Anda di halaman 1dari 54

Diskusi kasus Muara Enim, Oktober 2017

Diabetes Melitus tipe 1

Disusun oleh : dr. Agus Salim

Pembimbing : dr. Isnada, Sp. A

Pendamping : dr. Vivin J. Susilo

dr. Rahmaniah

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD DR. H. MOHAMMAD RABAIN MUARA ENIM
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul

Diabetes Melitus tipe 1

Oleh:

dr. Agus Salim

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di RSUD
Dr. H. Mohammad Rabain Muara Enim

Palembang, Oktober 2017

Dr. Isnada, Sp.A

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulisan makalah diskusi kasus yang berjudul Diabetes
Melitus tipe 1 ini dapat diselesaikan. Laporan kasus ini diajukan untuk
memenuhi syarat guna mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia, RSUD Dr.
H. Mohammad Rabain Muara Enim.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian diskusi kasus ini,
terutama kepada yang terhormat dr. Isnada, Sp.A atas bimbingan dan arahan yang
telah diberikan dalam pembuatan laporan kasus dan kepada pembimbing kegiatan
internsip dr. Vivin J. Susilo dan dr. Rahmaniah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan.
Akhir kata, semoga makalah diskusi kasus ini membawa manfaat bagi
banyak pihak dan semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.

Muara Enim, Oktober 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... 1

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4

BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................. 5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 12

BAB IV PEMBAHASAN...................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 35

3
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) adalah kumpulan gejala akibat gangguan metabolisme


yang ditandai oleh tingginya kadar glukosa darah. Hiperglikemia terjadi akibat resistensi
sel tubuh terhadap aktivitas insulin, defisiensi insulin, atau keduanya. Biasanya pada
kondisi ini terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Mortalitas dan
morbiditas pada diabetes terjadi akibat gangguan metabolisme akut, komplikasi jangka
panjang yang mempengaruhi pembuluh darah makro maupun mikro sehingga
menyebabkan retinopati, nefropati, neuropati, penyakit jantung iskemik, dan obstruksi
arteri yang menyebabkan gangren pada ektremitas bawah (diabetic foot).1,2

Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Chakrata dan Susruta (600 SM), dua
orang dokter asal india, yang berjasa untuk pertama kalinya mengobservasi dan
mengemukakan bahwa diabetes bukanlah sebuah penyakit dengan gejala dan penyebab
yang tunggal. Pada abad 18 19 variasi dari gejala klinik dari penyakit DM
diindetifikasikan dengan gejala glukosuria berat yang biasanya dideteksi pada orang
dewasa, dan dihubungkan dengan kelebihan berat badan dibandingkan dengan
kekurangan gizi, yang sekarang dikenali sebagai diabetes tipe 2.3,4

Diabetes melitus pada anak bukanlah sebuah kelainan yang sering di temui
dalam praktek klinis sehari-hari. prevalensinya hanya 3% di Inggris, dan menurut
beberapa literatur lain hanyalah 2-5% dari seluruh populasi. Insiden di Indonesia
sampai saat ini belum diketahui. Namun dari data registry nasional untuk penyakit
DM pada anak dari UKK Endokrinologi PP IDAI, terjadi peningkatan jumlah dari
200-anak dengan DM pada tahun 2008 menjadi 580-an pasien pada tahun 2011.

4
Sangat dimungkinkan angkanya lebih tinggi apabila kita merujuk pada
kemungkinan anak dengan DM yang meninggal tanpa terdiagnosis sebagai
ketoasidosis diabetikum ataupun belum semua pasien DM tipe 1 yang
dilaporkan.1,2,3,4

BAB II
STATUS PASIEN

I. Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis, 14 September 2017)


Identifikasi
- Nama Lengkap : an. NA
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Tanggal Lahir/umur : 17 Juni 2006 / 11 tahun
- Alamat : Ds. Tanjung Raman, Muara Enim
- Ayah : Tn. ED
- Ibu : Ny. M
- Agama : Islam
Medical record
- No. Reg RS : 215905
- Ruang : Bangsal Anak RSUD HM Rabbain
- MRS tanggal : 29/08/17
- Tanggal pemeriksaan : 14/09/17

Keluhan utama: Badan lemas

Keluhan tambahan: Muntah

Riwayat perjalanan penyakit:


7 hari SMRS, os mengaku pingsan saat mengikuti upacara bendera di
sekolah. Os mengaku sesak napas, sesak hilang timbul, tidak dipengaruhi cuaca,

5
dingin, debu, dan aktivitas. Mengi disangkal. Batuk disangkal. Demam disangkal.
Kejang disangkal. Kelemahan sesisi tubuh disangkal. Os dibawa ke puskesmas,
dikatakan kelelahan akibat upacara, os diberi obat dan disarankan istirahat di
rumah dan kontrol ke puskesmas jika keluhan masih ada.
1 tahun yang lalu, os mengaku sering BAK, nyeri saat BAK disangkal, os
mengaku sering terbangun malam hari untuk BAK dan sering mengompol. Sering
lapar disangkal. Sering haus disangkal. Orang tua os mengaku berat badan os
tidak naik-naik, namun penurunan berat badan disangkal. Os mengaku badan
sering merasa lemas. Os juga mengaku merasa letih, lesu, dan lemah. Riwayat
batuk lama disangkal. Kontak dengan penderita batuk lama disangkal.
1 hari SMRS, os mengaku badan semakin lemas. Os mengaku mual,
muntah frekuensi 4 kali dalam sehari, banyaknya 1-2 sendok makan, isi cairan
warna kuning. Os mengaku nyeri perut terus menerus yang terutama dirasakan di
ulu hati. Os mengaku sesak yang terus menerus, tidak dipengaruhi cuaca, dingin,
debu, dan aktivitas. Mengi disangkal. Batuk disangkal. Penurunan kesadaran
disangkal, bicara meracau disangkal, perasaan mengantuk yang dalam disangkal.
Os kemudian dibawa orangtua os berobat ke IGD RSUD HM Rabain Muara
Enim.

Riwayat penyakit dahulu :


Os dalam terapi OAT 1 bulan.

Riwayat sosial ekonomi


Pasien adalah anak dari seorang ibu rumah tangga dan bapak buruh. Kesan :
sosioekonomi menegah ke bawah.

Riwayat penyakit dalam keluarga :


Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

Riwayat Kehamilan Ibu dan Kelahiran Anak :

6
Pasien lahir spontan ditolong bidan dari ibu hamil Aterm, bayi lahir
langsung menangis, BBL 2,5 kg, PBL tidak ingat. Riwayat KPD (-), riwayat ibu
ketuban hijau (-), kental (-), bau (-).

Riwayat Makan
- ASI : lahir 6 bulan
- Susu formula : 6 bulan 1,5 tahun
- Nasi tim : 1,5 tahun - 2 tahun
- Nasi biasa : 2 tahun sekarang, frekuensi 3 kali sehari

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Motorik kasar
- Tengkurap : 7 bulan
- Duduk : 8 bulan
- Merangkak : 9 bulan
- Berdiri : 11 bulan
- Berjalan : 1 tahun
- Berbicara : 1 tahun 3 bulan
- Kesan : Perkembangan sesuai usia

Riwayat Imunisasi
A. Dasar B. Ulangan
Umur Umur Umur
BCG +
DPT1 + DPT2 + DPT3 +
Hib1 + Hib2 + Hib3 +
Polio 1 + Polio2 + Polio3 +
Hepatitis + Hepatitis + Hepatitis +
B1 B2 B3
Campak +
Dan -

7
lain-lain
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

II. Pemeriksaan Fisik (dilakukan pada tanggal 14/09/2017)


Status Generalikus
- Keadaan umum : tampak sakit ringan
- Kesadaran : Compos Mentis ; GCS E4V5M6
- Nadi : 88 x/menit
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 36,5o C
- Tinggi Badan : 130 cm
- Berat Badan : 20 kg

- Status Gizi :
BB/U : (20/37)x100% = 54%
TB/U : (130/144)x100% = 90,3%
BB/TB : (20/27)x100% = 74%
Kesan : Malnutrisi sedang

Keadaan Spesifik
Kepala : normocephali
- Rambut : warna hitam, mudah rontok (-)
- Wajah : pucat (-), edema (-)
- Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva palpebra pucat (+/+),
sklera Ikterik (-/-) eksoftalmus (-), pupil bulat isokor
3mm//3mm
- Hidung : Sekret (-), corpus alineum (-), deviasi septum (-)
- Telinga : MAE lapang, sekret (-), corpus alineum (-), nyeri tekan (-)
- Mulut : sianosis (-), stomatitis (-), cheilitis (-), atrofi papil lidah(-),
coated tounge (-), mukosa bibir kering (-)
- Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1

8
Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-)

Thoraks
- Pulmo
Inspeksi : Statis, dinding dada kanan kiri simetris. Dinamis,
pergerakan paru kanan sama dengan paru kiri, retraksi (-).
scar (-).
Palpasi : nyeri tekan (-). Stemfremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikular (+) normal kiri = kanan, rhonki (-), wheezing (-)
- Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : iktus kordis tidak teraba.
Perkusi : batas jantung dbn
Auskultasi : BJ I-II normal reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : datar, scar (-), venektasi (-), tampak massa (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal.
- Palpasi : Turgor kembali cepat (<2 detik), lemas, nyeri tekan (-)
epigastrium, hepar dan lien tidak teraba,ballottement (-).
- Perkusi : Timpani

