Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
2. Kelompok B
Jenis ini adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan terlalu emosional berpikir atau
berperilaku yang mencakup:
Antisosial (sebelumnya, sosiopat)
Mengabaikan orang lain
Terus-menerus berbohong atau mencuri
Berulangkali bermasalah dengan hokum
Berulang kali melanggar hak orang lain
Agresif, sering berperilaku keras
Mengabaikan keselamatan diri sendiri dan orang lain
Terdiri dari gangguan kepribadiaan antisosial, ambang, histrionic dan narsistik. Orang dengan
gangguan ini sering tampak dramatic, emosional, dan tidak menentu.
a. Gangguan Kepribadian Antisosial
Orang dengan gangguan kepribadian antisocial ditandai :
Berulang kali melanggar hokum dan hak orang lain lewat perilaku agresif
Menipu, berbohong
Impulsivitas
Mudah tersinggung dan agresif
Tidak memperdulikaan keselamatan diri sendiri daan orang lain
Tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaan
Kurang memiliki rasa penyesaalaan
Tidak sedikit diantara penderita cukup cerdas dan pandai menampilkna diri secara
meyakinkan untuk menjadi penipu ulung.
b. Gangguan Kepribadian Histrionik
Orang dengan gangguan kepribadian histrionik ditandai :
Kebutuhan besar untuk menjadi pusat perhatian
Perilaku tidak senonoh, secara seksual yang tidak pantas
Perubahan ekspresi emosi secara cepat
Memanfaatkan penampilan fisik untuk menarik perhatian orang lain pada dirinya
Bicaranya sangat tidak tepat
Ekspresi emosional yang berlebihan
Sangat mudah sugesti
Menyalahartikan hubungan sebagai lebih intim dari yang sebenarnya
Emosinya labil; haus akan hal-hal yang serba menggairahkan (excitement)
Senang mendramatisasi diri secara berlebihan untuk mencari perhatian
Tergantung, tak berdaya, dan mudah ditipu
Egois, congkak, sangat haus akan pengukuhan orang lain
Sangat reaktif; dangkal atau picik, dan tudal tulus.
c. Gangguan Kepribadian Ambang/ Bordeline
Orang dengan gangguan kepribadian ambang ditandai :
Berupaya keras untuk mencegah agar tidak diabaikan
Ketidakstabilan dan intensitas ekstrem dalam hubungan interpersonal
Rasa diri (sense of self) yang tidak stabil
Perilaku impulsive, termasuk sangat boros, perilaku seksual yang tidak pantas
Perilaku bunuh diri dan mutilasi diri yang berulang
Kelabilaan emosional yang ekstrem
Perasaan kosong yang kronis
Sangat sulit mengendalikan kemarahan.
d. Gangguan Kepribadian Narsistik
Orang dengan gangguan kepribadian narsistik ditandai :
Pandangan yang dibesar-besarkan mengenai pentingnya diri sendiri
Terfokus pada kebersihan, kecerdasan dan kecantikan diri
Kebutuhan ekstrem untuk dipuja
Perasaan kuat bahwa mereka berhak mendapatkan segala sesuatu
Kecenderungan memanfaatkan orang lain
Berupaya untuk sesegera mungkin menjalin hubungan baru bila hubungan yang dimilikinya
saat ini berakhir
Dipenuhi ketakutan bila harus mengurus diri sendiri
b. Dependen
Psikoterapi Terapi yang digunakan yaitu melalui proses kognitif behavioral, dengan
menciptakan kemandirian pada pasien, melatih ketegasan dan menumbuhkan rasa percaya
diri.
Farmakoterapi Benzodiazepine dan obat serotonergik dapat berguna.
c. Obsesif Kompulsif
Psikoterapi Pasien gangguan kepribadian obsesif kompulsif seringkali tahu bahwa
mereka sakit dan mencari pengobatan ataas kemauaan sendiri. Asosiasi bebas dan terapi yang
tidak terlalu mengarahkan, sangat dihargai oleh pasien gangguan ini.
Farmakoterapi Clonazepam (klonopin) adalah suatu benzodiazepine dengan anti
konvulsan, pemakaian obat ini untuk menurunkan gejala pada pasien dengan gangguan
kepribadian obsesif kompulsif parah.
automaty do gry
Beranda
About Me
Popular Posts
Makalah Gangguan somatoform dan disosiatif
Gaya Kognitif Reflektif Versus Impulsif Dimensi gaya kognitif versus impulsive telah
digambarkan sebagai kecenderungan yang konsisten un...
Kreatifitas seseorang tidak hanya tergantung pada aspek-aspek atau ciri-ciri kognitif
saja. Tetapi juga ditentukan oleh faktor lain, yaitu ...
Kasih, aku merindukan dirimu sekarang. Dirimu telah hadir dalam relung jiwaku. Kau
tanamkan benih-benih cinta dan tanamkan ketulusan. Apaka...
Cintaku ini ibarat air.. Tak bisa ku genggam tapi selalu mengalir. Cintaku ini ibarat
angin,. Tak bisa dilihat tapi bisa di...
Definisi Minat Minat didefinisikan berbeda oleh beberapa orang ahli namun memiliki
tujuan yang sama. Masing-masing ahli mendefinisika...
Sample Text
Followers
Sample text
Labels
Jalan-Jalan
Lain-lain
Metodologi Penelitian
Psikodiagnostik
Psikologi Industri dan Organisasi
Psikologi Islam
Psikologi Klinis
Psikologi Kognitif
Psikologi Konseling
Psikologi Perkembangan
Psikologi Umum
Psychology's Books
Links
Jalan-Jalan
Lain-lain
Metodologi Penelitian
Psikodiagnostik
Psikologi Industri dan Organisasi
Psikologi Islam
Psikologi Klinis
Psikologi Kognitif
Psikologi Konseling
Psikologi Perkembangan
Psikologi Umum
Psychology's Books
Blogger templates
About
Side
Ad 468 X 60
A. GANGGUAN SOMATOFORM
I. Definisi
Kata somatoform di ambil dari bahasa Yunani soma yang berarti tubuh. Dalam
gangguan somatoform masalah-masalah psikologi muncul dalam bentuk gangguan fisik
(misalnya, nyeri, mual dan pusing). Simtom-simtom fisik gangguan somatoform yang tidak
dapat dijelaskan secara fisiologis dan tidak berada dalam kesadaran, diduga terkait dengan
faktor-faktor psikologis yaitu kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki penyebab
psikologis.
Menurut (Nevid, dkk, 2005), gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu
kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak
dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Pada gangguan ini, orang memiliki simtom
fisik yang mengingatkan pada gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang
dapat ditemkan sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan
emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau
pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan.
a. Gangguan Konversi
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau
kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem
saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Individu dapat
mengalami kelumpuhan separuh atau seluruhnya pada lengan atau kaki, kejang dan gangguan
koordinasi, kulit serasa tertusuk, perih atau menggeletar, insertistivitas terhadap rasa sakit,
hilang atau lemahnya pengindraan atau anesthesia (walaupun secara fisiologis mereka
normal). Penglihatan dapat mengalami kerusakan parah, orang yang bersangkuan dapat
separuh atau sepenuhnya buta (tunnel vision), di mana bidang pengelihatan menjadi terbatas
seperti bila seseorang melihat melalui lobang pipa. Aphonia, hilangnya suara dan hanya bisa
berbicara dnegan berbisik, dan ansomia hilang atau melemahnya indra penciuman, dan
simtim-simtom konversi lainnya.
Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya
gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal
ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau
individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari
Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek
sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis
diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa,
dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup.
Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh
wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997). Conversion disorder biasanya berkaitan
dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan
dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer,
Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997).
b. Gangguan Somatisasi
Pada tahun 1859 seorang dokter berkebangsaan Prancis, Pierre Briquet menggambarkan
suatu sindrom yang pada walnya diberi nama sesua dengan namanya, sindrom Briquet. Kini
dalam DSM-IV-TR disebut dengan gangguan somatisasi. Keluhan somatik yang berulang
dan banyak memerlukan perhatian medis, namun tidak memiliki sebab fisik yang jelas. Untuk
memenuhi kriterian diagnostik, yang bersagkutan harus mengalami keempat hal dibawah ini:
1. Empat simptom rasa sakit di bagian yang berbeda (kepala, punggung, sendi);
2. Dua simptom gastrointestinal (diare, mual);
3. Satu simptom seksual selain rasa sakit (tidak berminat pada hubungan seksual, disfungsi
erektil);
4. Satu simptom pseudineurologis (seperti yang terjadi dalam gangguan konversi).
Simptom-simptom tersebut yang lebih pervasif dibanding keluhan hipokondriasis,
biasanya menyebabkan hendaya, terutama dalam pekerjaan. Dalam DSM-IV-TR mencatat
bahwa, simptom-simptom spesifik gangguan ini dapat bervariasi antarbudaya. Sebagai
contoh, tangan terbakar atau sperti ada semut yang berjalan di bawah lutut, hal ini sering
terjadi di Asia dan Afrika dibanding di Amerika Utara. Terlebih lagi gangguan tersebut
dinilai sering terjadi pada budaya yang tidak mendorong ekspresi emosi secara terbuka (Ford,
1995).
Gangguan somatisasi dan gangguan konversi memiliki banyak persamaan simptom, dan
keduanya dapat ditegakkan pada pasien yang sama (Ford & Folks, 1985). Kunjungan ke
dokter, kadangkala ke banyak dokter pada waktu bersamaan, sering kali dilakukan, juga
penggunaan obat-obatan. Perawatan di rumah sakit bahkan operasi menajdi hal umum (Guz2,
1967). Masalah menstruasi dan hambatan seksual sering terjadi (Swartz dkk, 1986). Para
pasien umumnya menyampaikan keluhan secara berlebihan atau sebagai riwayat kesehatan
yang panajng dan penuh komplikasi. Banyak yang meyakini bahwa mereka telah mengalami
penyakit sepanjang hidupnya.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi
Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan
Hispanic (Escobar et al., 1987) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis.
Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico
(Tomassson, Kent&Coryell , 1991). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa
dewasa (Cloninger et al., 1986).
III. Etilogi
Sebagian besar teori mengenai gangguan somatoform hanya diarahkan pada pemahaman
histeria sebagaimana dikonseptualisasi oleh Freud. Konsekuensinya, teori ini memfokuskan
pada penjelassan gangguan konversi. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat pemikiern
tentang etiologi gangguan somatisasi.
Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi lebih sensitif
terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan tehadap sensasi tersebut, atau
menginterpretasikannya sebagai sesuau yang membahayakan (Kirmayer dkk.,1994; Rief
dkk.,1998). Kemungkinan lain adalah mereka memiliki sensasi fisik yanglebih kuat
dibanding orang lain (Rief & Aurer, 2001). Sebuah pandangan perilaku mengenai gangguan
somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan nyeri, rasa tidak nyaman, dan
disfungsi merupakan manifestasi kecemasan yang tidak realistis dalam sistem-sistem tubuh.
Sejalan dengan pemikirian bahwa terdapat faktor kecemasan yang tinggi, pasien penderita
gangguan somatisasi memiliki level kortiso tinggi, suatu indikasi bahwa mereka di bawah
tekanan (Rief dkk., 1998). Mungkin ketegangan ekstrem yang yang dialami individu terpusat
pada otot-otot perut, mengakibatkan rasa mual atau muntah. Bila keberfungsian normal
terganggu, pola maladaptif akan menguat karena menghasilkan perhatian dan alasan untuk
menghindari sesuatu.
Teori Psikoanalisis Mengenai Gangguan Konversi. Gangguan Konversi menempati posisi
utama dalam teori psikoanalisis karena ketika menangani kasus-kasus inilah Freud
mengembangkan sebagian besar konsep utama psikoanalisis. Gangguan konversi
memberikan kesempatan besar baginya untuk menggali konsep ketidaksadaran.
Pertimbangkanlah selama beberapa saat bagaimana Anda akan berusaha memahami
penuturan pasien bahwa suatu pagi ia bangun dan tidur dengan tangan kiri yang lumpuh.
Reaksi pertama Anda mungkin memberikan serangkaian tes neurologis untuk mencari
kemungkinan penyebab biologis kelumpuhana tersebut. Kita asumsikan hasil tes tersebut
negatif; tidak ada bukti terjadinya gangguan neurologis. Anda sekarang dihadapkan pada
pilihan apakah akan mempercayai atau meragukan penuturan pasien. Di satu sisi, dia
mungkin berbohong; sebenarnya dia mungkin mengetahui bahwa tangannya tidak lumpuh,
namun memutuskan untuk berpura-pura lumpuh untuk mencapai suatu tujuan. Ini menjadi
contoh malingering.
IV. Terapi
Karena gangguan somatoform lebih jarang terjadi dibanding asalah-masalah lain yang
dihadapi para profesional kesehatan mental, hanya terdapat sedikit penelitian terkendali
mengenai efektivitas relatif berbagai penanganan. Laporan-laporan kasus dan spekulasi klinis
untuk saat ini merupakan sumber informasi utama mengenai bagaimana menolong orang-
orang yang mengalami gangguan yang membingungkan ini. Contohnya, tidak terdapat
penelitian terkendali mengenai penanganan gangguan konversi. Berbagai studi kasus
menunjukkan bahwa biasanya bukan suatu ide yang baik untuk berusaha menyakinkan pasien
bahwa simtom-simtom konversi yang dialami berkaitan dengan faktor-faktor psikologis.
Kebijakan klinis menyarankan pendekatan halus dan suportif seraya memberikan
penghargaan kepada pasien atau setiap perbaikan kondisi sekecil apa pun yang berhasil
dicapai (Simon, 19980).
Terapi untuk Somatisasi: Para ahli klinis kognitif dan perilaku percaya bahwa tingkat
kecemasan yang tinggi yang berkaitan dengan gangguan somatisasi dipicu oleh beberapa
situasi spesifik. Sebagai contoh, Alice, wanita yang dikisahkan sebelumnya, mengungkapkan
bahwa ia sangat cemas terhadap perkawinannya yang goyah dan berbagai situasi di mana
orang lain mungkin akan menilainya. Beberapa teknik seperti pemaparan atau terapi kognitif
dapat digunakan untuk mengatasi ketakutannya, berkurangnya rasa takut tersebut dapat
membantu mengurangi berbagai keluhan somatik.
Terapi untuk Hipokondriasis: Secara umum, pendekatan kognitif-behavioral telah terbukti
efektif untuk mengurangi berbagai masalah hipokondriasis. Penelitian menunjukkan bahwa
para pasien hipokondriasis menunjukkan penyimpangan kognitif dengan menganggu masalah
kesehatan yang muncul sebagai suatu ancaman. Terapi kognitif-behavioral dapat ditujukan
untuk menstrukturisasikan pemikiran pesimistis semacam itu. Salain itu, penanganan dapat
mencakup beberapa strategi seperti semacam itu. Selain itu, penanganan dapat mencakup
beberapa strategi seperti mengarahkan perhatian selektif pasien ke simtom-simtom fisik dan
tidak mendorong pasien mencari kepastian medis bahwa tidak sakit.
Terapis untuk Rasa Nyeri. Berdasarkan pemikiran mutakhir, biasanya tidak ada gunanya
membuat perbedaan yang tajam antara rasa nyerib psikogenik dan rasa nyeri yang benar-
benar disebabkan oleh faktor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya diasumsikan
bahwa rasa nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut. Penanganan yang efektif
cenderung terdiri dari hal-hal berikut:
1. Melakukan validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya dalam pikiran pasien
2. Pelatihan relaksasi
3. Menghadiahi pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa nyeri (menahan rasa
nyeri)
B. GANGGUAN DISOSIATIF
I. Definisi
Gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan
individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan
ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi
pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru
(Davidson&Neale,2001).
Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori
dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat
berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau
bahkan membentuk identitas baru.
Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan sebagai
adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di bawah kendali sadar)
yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaanan segera (awareness
of identity and immediate sensations), serta control terhadap gerak tubuh.
Dalam penegakan diagnosis Gangguan Disosiatif harus ada gangguan yang menyebabkan
kegagalan mengoordinasikan identitas, memori persepsi ataupun kesadaran, dan
menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan dan memanfaatkan
waktu senggang.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari integrasi
normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
II. Etilogi
FAKTOR RESIKO
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual ataupun emosional
semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan disosiatif. Anak-anak dan dewasa
yang juga memiliki pengalaman kejadian yang traumatic, semisalnya perang, bencana,
penculikan, dan prosedur medis yang infasif juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya
gangguan disosiatif ini.
Amnesia Disosiatif
Fugue Disosiatif
Gangguan Depersonalisasi
Gangguan Identitas Disosiatif
1. Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif.
Amnesia diambil dari akar kata Yunani a-, berarti tanpa, dan mnasthai, berarti untuk
mengingat. Seseorang yang menderita amnesia disosiatif tidak mampu mengingat informasi
pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stress. Informasi-informasi
itu tidak hilang secara permanen, namun tidak dapat diingat kembali saat episode amnesia.
Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif dapat kembali, meski gangguan ini bisa
berlangsung selama beberapa hari, minggu, atau bahkan tahun. Mengingat kembali dalam
amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap tetapi seringkali muncul secara tiba-tiba dan
spontan, seperti saat seorang tentara tidak dapat mengingat pertarungan, beberapa hari
setelahnya tiba-tiba dapat mengingat pengalamannya setelah pindah ke rumah sakit yang jauh
dari medan perang. Sering kali memori yang hilang mencakup semua peristiwa selama kurun
waktu tertentu setelah suatu kejadian traumatic. Sangat jarang amnesia hanya mencakup
beberapa peristiwa tertentu dalam periode penderitaan tertentu, berlangsung secara terus-
menerus sejak terjadinya peristiwa traumatic hingga saat ini, atau secara menyeluruh,
mencakup seluruh kehidupan seseorang (Coons & Milstein, 1992).
2. Fugue Disosiatif
Dalam Fugue Disosiatif (berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri)
hilangnya memori lebih besar disbanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang bersangkutan
tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan bekerja
dengan menggunakan identitas baru. Kadangkala orang tersebut mempunyai nama baru,
rumah baru, pekerjaan baru, dan bahkan serangkaian karakteristik kepribadian baru. Fugue
umumnya terjadi setelah seseorang mengalami stress berat, sepert pertengkaran dengan
sumai/istri, penolakan diri, masalah keuangan atau pekerjaan, bertugas dalam peperangan,
atau bencana alam. Walaupun memerlukan waktu yang lamanya bervariasi, namun biasanya
individu dapat pulih secara total; individu yang bersangkutan tidak dapat mengingat apa yang
terjadi selama ia mengalami amnesia.
Ciri-ciri Dissociative Fugue antara lain:
Pergi jauh dari rumah atau tempat kerja secara tiba-tiba dan tidak mampu mengingat masa
lalunya.
Secara mendadak dan tidak terduga, individu pergi meninggalkan rumah dan pekerjaannya.
