Anda di halaman 1dari 3

1

ZATOICHI DAN KELANA

Satu: Zatoichi

Zatoichi adalah salah satu pendekar favorit saya. Dengan tongkat-pedangnya yang bergerak
laksana kilat, pendekar buta ini menumpas si kuat yang menzalimi si lemah. Dengan jalan itu ia
memberikan keadilan bagi si lemah.

Zatoichi hampir tidak pernah menangis. Bukan karena hidupnya jauh dari kepedihan. Ia justru
basah kuyup dengan kepedihan, baik yang menimpa sesamanya yang lemah, maupun dirinya.
Bukan pula karena kekerasan hatinya. Sebaliknya, ia berhati lembut. Perasaannya halus. Zatoichi
hampir tidak pernah menangis karena ia berhasil menjaga jarak dengan dirinya sendiri.

Tapi ada saat-saat manakala Zatoichi menangis. Pertama adalah ketika ia berhadapan dengan
seorang perempuan yang tulus mencintainya. Zatoichi merasa tidak layak. Ia seorang yang cacat,
buta, kendati nalurinya begitu tajam. Ia seorang penjudi, meski selalu menang. Tangannya
berlumuran darah, meski bukan darah orang yang tak bersalah. Maut senantiasa mengawal jejak
langkahnya. Dalam pada itu ia mengagungkan sosok perempuan. Apakah yang dapat diharapkan
seorang perempuan dari orang macam dirinya? Zatoichi menangis, meski tidak mengeluarkan air
mata. Ia siap mengubur tongkat-pedangnya untuk selamanya.

Kedua adalah ketika ia mendapati bahwa perempuan yang tulus mencintainya, yang akan segera
menjadi isterinya, mati karena diperkosa dan dianiaya oleh para laki-laki durjana. Harapan baru
tumbuh, asa baru bertunas. Ia siap meninggalkan jalan hidup yang lama dan menempuh jalan
hidup yang baru bersama dengan seorang perempuan yang tulus mencintainya, menerimanya
apa adanya. Tapi tangan-tangan jahat telah memetik bunga yang mahaindah itu dengan paksa
dan membinasakannya. Zatoichi menangis, meski tidak mengeluarkan air mata. Tongkat-
pedangnya kembali berkelebat, menghirup darah manusia-manusia laknat.

Zatoichi menangis karena cinta seorang perempuan. Cinta yang epik, cinta yang bermuara dalam
tragedi.

Dua: Kelana

Namanya Kelana. Kelana Jakasurya. Temanku baikku ini cenderung analitis, rasional dalam
melihat hampir segala persoalan. Kelihatan selalu tenang, amat sangat jarang kulihat ia
menampakkan sisi emosionalnya. Yang menjengkelkan bagiku, ia terkesan acuh tak acuh, jauh
dari peduli kepada orang lain sejauh itu menyangkut hubungan-hubungan personal.

Tetapi kemarin, kupikir telah terjadi sebuah lompatan kualitatif. Dialektika memang selalu
bekerja dengan caranya sendiri. Kulihat temanku yang biasa tenang dan acuh tak acuh itu sangat
gelisah. Sebentar-sebentar ia memeriksa WA-nya. Mengirim chat WA. Menelpon entah siapa.
Mondar-mandir ia keluar-masuk rumah. Pergi ke halaman, kembali ke ruang kerja kami, keluar
rumah dengan sepeda motor. Tulisan yang baru separuh di layar monitor komputernya tidak
kunjung rampung juga. Teman baikku ini sedang gelisah.
2

Tolong hubungi Mas, tolong beritahu keadaanmu kepada Mas, begitu gumamnya sekian
banyak kali di hadapan layar ponsel pintarnya. Tapi agaknya ia tak kunjung dihubungi.
Nyatanya, ia terus cemas. Gelisah sepanjang malam. Sementara mataku yang mengantuk
menyuruhku untuk pergi ke alam mimpi, ia masih terjaga. Pukul empat aku bangun untuk pipis,
ia masih terjaga. Kulanjutkan tidurku, ia masih terjaga. Pukul enam aku bangun, ia masih terjaga
dan gelisah.

Nggak tidur, Lo? tanyaku, retorik.


Nggak, jawabnya pendek.
Kenapa? tanyaku lagi.
Menunggu kabar Dede, jawabnya.
Sejak tadi malam setengah sembilan itu? tanyaku.
Iya, jawabnya singkat.
Ada apa dengan Dede? tanyaku lagi.
Aku nggak tahu. Kalau aku tahu aku nggak gelisah kayak begini, jawabnya.
Di mana Dede sekarang? tanyaku.
Aku nggak tahu. Kalau aku tahu aku nggak gelisah kayak begini, jawabnya, sama dengan
sebelumnya.
Dia nggak ngontak kamu? tanyaku lagi. Pertanyaan bodoh.
Nggak, jawabnya singkat.
Ngopi dulu, yuk, ajakku. Biar pikiranmu tenang. Sepertinya untuk sejurus waktu lupa bahwa
aku pendeta. Bukan ayat Alkitab atau ajakan berdoa, tetapi kopi yang kutawarkan.
Aku kuatir Dede kenapa-kenapa, jawabnya, tanpa mengiyakan atau menolak tawaran kopiku.
Sudah coba kontak? tanyaku.
Sejak semalam, jawabnya.
Jadi Lo begadang nungguin dia? tanyaku.
Iya, jawabnya.
Sudah, nggak usah kuatir. Serahkan segala kekuatiranmu kepada Tuhan, kataku, memberi
nasihat khas orang beriman.
Dia diam saja. Aku ke dapur, menyeduh kopi.

Ketika aku balik, kulihat ia berubah. Sudah tidak gelisah. Kecemasan di wajahnya sudah
digantikan dengan kegembiraan. Sumringah dia.

Gimana? tanyaku.
Dede barusan kontak. Sudah sampai di tempat. Perjalanan panjang. HP-nya sempat
bermasalah, katanya.
Syukur deh. Lo udah nggak gelisah lagi, kan?
Gue udah lega. Puji Tuhan, katanya. Baru kali ini kudengar perkataan yang terakhir itu.

Kelana orang rasional. Kali ini tidak. Semalaman bedagang tidak menghasilkan apa-apa
menurutku tidak rasional. Kelana biasanya cuek. Kali ini tidak. Ia perhatian. Ia menyayangi
Dede. Karena sayang jadi perhatian. Meski sampai segitunya, manusiawi sih. Kuhirup kopiku
lalu bergegas pergi, penelitian.
3

Sore hari ketika aku pulang dari penelitian, kulihat sobatku ini meringkuk di tempat tidur.
Menggigil. Demam, meriang karena tidak tidur semalaman. Rasakan saja. Bukankah Bang
Oma Irama sudah memperingatkannya? Sudah minum obat, Bro? tanyaku sambil melangkah
ke dapur untuk menyeduh kopi.

Kelana bukan Zatoichi. Beda, beda sekali. Tapi menarik. Zatoichi menangis karena cinta yang
epik dan tragis, Kelana gelisah dan begadangan karena sayang.

Aku menyeduh kopi karena pingin ngopi. ***

Padepokan Banyu Bening, 10/10/2017

Anda mungkin juga menyukai