Ekstremitas
- Atas : akral pucat (-), akral dingin (-) sianosis (-)
- Bawah : akral pucat (-), akral dingin (-), sianosis (-), edema
pretibial (-)

III. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Rutin dan Kimia (29 Agustus 2017)

9
Pemeriksaan Hasil
Hb 13,8 g/dL
Eritrosit 5,37x106/uL
Leukosit 19,60x103/uL
Hematokrit 39,9 %
Trombosit 517x103/uL
AT manual sesuai
MCV 74,3 fL
MCH 25,7 pg
MCHC 34,6 g/dL
Diff count
Neutrofil 85,0%
Limfosit 9,2%
Monosit 5,6%
Eosinofil 0,0%
Basofil 0,2%
Kimia Klinik
BSS 569 mg/dL
SGOT 71 U/L
SGPT 47 U/L
Natrium 132 mmol/L
Kalium 5,2 mmol/L
Chlorida 106 mmol/L
Magnesium 2,7 mg/dL
Calcium 13,1 mg/dL

Urinalisa (30 Agustus 2017)

Glukosa +1
Protein -

10
Bilirubin -
Urobilinogen -
Keton -
pH 6,0
Berat Jenis 1020
Nitrit -
Darah -
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Sedimen:
Leukosit 5-9 / LP
Eritrosit < 4 / LP
Sel Epitel Skuamosa: < 9 / LP
Silinder -
Kristal -
Lain-lain

IV. DIAGNOSIS
Diabetus Melitus Tipe 1 + TB Paru on therapy + KEP

VII. TATALAKSANA
Nonfarmakologis
- Terapi Gizi Medis
- Edukasi
Farmakologis
- IVFD NaCl 0,9% gtt X/m (makro)
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr IV
- Inj. Lansoprazole 1x15 mg IV
- 4 IU SC sebelum sarapan pagi
- Inj. Rapid insulin 5 IU SC sebelum makan siang
- 5 IU SC sebelum makan malam

11
- Inj. Long acting insulin 6 IU SC malam hari
- OAT 1x3 tab 4FDC

VIII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : Dubia ad Malam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad Bonam
- Quo ad sanactionam : Dubia ad Malam

IX. FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assessment Planning
29/08/17 Badan lemas Sens : Compos Mentis DLI + IVFD NS gtt XXX/m
demam GCS : E4V5M6 Gastritis + Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N: 122 x/m, RR: 26 KEP + TB Inj. PCT 3x200 mg
x/m, T: 37,70C Paru on Inj. Lansoprazole 1x15
Mata cekung (+/+), therapy mg
mukosa mulut kering OAT 1x3 tab 4FDC
(-), turgor kembali
lambat (>2s), nyeri
tekan epigastrium (+)

30/08/17 Badan lemas Sens : Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
demam GCS : E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N: 112 x/m, RR: 24 therapy Inj. PCT 3x200 mg
x/m, T: 370C KEP Inj. Lansoprazole 1x15
mg
OAT 1x3 tab 4FDC
Cek ulang BSS
31/8/17 Badan lemas Sens : Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
demam GCS : E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N: 112 x/m, RR: 24 therapy Inj. PCT 3x200 mg
0
x/m, T: 36,7 C KEP Inj. Lansoprazole 1x15
Hb: 10,5 mg

12
Leuko: 10,86 Inj. RI 3x(4-5-5) U
Trombo: 331 OAT 1x3 tab 4FDC
Ht:29,6 Rawat NICU
DC: 82/10/8/0/0
BSS 273 mg/dL
Hb: 10,5, leukosit:
10,86, trombo: 331,
RBC:4,17,Ht:29,6%
1/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 102 x/m, RR:22 therapy Inj. Lansoprazole 1x15
x/m, T: 36,40C KEP mg
Inj. RI 3x(4-5-5) U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
2/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x3 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
3/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
0
T: 36,3 C KEP mg
Inj. RI 3x(4-5-5) U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
4/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg

13
BSS:526mg/dL Inj. RI 3x(4-5-5) U
Hb: 8,5, leuko: 7,75, OAT 1x3 tab 4FDC
trombo:301, Monitor BSS
RBC:3,34, Ht: 24,7
5/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
BSS:363 mg/dL Inj. RI 3x(4-5-5) U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
6/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x(4-5-5) U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
7/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole
0
T: 36,3 C KEP 1x1/2
Inj. RI 3x(4-5-5) U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
8/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS

14
9/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
10/9/17 Badan lemas Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt XX/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
11/9/17 Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt X/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
12/9/17 Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt X/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
13/9/17 Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt X/m

15
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
15/9/17 Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt X/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
16/9/17 Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt X/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x 6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS
17/9/17 Sens: Compos Mentis DM Tipe I IVFD NS gtt X/m
GCS E4V5M6 TB Paru on Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
N; 98 x/m, RR:20 x/m, therapy Inj. Lansoprazole 1x15
T: 36,30C KEP mg
Inj. RI 3x (4-5-5) U
Inj. Levemir 1x6 U
OAT 1x3 tab 4FDC
Monitor BSS

BAB III

16
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini
disebabkan oleh kerusakan sel pankreas baik oleh proses autoimun maupun
idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin
yang rendah mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein.5
Autoantibodi yang berkaitan dengan diabetes adalah glutamicacid
decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); tyrosine phosphatase-like insulinoma
antigen 2 (IA2); insulin autoantibodies (IAA); dan -cell-specific zinc
transporter 8 autoantibodies (ZnT8). Ditemukannya satu atau lebih dari
autoantibodi ini membantu konfirmasi diagnosis DM tipe-1.5

I. DM Tipe-1 (destruksi sel- )


a. Immune mediated
b. Idiopatik
II. DM Tipe-2
III. DM Tipe lain
a. Defek genetik fungsi pankreas sel
1. Kromosom 12, HNF1A (MODY3)
2. Kromosom 7, GCK (MODY2)
3. Kromosom 20, HNF4B (MODY1)
4. Bentuk MODY yang jarang ditemukan, antara lain :
Kromosom 13, IPF-1 (MODY4)
Kromosom 17, HNF1B (MODY5)
Kromosom 2, NEUROD1 (MODY6)
Kromosom 2, KLF11 (MODY7)
Kromosom 9, CEL (MODY8)
Kromosom 7, PAX4 (MODY9)
5. DM neonatal transien (PLAGL1/HYMAI)
6. DM neonatal persisten (KCNJ11)
7. Mutasi DNA Mitokhondrial
8. Dan lain-lain
b. Defek genetik pada kerja insulin
Resisten insulin tipe-A
Leprechaunisme
Sindrom Rabson-Mendenhall

17
Diabetes Lipoatropik
Dan lain-lain
c. Kelainan eksokrin pankreas
Pankreatitis
Trauma/pankreatomi Neoplasia
Kistik fibrosis
Haemokhromatosis
Fibrokalkulus pankreatopati
Dan lain-lain
d. Gangguan endokrin
Akromegali
Sindrom Cushing
Glukagonoma
Paeokromositoma
Hipertiroidisme
Somatostatinoma
Aldosteronoma
Dan lain-lain
e. Terinduksi obat dan kimia
Vakor
Pentamidin
Asam Nikotinik
Glukokortikoid
Hormon tiroid
Diazoxid
Agonis -adrenergik
Tiazid
Dilantin
-interferon
Dan lain-lain
f. Infeksi
Rubela kongenital
Sitomegalovirus
Coksakie B4
Dan lain-lain
g. Diabetes jenis lain bentuk immune-mediated
Sindrom Stiff-man
Reseptor antibodi insulin
Sindrom poliendokrin autoimun defisiensi I dan II
Dan lain-lain
h. Sindrom genetik lain yang kadang-kadang berhubungan dengan diabetes
Sindrom Down
Sindrom Klinefelter
Sindrom Turner
Sindrom Wolfram
Ataksia Friedreich
Korea Huntington
Sindrom Laurence-Moon-Biedl
Distropi miotonik
Porpiria

18
Sindrom Prader-Willi
Dan lain-lain
IV. Diabetes mellitus kehamilan
CEL=carboxyl ester lipase; HNF= hepatocyte nuclear factor; IPEX= immunodysregulation
polyendocrinopathy enteropathy

X-linked syndrome; IPF= insulin promoter factor; KLF11= Kruppel-like factor 11; MODY= maturity-
onset diabetes of the young; PAX4 =Paired Domain gene 4