Gejala ini muncul bersamaan dengan ketidakmampuannya mengingat masa lalu.
Bingung terhadap identitas pribadi atau mendapatkan identitas baru secara persial atau total.
Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya gangguan identitas
dissosiative, dan bukan disebabkan oleh substansi tertentu atau kondisi medis secara umum
Gangguan menyebabkan distress atau daya ingat significant untuk berfungsi secara normal.
3. Gangguan Depersonalisasi
V. Terapi
GANGGUAN KECEMASAN
No Gangguan Deskripsi
Ketakutan dan penolakan terhadap objek atau situasi yang
1 Fobia
tidak mengandung bahaya yang sesungguhnya
Serangan panik berulang yang mencakup timbulnya simptom-
simtom fisiologis secara mendadak, seperti pusing, denyut
2 Gangguan Panik jantung yang cepat dan gemetaran, disertai dengan teror dan
perasaan berada dalam bencana; kadangkala disertai dengan
agorafobia, ketakutan berada di tempat umum
Gangguan Anxietas Kekhawatiran yang menetap dan tidak dapat dikontrol, sering
3
Menyeluruh kali terhadap hal-hal kecil
Gangguan Obsesif- Pemikiran, impuls, dan citra yang tidak dapat dikontrol-obsesi-
4
komplusif dan perilaku atau tindakan mental yang berulang-kompulsi
Masa setelah pengalaman traumatis dimana seseorang
mengalami peningkatan kemunculan, penolakan stimuli yang
Gangguan Stres
5 diasosiasikan dengan kejadian traumatis yang dialami, dan
Pascatrauma
kecemasan yang disebabkan oleh ingatan terhadap peristiwa
tersebut
Simptom-simptomnya sama dengan gangguan stress
6 Gangguan Stres Akut pascatrauma, namun hanya berlangsung selama empat minggu
atau kurang
1. FOBIA
Banyak ketakutan tertentu yang tidak menyebabkan derita yang cukup untuk memaksa
individu mencari bantuan penanganan. Sebagai contoh, jika seseorang yang memiliki
ketakutan yang sangat besar pada ular tinggal di daerah metropolitan, kecil kemungkinannya
ia mengalami kontak langsung dengan objek yang ditakuti sehingga dapat tidak percaya
bahwa ada yang salah dengan dirinya. Istilah fobia biasanya berarti bahwa seseorang
mengalami distress yang parah dan hendaya sosial atau pekerjaan karena kecemasan tersebut.
Para psikolog cenderung memfokuskan pada berbagai aspek fobia yang berbeda tergantung
pada paradigma yang mereka anut. Para psikoanalisis berfokus pada isi fobia. Mereka melihat
signifikasi yang besar dalam objek yang ditakuti sebagai suatu simbol ketakutan bawah sadar
yang penting. Dalam sebuah kasus terkenal yang dilaporkan oleh Freud, seseorang anak laki-
laki yang disebutnya Little Hans memeiliki ketakutan bertemu dengan kuda bila ia pergi
keluar rumah. Freud memberikan perhatian khusus pada kata-kata Hans mengenai sesuatu
yang berwarna hitam di sekeliling mulut kuda dan sesuatu di depan matanya. Kuda
dianggap mewakili ayahnya, yang berkumis dan berkacamata. Freud berteori bahwa
ketakutan pada ayah telah dialihkan pada ketakutan terhadap kuda yang kemudian dihindari
Hans. Berbagai contoh lain semacam itu yang tak terhitung jumlahnya mungkin dapat
diberikan. Poin utamanya adalah para psikoanalisis percaya bahwa isi fobia memiliki nilai
simbolik penting. Di sisi lain para behavioris cenderung mengabaikan isi fobia dibanding
memfokuskan pada fungsinya. Bagi mereka, ketakutan pada ular dan ketinggian memiliki
kesamaan dalam kaitan bagaimana terjadinya, bagaimana ketakutan tersebut dapat dikurangi,
dan sebagainya.
Kriteria DSM-IV untuk Fobia :
Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh objek atau situasi.
Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens
Fobia Spesifik
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau
antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-IV-TR membagi fobia berdasarkan sumber
kekuatannya. Fobia tersebut biasanya saling menyertai (komorbid) (Kendler dkk., 2001).
Angka prevalensi sepanjang hidup berkisar 7 persen pada laki-laki dan 16 persen pada
perempuan (Kessler dkk., 1994).
1. Tipe fobia terhadap binatang (contoh: Fobia tikus, anjing atau binatang yang berbulu lebat)
4. Tipe situasional (contoh : pesawat terbang, ruang tertutup, lift atau tempat umum)
5. Tipe lainnya (contoh : Ketakutan terhadap kostum karakter tertentu pada anak-anak)
Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, di
China, Pa-Leng adalah ketakutan pada dingin di mana seseorang mengalami kekhawatiran
bahwa hilangnya panas tubuh dapat menyebabkan nyawa terancam. Ketakutan ini tampaknya
berkaitan dengan filosofi China tentang yin dan yang, yin merujuk pada aspek-aspek
kehidupan berupa pencairan energi yang dingin dan berangin.
Contoh lain adalah suatu sindrom yang dialami di Jepang yang disebut taijin-kyofu-sho,
ketakutan pada orang lain. Ini bukanlah fobia sosial; namun merupakan ketakutan ekstrem
untuk mempermalukan orang lain, contoh, dengan mempermalukan kehadiran mereka,
menatap daerah genital, atau menunjukkan wajah aneh. Diyakini bahwa fobia ini timbul dari
berbagai elemen budaya Jepang tradisional, yang mendorong kepedulian yang ekstrem
terhadap perasaan orang lain, namun tidak mendorong komunikasi perasaan secara langsung
(McNally, 1997). Dengan demikian kepercayaan yang terdapat dalam suatu budaya
tampaknya dapat menjadi sumber ketakutan yang dialami oleh banyak orang.
Fobia Sosial
Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan
keberadaan orang lain. Fobia ini dapat sangat merusak, sedemikian parah sehingga angka
bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ini jauh lebih tinggi dibanding pada
mereka yang menderita gangguan anxietas lain (Schneier dkk,19920. Memang, istilah
gangguan axietas sosial baru-baru ini diajukan sebagai istilah yang lebih tepat karena
beratnya masalah dan konsekuensi negatif bagi orang-orang yang mengalaminya jauh lebih
besar dibanding fobia lain (Liebowitz dkk., 2000)
Individu yang menderita fobia sosial biasanya mencoba menghindari situasi di mana ia
mungin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berprilaku secara memalukan.
Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan
hal jamak. Berbicara atau melakukan sesuati di depan publik, makan di tempat umum,
menggunakan toilet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang dilakukan di tempat yang
terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrem, bahkan dengan serangan panik
besar besaran. Orang-orang yang menderita fobia sosial sering kali bekerja dalam pekerjaan
atau profesi yang jauh di bawah kemampuan atau kecemasan mereka karena sensitifitas sosial
ekstrem yang mereka alami jauh melebihi apa yang kita pikirkan tentang rasa malu sangat
merugikan secara emosional. Lebih baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah daripada
setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang lebih berharga.
Fobia sosial dapat bersifat umum atau khusus, tergantung tentang situasi yang ditakuti dan
dihindari. Orang-orang dengan tipe umum mengalami fobia ini pada usia yang lebih awal,
lebih banyak komorbiditas dengan berbagai gangguan lain, seperti depresi dan kecanduan
alkohol, dan hendaya yang lebih parah (Mannuza dkk., 1995; wittchen, Stein, & Kessler,
1999). Gangguan anxietas sosial cenderung menjadi kronis jika penanganannya tidak
berhasil.
Fobia sosial cukup jamak terjadi, dengan angka pravalensisepanjang hidup 11 persen pada
laki-laki dan 15 persen pada perempuan (Kessler dkk., 1994; Magee dkk., 1996). Fobia ini
memiliki tingkat komorbiditas tinggi dengan berbagai gangguan lain dan sering kali terjadi
bersamaan dengan gangguan menghindar gangguan mood, dan penyalahgunaan alkohol
(Crum & Pratt, 2011; Jansen dkk., 1994; Kessler dkk., 1999; Lecrubier & Weiller, 1997).
Seperti diharapkan, awal terjadinya biasanya pada masa remaja, saat kesadaran sosial dan
interaksi dengan orang lain menjadi sangat penting dalam kehidupan seseorang, namun
seperti akan kita bahas nanti (hlm. 199), ketakutan semacam itu juga ditemukan pada anak-
anak. Seperti halnya fobia spesifik, fobia sosial cukup bervariasi dalam berbagai budaya.
Sebagai contoh, seperti telah dicatat sebelumnya, di Jepang ketakutan menyakiti orang lain
merupakan hal yang sangat penting, sedangkan di Amerika Serikat ketakutan dinilai secara
negatif oleh orang lain lebih jamak.
ETIOLOGI FOBIA
Sebagaimana terjadi pada hampir semua gangguan yang dibahas dalam buku ini, berbagai
kemungkinan penyebab fobia juga dikemukakan oleh para pendukung paradigma
psikoanalisis, behavioral, kognitif, dan biologis. Kita alan membahas berbagai pemikiran dari
masing-masing paradigma tersebut.
Teori Psikoanalisis.
Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara sistematis perkembangan
perilaku fobik. Menurut Freud, fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang
disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang
ditakuti dari dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki koneksi simbolik
dengannya. Berbagai objek atau situasi ini sebagai contoh, lift atau tempat tertutup
kemudian menjadi stimuli fobik. Dengan menghindarinya seseorang dapat menghindar dari
konflik-konflik yang ditekan. Sebagaimana dibahas pada Bab 2, fobia adalah cara ego untuk
menghindari konfrontasi dengan masalah sebenarnya, yaitu konflik masa kecil yang ditekan.
Sebagai contoh , Freud menduga bahwa Little Hans, yang disebutkan sebelumnya, tidak
berhasil mengatasi konflik Oedipal sehingga ketakutannya yang intens pada ayahnya
dialihkan ke kuda dan ia menjadi fobik untuk keluar rumah.
Berdasarkan teori fobia lain dari psikoanalisis yang diajukan oleh Arieti (1979), sesuatu yang
ditekan merupakan masalah interpersonal tertentu di masa kecil dan bukan suatu impuls id.
Arieti berteori bahwa pada masa kanak-kanan, orang-orang yang menderita fobia pada
awalnya menjalani periode tanpa dosa di mana mereka mempercayai orang lain di sekita
mereka untuk melindungi mereka dari bahaya. Kemudian mereka menjadi takut bahwa orang
dewasa, terutama orang tua, tidak dapat diandalkan. Mereka tidak dapat hidup dengan
ketiadaan rasa percaya tersebut, atau rasa takut kepada orang lain. Untuk dapat kembali
mempercayai orang lain, secara tidak sadar mereka mengubah rasa takut pada orang lain
tersebut menjadi rasa takut pada objek atau situasi yang tidak menyenangkan. Fobia muncul
ke permukaan ketika, pada masa dewass, seseorang mengalami beberapa bentuk stres.
Sebagaimana sebagian besar teori berdasarkan psikoanalisis, bukti-bukti yang mendukung
pandangan ini sebagian besar terbatas pada kesimpulan yang ditarik dari laporan-laporan
kasus klinis.
Avoidance Conditioning. Penjelasan utama behavioral tantang fobia adalah reaksi semacam
itu merupakan respons avoidance yang dipelajari. Dalam sejarah, demonstrasi Watson dan
Rayner (1920) mengenai pengkondisian terhadap suatu rasa takut atau fobia yang terlihat
jelas pada Little Albert dianggap sebagai model mengenai bagaimana fobia dapat terjadi.
Formulasi avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer
(1947) dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang
saling berkaitan.
1. Melalui classical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus
netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik
menyakitkan atau menakutkan (UCS)
2. Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan
melarikan diri dari atau menhindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini
diasumsikan sebagai operant conditioning; respons dipertahankan oleh konsekuensi
mengurangi ketakutan yang menguatkan.
Sebuah isu penting terdapat dalam penerapam model avoidance conditioning pada fobia.
Fakta bahwa ketakutan Little Albert terjadi melalui pengkondisian tidak dapat digunakan
sebagai bukti bahwa semua ketakutan dan fobia terjadi melalui cara tersebut. Namun, bukti
tersebut hanya menunjukkan kemungkinan bahwa beberapa macam ketakutan mungkin
terjadi melalui cara tersebut. Terlebih lagi, berbagai upaya untuk meniru eksperimen Watson
dan Rayner sebagian besar tidak berhasil (a.l., English, 1929). Sangat sedikit bukti
eksperimental yang mendukung argumen bahwa manusia dapat dikondisikan secara klasik
sehingga mengalami ketakutan yang menetap dalam waktu lama terhadap stimuli netral
bahkan jika stimuli tersebut berulang kali diberikan bersama stimuli yang menakutkan,
seperti sengatan listrik (a.l., Davison, 1968b; Dawson. Schell, & Banis, 1986).
Secara pasti, pertimbangan etis telah mencegah sebagian besar peneliti memberikan stimuli
yang sangat menakutkan pada manusia, namun cukup banyak bukti yang menunjukkan
bahwa ketakutan akan hilang dalam waktu yang cukup singkat bila CS beberapa kali
diberikan tanpa penguatan berupa kejutan dalam tingkat sedang ( Bridger & Mandel, 1965;
Wickens, Allen, & Hill, 1963). Masalahnya kemungkinan adalah respons ketakutan fisologis
yang tidak dikondisikan tidak terjadi di dalam laboraturium, dan respon semacam itu penting
untuk menciptakan rasa takut yang dikondisikan (Forsyth & Eifert, 1998).
Di luar laboraturium, bukti-bukti bagi teori avoidance conditioning juga beragam. Beberapa
fobia klinis memiliki kecocokan yang cukup baik dengan model avoidance conditioning.
Suatu fobia atau objek atau situasi spesifik kadangkala dilaporkan setelah terjadi pengalaman
yang menyakitkan dengan objek tersebut. Beberapa orang menjadi sangat takut pada
ketinggian setelah jatuh yang berakibat buruk; beberaoa orang lain menderita fobia
mengemudi setelah mengalami serangan panik di dalam mobil (Munjack, 1984); dan orang-
orang yang menderita fobia sosial kadangkali mengalami pengalaman sosial traumatis
(Stenberger dkk., 1995). Walaupun demikian, data lain mengindikasikan bahwa banyak orang
yang menderita fobia tidak dapat mengingat kejadian tarumatis apa pun berkaitan dengan
objek atau situasi yang mereka takuti. Hal tersebut merupakan kebenaran terutama dalam
fobia sosial (Kendler, Myers, & Prescott, 2002). Dapatkah masalah ini diatasi dengan model
avoidance conditioning?
Mungkin ketiadaan suatu UCS bukan merupakan hal penting karena kunci atas ketakutan
yang dikondisikan adalah UCR (Forsyth & Eifert, 1998). Yaitu, seseorang yang mengalami
episode ketegangan fisologis yang mendalam (UCR), karena beberapa alasan yang tidak
disadarinya, dapat secara salah menyimpulkan bahwa situasi yang tidak berbahaya telah
menyebabkan ketegangan dan ketakutan tersebut sebingga dapat menimbulkan fobia. Namun,
jika situasi yang dihadapi seseorang tidak bersifat traumatis, tidak terdapat UCS yang jelas.
Sebuah kasus dari catatan kami mengambarkan kemungkinan ini.
Seorang laki laki berusia 36 tahun menjalani terapi karena mengalami kecemasan
parah akibat sejumlah stresor berat yang belum lama ini dialaminya. Pada tahap-
tahap awal terapi ia harus keluar kota untuk keperluan bisnis. Dalam perjalanan di
dalam pesawat ia mengalami satu episode ketegangan fisiologis yang mendalam.
Saat itu ia tidak sedang memikirkan stresor yang dialaminya dan tidak dapat
menjelaskan mengapa tingkat ketegangannya naik secara mendadak. Ia
menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah perjalanannya dengan pesawat terbang.
Walaupun sebelumnya ia beberapa kali terbang dan sedikit atau tanpa kecemasan, Ia
tidak berani naik pesawat terbang dalam perjalanan pulang dan memilih
menggunakan bis.
Kemungkinan solusi lain untuk memecahkan teka-teki fobia yang terjadi tanpa keterpaparan
denga UCS yang menakutkan adalah melalui modeling.
Modeling. Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat pengalaman yang tidak
menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang lain.
Dengan demikian, beberapa fobia dapat terjadi melalui modeling bukan melalui pengalaman
yang tidak menyenangkan terhadap objek atau situasi yang ditakuti. Seperti disampaikan
sebelumnya (halaman 62), berbagai macam perilaku, termasuk respons-respons emosional,
dapat dpelajari dengan menyaksikan suatu model. Pembelajaran terhadap rasa takut dengan
mengamati orang lain secara umum disebut sebagai vicarious learning.
Dalam suatu penelitian, Bandura dan Rosental (1966) mengarahkan para peserta untuk
mengamati orang lain, yaitu seorang model (rekan eksperimenter), dalam situasi oversive
conditioning. Sang model diikat pada serangkaian peralatan listrik yang tampak
mengesankan. Ketika mendengar suara dengungan, sang model dengan cepat menarik
tangannya dari tangan kursi dan berpura-pura kesakitan. Respons fisiologis para peserta yang
menyaksikan perilaku tersebut direkam. Setelah para peserta menyaksikan sang model
menderita selama beberapa kali, mereka menunjukkan peningkatan frekuensi respons
emosional ketika suara dengung terdengar. Para peserta mulai bereaksi secara emosional
terhadap stimulus yang tidak berbahaya walaupun mereka tidak melakukan kontak langsung
dengan kejadian yang berbahaya.
Vicarious Learning juga dapat terjadi melalui intruksi verbal ; yaitu, reaksi fobik dapat
dipelajari melalui deskripsi yang diberikanorang lain tentang apa yang mungkin terjadi selain
melalui observasi terhadap ketakutan orang lain. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-
hari, orang tua dapat berulang kali memperingatkan anaknya agar tidak melakukan beberapa
aktifitas yang membahayakan.
Pembelajaran yang Dipersiapkan (Prepared Learning). Isu lain yang tidak dibahas dalam
model pembelajaran avoidance adalah bahwa orang-orang cenderung hanya takut pada objek
atau situasi tertentu, seperti laba-laba, ular, dan ketinggian, namun tidak pada objek lain,
seperti domba (Marks, 1969). Fakta bahwa stimulus tertentu yang netral, disebut stimuli yang
dipersiapkan, lebih mungkin dibanding stimuli lain untuk menjadi stimuli yang dikondisikan
secara klasik yang mungkin berperan terhadap kecenderungan ini. Sebagai contoh, tikus
belajar menghubungkan rasa dengan kondisi mual bukan dengan sengatan bila keduanya
diberikan bersamaan (Garela, McGowan, & Green, 1972). Beberapa ketakutan bisa saja
sangat mencerminkan classical conditioning, namun hanya pada stimuli yang secara
fisiologis memamng sensitif bagi suatu organisme (Seligman, 1971). Eksperimen
pengkondisian yang menunjukkan extinction rasa takut secara cepat mungkin menggunakan
berbagai CS yang tidak siap dihubungkan dengan UCS oleh organisme bersangkutan.
