) lantaran Uni Soviet dengan mulus berhasil meluncurkan
Spuniknya ke angkasa. Membuat ambisi Amerika mengembangkan research habis-habisan
yang pada akhirnya melahirkan komunikasi internet yang luar biasa bergunanya bagi manusia.

Ya, seperti lelaki dan perempuan ini. Tiada hambatan berarti dalam komunikasi. Kecuali mati
listrik. Bisa menjadi seperti neraka. Aarrrrrgggghhh

Lelaki itu teringat, perjumpaan awal di akhir Juni. Pada saat itu, ia teringat dengan sebuah puisi
yang juga sudah dilantunkan menjadi lagu yang bisa menyentuh dan memainkan irama hati.
Puisi yang sering lekat dalam surat-surat undangan pernikahan. Ya, itulah puisi Sapardi Djoko
Damono: Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api
Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana


Dengan isyarat yang tak sempat diucapkan
Awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada

Ah, kini telah kembali ke bulan Juni. Hampir genap setahun. Kembali ia teringat sebuah puisi
Sapardi Djoko Damono pula. Hujan Bulan Juni.

Walau tiada hujan yang turun bulan ini, tapi terasa indah sekali untuk membaca dan
mendengarkan lantunan irama lagunya. Lelaki itu bangkit, menyalahkan laptopnya, membuka
file lagu-lagunya, dan terdengarlah suara Reda Gaudiamo dan Ari Malibu.

tak ada yang lebih tabah


dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

***

Perempuan itu duduk di dekat jendela. Matanya bebas memandang awan-awan dengan
bangunan yang beragam. Ia seakan melihat sebuah istana awan. Berpakaian putih-putih
bagaikan putri dari khayangan, diiringi para dayang melangkah pelan mengililingi tembok
istana. Kolam awan, sesekali beriak. Iseng ia mengambil segenggam awan, melemparkannya
ke udara. Memandang kemana akan terjatuh. Mengulang. Wajah berseri-seri. Para dayang
mengikuti tingkah sang putri. Mereka melempar awan, melayang-layang dipermainkan angin,
dan jatuh berserakan tidak mengarah ke mana lemparan tertuju. Mereka tampak tertawa-tawa.
Sang putri iseng melempar awan ke tubuh salah satu dayang. Dayang yang lain mengikuti.
Satu sama lain kemudian saling melempar awan. Tiada peduli panas yang semakin terik. Atap
langit, matahari terbuka. Tapi tetap saja keluar tawa bahagia.

Ah teringat perempuan itu. Sebelum boarding ia menuliskan kata-kata yang akan


diucapkannya nanti kepada sang lelaki.

* * *Hamparan padang rumput nan hijau. Dua kuda putih berlari kecil. Lelaki. Perempuan.
Mereka melepas matahari yang hampir terjatuh. Angin semilir memainkan dedaunan yang telah
runtuh dari batangnya. Bunga-bunga rumput bergoyang-goyang.

Di atas bukit. Mereka berhenti. Turun dari kuda. Menyaksikan lekuk tubuh perbukitan yang
menari. Mereka saling menggenggam tangan dan memainkan jemari. Mata mereka lepas ke
depan. Tiada kata. Hening dalam irama desir angin yang lewat di telinga.

Lelaki itu teringat, tentang bait-bait menjelang ketetapan. Sang perempuan melemparkan kesah
kepadanya:

Sebab kita tak punya pilihan lain. Sebab kita tak bisa menikah karena kita berbeda. Sebab kau
tak ingin aku memeluk agamamu hanya karena ingin menikah denganmu.Sebab aku tak ingin
kau memeluk agamaku hanya karena ingin menikah denganku. Sebab aku tak ingin melakukan
dosa saat berdekatan denganmu dengan rasa rindu yang menyesakkan ini..

Ah, setelah berulang kali kata bersambut, mereka pada akhirnya tiba pada keyakinan bahwa
mereka saling mencinta walau tak pernah berjumpa, kecuali di dunia maya. Tapi apa lagikah
yang bisa dipercaya pada ini masa? Keyakinan, itulah yang terdalam harus tergenggam.
Keduanya merasa sangat yakin. Menjadi kekuatan batin.