3.2 Epidemiologi
Insidensi DMT1 sebesar 5-10% dari semua kasus DM. Terdapat
beberapa perbedaan insidensi berdasarkan geografisnya, dengan insiden rata-
rata per tahun sebesar 40 per 100000 anak di Finlandia, <2 per 100000 anak di
Jepang, sedangkan di Indonesia belum ada data insidensi yang akurat.1,2
Insidensi pada anak laki-laki sebesar 21,1 per 100000 anak, sedikit lebih tinggi
daripada anak perempuan yaitu sebesar 19 per 100000 anak.1 Bukti adanya
etiologi autoimun dmt1 ditemukan pada 95% kasus, sisanya sebanyak 5% tidak
ditemukan adanya marker autoimun, oleh sebab itu diklasifikasikan sebagai DT
1B.2 Berdasarkan studi terbaru, insidensi DMT1 meningkat sebesar 40% dari
tahun 1997-2010.2 atau meningkat sebesar 3% setiap tahunnya.1 Peningakatan
ini terutama diduga karena adanya peranan lingkungan dalam epidemiologi
DMT1.1 DMT1 lebih sering terjadi pada kelompok umur 10-13 tahun dan
paling rendah pada kelompok umur 6-9 tahun. Kembar monozigotik memiliki
insidensiterkena DMT1 rata-rata 30%-50%, sedangkan kembar dizigotik
memiliki rata-rata terkena DMT1 sebesar 6%-10%. Sebanyak 18% kasus
DMT1 terjadi pada individu yang tidak meiliki riwayat DMT1 pada keluarga.
Perbedaan resiko yang terjadi juga dipengaruhi oleh orang tua yang menderita
DM. Anak-anak yang ibunya terkena DMT1 hanya beresiko sebesar 2% untuk
terjadinya DMT1, sedangkan anak-anak yang bapaknya menderita DMT1
memiliki resiko sebesar 7%.1

3.3 Patofisiologi
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya

19
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah
ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan
mereka dengan DM tipe 1. Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi
antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel
islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada
bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan protein
64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk
menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah
dijelaskan untuk bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi
64kDa diidentifikasi sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta
memproduksi antibodi IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang
ditemukan. Anehnya semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris,
dikenali GAD target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target
antigen utama pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan
penanda sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada
dalam individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk
mengembangkan disease.6,7,8,9,10

Gambar 1. Patomekanisme DM tipe 1

20
(Skema representasi respon autoimun terhadap sel pankreas. Suatu cedera terhadap pankreas menyebabkan
pelepasan antigen sel (GAD65), yang diambil oleh antigen-presenting cell (APC) dan epitop yang
diteruskan ke sel T CD4. Jenis dan tahapan aktivasi APC serta lingkungan sitokin, di mana penentuan jenis
sel T CD4 terjadi, menyebabkan diferensiasi sel T autoreaktif terhadap sel T helper-1 (Th1) diabetogenik, sel
Th2, atau antigen spesifik Sel T regulatorik. Respons autoimun Th1 yang dominan menyebabkan rekrutmen
dan diferensiasi sel CD8 sitotoksik, yang menyerang sel pankreas, yang menyebabkan pelepasan antigen sel
(Ag) secara besar-besaran, penyebaran epitop, dan penghancuran pulau pankreas. B, B lymphocyte; DC,
dendritic cell; M, macrophage; CTL, cytotoxic cell; TGF-, tumor growth factor; INF, interferon-; IL,
interleukin).
Gambar 2. (diadaptasi dari Casares S, Brumeanu TD: Insights into the pathogenesis of T1DM: A hint for
novel immunospecific therapies. Curr Molec Med 2001;1:357378).

Destruksi progresif sel-sel beta mengarah pada defisiensi insulin progresif.


Insulin merupakan hormon anabolik utama. Sekresi normal sebagai respons
terhadap makanan secara istimewa dimodulasi oleh mekanisme neural, hormonal
dan berkaitan substrat yang memungkinkan pengendalian penyusunan bahan
makanan yang dikonsumsi sebagai energi unutuk penggunaan segera atau dimasa
mendatang; mobilisasi energi selama keadaaan puasa tergantung pada kadar
insulin plasma yang rendah.
Kendatipun defisiensi insulin merupakan cacat primer, beberapa
perubahan sekunder yang melibatkan hormon stress (epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon) memperbesar kecepatan dan beratnya dekompensasi
metabolik. Peningkatan konsentrasi plasma dari hormon kontra-regulasi ini

21
memperberat kekacauan metabolik dengan mengganggu sekresi insulin
selanjutnya (epinefrin), mengantagonisme kerja insulin (epinefrin, kortisol,
hormon pertumbuhan), serta mempermudah glikogenolisis, glukoneogenesis,
lipolisis dan ketogenesis sambil menurunkan penggunaan glukosa serta clearance
ginjal. Semua perubahan normal ini kembali normal dengan terapi insulin yang
adekuat. Namun dapat dilakukan supresi selektif beberapa hormon kontra-
regulasi. Misalnya supresi glukagon, hormon pertumbuhan dan aliran darah organ
dalam oleh diabetes, memperlambat kecepatan perkembangan ke arah
ketoasidosis, serta mempermudah pengendalian metabolik.
Defisiensi insulin bersama dengan kadar epinefrin, kortisol, hormon
pertumbuhan dan glukagon plasma yang berlebihan, berakibat pada produksi
glukosa yang tak terkendali serta gangguan penggunaanya; akibatnya timbul
hiperglikemi dan peningkatan osmolalitas. Kombinasi defisiensi insulin dan
peningkatan kadar plasma hormon kontraregulasi juga bertanggung jawab atas
percepatan lipolisis dan ganguan sintesis lipid, yang berakibat peningkatan kadar
plasma lipid total, kolesterol, trigliserid dan asam lemak bebas. Keadaan
hormonal yang saling mempengaruhi antara defisiensi insulin dan kelebihan
glukaakan menmbulkan jalan pintas bagi asam lemak bebas untuk membentuk
keton; kecepatan pembentukan keton ini, terutama betahidroksibutirat dan
asetoasetat, melampui kapasitas pengunaan perifer serta ekskresi ginjal.
Akumulasi asam keton ini menimbulkan asidosis metabolik serta pernafasan
kompensasi yang cepat sebagai usaha mengekskresi kelebihan CO2 (pernafasan
kussmaul). Aseton yang dibentuk melalui konversi non-enzimatik asetoasetat,
bertanggung jawab atas timbulnya bau buah yang karakteristik pada pernafasan
ini. Keton diekskresi ke dalam kemih bersama-sama dengan kation, yang
selanjutnya meningkatkan kehilangan air dan elektrolit. Dengan dehidrasi
progresif, asidosis, hiperosmolaritas dan berkurangnya penggunaan oksigen otak,
maka terjadi gangguan kesadaran dan pasien akhirnya jatuh ke dalam koma.
Dengan demikian, defisiensi insulin menimbulkan suatu stasus katabolik yang
dalam-suatu kelaparan berat- dimana semua gambaran klinis awal dapat

22
dijelaskan atas dasar perubahan metabolisme perantara yang talah diketahui.
Keparahan dan lamanya gejala mencerminkan derajat insulinopenia.
Adanya gangguan dalam regulasi insulin, khususnya pada DM tipe 1 dapat
cepat menjadi diabetik ketoasidosis manakala terjadi : 1). Diabetes tipe 1 yang
tidak terdiagnosa 2). Ketidakseimbangan jumlah intake makanan dengan insulin
3). Adolescen dan pubertas 4). Aktivitas yang tidak terkontrol pada diabetes 5).
Stres yang berhubungan dengan penyakit, trauma, atau tekanan emosional.

Gangguan produksi atau gangguan reseptor insulin.

Penurunan proses penyimpanan glukosa dalam hati.
Penurunan kemampuan reseptor sel dalam uptake glukosa.

Kadar glukosa >>,.

Hiperosmolar dalam, peningkatan proses glikolisis dan glukoneogenesis

Proses pemekatan <<

Glukosuria shiff cairan intraseluler ekstraseluler

Pembentukan benda keton

Poliuria

Dehidrasi

Keseimbangan kalori negatif rangsang metabolisme anaerobic

Polifagia dan tenaga << asidosis

23
Kesadaran terganggu

Nutrisi : kurang dari kebutuhan ganguan kes. Cairan dan elektrolit

3.4 Perjalanan Penyakit


Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD:
1. Periode pra-diabetes
2. Periode manifestasi klinis
3. Periode honey moon
4. Periode ketergantungan insulin yang menetap
Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada
periode ini sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel -pankreas.
Predisposisi genetik tertentu memungkinkan terjadinya proses destruksi
ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai dengan mulai berkurangnya
sel -pankreas yang berfungsi. Kadar C-petide mulai menurun. Pada
periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
Periode Manifestasi Klinis
Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel -pankreas. Karena sekresi insulin
sangat kurang, maka kadar gula darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula
darah yang melebihi 180mg/dL akan menyebabkan dieresis osmotik.
Keadaan ini menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit
melalui urin (poliuri, dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat
di-uptake ke dalam sel, penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat
badan akan semakin kurus. Pada periode ini penderita memerlukan insulin
dari luar agar gula darah di-uptake ke dalam sel.
Periode Honey Moon
Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada
periode ini sisa-sisa sel -pankreas akan bekerja optimal sehingga akan

24
diproduksi insulin dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan
insulin dari luar tubuh akan berkurang hingga kurang dari 0,5
U/kgBB/hari. Namun periode ini hanya berlangsung sementara, bisa dalam
hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu adanya edukasi pada orang
tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang menetap.
Periode Ketergantungan Insulin yang Menetap
Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. pada
periode ini penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh
seumur hidupnya.