Dukungan parsial terhadap penalaran ini diperoleh dari berbagai studi yang menggunakan
berbagai tipe stimuli sebagai CS (Ohman, Erixon, & Loftberg, 1975). Selama pengkondisian,
sengatan listrik diberikan bersamaan dengan gambar rumah, wajah, dan ula, serta para peserta
memberikan CR terhadap gambar-gambar tersebut. Selama extinction, Cr terhadap gambar
rumah atau wajah segera terhapus, sementara terhadap ular tetap kuat.
Prepared learning juga relevan dengan memplajari melalui modelling, Cook dan Mineka
(1989) meneliti empat kelompok kera resus, yang masing-masing melihat rekaman video
yang menunjukkan ketakutan mendalam tampak seolah merespons stimuli yang berbeda :
seekor ular mainan, bunga, atau kelinci mainan. Hanya kera-kera yang melihat rekaman ular
atau buaya mainan yang menunjukkan ketakutan pada objek tersebut, sekali lagi
menunjukkan bahwa tidak setiap stimulus dapat menjadi sumber ketakutan.
Diperlukan Diathesis. Pertanyaan terakhir untuk dibahas adalah mengapa beberpa orang
yang memiliki pengalaman traumatis tidak mengalami ketakutan yang menetap. Sebagai
contoh, 50 persen di antara orang-orang yang sangat ketakutan terhadap anjing menuturkan
pengalaman traumatis yang pernah mereka alami dengan anjing, begitu juga dengan 50
persen di antara orang-orang yang tidak takut anjing (DiNardo dkk, 1988). Perbedaan di
antara dua kelompok tersebut adalah kelompok fobik berfokus pada dan menjadi cemas
terhadap kemungkinan munculnya kejadian traumatis yang sama pada masa mendatang.
Dengan demikian, suatu diathesis kognitif meyakini bahwa kejadian traumatis yang sama
akan terjadi pada masa mendatang mungkin merupakan hal penting dalam terbentuknya
fobia. Kemungkinan diathesis psikologis lain adalah adanya riwayat yang menunjukkan
ketidakmampuan mengendalikan lingkungan (Mineka & Zinbarg, 1996).
Secara singkat, data yang telah kita kaji menunjukkan bahwa beberapa fobia mungkin
dipelajari melalui avoidance conditioning. Namun, avoidance conditioning tidak dapat
dianggap sebagai teori yang sepenuhnya dapat diberikan. Sebagai contoh, seperti disebutkan
sebelumnya, banyak orang yang menderita fobia menuturkan bahwa mereka tidak pernah
terpapar langsung dengan kejadian traumatis atau dengan model yang menakutkan
(Merckelbach dkk., 1989). Terlebih lagi, model avoidance conditioning memiliki kesulitan
menangani komorbiditas di antara berbagai jenis fobia.
Keterampilan Sosial yang Kurang Dalam Fobia Sosial. Kita beralih pada pembahasan
model behavioral mengenai fobia sosial yang menganggap bahwa perilaku yang tidak tepat
atau kurangnya keterampilan sosial sebagai penyebab kecemasan sosial. Menurut pandangan
tersebut, individu tidak pernah belajar bagaimana berperilaku agar ia merasa nyaman dengan
orang lain, atau orang tersebut berulang kali melakukan kecerobohan, kikuk dan secara sosial
tidak kompeten, serta sering dikritik oleh rekan-rekan sosial. Dukungan terhadap model ini
berasal dari berbagai penemuan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki
kecemasan sosial memang memiliki skor rendah dalam tingkat keterampilan sosial
(Twentyman & McFall, 1975) dan bahwa mereka tidak mampu memberikan respons pada
waktu serta tempat yang tepat dalam interaksi sosial, misalnya mengatakan terima kasih
pada waktu yang tepat.(Fischetti, Curran, & Wessberg, 1977).
Perhatikan bagaimana perspektif rendahnya keterampilan sosial ini terkait dengan teori
avoidance conditioning yang telah dikaji sebelumnya. Seseorang yang keterampilan sosialnya
rendah memiliki kemungkinan menciptakan situasi yang menakutkan bersama orang lain.
Sebagai contoh, tidak mengetahui bagaimana cara merespons dengan sopan, namun asertif
terhadap permintaan orang lain dapat melukai perasaan orang lain, dan memicu situasi
interpersonal yang tidak menyenangkan, bahkan konflik yang meneganggkan. Dapat diduga
bahwa hukuman yang diterima dari orang lain akan membuat orang tersebut lebih merasa
takut berinteraksi dengan mereka.
Teori Kognitif. Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara
khusus berfokus pada bagaimana prose berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan
pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan
kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi
yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan memercayai bahwa kejadian negatif
memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman,
2000; Turk dkk., 2001). Isu utama dalam teori ini adalah apakah kognisi tersebut
menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun
beberapa bukti eksperimental mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat
menyebabkan kecemasan di laboraturium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak
diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab gangguan anxietas.
Berbagai studi terhadap orang-orang yang mengalami kecemasan sosial telah meneliti faktor-
faktor kognitif yang berkaitan dengan fobia sosial. Orang-orang yang mengalami kecemasan
sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang lain dibanding orang-orang yang tidak
memiliki kecemasan sosial (Goldfried, Padawer, & Robins, 1984), lebih memerhatikan citra
yang mereka tunjukkan pada orang lain (Bates, 1990), dan cenderung melihat diri mereka
secara negatif walaupun mereka tampil dengan baik dalam suatu interaksi sosial (Wallace &
Alden, 1997). Studi yang dilakukan oleh Davison dan Zighelboim (1987) yang di bahas pada
Bab 4 memberikan bukti-bukti lebih jauh terhadap berbagai kesimpulan diatas.Metode
artikulasi pikiran dalam simulasi situasi digunakan untuk membandingkan pikiran dua
kelompok peserta yang bermain peran dalam situasi netral dan dalam situasi dimana mereka
di kritik secara tajam. Satu kelompok terdiri dari para sukarelawan peserta kuliah pengenalan
psikologi; kelompok lain terdiri dari para mahasiswa prasarjana yang dirujuk oleh pusat
konseling mahasiswa dan diidentifikasi oleh para terapis mereka sebagai orang-orang yang
pemalu, menarik diri, dan memiliki kecemasan sosial. Pikiran yang diartikulasikan oleh para
mahasiswa yang memiliki kecemasan sosial ketika mereka membayangkan diri mereka
dikritik mencakup Saya ditolak oleh orang-orang ini, Tidak ada tempat untuk
bersembunya sekarang ini, Saya pikir saya orang yang membosankan ketika berbicara
dengan orang lain, Saya sering berpikir bahwa saya seharusnya tidak berbicara sama
sekali.
Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam gangguan ini-rasa
takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan tersebut sesungguhnya tampak irasional bagi
mereka yang mengalaminya. Fenomena ini dapat terjadi karena rasa takut terjadi melalui
proses-proses otomatis yang terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses
awal tersebut, stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat
menghilangkan rasa takut tersebut (Amir. Foa, & Coles, 1998)
Dalam satu studi, yang secara parsial menguji teori tersebut, orang-orang yang memiliki
ketakutan besar terhadao ular atau laba-laba dipertontonkan pada gambar-gambar yang
bervarisasi yang beberapa diantaranya diharapkan akan memunculkan rasa takut (ular dan
laba-laba), sedangkan yang lain tidak (bunga dan jamur). Setiap gambar diikuti 30 mili detik
setelahnya dengan pola stimulus lain sehingga isi gambar tersebut tidak dapat dikenali secara
sadar. Namun demikian, orang-orang yang sangat takut pada ular menunjukkan peningkatan
konduktans ketika melihat gambar ular, dan yang sangat takut pada laba-laba yang
menunjukkan peningkatan konduktans kulit ketika melihat gambar laba-laba,
mengindikasikan bahwa ketakutan fobik dapat ditimbulkan oleh stimuli yang tidak disadari
sehingga jelas irasional (Ohman dan Soares, 1994)
Faktor-Faktor Biologis yang Memengaruhi. Berbagai teori yang telah kita bahas terutama
melihat pada lingkungan untuk menemukan penyebab dan yang membuat fobia menetap.
Namun, mengapa beberapa orang memiliki ketakutan yang tidak realistic, sedangkan yang
lain tidak, padahal mereka mendapat kesempatan pembelajaran yang sama? Mungkin mereka
yang secara negative sangat terpengaruh oleh stress memiliki mal fungsi biologis (suatu
diathesis) yang dengan cara satu atau lainnya memicu terjadinya fobia setelah kejadian yang
penuh stres. Penelitian dalam dua area berikut tampaknya menjanjikan: system saraf otonom
dan factor genetic.
System Saraf Otonom. Seperti disebutkan sebelumnya, orang-orang yang mengalami fobia
sosial seringkali merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara
berlebihan di depan umum. Karena berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh
system saraf otonom, aktivitas system saraf otonom yang berlebihan kemungkinan
merupakan suatu diathesis. Namun demikian, ebagian besar bukti tidak menunjukkan bahwa
orang-orang yang menderita fobia sangat berbeda dalam pengendalian berbagai bentuk
aktivitas otonomik, walaupu saat berada dalam situasi seperti berbicara di depan umum yang
diharapkan akan terjadi perbedaan. Mungkin ketakutan terhasdap memerahnya wajah atau
berkeringat sama pentingnya dengan wajah yang benar-benar memerah atau berkeringat.
Sebagai contoh, suatu studi baru-baru ini mengukur memerahnya wajah dalam tiga tugas
berbeda yang menyebabkan stress dalam tiga kelompok: mereka yang menderita fobia sosial
menuturkan bahwa wajah mereka sering memerah; mereka yang menderita fobia sosial yang
tidak menuturkan bahwa wajah mereka sering memerah; dan kelompok kontrol. Para peserta
yang menderita fobia sosial menuturkan bahwa wajah mereka lebih sering memerah dalam
tiga tugas tersebut, namun secara actual mereka lebih memerah disbanding kelompok kontrol
hanya dalam satu dari ketiga tugas tersebut (melihat rekaman video tentang diri mereka
sedang menyanyikan sebuah lagu anak-anak). Orang-orang yang menderita fobia sosial yang
sebelumnya menuturkan memerahnya wajah secara actual tidak lebih memerah disbanding
orang-orang yang menderita fobia sosial yang tidak menuturkan merahnya wajah (Gerlach
dkk, 2001). Dengan demikian, bila aktivitas otonom yang berlebihan (tercermin dalam
memerahnya wajah) memiliki relevansi dengan fobia sosial, rasa takut terhadap konsekuensi
aktivitas otonom mungkin merupakan hal yang lebih penting.
Faktor Genetik. Beberapa studi telah menguji apakah factor genetic berperan dalam fobia.
Fobia darah dan penyuntikan sangat familiar; 64 persen pasien fobia darah dan penyuntikan
memilik sekurang-kurangnya satu kerabat tingkat pertama yang menderita ganggua yang
sama, sedangkan prevalensi gangguan dalam populasi umum hanya 3 sampai 4 persen (Ost,
1992). Sama dengan itu, baik untuk fobia sosial maupun fobia spesifik, prevalensinya lebih
tinggi disbanding rata-rata pada keluarga tingkat pertama pasien, dan studi terhadap orang
kembar menunjukkan kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar MZ dibanding kembar DZ
(Hettema, M. Neale dan Kendler, 2001).
Terkait dengan penemuan ini adalah penelitian Jerome Kagan mengenai karakter terhambat
atau pemalu (Kagan & Snidman,1997). Beberapa bayi berusia empat bulan menjadi
terganggu dan menangis ketika ditunjuki mainan atau stimuli lain. Pola perilaku ini, yang
mungkin diturunkan, dapat menjadi tahap awal bagi perkembangan fobia kelak. Dalam satu
studi, sebagai contoh, anak-anak yang mengalami hambatan memiliki kemungkinan lima kali
lebih besar dibanding anak-anak yang tidak terhambat untuk mengalami fobia kelak
(Biederman dkk, 1990).
Data yang kami sajikan tidak secara gamblang mengaitkan faktor genetik. Walaupun
keluarga dekat memiliki gen yang sama mereka juga memiliki kesempatan besar untuk saling
mengamati dan mempengaruhi. Fakta bahwa ayah dan anak laki-lakinya memiliki ketakutan
pada ketinggian dapat mengindikasikan komponen genetic, peniruan langsung si anak
terhadap perilaku ayahnya, atau keduanya.Walaupun terdapat beberapa alas an untuk
mempercayai bahwa faktor-faktor genetic mungkin berperan dalam etiologi fobia, namun
hingga saat ini tidak ada bukti tegas yang menunjukkan sampai sejauh mana peran faktor
genetik.
Terapi Fobia
Setelah mengkaji teori penyebab fobia, kami akan membahas berbagai terapi utama untuk
menanganinya. Bagian terapi dalam bab 2 dimaksudkan sebagai pelengkap suatu konteks
untuk memahami pembahasan mengenai terapi pada bab ini dan bab-bab selanjutnya.
Evalusai mendalam terhadap terapi disajikan pada bab 17.
Sebagian besar orang mengalami penderitaan, terkadang tanpa diketahui orang lain, karena
fobia yang mereka alami dantidak mencari pertolongan (Magee dkk, 1996).Pada
kenyataannya, banyak orang yang didiagnosis mengidap fobia oleh seorang ahli klinis tidak
merasa dirinya mempunyai masalah yang memerlukan perhatian khusus.Keputusan untuk
menjalani terapi seringkali muncul ketika terjadi perubahan dalam kehidupan seseorang yang
membuatnya terpapar dengan sesuatu yang telah dihindari atau diminimalkan selam
bertahun-tahun.
Seorang insinyur teknik industry yang berusia 30 tahun berkonsultasi dengan kami untuk
mengatasi ketakutannya naik pesawat terbang ketika ia mendapat promosi jabatan yang
membuatnya sering melakukan perjalanan. Promosi jabatan tersebut merupakan hasil
prestasi kerjanya selama beberapa tahun dalam pekerjaan di belakang meja di perusahaan
terkait. Perjalanan dengan keluarga selalu dilakukan dengan mengendarai mobil atau naik
kereta api, dan orang-orang dekatnya berkompromi dengan ketakutannya yang merusak
untuk naik pesawat terbang. Bayangkan perasaannya yang bercampur baur ketika
diberitahu bahwa ia mendapat promosi tersebut! Ambisi dan harga dirinya-dan doronga n
dari keluarga dan teman-teman-mendorongnya untuk mencari bantuan.
Pendekatan Psikoanalisis. Seperti halnya teori psikoanalisis yang memiliki banyak variasi,
demikian juga terapi psikoanalisis.Walaupun demikian, secara umum, semua penanganan
psikoanalisis terhadap fobia berupaya mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang
diasumsikan mendasari ketakutan ekstrem dan karakteristik penghindaran dalam gangguan
ini.Karena fobia dianggap sebagai simtom dari konflik-konflik yang ada dibaliknya, fobia
biasanya tidak secara langsung ditangani.Memang, upaya langsung untuk mengurangi
penghindaran fobik dikontraindikasikan karena fobia diasumsikan melindungi orang yang
bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Dalam berbagai kombinasi analisis menggunakan berbagai teknik yang dikembangkan dalam
tradisi psikoanalisis untuk membantu mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas analisis
mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap
rujukan mengenai fobia. Analisis juga berupaya menemukan berbagai petunjuk terhadap
penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi yang tampak jelas.Apa yang diyakini analis
mengenai penyebab yang ditekan tersebut tergantung pada teori psikoanalisis tertentu yang
dianutnya. Seorang analis ortodoks akan mencari konflik-konflik yang berkaitan dengan seks
atau agresi, sedangkan analis yang menganut teori interpersonal dari Arieti akan mendorong
pasien untuk mempelajari generalisasi ketakutannnya terhadap orang lain.
Analis ego kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat insight dan lebih fokus untuk
mendorong pasien menghadapi fobia.Walaupun demikian, mereka juga menganggap fobia
sebagai akibat dari masalah yang terjadi pada masa lalu.Alexander dan French, dalam buku
klasiknya psychoanalytic therapy (1946), menulis tentang pengalamn emosional korektif
dalam terapi, yang mereka maksudkan sebagai situasi di mana pasien menghadapi sesuatu
yang amat sangat ditakutinya.Mereka mengamati bahwa Freud sendiri menyimpulkan
bahwa dalam penanganan beberapa kasus, contohnya fobia, akan tiba waktunya analis harus
mendorong pasien untuk melakukan berbagai aktivitas yang dihindarinya pada masa
lalu.Wachtel (1977) bahwa lebih tegas merekomendasikan para analis untuk menggunakan
teknik-teknik reduksi rasa takut yang digunakan para terapis perilaku, seperti desensitisasi
sistematik.(Pembahasan lebih rinci mengenai usulan Wachtel untuk menggabungkan
psikoanalisis dan terapi perilaku terdapat pada Bab 17).
Para ahli klinis yang berorientasi analitis mengakui pentingnya pemaparan dengan sesuatu
yang ditakuti, walaupun biasanya mereka cenderung menganggap perbaikan kondisi yang
mengikutinya hanya bersifat simtomatik dan bukan sebagai penyelesaian atas konflik
mendasar yang diasumsikan sebagai penyebab fobia (Wolitzky & Eagle, 1990).
Selain itu, banyak terapis perilaku yang telah menyadari pentingnya pemaparan dengan
situasi fobik dalam kehidupan nyata, kadangkala selama periode dimana pasien
didesensitisasi dalam imajinasi dan kadangkala sebagai pengganti prosedur berbasis
pencitraan (Craske, Rapee, & Barlow, 1992).Sebagian besar peneliti klinis kontemporer
menganggap bahwa pemaparan secara nyata lebih bernilai dibanding teknik yang
menggunakan imajinasi, tidak mengherankan karena stimuli imajiner secara harfiah bukanlah
hal yang sesungguhnya.
Pada saat yang sama penting untuk dicatat bahwa desensitisasi dalam imajinasi secara khusus
sesuai bila tidak dimungkinkan atau tidak praktis untuk memaparkan orang yang sangat
ketakutan secara langsung pada sesuatu yang mereka takuti. Sebagai contoh, jika seorang
terapis ingin memberikan pemaparan secara bertingkat dengan figur otoritas dalam hidup
pasien, misalnya dengan ayah pasien yang sudah meninggal, maka akan bermanfaat untuk
dapat menggunakan pemaparan dengan pencitraan sebagai pengganti hal nyata dan untuk
mengetahui bahwa, berdasarkan penelitian terkendali dalam prosedur original dari Wolpe,
pemaparan terhadap situasi imajiner menghasilkan reduksi kecemasan yang signifikan.