Mereka masih saja terdiam. Angin mengeras. Memainkan rambut perempuan yang lepas dari
ikatan. Terlempar ke depan, menutupi wajah. Sang lelaki menyingkapnya. Pandangan mata
beradu. Tak ingin mengelak. Perlahan terpejam bersamaan dengan wajah yang saling
mendekat.

Angin makin kencang menjelma badai. Kuda berlari menjauh. Hujanpun turun dengan
derasnya. Tergesa mereka berlari, mencari tempat untuk berteduh entah di mana. Perempuan
tiba-tiba terpeleset, jatuh ke bibir jurang. Beruntung cepat tertangkap sang lelaki. Hujan
menderas. Jalan licin. Sang lelaki merasa turut terjatuh.

Ia membuka mata. Masih di kamar. Dilihat jam weker. Ah, tinggal satu jam. Ia segera bangkit.
Menghambur ke kamar mandi. Pasti terlambat lantaran perjalanan tidak bisa diprediksi. Paling
cepat satu setengah jam. Ah, pastilah perempuan itu resah menunggu.

***
Ya, perempuan itu telah menunggu. Sejak tadi ia duduk di kursi di deretan terdepan.
Memandang bus-bus yang berhenti dan bergerak lagi. Memandang mobil-mobil yang tiada
henti berlalu. Ia keluarkan Hp-nya. Tak ada tanda pesan diterima. Ingkar janjikah ia?

Ia membuka hp, membuka kembali torehan kata-kata yang dibuatnya semalam menjelang tidur.
Entah mengapa, kata-kata itu meluncur begitu saja. Membuatnya terkejut ketika mengulang
membaca. Tapi ia tak ingin menghapusnya.

Seandainya saja saat ini atau esok hari sang maut menjemputku, kukira aku tetap akan
menyongsongnya dengan senyum mengembang di kedua sudut bibirku. Setidaknya, karena
aku telah menemukanmu.

Ah..

***

Berulang kali sang lelaki memaki dirinya sendiri. Setengah perjalanan baru tersadar ia tidak
membawa hp-nya. Ia tak bisa mengabarkan kepada sang perempuan yang tentunya telah
resah menunggu. Ia memacu kendaraannya dengan cepat. Kecepatan yang belum pernah ia
lakukan sebelumnya. Seperti orang kesetanan.

Melaju cepat, walaupun sudah tidak berada di jalan tol lagi. Orang-orang memaki sekaligus
menganggapnya sebagai orang gila yang bodoh. Ia telah memasuki terminal bandara, ia lihat
jam, sudah satu jam keterlambatannya. Ketika ia melihat ke depan, ia terkejut ketika ada
sesosok yang terlihat ragu untuk menyebrang jalan. Ia berusaha mengerem sekuatnya. Tapi
terlambat. Sosok itu telah terhantam kendaraannya.

Wajahnya memucat, orang-orang telah berkerumun dalam hitungan detik. Beberapa orang
telah menggedor-gedor pintunya. Ia segera membuka dan bersikap waspada dengan
kemungkinan akan di massa.

Seorang perempuan tergeletak, dengan hp di tangannya. Sebuah travel bag terlempar jauh ke
tengah.

Cepat, cepat, cepat. orang-orang bergegas, lelaki itu turut terdorong. Ia segera meraih
bagian tubuh atas perempuan itu. Mengambil HP yang masih ada dalam genggamannya.

Terlihat kata-kata yang dirasa tidak asing cara penuturannya:

Seandainya saja saat ini atau esok hari sang maut menjemputku, kukira aku tetap akan
menyongsongnya dengan senyum mengembang di kedua sudut bibirku. Setidaknya, karena
aku telah menemukanmu.

Mata lelaki itu berkunang-kunang. Untuk selanjutnya ia tidak bisa mengingat apa-apa lagi.

Anda mungkin juga menyukai