3.5 Diagnosis
Gejala klasik
Onset baru T1DM pada pasien anak biasanya akan memperlihatkan
gejala klasik seperti poliuri dan polidipsi (69%), polifagia dan kehilangan berat
badan (33%). Pasien dan keluarga biasanya melaporkan durasi gejala ini
sebnyak 1 sampai 2 kali dalam seminggu, terkadang dalam beberapa bulan.
Setelah itu gejala ini akan sering muncul setelah episode enuresis atau dengan
emergenci nocturia. Pasien akan mengeluhkan gejala yang sama-samar seperti
merasa kelelahan, dan penglihatan yang kabur. 6

Ketoasidosis Diabetikum
Pada beberapa kasus, pasien dengan onset baru T1DM akan datang
dengan ketoasidosis diabetikum. Anak-anak dan remaja ini cenderung
memperlihatkan gejala yang sama seperi (poliuria,polidipsi, polifagia dan
kehilangan berat badan), yang akan menjadi lebih buruk. Seperi asidosis pada
umumnya, pasien akan kehilangan nafsu makan, mual, muntah dan mengalami
nyeri perut sebagai gejala yang signifikan. Untuk mengimbangi terjadinya
perburukan ketoasidosis, akan terjadi hyperpnea ( pernafasan kusmaul). Jika
tidak ditangani, status neurologis secara progresif akan memburuk. Faktor
resiko DKA berhubungan dengan usia muda, terutama pada anak-anak yang

25
berusia < 2 tahun, minoritas etnik status, sosial ekonomi yang rendah dan
tingkat pendidikan orang tua

Kriteria diagnosis untuk diabetes melitus tipe 1, yaitu ;


1. Gejala klasik diabetes (poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan
berat badan, polifagia) ditambah dengan konsentrasi glukosa darah sewaktu
>200 mg/dl (11,1 mmol/l)
2. Gula darah puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol)
3. Gula darah 2 jam post prandial > 200 mg/dl (11,1 mmol/l) selama oral
glucose tolerance test (OGTT). Tes dilakukan sesuai prosedur WHO, yaitu
menggunakan glukosa sebanyak 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air.
4. Hb A1C > 6,5% (dengan standar NGSP dan DCCT)

Pada penderita yang asimtomatis dengan peningkatan kadar glukosa


plasma sewaktu (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan kadar glukosa
plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang terganggu. Diagnosis
tidak ditegakkan berdasarkan satu kali pemeriksaan.

Penilaian glukosa plasma puasa :


Normal : < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired fasting glucose =
IFG): 100125 mg/dL (5.66.9 mmol/L)
Diabetes : 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Penilaian tes toleransi glukosa oral :


Normal : <140 mg/dL (7.8 mmol/L)
Gangguan glukosa toleransi (Impaired glucose tolerance =IGT) :
140200 mg/dL (7.8<11.1 mmol/L)
Diabetes : 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

Oleh karena kriteria yang digunakan sama, penting untuk mengetahui


perbedaan karakteristik diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 , yaitu:7

26
No Karakteristik DM tipe 1 DM tipe 2
1 Onset usia Umumnya < 30 tahun Umumnya > 30
tahun
2 Berhubungan dengan Tidak Ya
obesitas
3 Kecenderungan terjadi Ya Tidak
ketoasidosis yang
membutuhkan insulin
sebagai control dan
survive
4 Kadar insulin dalam Sangat rendah mungkin Variatif ; dapat
plasma sampai tidak terdeteksi rendah, normal, atau
meningkat,
tergantung pada
derajat resistensi
insulin dan defek
sekresi insulin
5 Berhubungan dengan Ya Tidak
antigen HLA-D spesifik
6 Antibodi sel islet pada Ya Tidak
diagnosis
7 Patologi sel islet Insulitis, kehilangan sel Lebih kecil, normal
beta secara selektif sel islet ; umumnya
deposisi amyloid
8 Kecenderungan terjadi Ya Ya
komplikasi (retinopati,
nefropati, neuropati,
aterosklerosis, dan
penyakit
cardiovascular)
9 Respon terhadap obat Tidak Ya
oral antihiperglikemia

Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka perlu dilakukan


pemeriksaan penunjang, yaitu C-peptide 0.85 ng/ml. C-peptide ini merupakan
salah satu penanda banyaknya sel -pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan

27
lain adalah adanya autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic
acid decarboxylase autoantibodies (65K GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512
atau tyrosine posphatase) autoantibodies dan Insuline autoantibodies (IAA).
Adanya autoantibody mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun.
Sayangnya autoantibody ini relatif mahal.6

3.6 Pitfall dalam diagnosis


Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya
tidak terlalu khas dan mirip dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga
tidak menyadari kemungkinan penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1
yang ditemui ataupun belum pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak.5,12
Beberapa gejala yang sering menjadi pitfall dalam diagnosis DM tipe 1
pada anak di antaranya adalah :
1. Sering Kencing : Kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran kencing
atau terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini adalah
adanya enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak tidak pernah enuresis
lagi.
2. Berat badan turun atau tidak mau naik lagi : Kemungkinan diagnosis adalah
asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini
disebabkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita. Sering
pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberkulosis pada anak.
3. Sesak nafas : Kemungkinan diagnosanya adalah bronkopneumonia. Apabila
disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal gejala
sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah tipe Kusmaull (nafas
cepat dan dalam) yang sangat berbeda dengan tipe nafas pada
bronkopneumonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari ketoasidosis.
4. Nyeri perut : Seringkali dikira sebagai peritonitis atau appendicitis. Pada
penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis.
5. Tidak sadar : Keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada kemungkinan
diagnosis seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun cedera
kepala

28
3.7 Tatalaksana
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan
berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam
tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang optimal dalam jangka
pendek maupun jangka panjang (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical
Practice Concencus Guidelines. 2009).
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu :
1. Insulin
2. Diet
3. Aktivitas / exercise
4. Edukasi
5. Monitoring kontrol glikemik

1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita
DM tipe 1. Dalam pemberian insulin harus diperhatikan jenis insulin, dosis
insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis
yang diperlukan.
a. Jenis insulin : Kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja
cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin
campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah).
Penggunaan jenis insulin ini tergantung regimen yang digunakan.
b. Dosis Insulin : Dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1
Unit/KgBB pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya
akan diatur disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada
penyakitnya maupun pada penderitanya.
c. Regimen : Kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen
konvensional, serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix split
regimen dapat berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali
suntik/hari. Sedangkan regimen intensif berupa pemberian regimen

29
basal bolus. Pada regimen basal bolus dibedakan antara insulin yang
diberikan untuk memberikan dosis basal maupun dosis bolus.
d. Cara menyuntik : Terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik
dalam hal absorpsinya yaitu di daerah abdomen, lengan atas, lateral
paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling buruk
absorpsinya.
e. Penyesuain Dosis : Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari
beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun
usia pubertas (terkadang kebutuhan meningkat hingga 2
unit/KgBB/hari), kondisi stress maupun saat sakit.

Jenis Insulin
Sebelum era tahun 80-an, penggunaan insulin masih memakai
produk hasil purifikasi kelenjar pankreas babi atau sapi. Namun setelah
dikembangkannya teknologi DNA rekombinan, telah dihasilkan insulin
rekombinan manusia yang sudah digunakan secara luas saat ini. Insulin
rekombinan ini lebih disukai sebagai pilihan utama karena selain dapat
diproduksi secara luas juga mempunyai imunogenitas yang lebih rendah
dibandingkan insulin babi dan sapi. Tabel berikut memperlihatkan
berbagai jenis sediaan yang dapat dipakai sekaligus profil kerjanya.

Awita Puncak Lama


Jenis insulin
n kerja kerja
Kerja cepat (rapid acting) (jam) -
0,15 (jam) (jam)
1-3 3-5
(aspart, glulisine, dan 0,35
Kerja
lispro) pendek 0,5 - 2-4 5-8
Kerja menengah
(regular/soluble) 1-2 4 - 10 8 - 16
NPH 2-4 4 - 12 12 -
IZS lente type 3-4 6 - 15 18 -
Semilente
PH 24
Insulin basal 24
Glargine 2-4 Tidak 24*
Detemir 1-2 6 - 12 20 -
Kerja panjang ada 20 -
4-8 12 - 24 24
Ultralente type 30

30
Insulin campuran 16 -
0,5 1 - 12
Cepat-menengah 24
Pendek-menengah 0,5 1 - 12 16 -
24 insulin.
IZS= insulin zinc suspension; NPH= neutral protamine Hagedorn
*

Gambar 3. Profil farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog. Terlihat


lama kerja relatif berbagai jenis insulin. Lama kerjanya bervariasi antar dan intra
perorangan.