Flooding adalah teknik terapeutik dimana klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam
intesitas penuh.Rasa tidak nyaman ekstrem menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur
ini sehingga belum lama ini cenderung menahan terapis untuk menggunakan teknik ini,
kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila pemaparan secara bertingkat tidak membuahkan
hasil. Dalam pembahasan mengenai terapi untuk gangguan obsesif kompulsif dan gangguan
stres pasca trauma, kita akan melihat penggunaan teknik flooding yang lebih luas.
Fobia darah dan penyuntikan hanya baru-baru ini saja, dalam DSM-IV-TR, dibedakan dari
jenis ketakutan dan penghindaran berat lain karena reaksi yang berbeda dari para penderita
fobia tersebut terhadap pendekatan behavioral yang biasa digunakan yaitu relaksasi
bersamaan dengan pemaparan (Page, 1994). Relaksasi cenderung memperburuk situasi bagi
penderita fobia darah dan penyuntikan.Mengapa?Pertimbangkan bahwa setelah ketakutan
awal, yang disertai dengan naiknya denyut jantung dan tekanan darah secara dramatis, pasien
yang menderita fobia darah dan penyuntikan sering kali mengalami penurunan tekanan darah
dan denyut jantung secara mendadak dan biasanya menjadi lemas (McGrady & Bernal,
1986).Dengan mencoba untuk rileks, pasien cenderung menjadi lemas, rasa takut dan
penghindaran mereka yang sudah sangat besar terhadap situasi tersebut secara keseluruhan
meningkat, juga rasa malu mereka (Ost, 1992).Hasil penelitian dan observasi klinis adalah
bahwa pasien yang menderita fobia darah dan penyuntikan sekarang ini didorong untuk
mengencangkan otot mereka, bukannya mengendurkan ketika menghadapi situasi yang
mereka takuti (Hellstrom, Fellenius, & Ost, 1996; Ost, Fellenius, & Sterner, 1991).
Mempelajari keterampilan sosial dapat membantu penderita fobia sosial yang tidak
mengetahui apa yang harus diucapkan atau dilakukan dalam berbagai situasi sosial. Beberapa
terapis behavioral mendorong pasien untuk berlatih peran atau melatih pertemuan
interpersonal di dalam ruang konsultasi atau kelompok terapi kecil (Heimberg & Juster,
1994; Heimberg dkk., 1993; Marks, 995;Mattick& Andrews, 1994). Beberapa studi
membuktikan efektivitas pendekatan semacam itu (a.l., Heimberg dkk, 1989; Turk, Hope, &
Heimberg, 2001; Turner, Beidel, & Cooley-Quille, 1995).Seperti diungkapkan Herbert
(1985), praktik-praktik demikian juga dapat memaparkan orang yang ketakutan, bahkan jika
keterampilan sosialnya tidak rendah, pada berbagai kondisi yang memicu kecemasan, seperti
yang diamati oleh orang lain, sehingga ketakutan dapat dihilangkan melalui pemaparan dalam
kehidupan nyata (Hope, Heimberg, & Bruch, 1995).Ini merupakan salah satu contoh tentang
bagaimana suatu teknik terapeutik tertentu dapat berhasil karena lebih dari satu hal.
Modeling merupakan teknik lain yang menggunakan pemaparan terhadap berbagai situasi
yang ditakuti. Dalam terapi modeling, klien yang ketakutan melihat orang lain yang
berinteraksi dengan objek melalui film atau secara langsung fobik tanpa rasa takut,
contohnya, memegang ular yang tidak berbisa atau mengusap-usap anjing yang jinak.
Menunjukkan pada orang-orang yang mengalami kecemasan sosial bagaimana mereka dapat
berinteraksi dengan orang lain secara lebih baik merupakan bagian tak terpisahkan dalam
pelatihan keterampilan sosial yang disebutkan sebelumnya bagi pasien yang kecemasan
sosialnya, sekurang-kurangnya sebagian, terjadi karena mereka tidak tahu bagaimana harus
berperilaku dalam berbagai situasi sosial.
Para terapis perilaku yang lebih menyukai teknik-teknik operant mengabaikan rasa takut yang
diasumsikan mendasari fobia, bukan memerhatikan penghindaran yang ditunjukkan terhadap
berbagai objek fobik dan pada perilaku mendekat yang harus menggantikan perilaku tersebut.
Mereka memperlakukan pendekatan terhadap situasi yang ditakuti seperti halnya operant lain
dan membentuknya sesuai dengan prinsip successive approximations.Pemaparan secara nyata
terhadap objek fobik dicapai secara bertingkat, dan klien diberi hadiah walaupun hanya
mengalami keberhasilan minimal dalam bergerak lebih mendekati objek terkait.Perlu dicatat
bahwa pemaparan merupakan aspek yang tak terhindarkan dalam setiap pembentukan operant
dalam perilaku mendekat.
Banyak terapis perilaku memberikan perhatian pada rasa takut dan penghindaran dengan
menggunakan teknik seperti desensitisasi untuk mengurangi rasa takut dan pembentukan
operant untuk mendorong pendekatan (Lazarus, Davison, dan Polefka, 1965).Dalam tahap
awal penanganan, ketika rasa takut dan penghindaran sangat besar, terapis berkonsentrasi
mengurangi rasa takut melalui pelatihan relaksasi dan pemaparan bertingkat terhadap situasi
fobik.Seiring dengan berjalannya terapi, penghindaran lebih menjadi isu dibanding rasa takut.
Seseorang yang menderita fobia sering kali menempatkan dirinya pada posisi dimana orang
lain mengakomodasi ketidakmampuannya sehingga malah memperkuat fobia yang diderita
orang tersebut (para psikoanalis menyebut fenomena ini sebagai secondary gain). Sejalan
dengan berkurangnya kecemasan si penderita, ia akan mampu mendekati sesuatu yang
sebelumnya sangat menakutkan baginya. Perilaku terbuka ini dapat dikuatkan secara positif-
dan penghindaran tidak didorongoleh keluarga dan teman-teman serta oleh terapis.
Pendekatan Kognitif. Terapi kognitif bagi fobia spesifik dipandang dengan skeptis karena
karakteristik utama penentu fobia: rasa takut fobik diakui oleh penderitanya sebagai rasa
takut yang berlebihan atau tidak beralasan. Jika penderita mengakui bahwa ia mengalami
ketakutan pada sesuatu yang tidak berbahaya, apa yang dapat dilakukan terapi tersebut untuk
mengubah pikiran si penderita? Memang, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hanya
dengan menghapuskan keyakinan irasional tanpa pemaparan dengan situasi yang ditakuti
akan mengurangi penghindaran fobik (Turner dkk., 1992; Williams dan Rappoport, 1983).
Secara kontras, berkaitan dengan fobia sosial metode kognitif semacam itu-kadangkala
dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan sosial-lebih menjanjikan.Orang-orang yang
menderita fobia sosial dapat memperoleh manfaat dari strategi penanganan yang mengacu
pada Beck dan Ellis. Yaitu, mereka mungkin dipersuasi oleh terapis untuk menilai reaksi
orang lain terhadap mereka secara lebih akurat (kernyitan wajah guru saya mungkin tidak
berarti bahwa dia tidak setuju dengan saya, namun lebih menunjukkan sesuatu yang sedang
dipikirkannya yang tidak berkaitan sama sekali dengan saya) dan untuk tidak terlalu
bergantung pada persetujuan orang lain untuk mempertahankan perasaan bahwa diri kita
bermakna (hanya karena saya dikritik bukan berarti saya adalah seorang tanpa entitas yang
bermakna). Dengan pengakuan dalam tahun-tahun terakhir bahwa banyak orang yang
menderita fobia sosial, pada dasarnya memiliki cukup keteramopilan sosial namun terhambat
oleh pikiran-pikiran yang menghancurkan diri sendiri, pendekatan kognitif semakin
dititikberatkan. Bila dikombinasikan dengan pemaparan dengan situasi yang ditakuti,
terutama dalam konteks terapi kelompok, pendekatan kognitif terbukti lebih efektif dibanding
berbagai terapi lain (Turk dkk., 2001).
Walaupun demikian, perbedaan yang secara statistik signifikan antara kelompok terapi yang
menjalani, contohnya, terapi perilaku kognitif dan kelompok kontrol tidak berarti bahwa
semua atau bahkan sebagian besar pasien yang diterapi akhirnya tidak mengalami kecemasan
sosial sama sekali. Bertentangan dengan itu-dan generalisasi ini berlaku bagi semua terapi
yang dinilai efektif-banyak pasien yang sama sekali tidak merespons atau hanya mengalami
reduksi kecemasan secara parsial sebagai hasil dari terapi tersebut (DeRubeis dan Crits-
Cristoph, 1998). Menilik hal itu, keuntungan terapi bersifat signifikan dan bermakna klinis
bagi sebagian besar pasien yang menjalani terapi yang memaparkan mereka, dalam kondisi
yang nyaman dan terkendali, dengan situasi interpersonal seraya mendorong mereka untuk
mengubah cara berpikir negatif tentang penampilan mereka.
Semua terapi behavioral dan kognitif bagi fobia memiliki tema yang berulang, sebutlah,
pasien perlu mulai menghadapi sesuatu yang diyakini terlalu menakutkan, terlalu mengerikan
untuk dihadapi.Walaupun para psikoanalis percaya bahwa rasa takut berasal dari masa lalu
yang terpendam sehingga menunda konfrontasi langsung, pada akhirnya mereka juga
mendorong pasien untuk menghadapinya (a.l., Zane, 1984).Freud menyatakan, Seseorang
hampir tidak dapat mengatasi fobia jika ia menunggu sampai pasien membiarkan analisis
memengaruhinya untuk menghadapinya.Seseorang berhasil hanya jika dapat membuat
mereka mengatasinya sendiri dan berupaya berjuang untuk menghadapi kecemasan mereka
(Freud, 1919, hlm. 400).Dengan demikian, semua terapi tersebut mencerminkan sebentuk
kebijaksanaan yang tidak lekang oleh waktu, yaitu yang menyatakan bahwa kita harus
menghadapi ketakutan kita.Sebagaimana diungkapkan dalam peribahasa Cina kuno,
Pergilah langsung ke jantung bahaya, karena disana anda akan menemukan rasa aman.
Dalam tahun-tahun terakhir, obat-obatan yang pada awalnya dikembangkan untuk menangani
depresi (antidepresan) menjadi populer untuk menangani banyak gangguan anxietas,
termasuk fobia.Salah satu kelompok obat-obatan tersebut, penghambat monoamine oxidase
(MAO), menunjukkan hasil yang lebih baik dalam satu studi untuk menangani fobia
sosialdisbanding benzodiazepine (Gelernter dkk, 1991), dan dalam studi lain sama efektifnya
dengan terapi perilaku kognitif dalam pengamatan setelah terapi selama 12 minggu
(Heimberg dkk, 1998). Namun, penghambat MAO, seperti phenelzein (Nardil), dapat
menyebabkan peningkatan berat badan, insomnia, disfungsi seksual, dan
hipertensi.Penghambat pengembalian serotonin selektif yang baru-baru ini tersedia (SSRI),
seperti fluoxetine (Prozac), pada awalnya juga dikembangkan untuk menangani depresi.Obat-
obatan jenis ini juga menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk mengurangi fobia spesifik
dan sosial dalam berbagai studi double blind (Benjamin dkk, 2000; Van Ameringen dkk,
2001).Walaupun demikian, masalah kunci dalam menangani fobia dan gangguan anxietas
lain dengan menggunakan obat-obatan adalah pemberian obat-obatan mungkin sulit
dihentikan, dan kekambuhan umum terjadi jika pasien berhenti menggunakannya (Herbert,
1995).
2. Gangguan Panik
Ganggaun panik adalah gangguan kecemasan dimana seseorang mengalami serangan panik
yang berulang, periode rasa tajut yang hebat, dan perasaan akan mengalami musibah atau
kematian, diikuti oleh gejala-gejala fisiologis seperti peningkatan detak jantung dan rasa
pusing. Dalam gangguan panik seseorang mengalami serangan mendadak dan seringkali
tidak dapat dijelaskan dalam bentuk serangkaian simtom yang tidak mengenakkan seperti
kesulitan berbapas, jantung berdebar, mual, nyeri dada, merasa seperti tersedak, dan tercekik;
pusing, berkeringat, dan gemetar, serta kecemasan yang sangat dalam, teror, dan merasa
seolah akan mati. Depersonilisasi, perasaan seolah berada di luar tubuh, dan derelisasi, suatu
perasaan bahwa duunia tidak nyata, juga ketakutan kehilangan kendali, menjadi gila atau
bahkan ati dapat memenuhi dan menguasai pasien.
Meskipun serangan panik sepertinya muncul begitu saja, namun sebenarnya serangan panik
akan muncul sebagai akibat dari stres, emosi, yag berlangsung untuk waktu yang lama,
kekhawatiran mengenai sesuatu secara spesifik, atau pengalaman yang menimblkan rasa
takut (MC Nally, 1998). Sebagai contoh, salah seorang teman kami menjadi penumpang
pesawat yang mendapatkan ancaman bom pada saat pesawat tersbut berada pada ketinggian
33.000 kaki, pada saat itu teman kami mampu menghadapai situasi tersebut dengan sangat
baik, namun 2 minggu kemudia, secara tiba-tiba ia mengalami serangan panik.
Serangan panik dapat sering terjadi, mungkin sekali dalam seminggu atau lebih sering lagi;
biasanya berlangsung selama beberapa menit, jarang dalam hitungan jam; dan kadangkala
berkaitan dengan situasi spesifik, seperti mengendarai mobil. Jika sangat terkait dengan
pemicu situasional, disebut serangan panik berisyarat (cued panik attacks). Jika terdapat
hubungan antara stimulus dengan serangan namun tidak sangat kuat, serangan ini disebut
sebagai serangan yang dipicu secara situasional. Serangan panik juga dapat terjadi dalam
kondisi yang tampaknya tenang, seperti relaksasi, dalam tidur, dan dalam situasi yang tidak
terduga; dalam kasus-kasus ini disebut sebagai serangan tanpa isyarat (uncued attacks).
Serangan tanpa isyarat yang berulang dan khawatir mengalami serangan pada masa
mendatang merupakan prasyarat diagnosis gangguan panik, namun serangan panik sendiri
cukup banyak terjadi (antara 3-5 % dalam populasi umum setiap tahunnya) pada orang-orang
yang tidak memenuhi kriteria gangguan panik (Norton, Cox, & Malan, 1992). Terjadinya
serangan berisyarat saja kemungkinan besar menandakan adanya fobis.
Prevalensi sepanjang hidup ganguan panik sekitar 2% pada laki-laki dan lebih dari 5% pada
perempuan (Kessler, dkk., 1994). Umumnya berawal pada masa remaja, dan kemunculannya
terkait dengan pengalaman hidup yang penuh stress (Pollard, Pollard, dan Cori, 1989).
Prevalensi gangguan panik bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh, di Afrika
didiagnosis pada sekitar 1% laki-laki dan 6% perempuan (hollifield, dkk., 1990), namun
demikian di Taiwan prevalensi gangguan panik cukup rendah, mungkin disebabkan stigma
bila menuturkan masalah mental (Weissman, dkk., 1997). Gangguan yang memiliki
keterkaitan dengan gangguan panik juga terjadi dalam berbagai budaya lain. Di kalangan
Eskimo di Greenland barat contohnya, kayak-angst terjadi pada para pemburu anjing laut
yang berada sendirian di tengah lautan. Serangan mencakup rasa takut yang sangan besar,
disorietasi, dan kekhawatiran akan tenggelam. Attaque de nervios pada awalanya
diidentifikasi di Puerto Rico dan mencakup simtom-simtom fisik serta ketakutan menjadi gila
setelah mengalami stress berat.
Dalam DSM-IV-TR gangguan panik didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia. Agorafobia
(dalam bahasa Yunani agora yang berarti daerah pasar) adalah sekumpulan rasa takut pada
tempat-tempat umum dan ketidakmampuan melarikan diri atau mendapatkan pertolongan
karena kecemasan. Takut untuk berbelanja pada keramaian, dan melakukan perjalanan sering
kali juga dialami. Banyak pasien yang menderita agoraphobia tidak mampu keluar rumah
atau melakukannya dengan penderitaan yang sangat. Para pasien yang menderita gangguan
panik umumnya menghindari situasi dimana serangan panik dapat berbahaya atau
memalukan. Jika penghindaran tersebut meluas, hasilnya adalah panik dengan agoraphobia.
(Jika agoraphobia muncul tanpa gangguan panik yang dapat didiagnosis umumnya orang
tersebut mengalami simtom-simom panik, namun bukan serangan penuh. Dengan demikian,
dalam kedua kasus agoraphobia berkaitan dengan ketakutan mengalami serangan). Gangguan
panik dengan agoraphobia atau agoraphobia tanpa riwayat gangguan panik lebih banyak
terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.
Lebih dari 80% pasien yang didiagnosis menderita salah satu gangguan anxietas juga
mengalami serangan panik (Barlow, dkk., 1985). Koeksistensi gangguan panik dan depresi
mayor juga umum terjadi (Johnson & Lydiard, 1988), sebagaimana komorbiditas antara
ganggaun panik dan ganggaun anxietas menyeluruh, fobia, (Browndkk., 2001), alkoholisme,
dan gangguan kepribadian (Johnson, Weissman, & Klerman, 1990), terutama gangguan
kepribadian menghindar, dependen, dan histrionic. Sebagaimana dengan banyak gangguan
yang dibahas dalam buku ini, komorbiditas diasosiasikan dengan tingkat keparahan yang
lebih tinggi dan hasil yang rendah, kemungkinan disebabkan lebih banyak masalah yang
harus ditanagni (Newman, dkk., 1998).
Etoilogi Gangguan Panik
Dua teori yaitu biologis dan psikologis telah digunakan untuk menjelaskan gangguan panik:
Teori Biologis
Dalam bebrapa kasus, sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu penyakit memicu beberapa
orang mengalami ganggaun panik. Sebagai contoh, sindrom penurunan katup kiri jantung
menyebabkan jantung berdebar, penyakit telinga bagian dalam meyebabkan kepusingan yang
dirasakan menakutkan bagi beberapa orang dan memicu terjadinya ganggaun panik
(Asmundson, Larsen, & Stein, 1998; Hamada dkk., 1998).
Ganggaun panik diturunkan dalam keluarga dan memiliki kesesuaian yang lebih besar pada
kembar MZ (kembar identk) disbanding kembar DZ (kembar dua telur). Dengan demikian
suatu diathesis genetic mungkin berpengaruh (Hettema, Neale, & Kendler, 2001).