Para ahli sepakat bahwa insulin kerja panjang kurang sesuai untuk anak,
kecuali pada regimen basal bolus. Jenis insulin yang digunakan harus
disesuaikan dengan usia anak (proses tumbuh kembang anak), aspek
sosioekonomi (pendidikan dan kemampuan finansial), sosiokultural (sikap
muslim terhadap insulin babi), dan faktor distribusi obat.
Dua hal yang perlu penting dikenali pada pemberian insulin adalah efek
Somogyi dan efek Subuh (Dawn effect). Kedua efek tersebut
mengakibatkan hiperglikemia pada pagi hari, namun memerlukan
penanganan yang berbeda. Efek Somogyi terjadi sebagai kompensasi
terhadap hipoglikemia yang terjadi sebelumnya (rebound effect). Akibat

31
pemberian insulin yang berlebihan terjadi hipoglikemia pada malam hari
(jam 02.00-03.00) yang diikuti peningkatan sekresi hormon kontra-insulin
(hormon glikogenik). Sebaliknya efek subuh terjadi akibat kerja hormon-
hormon kontra insulin pada malam hari. Efek Somogyi memerlukan
penambahan makanan kecil sebelum tidur atau pengurangan dosis insulin
malam hari, sedangkan efek Subuh memerlukan penambahan dosis insulin
malam hari untuk menghindari hiperglikemia pagi hari.

Insulin kerja cepat (rapid acting)


Insulin monomer ini berupa larutan yang jernih, mempunyai awitan kerja
yang cepat (5-15 menit), puncak kerja 30-90 menit, dan lama kerja
berkisar 3-5 jam. Potensi dan efek hipoglikemi sama dengan insulin
reguler.

Gambar 4. Profil farmakokinetik insulin kerja cepat (rapidacting). Terlihat lama


kerja relatif 3-5 jam, dengan awitan kerja yang cepat 5-15 menit, dan puncak
kerja 30-90 menit.

Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat sangat efektif digu-
nakan:
Pada saat snack sore: akan menurunkan kadar glukosa darah yang biasa
terjadi saat sebelum makan malam pada pengguna regimen 2 kali sehari
yang dikombinasi dengan insulin kerja menengah.
Setelah makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah post prandial pada
anak pra-pubertas dengan kebiasaan makan yang sulit diramalkan (bayi,
balita, dan anak prasekolah).

32
Pada penggunaan CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) atau
pompa insulin.
Hiperglikemia dan ketosis saat sakit.
Jika perlu dapat diberikan segra sebelum makan, yang tidak saja mengatasi
hiperglikemia setelah makan juga hipoglikemia malam hari

Insulin kerja pendek (short acting)


Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal sebagai
insulin 'reguler'. Biasanya digunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti
ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah. Kadang-kadang juga
digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan, atau
kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali sehari.

Gambar 5. Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting). Terlihat


lama kerja relatif 5-8 jam, dengan awitan kerja 30 60 menit, dan puncak kerja
2-4 jam.

Penderita Dm tipe-1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan insulin


jenis ini untuk menghindari efek hipoglikemia akibat pola hidup dan pola
makan yang seringkali tidak teratur. Fleksibilitas penatalaksanaan pada
usia balita menuntut pemakaian insulin kerja pendek atau digabung
dengan insulin kerja menengah.

Insulin kerja menengah (intermediate acting)

33
Insulin jenis ini lebih sering digunakan untuk penderita yang telah
memiliki pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting
terutama untuk menghindari terjadinya episode hipoglikemia. Sebagian
besar diabetisi anak menggunakan insulin jenis ini.
DM tipe-1 usia bayi (0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum,
dan tidur) yang masih teratur sehingga lebih mudah mencapai kontrol
metabolik yang baik. Apabila orangtua segan untuk menggunakan regimen
insulin dengan insulin kerja menengah secara multipel (2 kali sehari),
penggunaan satu kali sehari masih dimungkinkan pada golongan usia ini
dengan terlebih dahulu memperhatikan efek insulin terhadap kontrol
metaboliknya.

Gambar 6. Profil farmakokinetik insulin kerja menengah (intermediate acting).


Terlihat lama kerja relatif 12 -24 jam, dengan awitan kerja 2-4 jam, dan puncak
kerja 4-12 jam.

Dua sediaan insulin kerja menengah yang saat ini tersedia adalah:
Isophane atau insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn).
Insulin Crystalline zinc-acetate (insulin lente).

Insulin kerja panjang (long acting)


Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa kerja
lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basal- bolus.
Profil kejanya pada diabetisi anak sangat bervariasi, dengan efek
akumulasi dosis.

34
itu penggunaan analog insulin basal mempunyai keunggulan dibandingkan
ultralente.

Gambar 7. Profil farmakokinetik insulin kerja panjang (long acting). Terlihat


lama kerja relatif 20-30 jam, dengan awitan kerja 4-8 jam, dan puncak kerja 12-
24 jam.

Insulin kerja campuran


Saat ini di Indonesia terdapat beberapa sediaan insulin campuran yang
mempunyai pola kerja bifasik; terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat
dan menengah, atau kerja pendek dan menengah yang sudah dikemas oleh
pabrik. Sediaan yang ada adalah kombinasi 30/70 artinya terdiri dari 30%
insulin kerja cepat atau pendek, dan 70% insulin kerja menengah.
Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita. Pemakaian
sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol
metabolik yang baik. Penggunaan sediaan ini banyak bermanfaat pada
kasus-kasus sebagai berikut:
Penderita muda dengan pendidikan orang tua yang rendah.
Penderita dengan masalah psikososial individu maupun pada keluarganya.
Para remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin campuran
yang rumit.
Penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil.

35
Gambar 8. Profil farmakokinetik insulin kerja campuran

Insulin basal analog


Insulin basal analog merupakan insulin jenis baru yang mempunyai kerja
panjang sampai dengan 24 jam. Di Indonesia saat ini sudah tersedia insulin
glargine dan detemir; keduanya mempunyai profil kerja yang lebih terduga
dengan variasi harian yang lebih stabil dibandingkan insulin NPH. Insulin
ini tidak direkomendasikan untuk anak-anak di bawah usia 6 tahun. Perlu
digaris bawahi, bahwa insulin glargine serta detemir tidak dapat dicampur
dengan insulin jenis lainnya.
Mengingat sifat kerjanya yang tidak mempunyai kadar puncak (peakless)
dengan lama kerja hingga 24 jam, maka glargine dan detemir
direkomendasikan sebagai insulin basal. Bila dibandingkan dengan NPH,
glargine dan detemir dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa dengan
lebih baik pada kelompok usia 5-16 tahun, namun secara keseluruhan
tidak memperbaiki kadar HbA1c secara bermakna. Insulin glargine dan
detemir juga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal berat.

Regimen insulin
Beberapa prinsip pemakaian insulin perlu dikemukakan terlebih
dahulu sebelum membahas regimen insulin.
1. Tujuan terapi insulin adalah menjamin ketersediaan kadar insulin yang
cukup di dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan sebagai
insulin basal maupun insulin koreksi dengan kadar yang lebih tinggi
(bolus) akibat efek glikemik makanan.
2. Regimen insulin sangat bersifat individual, sehingga tidak ada regimen
yang seragam untuk semua penderita DM tipe-1. Regimen apapun yang
digunakan bertujuan untuk mengikuti pola sekresi insulin orang normal

36
sehingga mampu menormalkan metabolisme gula atau minimal mendekati
normal. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1
3. Pemilihan regimen insulin harus memperhatikan beberapa faktor yaitu:
umur, lama menderita diabetes mellitus, gaya hidup penderita (pola
makan, jadwal latihan, sekolah, dsb), target kontrol metabolik, dan
kebiasaan individu maupun keluarganya.
4. Kecil kemungkinannya untuk mencapai normoglikemia pada anak dan
remaja dengan pemberian insulin satu kali per hari.
5. Regimen apapun yang digunakan, insulin tidak boleh dihentikan pada
keadaan sakit. Dosis insulin disesuaikan dengan sakit penderita dan
sebaiknya dikonsulkan kepada dokter.
6. Berdasarkan hasil Diabetes Control and Complication Trial (DCCT),
sukar sekali mencapai normoglikemia secara konsisten pada DM tipe-1.
Rerata HbA1c pada kelompok pengobatan intensif DCCT adalah 7-7,5%.
7. Konsep basal-bolus (misal: insulin pump, kombinasi pemberian insulin
basal 1-2 kali dan insulin kerja cepat atau kerja pendek sebagai bolus saat
makan utama/makanan kecil) mempunyai kemungkinan terbaik
menyerupai sekresi insulin fi siologis.
8. Bagi anak-anak sangat dianjurkan paling tidak menggunakan 2 kali
injeksi insulin per hari (campuran insulin kerja cepat/ pendek dengan
insulin basal).
9. Pada fase remisi seringkali hanya memerlukan 1 kali suntikan insulin
kerja menengah, panjang atau basal untuk mencapai kontrol metabolik
yang baik.

Split-Mix Regimen
Injeksi 1 kali sehari
Sering sekali tidak sesuai digunakan pada penderita DM tipe-1 anak
maupun remaja. Namun dapat diberikan untuk sementara pada saat fase
remisi. Regimen insulin yang dapat digunakan adalah insulin kerja

37
menengah atau kombinasi kerja cepat/pendek dengan insulin kerja
menengah
Injeksi 2 kali sehari
Digunakan campuran insulin kerja cepat/pendek dan kerja menengah yang
diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan malam. Dapat
menggunakan insulin campuran buatan pabrik atau mencampur
sendiri.Regimen ini biasa digunakan pada anak-anak yang lebih muda.
Injeksi 3 kali sehari
Insulin campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah diberikan
sebelum makan pagi, insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan
siang atau snack sore, dan insulin kerja menengah pada menjelang tidur
malam hari. Regimen ini biasa digunakan pada anak yang lebih tua dan
remaja yang kebutuhan insulinnya tidak terpenuhi dengan regimen 2 kali
sehari.