Aktivitas Noradregenik. Teori biologi lain menyatakan bahwa panik disebabkan oleh
aktivitas yang berlebihan dalam system noradregenik (neuron yang menggunakan
norepinefrin sebagai neurotransmitter). Salah satu versi teori ini memfokuskan pada nucleus
dalam ponds yang disebut locus ceruleus. Perangsangan terhadap locus curuleus mnyebabkan
kera mengalami apa yang terlihat seperti seranagn panik, menunjukkan kemungkinan bahwa
serangan yang terjadi secara alami disebabkan oleh aktivitas noradregenik yang berlebihan
(Redmond, 1977). Penelitian selanjutnya dengan menggunakan manusia menemukan bahwa
yohimbine, obat yang merangsang aktivitas dalam locus ceruleus, dapat menghentikan
serangan panik pada pasien ganggaun panik (Charney dkk., 1987). Namun demikian,
penelitian yang lebih mutakhir tidak konsisten dengan penemuan tersebut. Penting untuk
diketahui, obat-obatan yang menghambat pembakaran dalam locus ceruleus ternyata tidak
sangat efektif untuk menangani serangan panik (Mc Nally, 1994).
Pemikiran lain tentang aktivitas noradregenik yang berlebihan adalah bahwa hal itu
disebabkan oleh sutu masalah dalam neuron gamma-aminobutyric (GABA) yang secara
umum menghambat aktivitas noradregenik. Sejalan dengan pemikiran ini, sebuah studi PET
menemukan situs penyatuan reseptor GABA yang lebih sedikit jumlahnya pada pasen
ganggaun panik disbanding pada kelompok control (Malizia dkk., 1998), dan level GABA
yang rendah dalam korteks oksipital pada pasien gangguan panik (Goddard akk., 2001).
Dengan demikian, walaupun tidak ada kesimpulan definitive yang dapat diambil, aktivitas
noradregenik yang berlebihan tetap menjadi sasaran penelitian aktif.
Teori Psikologis. Teori psikologi utama mengenai agoraphobia yang sering menyertai
ganggaun panik adalah hipotesis ketakutan-terhadap-ketakutan (a.l., Goldstein & Chambless,
1978), yang berpendapat bahwa agoraphobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat
umum itu sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik d tempat umum.
Classical conditioning dan perbedaan antara kecemasan dan panik menjadi dasar satu teori
yang diajukan bru-baru ini mengenai serangan panik itu sendiri (Bouton, Mineka, & Barlow,
2001). Panik, sebagaimana kami gambarkan sebelumnya, merupakan kondisi ketakutan
ekstrem dan ketegangan otonomik yang sangat kuat. Kecemasan dipandang sebagai kondisi
kegugupan dan kekhawatiran. Poin utama teori tersebut adalah serangan panik menjadi
terkonsdisi secara klasikal pada sensasi fisik internal yang ditimbulkan oleh kecemasa. Teori
ini didukung oleh beberapa studi dimana orang-orang yang menderita ganggaun panik
mancatat serangan yang mereka alami dan hal-hal yang memicunya. Kecemasan dan sensasi
fisik sering kali dituturkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, serangan panik bukan
merupakan hal yang tidak biasa. Mengapa beberapa orang kemudian menderita gangguan
panik, sedangkan yang lain mampu mengatasi serangnan tersebut? Salah satu kemungkinan
adalah mereka yang kemudian menderita gangguan panik, menganggap serangan tersebut
sebagai sesuatuyang tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diprediksi serta melihat
serangan tersebut sebagai kekuatan tertentu. Hal ini dapat menjadi UCS yang sangat kuat
sekaligus meningkatkan conditioning. Kemungkinan lain adalah gangguan panik terjadi pada
orang-orang yang secara umum memiliki kecemasan tinggi.
Teori kedua mengenai gangguan panik juga mefokuskan pada gejala-gejala awal suatu
serangan, namun menekankan pada kesalahan interpretasi yang bersifat merusak terhadap
stimuli ini (Clark, 1996). Serangan panik terjadi bila seesorang merasakan semacam sensasi
fisik dan menginterpretasinya sebagai tanda-tanda datangnya kematian. Pikiran tersebut
memicu kecemasan yang lebih besar dan sensasi fisik yang lebih banyak sehingga tercipta
lingkaran setan.
Dalam suatu pengujian penting terhadap hipotesis ini Telch dan Harrington (1992) meneliti
para mahasiswa yang tidak memiliki riwayat serangan panik dan dibagi dalam dua kelompok
(skor tinggi dan rendah) berdasarkan skor mereka pada tes yang disebut Anxiety Sensitivity
Index, yang mengukur sampai sejauh mana orang merespons dengan penuh rasa takut
berbagai sensasi fisi yag dialami. Semua peserta menjalani dua kali uji coba. Dalam uji coba
pertama mereka menghirup udara ruangan, dan dalam uji coba kedua mereka menghirup
udara dengan konsentrasi karbondioksida yang lebih tinggi dari biasanya. Separuh peserta
pada masing-masing kelompok diberitahu bahwa karbon diksida akan membuat rileks, dan
separuhnya diberitahu bahwa karbondioksida akan membuat rileks, dan separuhnya
diberitahu bahwa karbondioksida akan menyebabkan simtom-simtom ketegangan tinggi.
Frekuensi serangan panik pada kedua kelompok dapat dilihat pada tabel. Perhatikan bahwa
serangan panik tidak terjadi pada peserta ketika mereka menghirup udara ruangan,
menegaskan penemuan sebelumnya. Data tersebut juga menunjukkan bahwa frekuensi
seranagn panik lebih tinggi pada peserta yang memiliki ketakutan tinggi tinggi terhadap
sensasi fisik yang mereka alami. Terakhir, dan terpenting, frekuensi seranagn paniksangat
tinggi pada peserta yang takut terhadap sensasi fisik yang mereka alami, meghirup udara
dengan konsentrasi kabon dioksida yang tinggi, dan tidak mengharapkan hal itu akan
menyebabkan ketegangan. Hasil ini sangat sesuai dengan prediksi teori tersebut; ketegangan
fisiologis yang tidak bisa dijelaskan pada seseorang yang takut terhadap sensasi semacam itu
memicu seranagn panik. Terlebih lagi, terungkap bahwa skor pada Anxiety Sensitivity Index
dapat diturunkan dalam keluarga sehingga pengukuran ini dapat menjadi sumber diathesis
genetik bagi ganggaun panik (Stein, King, & Livesley, 1999).
Studi lain yang berkaitan dengan teori ganggaun panik ini melibatkan para karyawan baru
ketika mereka menjalani pelatihan dasar yang penuh stres (Schmidt, Lerew, & Jackson,
1997). Anxiety Sensitivity Index diberikan kepada merekan, kemudian pengukuran klinis
menentukan siapa saja yang mengalami serangan panik selama berlangsungnya pelatihan
asar. Konsisten dengan teori tersebut, skor tinggi pada Anxiety Sensitivity Index
memprediksi terjadinya serangan panik.
Konsep kontrol juga relevan dengan panik. Para pasien yang menderita gangguan tersebut
memiliki ketakutan ekstrem kehilanagn kendali, yng sering terjadi jika mereka mengalami
serangan ditempat umum. Pentingnya kontrol ditunjukkan dengan jelas dalam suatu studi
yang dilakukan Sanderson, Rapee, dan Barlow (1989), yang merupakan pengulanagn
konseptual studi sejenis yang dilakukan sebelumnya oleh Geer, Davidson, dan Gatchel
(1970), para pasien gangguan panik menghirup karbon dioksida dan diberitahu bahwa ketika
sebuah lampu menyala mereka dapat memutar tombol untuk mengurangi konsentrasi
karbondoksida. Lampu dinyalakan terus-menerus untuk sparuh peserta, sedangkan untuk
separuhnya lagi lampu tersebut tidak dinyalakan sama sekali. Sebenarnya memutar tombol
sama sekali tidak memengaruhi tingkat karbon dioksida sehingga studi tersebut mengeveluasi
efek kontrol yang dirasakan atas reaksi terhadap faktor tersebut. Sebanyak 80% peserta dalam
kelompok yang tidak memiliki kontrol mengalami serangan panik, dibandingkan dengan 20%
peserta dalam kelompk yang mengira mreka daat mengontrol karbon dioksida. Perhatikan
bahwa selain menunjukkan dengan jelas pentingnya perasaan akan kendali dalam gangguan
panik, data tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa bukan faktor biologis semata yang
menyebabkan panik, namun lebih pada reaksi psikologis seseorang yang merupakan hal
penting.
Terapi bagi gangguan panik mencakup pendekatan biologis dan psikologis. Bebrapa
diantaranya memiliki cukup kesamaan dengan penanganan yang telah dibahas bagi fobia.
Pada sisi negatif, bila obat-obatan diberikan oleh dokter keluarga pasien, bukan dalam studi
penelitian seperti yang disebutkan diatas, efektivitasnya menurun sebagian besar karena dosis
yang kurang atau durasi penanganan yang tidak cukup lama (Roy-Byrne dkk., 2001).
Terlebih lagi, sebagian pasien gangguan panik yang diberi obat-obatan tiga siklus dihentikan
pengobatannya karena efek samping seperti rasa guggup dan bertambahnya berat badan serta
efek samping yang lebih serius seperti denyut jantung dan tekanan darah yang meningkat
(Talor dkk., 1990). Terlebih lagi benzodiazepine menyebabkan kecanduan dan menghasilkan
efek samping kognitif dan motorik, sepwerti berkurangnya memori dan kesulitan
mengemudi. Dalam upaya untuk mengurangi kecemasan, banyak pasien menggunakan
sendiri anxolytic atau alcohol; penggunaan dan penyalahgunaan obat-obatan umum terjadi
pada orang-orang yang menderita kecemasan. Walaupun jika hasilnya efektif penanganan
dengan obat-obatan harus terus dilakukan dalam waktu yang tidak trebatas karena simtom-
simtomm hampir selalu muncul lagi bila ppengobatan dihentikan (fyer, Sandberg, & Klein,
1991). Terakhir, terapi pengendalian kepanikan oleh Barlow tampaknya lebih baik dari terapi
obat yang saat ini tersedia, terutama bila dilakukan tindak lanjut jangka panjang, seperti
dijelaskan secara rinci dalam bagian berikut.
1. Training relaksasi;
2. Kombinasi intervensi behavioral kognitif dari Ellis dan Beck;
3. Bagian terbaru, pemaparan dengan tanda-tanda intrenal yang memicu kepanikan (Barlow,
1988; Barlow & craske, 1994; Craske & Barlow, 2001).
Mari kita bahas komponaen ketiga secara lebihrinci karena benar-benar cukup inovatif.
Terapis mempersuasi klien untuk berlatih berbagai perilaku yang dapat menimbulkan
perasaan yang berkaitan dengan kepanikan dan dlakukan di ruang konsultasi. Sebagai contoh,
seorang yang mengalami serangan panik yang diawali dengan hiperventilasi diminta untuk
bernapas dengan cepat selama tiga menit; seseorang yag merasa pusing dapat diminta untuk
berputar dikursi selama beberapa menit. Ketika sensasi seperti kepusingan, mulut kering,
kepala menjadi ringan, denyut jantung meningkat, dan tanda-tanda panik lain mulai terjadi,
klien (1) mengalaminya dalam kondisi yang aman dan (2) menerapkan taktik coping kognitif
dan relaksasi yang dipelajari sebelumnya (yang dapat mencakup bernapas dari diagfragma
dan bukan dengan hiperventilasi).
Dengan latihan dan dorongan atau persuasi dari terapis, klien belajar untuk mengintrepretasi
berbagai sensasi internal dari sesuatu yag menjadi tanda-tanda hilangnya kontrol dan
kepanikan menjadi tanda-tanda yang secara instrinsik tidak berbahaya dan dapat
dikendalikandengan keterampilan tertentu. Penciptaan sensasi fisik dengan sengaja oleh
klien, disertai dengan keberhasilan mengatasinya, mengurangi ketidakterdugaan dari sensasi
tersebut dan mengubah maknanya bagi klien (Craske, Maindenberg, & Bystritsky, 1995).
Tindak lanjut yang dilakukan selama dua tahun menunjukkan bahwa keuntungan terapeutik
terapi kognitif dan pemaparan ini bertahan hingga tingkat yang signifikan dan lebih baik
dibanding keuntungan yang dihasilkan darii penggunaan alprazolam (Xanax) (Craske,
Brown, & Barlow, 1991), walaupun banyak pasien yang tidak terbebas dari kepanikan
(Brown & Barlow, 1995). Baru-baru ini studi komparatif Multilokasi tehadap penanganan
gangguan Panik mulai memublikasi penemuannya yang membandingkan PCT, imipramine,
placebo, kombinasi PCT dan impramine, PCT plus placebo, imipramine plus placebo
(Barlow, Gorman, Shear, & Woods, 2000). Semua penanganan diberikan sekali seminggu
selama tiga bulan, diikuti dengan tindak lanjut selama enam bulan bagi mereka yang
kondisinya membaik dalam tiga bulan penanganan mingguan. Terakhir, enam bulan
kemudian, dilakukan pengukuran sebagai tindak lanjut. Hasil-hasil yang dipublikasikan
sejauh ini antara lain sebagai berikut:
PCT dan imipramine lebih baik dibanding placebo segera setelah penanganan.
PCT yang dikombinasikan dengan imipramine tidak lebih baik dibanding PCT plus placebo
segera setelah penanganan.
PCT yang dikombinasikan dengan imipramine tidak lebih efektif dibandingkan bila
keduanya diberikan secara tersendiri segera setelah penanganan.
Setelah enam bulan terapi tindak lanjut, semua penanganan lebih efektif dibanding placebo.
Dalam enam bulan tindak laut, mereka yang hanya ditangani dengan PCT leih baik
kondisinya dibanding mereka yang ditangani dengan PCT plus placebo atau
imipramine. Dengan kata lain, banyak pasien yag meminum obat mengalami
kekambuhan.
Secara umum, dlam banyak studi, lebih dari separuh pasien gangguan panik yng ditangani
dengan PCT terbebas dari kepanikan pada akhir penanganan dan hampir sepertiganya
sembuh dalam 6 hingga 12 bulan tindak lanjut (Telch dkk., 1995). Ini merupkan statistik
yang mengesanan, khususnya hasil tindak lanjut, terutama bila dibandingkan dengan terapi
obat. Terapi behavioral-kognitif sejenis yang dikembangkan secara terpisah oleh Clark (1989;
Salkovskis & Clark, 1991) juga menunjukkan efek menguntungkan bagi ganggaun panik
(Clark, Watson, & Mineka, 1994).
Walaupun para pasien yang menderita gangguan anxietas menyeluruh umumnya tidak
mengupayakan penanganan psikologis, prevalensi sepanjang hidup gangguan ini cukup
tinggi; gangguan ini terjadi pada sekitar 5 persen dari populasi umum (Witichen & Hoyer,
2001). GAD umumnya mulai dialami pada pertengahan masa remaja, walaupun banyak
orang yang menderita gangguan anxietas menyeluruh menuturkan bahwa mereka mengalami
masalah tersebut sepanjang hidupnya (Barlow dkk, 1986). Berbagai peristiwa penuh stress
dalam hidup tampaknya cukup berperan terhadap terjadinya gangguan ini (Blazer, Hughes, &
George, 1987). Gangguan ini terjadi dua kali lebih banyak pada perempuan dibanding pada
laki-laki, dan memili tingkat komorbiditas tinggi dengan gangguan anxietas lain dan dengan
gangguan mood (Brown dkk, 2001). Sulit untuk berhasil menangani gangguan anxietas
menyeluruh. Dalam suatu studi tindak lanjut selama lima tahun, hanya 18 persen pasien yang
tidak lagi mengalami simtom-simtom gangguan tersebut (Woodman dkk, 1999) walaupun
angka tersebut memiliki kemungkinan menigkat seiring dengan lebih baik banyak
penggunaan terapi kognitif-berhavioral yang dibahas di bawah ini oleh para ahli klinis.
Pandangan kognitif lain diajukan oleh Borkovec dan para koleganya (a.l., Borkovec &
Newman, 1998; Borkovec, Roemer, & Kinyon, 1995). Mereka memfokusan pada simtom
utama GAD, yaitu kekhawatiran. Berdasarkan perspektif hukuman seseorang mungkin
bertanya-tanya mengapa ada orang yang sering merasa khawatir karena kekhawatiran
dianggap sebagai kondisi negative yang seharusnya tida mendorong pengulangannya.
Borkovec dan para koleganya mengumpulkan bukti-bukti bahwa kekhawatiran merupakan
penguatan negative; ia mengalihan pasien dari berbagai emosi negative sehingga oleh hasil
yang positif bagi individu terkait.
Kunci untuk memahami posisi ini adalah menyadari bahwa kekhawatiran tidak menciptakan
banyak ketegangan emosional. Sebagai contoh, hal itu tidak menciptakan berbagai perubahan
fisiologi yang biasanya menyertai emosi, dan pada kenyataannya menghambat pemrosesan
stimuli emosional. Dengan demikian melalui rasa khawatir, orang-orang yang menderita
GAD menghindari berbagai citra yang tidak mengenakkan. Dan sebagai konsekuensinya
kecemasanyang mereka rasakan terhadap berbagai citra tersebut tidak hilang. Apa saja citra
yang memicu kecemasan yang dihindari oleh para pasien penderita GAD? Salah satu
kemungkinan berasal dari data yang menunjukkan bahwa para penderita GAD menuturkan
mengalami lebih banya pascatrauma yang mencakup kematian, cedera, atau penyakit. Namun
demikian, hal tersebut bukan sesuatu yang mereka khawatirkan; kekhawatirkan dapat
mengalihkan para penderita GAD dari berbagai citra pascatrauma yang menyakitan tersebut.
Perspektif Biologis. Beberapa studi mengindikasikan bahwa GAD dapat memiliki komponen
genetic. GAD sering ditemukan pada orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan
penderita gangguan ini, dan terdapat kesesuaian yang lebih tinggi di antara kembar MZ
disbanding kembar DZ. Namun tingkat komponen genetic ini tampaknya rendah (Hettema,
M. Neale, & Kendler, 2000).
Model neurobiologist yang paling umum untuk gangguan anxietas menyeluruh dilandasi oleh
pengetahuan mengenai cara kerja benzodiazepine, suatu kelompok obat-obatan yang sering
kali efektif untuk menangani kecemasan. Para peneliti menemukan suatu reseptor dalam otak
untuk benzodiazepine yang berhubungan dengan neurotransmitter yaitu asam gamma-
aminobutyric (GABA). Pada reaksi ketakutan yang normal, neuron di seluruh otak memicu
dan menciptakan kecemasan. Proses tersebut juga merangsang system GABA, yang
menghambat aktifitas ini dan mengurangi kecemasan. GAD dapat disebabkan oleh kerusakan
dalam system GABA sehingga kecemasan tidak dapat dikendalikan. Benzodiapine dapat
mengurangi kecemasan dengan meningkatkan pelepasan GABA. Secara sama, obat-obatan
yang menghambat system GABA memcu peningkatan kecemasan (Insell, 1986). Banyak hal
yang masih harus dipelajari, namun pendekatan ini tampaknya ditakdirkan untu
meningkatkan pemahaman kita tehadap kecemasan.