Basal-Bolus Regimen
Menggunakan insulin kerja cepat/pendek diberikan sebelum makan utama,
dengan insulin kerja menengah diberikan pada pagi dan malam hari, atau
dengan insulin basal (glargine, detemir) yang diberikan sekali sehari (pagi
atau malam hari). Regimen ini biasa digunakan pada anak remaja ataupun
dewasa. Komponen basal biasanya berkisar 40-60% dari kebutuhan total
insulin, yang dapat diberikan menjelang tidur malam atau sebelum makan
pagi atau siang, atau diberikan dua kali yakni sebelum makan pagi dan
makan malam; sisanya sebagai komponen bolus terbagi yang disuntikkan
20-30 menit sebelum makan bila menggunakan insulin reguler, atau segera
sebelum makan atau sesudah makan bila menggunakan analog insulin
kerja cepat.

Pompa Insulin
Hanya boleh menggunakan analog insulin kerja cepat yang deprogram
sebagai insulin basal sesuai kebutuhan penderita (biasanya 40-60% dari

38
dosis total insulin harian). Untuk koreksi hiperglikemia saat makan,
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1 diberikan dosis
insulin bolus yang diaktifkan oleh penderita.Regimen apapun yang
digunakan pemantauan glukosa darah secara mandiri di rumah sangat
dianjurkan untuk memudahkan dosis penyesuaian insulin ataupun diet.
Apabila tidak dapat menggunakan glukometer, maka pemeriksaan rutin
urin sehari-hari di rumah sudah cukup memadai. Keterbatasan
pemeriksaan urin reduksi perlu dipahami oleh tenaga medis sehingga tidak
mengambil kesimpulan yang keliru. Parameter obyektif keadaan
metabolisme glukosa darah yang dapat dipercaya saat ini adalah
pemeriksaan HbA1c serum, sehingga wajib dilakukan oleh penderita
setiap 3 bulan.

2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya
untuk mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri
dari 5055% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM
tipe 1 asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis
insulin yang diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori
perhari sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Pemberian diet ini
juga memperhatikan regimen yang digunakan. Pada regimen basal bolus,
pasien harus mengetahui rasio insulin:karbohidrat untuk menentukan dosis
pemberian insulin.
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia
pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari

Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55%


karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur),
dan 30-35% lemak.

39
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :
20% berupa makan pagi.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan siang.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan malam.
10% berupa makanan kecil.

3. Aktivitas / exercise
Olahraga sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan setiap orang, baik
anak, remaja, maupun, dewasa; baik penderita DM atau bukan. Olahraga
dapat membantu menurunkan berat badan, mempertahankan berat badan
ideal, dan meningkatkan rasa percaya diri. Untuk penderita DM berolahraga
dapat membantu untuk menurunkan kadar gula darah, menimbulkan perasaan
sehat atau well being, dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,
sehingga mengurangi kebutuhan insulin. Pada beberapa penelitian terlihat
bahwa olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung dan mengurangi
terjadinya komplikasi DM jangka panjang.
Bukan tidak mungkin bagi penderita DM untuk menjadi atlit olahraga
profesional. Banyak olahragawan/atlit terkenal di dunia yang ternyata adalah
penderita DM tipe-1. Namun, untuk penderita DM, terutama bagi yang tidak
terkontrol dengan baik, olah raga dapat menyebabkan timbulnya keadaan
yang tidak diinginkan seperti hiperglikemia sampai dengan ketoasidosis
diabetikum, makin beratnya komplikasi diabetik yang sudah dialami, dan
hipoglikemia. Sekitar 40% kejadian hipoglikemia pada penderita DM
dicetuskan oleh olahraga. Oleh karena itu penderita DM tipe-1 yang
memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga dengan intensitas
sedang-berat diharapkan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang
merawatnya sebelum memulai program olahraganya. Mereka diharapkan

40
memeriksakan status kesehatannya dengan cermat dan menyesuaikan
intensitas, serta lama olahraga dengan keadaan kesehatan saat itu.
Bagi penderita DM tipe-1 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebelum, selama, dan setelah berolahraga. Ada beberapa penyesuaian
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1 diet, insulin, dan
cara monitoring gula darah agar aman berolahraga, antara lain:
1. Sebelum berolah raga
a. Tentukan waktu, lama, jenis, intensitas olahraga. Diskusikan dengan
pelatih/guru olah raga dan konsultasikan dengan dokter.
b. Asupan karbohidrat dalam 1-3 jam sebelum olahraga.
c. Cek kontrol metabolik, minimal 2 kali sebelum berolahraga.
d. Kalau Gula Darah (GD) <90 mg/dL dan cenderung turun, tambahkan
ekstra karbohidrat.
e. Kalau GD 90-250 mg/dL, tidak diperlukan ekstra karbohidrat
(tergantung lama aktifi tas dan respons individual).
f. Kalau GD >250 mg/dL dan keton urin/darah (+), tunda olah raga sampai
GD normal dengan insulin.
g. Bila olah raga aerobik, perkirakan energi yang dikeluarkan dan tentukan
apakah penyesuaian insulin atau tambahan karbohidrat diperlukan.
h. Bila olah raga anaerobik atau olah raga saat panas, atau olahraga
kompetisi insulin dapat dinaikkan.
i. Pertimbangkan pemberian cairan untuk menjaga hidrasi (250 mL pada 20
menit sebelum olahraga).

2. Selama berolah raga


a. Monitor GD tiap 30 menit.
b. Teruskan asupan cairan (250 ml tiap 20-30 menit).
c. Konsumsi karbohidrat tiap 20-30 menit, bila diperlukan.

3. Setelah berolah raga

41
a. Monitor GD, termasuk sepanjang malam (terutama bila tidak biasa
dengan program olahraga yang sedang dijalani).
b. Pertimbangkan mengubah terapi insulin.
c. Pertimbangkan tambahan karbohidrat kerja lambat dalam 1-2 jam
setelah olahraga untuk menghindari hipoglikemia awitan lambat.
Hipoglikemia awitan lambat dapat terjadi dalam interval 2 x 24 jam
setelah latihan. Respons penderita DM tipe-1 terhadap suatu jenis
olahraga sangat individual, karena itu acuan di atas merupakan acuan
umum. Seorang atlit berpengalaman pun perlu waktu yang cukup lama,
untuk mendapatkan pola pengelolaan yang benar-benar sesuai untuk
jenis olahraganya.

4. Edukasi
Pendidikan merupakan unsur penting pengelolaan DM tipe-1, yang
harus dilakukan secara terus menerus dan bertahap sesuai tingkat
pengetahuan serta status sosial penderita/keluarga. Penderita maupun
keluarga harus disadarkan bahwa DM tipe-1 merupakan suatu life long
disease yang keberhasilan pengelolaannya sangat bergantung pada kemauan
penderita dan keluarganya untuk hidup dengan gaya hidup yang sehat.
Tujuan pendidikan adalah:
1. Menimbulkan pengertian dan pemahaman mengenai penyakit dan
komplikasinya.
2. Memotivasi penderita dan keluarganya agar patuh berobat.
3. Memberikan ketrampilan penanganan DM tipe-1.
4. Mengembangkan sikap positif terhadap penyakit sehingga tercermin
dalam pola hidup sehari-hari.
5. Mencapai kontrol metabolik yang baik sehingga terhindar dari
komplikasi.
6. Mengembangkan kemampuan untuk memberikan keputusan yang
tepat dan logis dalam pengelolaan sehari-hari.

42
7. Menyadarkan penderita bahwa DM tipe-1 bukanlah penghalang
untuk mencapai cita-cita.
Edukasi pertama dilakukan selama perawatan di rumah sakit meliputi:
pengetahuan dasar tentang DM tipe-1 (terutama perbedaan dasarnya dengan
tipe lain), pengaturan makanan, insulin (jenis, cara pemberian, efek samping
dll), dan pertolongan pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe-1
(hipoglikemia, pemberian insulin pada saat sakit).
Edukasi selanjutnya berlangsung selama konsultasi di poliklinik.
Penderita dan keluarganya juga diperkenalkan dengan keluarga lain penderita
DM tipe-1 (perkemahan) atau diperkenalkan dengan sumbersumber informasi
tentang DM tipe-1.

5. Monitoring kontrol glikemik


Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan
sudah baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki
kualitas hidup pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah
berkala dalam sehari. Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek
samping pemberian insulin, komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan
perkembangan perlu dipantau.

3.8 Komplikasi
Komplikasi DM tipe-1 dapat digolongkan sebagai komplikasi akut dan
komplikasi kronik baik reversibel maupun ireversibel. Sebagian besar

43
komplikasi akut bersifat reversibel sedangkan yang kronik bersifat ireversibel
tetapi perjalanan penyakitnya dapat diperlambat melalui intervensi. Secara
umum, komplikasi kronik disebabkan kelainan mikrovaskular (retinopati,
neuropati dan nefropati) dan makrovaskular. Berdasarkan hasil DCCT, dapat
disimpulkan bahwa komplikasi kronik pada penderita DM tipe 1 dapat
dihambat secara bermakna dengan kontrol metabolik yang baik. Perbedaan
HbA1c sebesar 1% sudah mengurangi risiko komplikasi sebanyak 25-50%.