Seperti telah disebutkan, GAD sulit ditangani dengan berhasil. Terapi mencakup pendekataan
psikoanalisis, behavioral, kognitif, dan biologis.
Satu studi tanpa control menggunakan intervensi psikodinamika yang memfokuskan pada
konfli interpersonal dalam kehidupan masa lalu dan masa kini pasien dan mendorong cara
yang lebih adaptif untuk berhubungan dengan orang lain pada saat ini, sama dengan para
terapis kognitif behavioral mendorong penyelesaian masalah sosial (cf. hlm. 582). Hasil-hasil
intervensi ini cukup menggembirakan dan pantas untuk diteliti lebih dalam dengan ontrol
eksperimental yang lebih baik seperti kelompok control tanpa penanganan dan kelompok
control pembanding (Crist-Christoph., 1996).
Walaupun demikian, dapat terjadi kesulitan untuk menemukan penyebab spesifik kecemasan
yang diderita pasien semacam itu. Kesulitan ini memicu para ahli klinis behavioral untuk
memberikan penanganan yang lebih umum, seperti training intensif, dengan harapan bahwa
belajar untuk rileks ketika mulai merasa tegang seiring mereka menjalani hidup akan
mencegah kecemasan berkembang tanpa kendali (Barlow dkk.,1984; Borkovec &Mathews,
1988; Ost, 1987b). Para pasien diajarkan untuk melemaskan ketegangan tingkat rendah,
merespon kecemasan yang baru muncul dengan relaksasi daripada dengan kepanikan
(Goldfrie, 1971; Suinn & Richardson, 1971). Baru-baru ini, strategi ini telah dibuktikan
sangat efektif untuk mengurangi GAD (a.l., Borkovec &Roemer, 1994; Borkovec
&whisman,1996; lihat juga kajian DeRubies & Crist-Christoph, 1998; Borkovec & Ruscio, di
media).
Pendekatan Kognitif. Jika suatu perasaan tidak berdaya tampaknya mendasari kecemasan
pervasive, terapis berorientasi kognitif akan membantu klien menguasai keterampilan apapun
yang dapat menumbuhkan perasaan kompeten. Keterampilan tersebut termsuk asetivitas,
dapat diajarkan melalui instruksi verbal, modeling, atau pembentukan operant-dan sangat
mungkin kombinasi secara hati-hati dari ketiganya (Goldfried & Davidson, 1994).
Bukan suatu hal yang mengejutkan, teknik-teknik kognitif juga digunakan dalam penanganan
kekhawatiran kronis, komponen utama GAD. Kekhawatiran, walau bagaimanapun,
merupakan kejadian kognitif-memikirkan berbagai kemungkinan yang menakutkan.
Pendekataan Borkovec (a.l., Borkovec & Costello, 1993) mengkombinasikan berbagai
elemen Wolpe dan Beck, yaitu ia mendorong pemaparan bertingkat terhadap berbagai situasi
yang menyebabkan kekhawatiran seiring pasien mencoba menerapkan keterampilan relaksasi
dan analisis logis terhadap berbagai hal (a.l., seberapa besar kemungkinan terjadinya sesuatu
yang benar-benar mengerikan?).
Secara kontras, Barlow dan rekan-rekannya lebih menyukai pemaparan dalam waktu lama
dan berlebihan terhadap sumber masalah kecemasan berlebihan seseorang (Brown, Oleary,
& Barlow, 2001). Sebagai contoh, seseorang yang merasa khawatir mengapa pasangannya
pulag terlambat dari perjalanan bisnisnya akan didoronh untuk membayangkan kemungkinan
terburuk-pesawat yang ditumpanginya jatuh. Pasien diminta membayangkan hal ekstrem dan
sangat tidak mungkin tersebut selama setengah jam atau lebih dan kemudian memikiran
sebanyak mungkin kemungkian lain atas keterlambatan tersebut, misalnya kesulitan
memperoleh taksi atau terjebak dalam kemacetan lalu lintas. Diasumsikan bahwa dua proses
yang berlangsung dibawah ini mengurangi kekhawatiran pasien.
1. Karena pasien tetap berada dalam situasi yang menakutkan, kecemasan diyakinkan akan
terhapus.
2. Dengan mempertimbangkan kemungkinan ketakutan terburuk yang dapat terbayangkan,
pasien mengubah reaksi kognitifnya terhadap keterlambatan pasangannya.
Dengan kata lain, pasien belajar untuk memikiran berbagai sebab yang kurang menakutkan
dari suatu kejadian tertentu.
Stategi Barlow ini mengingatkan pada teknik yang melebih-lebihkan yang dikembangkan
bertahun-tahun lalu oleh Arnold Lazarus (1971). Dia menjelaskan penerpan teknik ini dalam
gambaran klinis berikut ini.
[pasien ini memiliki] kecenderungan untuk selalu mengecek toilet pria di bioskop
untuk mengawasi kemungkinan terjadi kebakaran. Umumnya, pada saat jeda, atau
sebelum duduk di kursinya, ia akan masuk ke toilet pria, merokok sebatang,
kemudian masuk ke bioskop. Tidak lama kemudian, dia akan merasa sangat panik.
Dia akan bertanya pada diri sendri, apakah saya secara tidak sengaja
menyebabkan kebakaran di toilet pria? ia akan meninggalkan kursinya dan segera
kembali ke toilet pria dan dengan teliti mengecek bahwa tidak ada kebakaran yang
terjadi. Ketika kembali kekursi ia akan merasa bahwa ia mungkin gagal mendeteksi
adanya kebakaran, dan segera merasakan dorongan luar biasa untuk kembali ke
toilet dan memastikan lebih teliti..
Pasien tersebut seperti diungkapkan oleh Lazarus merasakan latihan tersebut sangat
bermanfaat seiring ia menikmati fantasi yang meluap-luap tersebut, menganggapnya sebagai
suatu yang menggelikan. Tidak lam setelah itu ia tidak lagi terganggu oleh kekhawatirannya.
Data hasil uji klinis terkontrol sejauh ini konsisten dalam menunjukkan bahwa berbagai
pendekatan kognitif-behavioral lebih berpengaruh dibanding terapi placebo atau terapi-terapi
alternative seperti terapi Rogerian (Barlow dkk., 1998; Borkovec, Newman, Pincus, & Lytle,
di media; Brown dkk., 2001). Perlu dicatat secara khusus-dengan pengecualian berbagai studi
yang dilakukan Borkovec dan Costello (1993) dan Borkovec dkk. (di media)-adalah
penemuan bahwa tidak banyak pasien dalam berbagai terapi yang dievaluasi menunjukkan
apa yang disebut sebagai keberfungsian tingkat tinggi, yaitu tingkat kecemasan atau
kekhawatiran yang sangat minimal yang sama dengan mereka yang tidak didiagnosis
menderita GAD. Dengan kata lain, banyak pasien GAD, walaupun menunjukkan perbaikan,
tetap mengalami banyak simtom kecemasan (a.l., Stanley dkk., 1996).
Pendekatan Biologis. Anxiolytic, seperti jenis yang disebutkan untuk menangani fobia dan
gangguan panik, mungkin merupakan penanganan yang paling banyak digunakan untuk
anxietas menyeluruh. Obat-obatan, terutama benzodiapine, seperti Valium dan Xanax, juga
buspirone (BuSpar), sering kali digunakan karena pervasivitas gangguan. Setelah diminum,
obat-obatan tersebut akan bekerja selama beberapa jam dalam berbagai situasi yang dihadapi.
Sejumlah studi double blind menegaskan bahwa obat-obatan tersebut memberi lebih banyak
manfaat bagi para pasien GAD disbanding placebo (Apter & Allen, 1999). Beberapa studi
menunjukkan efektivitas beberapa antidepresan tertentu, dari jenis tricyclic dan SSRI
(Pollack dkk., 2001; Roy-Byrne & Cowley, 1998).
Sayangnya, obat-obatan tersebut memiliki efek samping yang tidak dikehendaki, mulai dari
mengantuk, kehilangan memori, dan depresi, hingga ketergantungan fisik serta kerusakan
organ-organ tubuh. Selain itu, jika pasien tidak minum obat, manfaat yang diperoleh biasanya
akan hilang (Barlow, 1988). Mungkin hilangnya manfaat tersebut terjadi karena pasien
(memang benar demikian) mengatribusikan perbaikan kondisi pada hal eksternal, yaitu
pengobatan itu sendiri, bukan pada perubahan internal dan upaya coping yang dilakukannya
(Davidson & Valins, 1969). Dengan demikian, pasien tetap mempercayai bahwa
kemungkinan kecemasan dan kekhawatiran tetap tidak dapat dikendalikan.
Sebagian besar diantara kita memiliki pikiran yang tidak dikehendaki dari waktu kewaktu,
dan sebagian besar diantara kita memiliki dorongan pada saat ini atau kelak untuk melakukan
perilaku tertentu yang memalukan atau bahkan berbahaya. Namun, hanya sedikit diantara kita
yang menderita gangguan obsesif kompulsif ( Obsessive Compulsice Disorder OCD ),
suatu gangguan anxietas dimana pikiran dipenuhi dengan pemikiran yang menetap dan tidak
dapat dikendalikan dan individu dipaksa untuk terus menerus mengulang tindakan tertentu,
menyebabkan distress yang signifikan dan mengganggu keberfungsian sehari-hari.
X adalah seorang remaja madya yang saat ini sedang kuliah disuatu universitas.
sudah beberapa hari ini ia mempunyai kebiasaan aneh yang tidak bisa ia hentikan.
kebiasannya adalah mencuci tangannya lebih dari 10x dalam satu hari. teman-
temannya juga heran mengapa ia berperilaku seperti itu. ketika ia berkonsultasi
kepada psikolog sekolahnya ia baru tahu apa yang terjadi padanya. psikolog
menanyainya apa yang menyebabkannya seperti itu, lalu X mulai menceritakan
kejadian apa yang sebenarnya ia lakukan.X adalah kakak dari A. saat kecil keduanya
pernah bertengkar, X tanpa sengaja mengambil gunting dan menorehkannya ke
lengan adiknya,A. akibatnya lengan A terluka dan menyebabkannya cacat. peristiwa
ini membuatnya bersalah dan ia terus menerus memikirkan kesalahannya ini
(obsesif), dan tiap kali ia mengingatnya ia akan mencuci tangannya berulang-ulang.
(kompulsif).
Contoh 2:
Bencine berusia 45 tahun ketika mulai menjalani terapi. Ini keempat kalinya ia
menjalani terapi rawat jalan, sebelumnya ia pernah dua kali dirawat di rumah sakit.
Gangguan obsesif kompulsif yang dideritanya bermula sejak 12 tahun lalu, tidak
lama setelah kematian ayahnya. Sejak itu gangguan tersebut sering kambuh dan baru
baru ini menjadi separah yang pernah dialami.
Prevalensi sepanjang hidup gangguan obsesif kompulsif berkira 2,5 persen dan sedikit lebih
banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki laki ( Karno & Golding , 1991; Karno
dkk., 1988; Stein dkk., 1997 ). Usia onset gangguan ini tampaknya bimodal, yaitu terjadi
sebelum usia sepuluh tahun atau pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa ( Conceicao
do Rasario Campos dkk., 2001 ). Gangguan ini juga dilaporkan pada anak anak berusia dua
tahun ( Rapoport, Swedo, & Leonard, 1992 ). Di antara kasus kasus terjadinya pada usia yang
lebih dewasa, GOK sering kali dialami setelah kejadian yang penuh stress, seperti kehamilan,
melhirkan, konflik keluarga, atau kesulitan dipekerjaan ( Kringlen, 1970 ).
Kemunculan pada usia muda lebih banyak terjadi pada laki laki dan berkaitan dengan
kompulsi membersihkan ( Noshirvani dkk., 1991 ). Dalam suatu episode depresi, para pasien
kadang kadang mengalami gangguan obsesif kompulsif dan depresi yang signifikan sering
di temukan pada pasien obsesif-kompulsif ( karno dkk., 1988; Rachman & Hodgson, 1980).
Gangguan obsesif kompulsif juga menunjukkan komorbiditas dengan gangguan anxietas
lain, terutama dengan gangguan panik dan fobia (Austin dkk., 1990), dan dengan berbagai
gangguan kepribadian ( Baer dkk ., 1990; Mavissikalian , Hammen, & Jones, 1990).
Obsesi adalah pikiran, impuls,dan citra yang mengganggu dan berulang yang muncul dengan
sendirinya serta tidak dapat dikendalikan, walaupun demikian biasanya tidak selalu tampak
irasional bagi individu yang mengalaminya. Bila banyak diantara kita yang mungkin
memiliki pengalaman singkat yang sama, individu yang obsesif, seperti kasus Bernice di atas,
mengalaminya dengan dorongan dan frekuensi semacam itu sehingga mengganggu
keberfungsian normal. Secara klinis, obsesi yang paling banyak terjadi berkaitan dengan
ketakutan akan kontaminasi, ketakutan mengekspresikan implus seksual atau agresif, dan
ketakutan hipokondrial akan disfungsi tubuh (Jenike, Baer, & Minichiello, 1986). Obsesi juga
dapat berupa keragu- raguan ekstrem, prokrastinasi, dan ketidaktegasan.
Dalam beberapa pikiran obsesif sama dengan kekhawatiran yang menjadi ciri gangguan
anxietas menyeluruh. Gangguan ini penuh bagaimana jika - kekhawatiran berulang yang
berlebihan tentang kemungkinan terjadinya peristiwa negative yang tidak mungkin.
Perbedaan diantara kedua gangguan tersebut biasanya dalah para penderita OCD mengalami
kekhawaturan mereka sebagai ego alien atau ego distonik , yaitu mereka menganggap
pikiran tersebut sebagai sesuatu yang dimasukkan dari luar diri dan sangat tidak masuk akal.
Secara kontras, penderita GAD mampu menyusun argument logis yang masuk akal tentang
kekhawatiran yang mereka rasakan. Pada akhirnya, jika anak saya pulang terlambat dari
sekolah, ada kemungkinan bahwa ia di culik. Secara alternatif, bila pikiran obsesif sangat
diyakini oleh seseorang sebagai suatu kabenaran ( sebagaimana terjadi pada sekitar 5 persen
kasus), dan jika tidak terdapat perilaku kompulsif, kemungkinan seseorang mengalami
gangguan delusional atau bahkan mungkin skizofrenia (lihat bab II untuk penjelasan rinci
mengenai gangguan psikotik ini) (Elsen dkk., 1998).
Kompulsi adalah perilaku atau tindakan mental repetitif yang mana seseorang merasa
didorong untuk melakukannya dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan yang disebabkan
pikiran pikiran obsesif atau untuk mencegah terjadinya suatu bencana. Aktivitas tersebut
tidak berhubungan secara realistis dengan tujuan yang ada jelas berlebihan. Sebagai contoh,
Bernice tidak perlu mengunyah setiap suap makanan sebanyak 300 kali, individu yang terus
menerus mengulang beberapa tindakan takut terhadap konsekuensi mengerikan yang terjadi
jika tindakan tersebut tidak dilakukan.frekuensi pengulangan suatu tindakan, fisik atau
mental, dapat luar biasa tinggi. Konpulsi yang umum dilaporkan mencakup hal-hal berikut;
Mengupayakan kebersihan dan keteraturan, kadang kala melalui upacara rumit yang
memakan waktu berjam-jamdan bahkan sepanjang hari;
Menghindari objek tertentu, seperti menghindari segala sesuatu yang bewarna coklat;
Melakukan peraktik-peraktik repetitif, magis, dan protektif, seperti menghitung,
mengucapkan angka tertentu, atau menyentuh semacam jimat atau bagia tubuh
tertentu;
Mengecek sebanyak tujuh atau delapan kali untuk memastikan bahwa tindakan yang telah
dilakukan benar-benar telah dilakukan, contohnya, lampu, pemantik kompor, atau
katup telah dimatikan, jendela telah ditutup, pintu telah dikunci;
Melakukan suatu tindakan tertentu, seperti makan dengan sangat lambat.
Kita sering kali mendengar orang-orang digambarkan sebagai penjudi kompulsif, pelahap
makanan kompulsif, dan peminum kompulsif.banyak individu yang dapat saja menuturkan
memiliki dorongan yang tidak dapat ditahan untuk berjudi, makan dan minum alkohol,
namun perilaku semacam itu secara klinis tidak dianggap sebagai suatu kompulsi karena
sering kali dilakukan dengan perasaan senang. Kompulsi yang sebenarnya sering dianggap
oleh pelaku sebagai sesuatu yang tidak berasaldari diri (ego distonik). Stern dan Cobb (1978)
menemukan bahwa 78 persen dari sampel individu kompulsif memandang ritual mereka
senagai cukup bodoh atau aneh walaupun mereka tidak mampu menghentikannya.
Konsekuensi yang sering terjadi pada gangguan obsesif-kompulsif adalah efek negatif
terhadap hubungan dengan orang lain, terutama anggota keluarga. Orang orang yang
terbebani kebutuhan yang tidak dapat ditahan untuk mencuci tangan setiap sepuluh menit,
atau menyentuh setiap pegangan pintu yang mereka lalui, atau menghitung setiap keeping
keramik dikamar mandikemungkinan menimbulkan kekhawatiran dan bahkan kemarahan
pada pasangan, anak-anak, teman-teman,bahkan rekan-rekan kerja. Dan perasaan
antagonistik yang dialami oleh orang orang dekat tersebut kemungkinan bercampur dengan
rasa masalah karena pada tingkat tertentu mereka memahami bahwa orang tersebut benar
benar tidak dapat memahami dirinyauntuk melakukan hal - hal yang tidak masuk akal
tersebut.
Efek yang tidak dikehendaki pada orang lain, pada akhirnya, akan menambah konsekuensi
nagatif, menimbulkan perasaan depresi dan kecemasan menyeluruh pada penderita obsesif-
kompulsif dan menjadi awal deteriosasi yang lebih buruk dalam hubungan pribadi. Karena
alas an itu para terapis keluarga( Hafner, 1982; Hafner dkk., 1981) berpendapat
bahwagangguan obsesif kompulsif kadangkala tertanam dalam ketegangan perkawinan dan
pada kenyataannya mengganti konflik terbuka dalam perkawinan. Hipotesis spekulatif ini
memperingatkan para terapis untuk mempertimbangkan terapi pasangan dan juga terapi
individual.
Teori Psikoanalisis. Dalam teori psikoanalisis, obsesi dan kompulsi dipandang sebagai hal
yang sama, yang disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual, atau agresif yang tidak dapat
dikendalikan karena toilet training yang terlalu keras. Yang bersangkutan kemudian terfiksasi
pada tahap anal. Simtom-simtom yang muncul dianggap mencerminkan hasil perjuangan
antara id dan mekanisme pertahanan; kadangkala insting agresif id mendominasi, kadangkala
mekanisme pertahanan yang mendominasi. Sebagai contoh, ketika pikiran obsesif untuk
membunuh muncul, saat itu dorongan id mendominasi. Namun demikian, lebih sering
simtom-simtom yang muncul mencerminkan bekerjanya salah satu mekanisme pertahanan
yang hanya separuh berhasil. Sebagai contoh, seorang yang terfiksasi pada tahap anal dapat,
melalui formasi reaksi, menahan dorongan untuk berkotor-kotor dan secara konpulsif
menjadi rapi , bersih dan teratur.
Alfred Adler (1931) memandang ganguan obsesif kompulsif sebagai akibat dari rasa tidak
kompeten. Dia percaya bahwa ketika anak-anak tidak didorong untuk mengembangkan suatu
perasaan kompeten oleh orang tua yang terlalu memanjakan atau sangat dominan, mereka
mengalami komfleks inferioritas dan secara tidak sadar dapat melakukan ritual kompulsif
untuk menciptakan suatu wilayah dimana mereka dapat menggunakan kendali dan merasa
terampil. Adler berpendapatbahwa tindakan kompulsif memungkinkan seseorang sangat
terampil dalam suatu hal, bahkan jika suatu hal itu hanya berupa posisi menulis di meja.
Teori Behavioral dan Kognitif. Teori behavioral menganggap kompulsif sebagai perilak
yang dipelajari yang dikuatkan oleh reduksi rasa takut (Mayer & Chesser,1970). Sebagai
contoh, mencuci tangan secara kompulsif dipandang sebagai respons-pelarian operant yang
mengurangi kekhawatiran obsesional dan ketakutan terhadap kontaminasi oleh kotoran dan
kuman. Sejalan dengan itu, pengecekan secara kompulsif dapat mengurangi kecemasan
terhadap bencana apapun yang diantisipasi pasien jika ritual pengecekan tersebut tidak
dilakukan. Kecemasan sebagai mana diukur melalui self-riport (Hidgson & Rachman, 1972)
dan respons-respons psikofisiologis (Carr,1971) memang dapat dikurangi dengan perilaku
kompulsif semacam itu. Dalam kerangka kerja ini, tindakan kompulsif sangat sering muncul
karena stimuli yang menimbulkan kecemasan sulit disadari. Sebagai cntoh, sulit untuk
mengetahui kapan kuman tersebut telah dihilangkan oleh ritual pembersihan ( Mineka &
Zimbarg, 1996).
Pemikiran lain mengenai pengecekan secara kompulsif adalah bahwa hal itu disebabkan oleh
defisit memori. Ketidak mampuan untuk mengingat suatu tindakan secara akurat (seperti
mematikan kompor) atau membedakan antara perilaku actual dan perilaku yang dibayangkan
(mungkin saya berpikir telah mematikan kompor)dapat menyebabkan seseorang berulang
kali melakukan pengecekan. Namun demikian, sebagian besar studi menemukan bahwa
penderita OCD tidak menunjukkan defisit memori. Sebagai contoh, salah satu studi
membandingkan pasien penderita OCD, gangguan panik, dan orang-orang normal pada tes
mengenai informasi umum tidak ada perbedaan diantara tiga kelompok dalam jumlah
jawaban benar. Namun demikian, para pasien penderita OCD kurang yakin jawaban mereka
dibanding dengan kelompok normal (Dar dkk., 2000). Dengan demikian, bila memori relevan
dengan OCD, tampaknya hanya merupakan masalah keyakinan terhadap memori seseorang
dan bukan memori itu sendiri.
Bagaimana kita menjelaskan pikiran obsesif? Obsesi pasien penderita gangguan obsesif
kompulsif biasanya membuat mereka cemas( Rabavilas & Bouloughouris, 1974 ), sama
halnya dengan pikiran yang agak mengganggu pada orang-orang normal tentang stimuli yang
penuh stress, misalnya film yang menakutkan(Horowitz,1975). Sebagaimana disampaikan
sebelumnya, sebagian besar kadang-kadang orang memiliki pemikiran yang tidak diinginkan
yang memiliki kesamaan isi dengan obsesi (Rachman&desilva,1978). Pemikiran yang tidak
menyenangkan ini bertambah ketika seseorang berada dalam kondisi
stress(parkirson&Rachman,1981). Individu normal dapat menoleransi atau menghapus
kognisi tersebut. Namun, bagi individu yang menderita gangguan obsesi kompulsif, pikiran
OCD juga dapat dipicu oleh keyakinan bahwa memikirkan tentang kejadian yang berpotensi
tidak menyenangkan membuat kejadian tersebut lebih besar kemungkinannya untuk benar-
benar terjadi (Rachman, 1997). Orang-orang yang menderita gangguan obsesif kompulsif
juga terungkap mengalami kesulitan untuk mengabaikan stimuli yang dapat berkontribusi
pada berbagai kesulitan mereka (Clayton, Richards, & Edwards,1999 ).
Orang-orang yang menderita gangguan obsesif kompulsif secara aktif mungkin mencoba
menekan pikiran-pikiran yang mengganggu tersebut, namun sering kali dengan konsekuensi
yang tidak mengenakkan. Wegner dkk. (1987,1991)Mempelajari apa yang terjadi ketika
ornag diminta untuk menekan suatu pikiran. Dua kelompok mahasiswa diminta untuk
berpikir tentang seekor beruang putih atau untuk tidak berpikir tentangnya. Satu kelompok
berpikir tentang beruang putih kemudian diminta untuk tidak memikirkannya; kelompok lain
melakukan hal sebaliknya. Pikiran diukur dengan meminta para peserta mengatakan pikiran
mereka dan juga dengan meminta mereka membunyikan bel setiap kali mereka berpikir
tentang beruang putih.
Dua penemuan menjadi catatan khusus. Pertama, upaya untuk tidak berpikir tentang beruang
putih tidak sepenuhnya berhasil. Kedua, para mahasiswa yang awalnya dilarang memikirkan
tentang beruang putih memiliki pikiran tentang hal itu setelah larangan tersebut berakhir.
Dengan demikian, mencoba menghilangkan suatu pikiran dapat memberikan efek paradoksial
yaitu memunculkan kekhawatiran tentangnya. Terlebih lagi, upaya untuk menekan pikiran
yang tidak menyenangkan biasanya berhubungan dengan kondisi emosianal intens,
menyebabkan hubungan kuat antara pikiran yang ditekan dan emosi. Setelah melakukan
banyak upaya untuk menekan suatu emosi kuat dapat memicu pikiran tersebut untuk kembali,
disertai peningkatan mood negative (Wenzlaff, Wegner, & Klein, 1991). Akibatnya adalah
meningkatnya kecemasan.
Penjelasan kognitif mengenai OCD sama dengan penjelasan Adler yang dibahas sebelumnya.
Dihipotesiskan bahwa OCD (sekurang-kurangnya perilaku kompulsif) didorong oleh
kebutuhan yang tidak masuk akal untuk merasa tidak kompeten, bahkan sempurna. Jika tidak
demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak dihargai,( Mc fall,&Wollersheim, 1979).
Dunia adalah tempat yang penuh ancaman dan jika seseorang merasa memiliki keterbatasan
kemampuan untuk menghadapi bahaya yang dipersepsinya, ritual magis mungkin menjadi
satu-satunya cara untuk mencapai rasa memiliki kendali dan kompeten. Yeori kognitif lain
menekankan pada asumsi-asumsi yang mendasari (sama dengan pendangan Ellis, cf, hlm.55)
misalnya keyakinan bahwa orang harus mampu mengendalikan pikiran-pikirannya(
salkovskis,1985 ).
Faktor Biologis. Encephalitis, cedera kepala, dan tumor otak diasosiasikan dengan terjadinya
gangguan obsesif-kompulsif (Jenike, 1986). Ketertarikan dipokuskan pada dua area otak yang
dapat terpengaruh oleh trauma semacam itu, yaitu lobus frontalis dan ganglia basalis,
serangkaian nuklei sub-kortikal termasuk caudate, putamen, globus pallidus, dan amygdala
(lihat gambar 6.1). studi pemindaian dengan PET menunjukkan peningkatan aktivasi pada
lobus frontalis pasien OCD, mungkin mencerminkan kekhawatiran mereka yang berlebihan
terhadap pikiran mereka sendiri. Focus pada ganglia basalis, suatu system yang berhubungan
dengan pengendalian perilaku motorik, disebabkan oleh relevansinya dengan kompulsi dan
juga dengan hubungan antara OCD dan sindromTourette. Sindrom Taurette ditandai oleh tics
motorik dan vokal dan dikaitkan dengan disfungsi ganglia basalis. Pasien yang menderita
Tourette sering kali juga menderita OCP (Sheppard dkk.,1999).
Untuk memberikan bukti yang mendukung pentingnya dua bagian otak yang disebut
sebelumnya, Rauch dkk (1994) menstimulasi simtom-simtom OCD dengan memberikan
stimulasi yang dipilih secara khusus pada para pasien, seperti sarung tangan yang kotor oleh
sampah atau pintu yang tidak dikunci. Aliran darah diotak meningkat pada daerah frontalis
dan ke beberapa ganglia basalis. Para pasien penderita OCD juga ditemukan memiliki
putamen yang lebih kecil dibanting kelompok control (Rosenberg dkk.,1997).
Salah satu penjelasan yang mungkin adalah OCD disebabkan oleh suatu sistem
neurotransmiter yang berpasangan dengan serotonim; bila dipengaruhi antidepresen, sistem
serotonim menyebabkan perubahan pada sistem lain tersebut, yang meripakan lokasi
sebanarnya dari efek terapeutik (barr dkk.,1994). Dopamine dan asetikolin diperkirakan
merupakan transmiter yang berpasangan dengan serotonim dan memiliki peran yang lebih
penting dalam GOk (Rauch&Jenike, 1993).
Terdapat beberapa bukti atas konstribusi genetik pada OCD. Tinhkat kejadian gangguan
anxietas yang tinggi muncul pada kerabat tingkat pertama pasien penderita OCD (Mc Keon
& Murray, 1987). Prevalensi OCD juga lebih tinggi pada kerabat tingkat pertama kasus-kasus
OCD dibandingkan pada kerabat kelompok kontrol (Nestadt dkk.,2000). Dengan demikian,
merupakan suatu kemungkinan bahwa factor-faktor biologis memicu terjadinya gangguan ini
pada sementara orang.
Gangguan obsesif-kompulsif merupakan salah satu masalah psikologis yang paling ditangani.
Sebagai sontoh, studi tindak lanjut yang berlangsung selama 40 tahun menunjukkan bahwa
hanya dua puluh persen pasien yang sembuh total (Skoog & Skoog, 1999). Aliran terapeutik
utama memiliki dampak yang berbeda terhadap gangguan yang sulit ini. Namun, terlepas dari
jenis dan cara penanganan, para pasien OCD jarang memperoleh kesembuhan. Walau
berbagai macam intervensi dapat mengakibatkan perbaikan signifikan, kecendrungan obsesif-
kompulsif biasanya tetapada hingga satu titik tertentu, walaupun dalam kontrol yang lebih
besar dan dengan penampakan yang lebih sedikit dalam gaya hidup pasien (White & Cole,
1990).
Terapi Psikoanalisia. Terapi psikoanalisis untuk obsesi dan kompulsi mirip dengan untuk
fobia dan kecemasan menyeluruh, yaitu mengangkat represi dan member jalan pada pasien
untuk menghadapi hal yang benar-benar ditakutkannya. Karena pikiran yang mengganggu
dan perilaku kompulsif melindungi ego dari konflik yang ditekan , serta, keduanya
merupakan target yang sulit untuk intervensi terapeutik, dan prosedur psikoanalisis serta
psikodinamika terkait tidak efektif untuk menangani gangguan ini( Esman,1989).
Kelemahan semacam itu memicu beberapa ahli klinis analisis untuk melakukan pendekatan
behavioral yang lebih aktif bagi gangguan ini dan mengguanakan pemahaman anlisislebih
sebagai cara untuk meningkatkan kesesuaian dengan prosedur behavioral (Jenike,1990).
Salah satu pandangan psikoanalisis mengemukakan hipotesis bahwa keragu-raguan yang
tampak pada sebagian besar penderita obsesif-kompulsif berasal dari kebutuhan terhadap
kepastian benarnya suatu tindakan sebelum tindakan tersebut dilakukan ( Salzman, 1985).
Dengan demikian, pasien harus belajar untuk menoleransi ketidak pastian dan kecemasan
yang dirasakan semua orang seirng mereka menghadapi kenyataan bahwa tidak ada sesuatu
yang pasti atau dapat dikendalikan secara mutlak dalam hidup ini. Fokus akhir dalam terapi
tetap berupa insight atas berbagai penyebab simtom yang tidak disadari.
Penelitian terkontrol (a.l., Duggan, Marks & Richards, 1993; Foa, Steketee, & Ozarow, 1985;
Stanlay & Turner, 1995) menunjukkan bahwa terapi ini cukup efektif bagi lebih separuh
pasien penderita OCD, termasuk anak-anak dan remaja (Franklin & Foa, 1998; March, 1995).
Dalam sample asli Meyer yang terdiri dari 15 pasien, hanya dua yang mengalami
kekambuhan dalam studi tindak lanjut selama lima tahun (Meyer & Levy, 1973). Dalam studi
baru-baru ini oleh Edna Foa dan rekan-rekannya, 86% pasien yang menyelesaikan terapi
dinilai telah mengalami perbaikan hingga tingkat yang signifikan secara klinis(Franklin,
Abramovitz, Kozak, Levitt & Foa, 2000). Jika depresi merupakan bagian dari gambaran
klinis, seperti terjadi pada hampir separuh penderita OCD, terapi behavioral yang terlalu
keras ini sangat kurang efektif (Abramovitz, Franklin, Street. Kozak,& Foa ,2000).HAL INI
Tidak mengherankan, mengingat tingginya upaya dan komitmen yang dituntut dari pasien
yang menjalani terapi ERP.
Dalam jangka pendek, menahan diri untuk tidak melakukan ritual yang biasa dilakukan
merupakan sesuatu yang sulit dan sangat tidak menyenangkan bagi klien. ( jika pembaca
ingin mengetahui bagaimana rasanya menahan diri untuk tidak melakukan ritual kompulsif,
cobalah menunda menggaruk rasa gatal selama satu atau dua menit). Hal itu juga biasanya
mencakup pemaparan selama lebih dari 90 menit selama 15 hingga 20 sesi dalam tiga
minggu, dengan instruksi untuk juga berlatih diantara pelaksanaan sesi. Bila terapi Meyer
sering kali mencakup pemaksaan secara fisik agar suatu ritual tidak dilakukan, praktik-
praktik kontemporer, yang biasanya dilakukan diluar rumah sakit, menekankan dorongan dan
dukungan dari terapis dan orang-orang yang dekat dengan pasien (Foa & Franklin, 2001).
Kadangkal pemaparan nyata diberikan untuk melengkapi pemaparan imaginal, seperti dalam
terapi Meyer, namun tidak jelas apakah hal tersebut meningkatkan efektivitas pemaparan
nyata ( DeAraujo, Ito, Marks,& Deale, 1995) hingga 25% pasien menolak terapi ( Foa dkk.,
1985). Penolakan untuk menjalani terapi dan berhenti ditengah jalan merupakan salah satu
masalah yang diakui secara umum dalam banyak intervensi bagi OCD ( Jenike & Rauch,
1994). Para pasien GOK cenderung melakukan prokrastinasi, takut terhadap perubahan, dan
sangat khawatir orang lain mengontrol mereka karakteristik yang dapat diperkirakan akan
menciptakan masalah-masalah khusus terhadap pendekatan manipulatif seperti terapi prilaku.
Terapi Perilaku Rasional Emotif. Beberapa bukti mendukung efektivitas terapi perilaku
rasional emotif untuk mengurangi OCD (a.l., Emmelkamp & Beens, 1991). Pemikirannya
dalah membantu pasien menghapuskan keyakinan bahwa segal sesuatu mutlak harus berjalan
seperti yang mereka inginkan atau bahwa segala tindakan yang mereka lakukan harus mutlak
memberikan hasil sempurna. ( perhatikan persamaan dengan salah satu pendekatan
psikoanalisis yang telah dibahas sebelumnya). Terapi kognitif dari Beck juga dapat
bermamfaat ( Van Oppen dkk.,1995). Dalam pendekatan ini , pasien didorong untuk menguji
ketakutan mereka bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika mereka melakukan ritul
kompulsif. Jelaslah, bagian tak terpisahkan dalam terapi kognitif semacam itu adalah
pemaparan dan pencegahan respons ( atau ritual ), karena untuk mengevaluasi apakah tidak
melakukan ritual kompulsif akan memberikan konsekuensi yang memberikan pasien harus
memahami diri untuk tidak melakukan ritual tersebut.
Penanganan Biologis. Obat-obatan yang meningkatkan level seretonim, seperti SSRI dan
beberapa tricyclic, merupakan penanganan biologis yang paling sering diberikan kepada
pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Kedua kelompok obat-obatan tersebut telah
memberikan hasil yang menguntungkan, walaupun perlu dicatat bahwa suatu kajian terhadap
penanganan farmakologis oleh dua psikiater merendahkan pentingnya ERP sebagai
pendekatan baris pertama (Rauch & Jenike, 1998). Beberapa studi menemukan anti depresen
tricyclic kurang efektif dibandingkan ERP ( Balkom dkk., 1994), dan suatu studi terhadap
antidepseren menunjukkan perbaikan dalam ritual kompulsif hanya pada pasien OCD yang
juga menderita depresi ( Marks dkk., 1980). Dalam studi lain, mamfaat antidepresen tricyclic
bagi OCD ternyata hanya berjangka pendek; penghentian obat ini memicu 90 persen tingkat
kekambuhan, jauh lebih tinggi dibandingkan pada pencegahan respon (Pato dkk., 1988).
Diatas segalanya, gambaran mengenai efektivitas antidepresen tricyclic tidak pasti.