Komplikasi jangka pendek


Komplikasi jangka pendek yang sering terjadi adalah hipoglikemia dan
ketoasidosis diabetikum (dibicarakan pada bab tersendiri). Hipoglikemia
dapat mengakibatkan kerusakan otak yang menetap. Batasan hipoglikemia
masih menjadi perdebatan karena masing-masing individu merasakan
dampaknya pada kadar gula darah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan
faktor-faktor penyebab hipoglikemia, pada anak yang lebih muda
(prasekolah) faktor penyebab dan dampaknya mungkin akan berbeda dari
anak yang lebih tua atau remaja. Yang penting adalah mengenali gejala
hipoglikemia karena apabila terjadi hipoglikemia berulang akan muncul
fenomena hypoglycemic unawareness. Insidens hipoglikemia dapat dihindari
dengan meningkatkan pemantauan gula darah.
Akibat kerja insulin yang berlebihan, dapat terjadi hipoglikemia berat
dengan gejala kejang, koma, bahkan kematian. Untuk menghindari
hipoglikemia berat sebenarnya tubuh sudah dibekali suatu sensor
hipoglikemia. Pada keadaan hipoglikemia ringan, tubuh akan memberikan
gejala dan tanda sehingga penderita akan bertindak (misalnya minum air
gula). Dengan melakukan tindakan sederhanatersebut penderita akan
terhindar dari efek hipoglikemia berat.
Walaupun demikian gejala dan tanda hipoglikemia harus dicatat dan
selalu ditanyakan kepada penderita. Keterangan tersebut kemudian dicocokan
dengan data hasil pemantauan mandiri glukosa darah. Apabila didapatkan
hasil glukosa darah yang rendah tetapi penderita tidak merasa apa-apa maka

44
perlu diwaspadai adanya hypoglycemic unawareness. Fenomena ini terjadi
akibat menurunnya ambang hipoglikemia seorang penderita DM tipe-1
sehingga penderita tidak akan merasakan gejala awal hipoglikemia, yang
tentunya akan membahayakan penderita.

Gejala hipoglikemia
Gejala klinis hipoglikemia bervariasi dan dibagi menjadi gejala
neurogenik dan gejala neuroglikopenia seperti dibawah ini:
Tabel. Gejala gejala hipoglikemia
Gejala neurogenik Gejala neuroglikopenia
berkeringat, lapar, parestesia di Pusing, iritabel, lemah, mengantuk,
sekitar mulut, tremor, takikardi, sakit kepala, gangguan
pucat, palpitasi, lemas, gelisah, penglihatan, bicara lamban dan
mual. pelo, vertigo dan dizziness,
kesulitan berpikir, lelah, perubahan
afektif (depresi, marah), bicara
ngaco, kejang, penurunan
kesadaran, koma.

Orangtua dan pengasuh biasanya akan melihat gejala-gejala awal


hipoglikemia pada anak berupa perubahan tingkah laku seperti iritabilitas,
pucat, dan berkeringat. Umumnya sebelum berlanjut menjadi hipoglikemia
berat, tubuh akan memberikan respon yang cepat apabila diberikan dekstrosa
oral atau intravena atau injeksi glukagon.

Derajat hipoglikemia
The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) mendefi nisikan
hipoglikemia berat sebagai hipoglikemia yang memerlukan bantuan orang
lain untuk mengatasinya, misalnya penderita dengan penurunan kesadaran.

45
Hipoglikemia dapat simptomatik atau asimptomatik. Hipoglikemia
simptomatik dibagi dalam 3 tingkat berdasarkan criteria dibawah ini:
Derajat I
Bila anak dapat mendeteksi dan mengobati sendiri hipoglikemianya.
Hipoglikemia pada anak dibawah 5 tahun tidak dapat diklasifi kasikan
sebagai derajat I karena mereka belum dapat mengobati sendiri.
Derajat II
Bila membutuhkan pertolongan orang lain untuk dapat mengatasi
hipoglikemia ini, tetapi pengobatan masih dapat dilakukan secara oral.
Derajat III
Bila anak pingsan, tak sadar, kejang dan tak dapat diatasi dengan glukosa
secara oral. Terapi dilakukan dengan injeksi glukagon atau glukosa intravena.

Berdasarkan kadar gula darah derajat hipoglikemia dibagi atas:


Hipoglikemia ringan: GDS kapiler 55-70 mg/dL
Hipoglikemia sedang: GDS kapiler <55 mg/dL tanpa penurunan kesadaran
Hipoglikemia berat: GDS kapiler <70 mg/dL disertai penurunan kesadaran
atau kejang

Pencegahan hipoglikemia
Pada umumnya hipoglikemia pada anak dapat dicegah walaupun
hipoglikemia dapat terjadi secara tiba-tiba secara tidak terduga. Hal-hal yang
sering menyebabkan hipoglikemia diantaranya asupan makanan yang tidak
teratur, olah raga yang berlebihan tanpa ditunjang oleh makanan yang cukup
serta pengobatan insulin yang berlebihan. Hipoglikemia dapat dicegah
dengan keteraturan pengobatan insulin, pengaturan makan/asupan makanan
yang disesuaikan dengan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan. Untuk itu
edukasi orangtua mengenai pengenalan gejala hipoglikemia, pencegahan
hipoglikemia serta pengawasan pada anak diabetes merupakan materi edukasi
penting.

46
Pada DM tipe-1 seringkali terjadi hipoglikemia pada malam hari yang
disebabkan oleh faktor-faktor seperti umur yang lebih muda, dosis insulin
yang berlebihan, dan regimen insulin yang dipakai. Untuk mencegah
hipoglikemia pada malam hari maka kadar gula tengah malam diusahakan
sekitar 120-180 mg/dL (7-10 mmol/L).
Makanan yang sebaiknya dikonsumsi pada malam hari adalah
karbohidrat yang lambat dicerna seperti susu, roti, pisang, apel dan protein.
Semua anak dan remaja penderita diabetes harus membawa permen atau
tablet glukosa yang siap dimakan sewaktu-waktu bila terjadi hipoglikemia.

Komplikasi jangka panjang


Komplikasi jangka panjang diabetes mellitus terjadi akibat
perubahanperubahan mikrovaskuler (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan
makrovaskular. Pada anak komplikasi akibat perubahan makrovaskular
sangat jarang dijumpai sedangkan komplikasi akibat perubahan
mikrovaskular dapat ditemukan.
Retinopati
Retinopati yang ditemukan pada anak dengan DM tipe-1 tidak berbeda
dengan orang dewasa yaitu berupa obstruksi pembuluh darah, kelainan
progresif mikrovaskular di dalam retina, dan infark serabut saraf retina yang
mengakibatkan bercak pada retina. Gambaran khas retinopati proliferative
adalah neovaskularisasi. Pembuluh darah ini bisa pecah mengakibatkan
perdarahan ke ruang vitreus dan menyebabkan kebutaan. Terjadinya kebutaan
tergantung dari lokasi dan luasnya neovaskularisasi. Beberapa teknik yang
digunakan untuk mendeteksi adanya diabetes retinopati, adalah oftalmoskopi,
angiografi fluoresensi, stereoscopic digital and color film-based fundal
photography.
Kontrol glikemik yang optimal merupakan upaya pencegahan dini
terjadinya retinopati. Perbaikan HbA1c 1% dapat menurunkan risiko
komplikasi jangka sebesar kira-kira 20-50%. Deteksi dini retinopati dapat
dilakukan dengan melakukan kontrol teratur ke dokter mata. Sebelum usia 15

47
tahun kontrol dilakukan setiap 2 tahun sedangkan pada usia lebih dari 15
tahun dilakukan setiap tahun. Pasien yang terdiagnosis DM pada usia
prapubertas, pemeriksaan mata dilakukan 5 tahun setelah diagnosis.DCCT
merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan mata tiap 3 bulan untuk
pasien dengan kontrol metabolik buruk yang kronis.

Nefropati
Tanda awal terjadinya nefropati pada DM tipe-1 adalah ditemukannya
mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria persisten merupakan terjadinya
nefropati diabetik dan meningkatnya risiko mortalitas kardiovaskuler.
Nefropati diabetik sering berhubungan dengan adanya hipertensi.
Diperkirakan 30-40% nefropati pada DM tipe-1 dapat berlanjut menjadi
gagal ginjal kronik. Mikroalbuminuria lebih banyak terdeteksi pada anak
yang lebih tua. Sepertiga pasien DM akan menderita mikroalbuminuria
persisten dalam kurun waktu 10-30 tahun setelah awitan diagnosis.
Peningkatan tekanan darah ringan yang dideteksi pada ambulatory
monitoring selama 24 jam dapat digunakan sebagai parameter tanda awal
terjadinya mikroalbuminuria. Pada anak yang lebih tua, albuminuria yang
borderline (ekskresi albumin 7,2-20 mg/menit) merupakan faktor prediktor
bahwa dalam 15-50 bulan kemudian akan berkembang menjadi
mikroalbuminuria persisten. Mikroalbuminuria dengan hipertensi mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan dengan tanpa hipertensi.
Deteksi dini nefropati diabetik dengan melakukan pemeriksaan
mikroalbuminuria setiap tahun sejak memasuki usia remaja (walaupun tidak
ada gejala) disertai pemeriksaan tekanan darah teratur pada setiap kunjungan.
Sangatlah penting kontrol glikemik yang dicapai dengan terapi insulin
disertai penggunaan ACE inhibitor dapat mencegah atau memperlambat
progresivitas mikroalbuminuria menjadi nefropati diabetik.

48
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pada tanggal 29 Agustus 2017, seorang anak NA, perempuan, umur 11


tahun, datang ke IGD Rumah Sakit Dr. H. Mohammad Rabain dengan
keluhan badan lemas, mual-muntah (+) frekuensi 4 kali dalam sehari,
banyaknya 1-2 sendok makan, isi cairan warna kuning, nyeri perut terus
(+) menerus yang terutama dirasakan di ulu hati, sesak (+) yang terus
menerus, tidak dipengaruhi cuaca, dingin, debu, dan aktivitas, mengi (-),
batuk (-), penurunan kesadaran (-), bicara meracau (-), perasaan
mengantuk yang dalam (-). Pada pemeriksaan fisik saat di IGD didapatkan
kesadaran compos mentis, nadi 122 x/m, napas 26 x/m, suhu 37,70 C, mata
cekung (+), turgor kembali lambat (>2 detik), nyeri tekan epigastrium.
Riwayat dalam pengobatan TB Paru fase intensif 1 bulan. Pasien tersebut
didiagnosis sementara dehidrasi low-intake, gastritis akut, dan TB Paru on
therapy. Pasien kemudian ditatalaksana dengan pemberian cairan
intravena, antibiotik intravena serta terapi simptomatis, direncanakan
pemeriksaan laboratorium untuk mencari data penunjang kausatif. Terapi
cairan yang diberikan berupa pemberian cairan isotonis intravena
sebanyak 1,5x1500 mL/24 jam = 2250 mL/24 jam. Diberikan antibiotik
sefalosporin berspektrum luas dengan dosis 80-100 mg/kgBB (dosis
maksimal 2 g/24 jam). PPI diberikan sebagai terapi terhadap gastritis yang
dialami pasien. Saat pasien diterima di IGD, pasien belum dicurigai
diabetesi mengingat angka kejadian yang rendah, tidak ada riwayat
keluarga, serta klinis yang tidak khas sebagai komplikasi akut diabetes
yang biasa terjadi pada pasien dm tipe 1 (ketoasidosis maupun koma
hiperosmolar) yang membawa pasien dm tipe 1 berobat, tidak dijumpai
penurunan kesadaran, pola pernapasan cepat dan dalam, bau keton.
2. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 29/09/2017 didapatkan kadar
haemoglobin 13,8 g/dL, leukosit 19,60x103/dL, trombosit 517x103/uL,

49
hematokrit 39,9%, RBC 5,37x106/uL, BSS 569 mg/dL. Pada pemeriksaan
urinalisa didapatkan glukosa +1, keton (-). Setelah pemberian cairan
intravena, dilakukan pemeriksaan ulang didapatkan kadar haemoglobin
10,5 g/dL, leukosit 10,86x103/dL, trombosit 331x103/uL, hematokrit
29,6%. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan pasien datang ke IGD
dalam keadaan hemokonsentrasi curiga akibat dehidrasi. Pada pasien
diabetes melitus dengan ketoasidosis dapat dijumpai dehidrasi, napas cepat
dalam, mual, muntah, nyeri perut, penurunan kesadaran progressif,
leukositosis, peningkatan amilase non spesifik, demam. Dengan hasil
kadar glukosa yang tinggi pasien dapat jatuh pada keadaan ketoasidosis,
namun data urinalisa tidak menunjang adanya pembentukan badan keton
sehingga diagnosis ketoasidosis tidak dapat ditegakan. Tidak diberikan
continous insulin namun dimulai terapi insulin basal bolus pada pasien ini
mengingat tidak terdapat bukti ketoasidosis.
3. Meskipun untuk menegakan diagnosis DM tipe 1 memerlukan
pemeriksaan lanjutan, yaitu pemeriksaan C-peptide untuk menentukan
fungsi sel beta penkreas, namun secara epidemiologis dapat pasien ini
dapat didiagnosis sebagai Diabetes Melitus tipe 1. Kadar C-peptide yang
rendah dijumpai pada keadaan hipoinsulinemia, hypoglycemia, radical
pancreatectomy. Pada pasien ini pemeriksaan C-peptide tidak dilakukan
disebabkan kendala teknis dan biaya, dimana RSUD Muara Enim belum
menyediakan pemeriksaan C-peptide dan orang tua pasien yang menolak
dirujuk ke rumah sakit rujukan.
4. Penatalaksanaan diabetes melitus pada anak memiliki 5 pilar untuk dapat
meningkatkan kualitas hidup optimal anak. Pada pasien ini dipilih
menggunakan regimen insulin basal-bolus untuk mendapatkan kontrol
glikemik yang baik dengan dosis rapid acting insulin 4 U sebelum sarapan,
5 U sebelum makan siang, dan 5 U sebelum makan malam serta dosis
insulin basal 6 U pada malam hari, sesuai dengan kebutuhan insulin harian
pada awal ditegakan diagnosis diabetes melitus pada anak sebesar 0,5-1
IU/kgBB/hari. Kebutuhan kalori harian pada pasien ini sebesar 2100

50
kalori/hari. Untuk memenuhi kebutuhan kalori harian pasien disarankan
untuk pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3
kali makanan kecil sebagai berikut; 20% berupa makan pagi, 10% berupa
makanan kecil, 25% berupa makan siang, 10% berupa makanan kecil, 25%
berupa makan malam, 10% berupa makanan kecil. Tidak disarankan untuk
menghentikan kegiatan olahraga, karena olahraga memiliki dampak positif
berupa menurunkan kadar glukosa darah, menimbulkan perasaan sehat,
meningkatkan sensivitas terhadap insulin, meningkatkan kapasitas kerja
jantung, mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang. Edukasi
yang diberikan pada pasien ini terutama untuk dapat melakukan
pengobatan mandiri di rumah. Dilakukan edukasi untuk dapat melakukan
penyuntikan insulin dengan benar, pengenalan tanda-tanda hipoglikemia,
melanjutkan latihan fisik, dan kontrol secara rutin ke dokter spesialis.
5. Pengobatan TB pada pasien dilanjutkan sesuai dengan protokol
pengobatan TB paru pada anak. Hal ini dimungkinkan mengingat tidak
terdapat interaksi antara insulin dengan OAT.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Molina Patricia E : Lange Endocrine Physiology : 2nd edition, The

Mcgraw-Hill companies Lange Medical series, CHTML e-Book, 2007

Available from : www.indowebster.com/endocrinology

2. Ganong F William : Lange review of Medical Physiology: 22nd edition,

The Mcgraw-Hill companies Lange Medical Series, CHTML e-Book,

2005 Avalibale from : www.indowebster.com/physiology

3. Gardner, G.David, Shoback, Dolores : Greenspans basic And Clinical

Endocrinology, The Mcgraw-Hill Companies Lange Medical Series,

CHTML e-Book.,2007 Available from: www.indowebster.com/physiology

4. LeRoith Derek, : Diabetes Mellitus A fundamental And Clinical Text 3rd

edition ,Lippincots William and Wilkins, CHTML e-Book, 2004

Available from : www.emedicine.com

5. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI: Konsensus Nasional

Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1, 2015.

6. Rustama DS, Subardja D, Oentario MC, Yati NP, Satriono, Harjantien N

(2010). Diabetes Melitus. Dalam: Jose RL Batubara Bambang Tridjaja

AAP Aman B. Pulungan, editor. Buku Ajar Endokrinologi Anak, Jakarta:

Sagung Seto 2010, h 124-161.

7. Hay, W. William et al : Chapter 31 Diabetes Mellitus , Current Diagnosis

And Treatment 18th edition, McGraw-Hill Companies Lange Medical

Series, CHTML e-Book, 2007, available from digitallibrary

52
8. Kliegman, M.Robert, : Section XXIII, Endocrinology, Diabetes Mellitus,

Nelsons Pediatric Secret5th edition, Elseviere Saunders Inc, CHTML e-

Book, 2007, available from : www.indowebster.com

9. Warrell, David AJ et al : Oxford Textbook of Medicine, 4th Edition.

CHTML e-Book , Oxford University Press.2003, Available from :

www.indowebster.com/textbookofmedicine

10. Longo, L. Longo et al : Harrisons, Principal Of Internal Medicine 18th

edition, McGraw-Hill Companies , Medical Series,CHTML e-Book s ,

2012, Available from : www.indowebster.com

11. Provan, Drew : Oxford Handbook Of Clinical And Laboratory

Investigation 2nd edition, CHTML e-Book, Oxford University press,

2005, Available from : www.indowebster.com

12. Brink SJ, Lee WRW, Pillay K, Kleinebreil (2010). Diabetes in children

and adolescents, basic training manual for healthcare professionals in

developing countries, 1st ed. Argentina: ISPAD, h 20-21.

53

Anda mungkin juga menyukai