Penilaian teknologi dalam pengukuran berbagai aspek aktivitas otak (lihat hal 131- 135)
mendorong para peneliti untuk mencari perubahan otak yang disebabkan oleh intervensi
terapiutik. Salah satu studi yang pantas dicatat membandingkan fluoxetime (Prozac) dengan
pemaparan nyata plus pencegahan respons dan menemukan bahwa perbaikan kondisi OCD
yang dihasilkan oleh kedua terapi tersebut diasosiasikan dengan perubahan yang sama dalam
fungsi otak,yaitu, berkurangnya aktivitas metabolik dan caudate nucleus kanan, dimana
aktivitas yang berlebihan dikaitkan dengan OCD (Baxter dkk., 1992). Hanya para pasien
yang ecara klinismengalami perbaikan kondisi menunjukkan perubahan aktivitas otak
tersebut sebagaimanaterukur oleh pemindaian PET. Penemuan semacam itu menunjukkan
bahwa berbagai terapi yang benar-benar berbeda dapat berhasil karena alasan yang sama,
karena berbagai terapi tersebut menggunakan cara yang berbeda untuk memengaruhi faktor-
faktor yang sama pada otak. Perlu dicatat dalam studi Baxter dkk, para pasien terapi obat
masih menerima pengobatan selama pemindaian PET pasca terapi, sedangkan pasien terapi
perilaku tidak dan tidak dapat, dalam arti apapun, berada dalam terapi, yaitu menjalani
pencegahan respons aktif terhadap ritual.
Rasa putus asa para pekerja kesehatan mental, yang hanya bias dilampaui oleh keputusasaan
para pasien, menjadi sebab jarangnya digunakan pembedahan psikologi dalam menangani
obsesi dan kompulsi. Penggunaan prosedur ini, cingulatomi, termasuk menghancurkan dua
hingga tiga sentimeter bagian putih dalam cingulum, satu bagian didekat corpus callosum.
Walaupun dilaporkan cukup menghasilkan perbaikan klinis dan mamfaat penanganan dapat
dipertahankan (Dougherty dkk., 2002, Irle dkk., 1998), intervensi ini secara benar dipandang
sebagai penanganan jalan terakhir mengingat sifatnya yang permanen serta resiko
pembedahan psikologi dan pemahaman yang sangat kurang terhadap cara kerjanya.
Terdapat perbedaan antara gangguan stress pascatrauma dan gangguan stress akut, suatu
diagnosis yang pertama kali muncul dalam DSM-IV. Hampir semua orang yang mengalami
trauma mengalami stress, erkadang hingga tingkat yang sangat berat. Hal itu normal. Jika
stressor menyebabkan kerusakan signifikan dalam keberfungsian social dan pekerjaan selama
kurang dari satu bulan, diagnosis yang ditegakkan adalah gangguan stress akut. Jumlah
oaring yang mengalami stress akut berbeda sesuai dengan tipe trauma yang mereka alami.
Dalam peristiwa pemerkosaan, angka penderitanya sangat tinggi, lebih dari 90% (Rothbaum
dkk., 1992). Trauma yang tidak seberat itu, seperti berada di tengah penembakan missal atau
mengalami kecelakaan bermotor, angka penderitanya jauh lebih rendah, contohnya 13% pada
kecelakaan bermotor (Bryant &Harvey, 1998; Classen dkk., 1998). Walaupun beberapa orang
dapat mengatasi gangguan stress akut yang mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian
menderit aPTSD (Brewin dkk., 1999). Dengan demikian, PTSD dapat dipertimbangkan
sebagai reaksi negative terberat terhadap stree (Ruscio & Keane 2002).
Dimasukanya stress berat dalam DSM sebagai factor penyebab signifikan PTSD
dimaksudkan untuk menunjukkan pengakuan resmi bahwa penyebab PTSD yang utama
adalah peristiwa yang terjadi, bukan yang bersangkutan. Terlepas dari penyimpulan secara
impulsive bahwa sesorang akan baik-baik saja seandainya ia terbuat dari material yang lebih
keras, dalam definisi ini pentingnya situasi yang menyebabkan trauma secara resmi diakut
(Haley, 1978). Namun, banyak orang yang menegalami kejadian traumatis, tetapi tetapi tidak
menderita PTSD. Sebagai contoh, dalam suatu dalam suatu studi, hanya 25% orang yang
mengalami kejadian traumatis yang menyebabkan cidera fisik kemudian menderita PTSD
(Shalev dkk., 1996). Dengan demikian kejadian itu kejadian itu sendiri tidak bisa menjadi
penyebab tunggal PTSD. Penelitian dewasa ini telah mengarah pada pencarian factor-faktor
yang membedakan antara orang-orang yang menderita dan tidakmenderita PTSD setelah
mengalami stress berat.
1. Mengalami Kembali kejadian traumatis. Individu kerap teringat pula kejadian tersebut
danmengalami mimpi buruk tentang kejadian tersebut. Penderitaan emosional yang
mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut. Dalam suatu
konfirmasi laboraturium terhadap simtomini, tes Stroop diberikan kepada para veteran perang
Vietnam yang menderita maupun yang tidak menderita PTSD (McNally dkk., 1990). Dalam
tes ini para peserta melihat sekumpulan kata yang dicetak dengan warna yang berbeda dan
harus menyebutkan warna setiap kata secepat mungkin dan bukan menyebutkan kata tersebut.
Interferensi, yang diukur sebagai melambatnya waktu respons, muncul karenamakna
beberapa kata. Kata yang berasal yang berasal dari beberapa kategori yang berbedanetrak
(a.l., input), positif (a.l., cinta), gangguan obsesif kompulsif (a.l., kuman), dan PTSD
(a.l., kantong mata)digunakan dalam studi ini. Para veteran yang menderita PTSD lebih
lambat dibanding para veteran yang tidak menderita PTSD lebih lambat dibanding veteran
yang tidak menderita PTSD hanya ketika pada kata-kata yang menyimbolkan PTSD. Efek
yang sama juga terjadi pada korban pemerkosaan (Foa dkk., 1991). Secara sama, para pasien
penderita PTSD menunjukkan ingatan yang lebih baik terhadap kata-kata yang berkaitan
dengan trauma yang dialami (Vrana, Roodman, & Beckhan, 1995).
2. Beberapa teori PTSD membuat mengalami kembali sebagai cirri utama dengan mengatribusikan
gangguan tersebut pada ketidakmampuan untuk berhasil mengintegrasikan kejadian traumatic
ke dalam skema yang ada saat ini (keyakinan umum seseorang terhadap dunia luar) (a.l., Foa,
Zinberg, & Rothbaum, 1992; Horowitz, 1986).
3. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau Mati rasa dalam
responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma
atau manghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut; dapat terjadi
amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada orang
lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif.
Simtom-simtom ini tampaknya hamper kontradiktif dengan simtom-simtom pada item1. Pada
PTSD kenyataannya terdapat suatu fluktuasi; penderita bergantian mengalami kembali &
mati rasa.
Masalah lain yang sering dihubungkan dengan PTSD adalah gangguan anxeitas lain, depresi,
kemarahan , rasa bersalah, penyalahgunaan zat (mengobati diri sendiri untuk meringankan
distress), masalah perkawinan, kesehatan fisik yang rendah, disfungsi seksual, dan hendaya
dalam pekerjaan (Bremer dkk., 1996; Jacobsen, Southwick, &Kosten, 2001; Zatzick dkk.,
1997). Pikiran dan rencana untuk bunuh diri umum terjadi, seperti juga insiden ledakan
kekerasan dan masalak psikofisiologis yang behubugan dengan stress, seperti sakit punggung
bawah, sakit kepala, dan gangguan system penceraan (Hobfoll dkk., 1991).
Menurut DSM, anak-anak dapat menderita PTSD,s erring kali merupakan respons karena
menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau mengalami penyiksaan fisik (Silva dkk.,
2000). Gambaran klinis PTSD pada anak-anak tampaknya berbeda dengan orang dewasa.
Gangguan tidur dengan mimpi buruk tentang monster umum terjadi, sebagaimana juga
perubahan perilaku. Sebagai contoh, seorang anak yang semula periang menjadi pendiam dan
menarik diri atau seorang anak yang smeula pendiam menjadi kasar dan agresif. Ebberapa
anak yang mengalami trauma mulai berpikir bahwa mereka tidak aakn hidup mencapai usia
dewasa. Beberapa anak kehilangan keterampilan perkembangan yang sudah dikuasaim
seperti berbicara atau menggunakan toilet. Terakhir, anak-anak jauh lebih sulit berbicara
tentang perasaan mereka dibanding orang dewasa, suatu hal yang sangat penting untuk
diingat bila terdapat kemungkinan penyiksaan fisik atau seksual.
Tingkat prevalensi PTSD berkisar antara 1 hingga 3 persen dalam populasi mum AS (Hlezer,
Robins, & McEvoy, 2987), yang berarti lebih dari 2 juta orang. Bahkan jumlah yang lebih
besar menderita bentuk subsindromal PTSDD yang tidak cukup berat atau cukup banyak
untuk menegakkan diagnosis, namun cukup untuk menyebabkan penderitaan dan kerusakan
besar (Stein dkk., 1997). Angka kejadian PTSD sangat tinggi (22 persen) pada suku Amerika
pribumi di wilayah barat daya (Robin dkk., 1997). Memiliki kejadian traumatis (Breslau dkk.,
1998). Prevalensi bervariasi tergantung pada beratnya trauma yang dialami; berkisar 3 persen
pada penduduk sipil yang telah mengalami serangn fisik, 20 persen pada orang-orang yang
terluka di Vietnam, dan berkisar 50 persen pada korban pemerkosaan dan orang-orang yang
menjadi tawanan perangdalm Perang Dunia II atau Perang Korea (Engdahl dkk., 1997
Rothbaum dkk., 1992). Berdasarkan suatu survey telepon, ditetapkan bahwa 7 persen
dariorang-orang dewasa yang tinggal di sebelah jalan 110 di New York city (tepat di sebelah
utara World Trade Center) menuturkan simtom-simtom yang dapat didiagnosis PTSD
menyusul serangan eroris 11 September 2001. Presentase ini jauh lebih tinggi di antara
orang-orang yang tinggal lebih dekat dengan lokasi bencana di Manhattan bagian bawah
(Galea dkk., 2002). Trauma yang paling sering memiliki PTSD adalah kehilangan orang yang
dicintai, yaitu sekitar sepertiga dari seluruh kasus ((Breslau dkk., 1998).
Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada factor-faktor risiko terhadap
gangguan tersebut dan juga pada factor-faktor psikologis dan biologis.
Faktor-Faktor Risiko. Terdapat beberapa factor risiko PTSD. Memiliki kejadian traumatis
yang dialami, predictor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap nyawa, berjenis
kelamin perempuan, pemisahan dari orang tua di masa kecil, riwayat gangguan dalam
keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya, dan gangguan yang dialami
sebelumnya (suatu gangguan snxietas atau depresi) (Breslau dkk., 1997, 1999; Ehlers, Malou,
&Bryant, 1998; Nishith, Mechanic, & Resick, 2000, Stein, 1997) memiliki inteligensi tinggi
tampaknya menjadi factor protektif, mungkin karena hal itu di asosiasikan dengan
keterampilan coping yang lebih baik (Macklindkk., 1998).
Teori-teori Psikologis. Para teoris berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengondisian klasik
terhadap rasa takut (Firbank & Brown. 1987; Keane, Zimering, * Caddell, 1985). PTSD
merupakan contoh utama dalam teori dua factor mengenai avoidance learning yang diajukan
bertahun-tahun lalu oleh Mowrer (1947; lihat hlm. 55). Terdapat sekumpulan bukti yang
mendukung pandangan ini (Orr dkk., 2000) dan berkaitan dengan teori-teori kognitif
behavioral yang menekankan hilangnya kendali dan prediktibilitas yang dirasakan orang-
orang yang menderita PTSD (Chemtob dkk., 1998; Foa & Kozak, 1986).
Suatu teori Psikodinamika yang diajukan oleh Horowitz (1986, 1990) menyatakan bahwa
ingatan tentang kejadian traumatic munculk secara konstan dalam pikiran seseorang dan
sangat menyakitkan sehingga secara sadar mereka menspresinya (melalui distraksi
contohnya) atau merepresinya.
Teori-Teori Biologis. Penelitian pada orang kembar dan keluarga menunjukkan kemungkinan
diathesis genetic dalam PTSD (Hettem, Neale, & Kendler, 2001). Terlebih lagi, trauma dapat
mengaktifasi system noradrenerdik, meningkatkan level noreprinefin sehingga membuat
orang lebih mudah terkejut dan lebih cepat mengekspresikan emosi dibandingkan kondisi
normal. Konsisten dengan pandangan ini, adalah penemuan bahwa level norepinefrin lebih
tinggi pada pasien dan kilas balik pada 40 persen penderita PTSD; tidak ada satupun dari
peserta kelompok control yang mengalami hal semacam itu (Southwick dkk., 1993). Terakhir
terdapat bukti mengenai meingkatnya sensitivitas reseptor-reseptor noradrenergic pada
penderita PTSD (Bremner dkk., 1998).
Seperti halnya berbagai hal gangguan anxietas yang telah dibahas sejauh ini, penanganan
bagi PTSDterlepas dari orientasi teoritis terapismencakup pemaparan terhadap stimuli
yang menimbulkan ketakutan. Namun, dalam kasus PTSD didefinisikan sebagai reaksi
kecemasan terhadap kejadian traumatic yang dikenal, pemaparan dilakukan terhadap kejadian
asli yang menimbulkan ketakutan atau, lebih sering, terhadap deskripsi verbal atau citra
kejadian tersebut. Sebagaimana beru-beru ini diungkapkan oleh Keane dan Barlow (2002),
strategi umum ini dapat ditelusuri hingga ke Pierre Janet dan Sigmund Freud dan telah
memiliki beberapa bentuk selama abad terakhir.
Debriefing Stress Insiden Kritikal. Terdapat area spesialisasi yang sedang berlembang
kadangkala disebut traumatologi , kadangkala konseling duka cita, kadangkala debriefing
yang terdiri dari berbagai macam professional kesehatan mental (psikolog, psikiater, pekerja
social, dan konselor yang telah menjalani pelatihan professional minimal) walaupun teknik-
teknik yang mereka gunakan berbeda, terdapat persamaan dalam hal kepercayaan yang telah
lama dianut bahwa hal terbaik adalah mengintervensi sebanyak mungkin korban selamat
dalam 24 hingga 27 jam setelah terjadinya peristiwa traumatic, tepat sebelum PTSSD
memiliki kesempatan untuk berkembang, dan mendorong mereka untuk mengkaji secara
detail apa yang telah terjadi fdan mengkspresikan sekuat mungkin ekspresi mereka tentang
kejadian mengerikan tersebut (Bell, 1995). Selain itu, persamaan di antara para pekerja
tersebut adalah mereka berangkat secapt mungkin ke lokasi bencana kadangkala diundang
oleh otoritas lokel (seperti dalam pascaserangan World Trade Center) kadangkala tidak
demikiandan menawarkan (para pengkritik menyebutnya memaksakan intervensi mereka
kepada para korban selamat dan keluarganya. Mengintervensi dalam masa ketika orang-orang
berada dalam fase akut periode pascatrauma umumnya. Disebut sebagai intervensi krisis atau
debriefing stress insiden kritikal (critical incident stress debriefingCISD) (Mitchell &Bray,
1990).
Pendekatan meneluruh ini cukup controversial. Menurut pendapat banyak ahli, berbagai studi
mengenai hasil terapeutik CISD dan berbagai prosedur terkait tidakmendukung
efektivitasnya, dan cukup banyak penelitian mutakhir yang menunjukkan bahwa pendekatan
tersebut lebih banyak keburukannya daripada kebaikannya (a.l., Mayou dkk., 2000). Kritik
mendasar adalah bahwa, segera setelah terjadinya suatu bencana, hal terbaik adalah para
korban mendaptkan dukungan social yang biasanya diperoleh dalam keluarga serta komunitas
mereka dan bahwa pemaksaan, bahkan jika dilakukan secara halus dan dengan maksud baik,
yang dilakukan oleh orang asing tidak akan membantu, bahkan dapat mengganggu serta
member efek buruk (Gist, di media). Bahaya dapat muncul karena baik setelah trauma terjadi,
mungkin para korban lebih baik dibiarkan sendiri bersama keluarganya daripada di dorong
atau dipaksauntuk mengingat sesuatu yang belum siap mereka hadapi.
Penting diingat bahwa mayoritas orang yang mengalami trauma tidak lantas menderita PTSD.
Kritik lain terhadap CISD mendukung posisi eksistensial bahwa penderitaan merupakan
bagian normal kehidupan dan bahwa, setelah bencana, seseorang tidak perlu menghindar dari
rasa sakit dan duka cita, namun lebih memanfaatkan kejadian traumatic tersebut sebagai
kesempatan untuk menghadapi berbagai krisis kehidupan yang tidak dapat dihindari dan
menemukan hikmah dibaliknya. Dengan demikian, setelahbeberapa waktu bangkit dengan
suat keyakinan yang lebih kuat terhadap hal-hal penting dalam hidup.
Pendekatan di Masa Perang. Selama Perang Dunia II para tentara yang telah bertempur
sering kali ditangani oleh narkosintesis (Grinker & Spiegel, 1944), suatu prosedur yang dapat
dianggap sebagai katarsis dengan bantuan obat a la Breuer. Tentara diinjeksi dengan sodium
Pentothal ked lam pembuluh darah, dalam dosis yang cukup untuk menimbulkan rasa kantuk
ekstrem. Terapis kemudian menyatakan dengan suara meyakinkan bahwa tentara tersebut
sedang berada di medan pernag, di peperangna tertentu. Pasien biasanya mulai mengingat,
sering kali dengan emosi trauma sesungguhnya dihidupkan kembali dan bahkan diperagakan
oleh pasien. seiring pasien secara bertahap kembali sadar, terapis kembali mendorong
pembahasan mengenai kejadian mengerikan dengan harapan bahwa pasien akan menyadari
bahwa kejadian tersebut adalah masa lalu, dan bukan lagi merupakan ancaman. Dengan cara
ini diharapkan akan terjadi suatu sintesis, atau kemunculan bersama, kengerian masa lalu
dengan kehidupan pasien saat ini (Cameron &Mrgaret, 1951).
Veterans Administration, yang melayani para veteran Perang Dunia II dan Perang Korea,
pada awalnya tidak disiapkan untuk menangani maslaah psikologis para veteran Vietnam.
Awalnya, banyak yang dikeluarkan dari organisasi tersebut dengan surat buruk, yaitu,
dikeluarkan dengan tidak hormat. Tindakan yang dapat membuat seorang tentara dikeluarkan
dengan cara yang tidak dikehendaki mencakup alkoholisme dan ketergantungan obat (Kidder,
1978); tampaknya diantara beberapa veteran tersebut menderita trauma pertempuran. Pada
tahun 1979, enam tahun setelah penandatanganan gencatan senjata dengan Vietnam Utara,
barulah pemberhentian dengan tidak hormat terseut diperbaiki sebagai hasil bantuan
American Civil Administration (M. Beck, 1979). Sebagaimana disebutkan di awal bagian ini
, PTSD sebagai diagnosis resmi dimasukkan sebagai diagnosis yang dijabarkan secara jelas
dan resmi pada tahun 1980 dengan terbitnya DSM-III. Tampaknya politik Perang Vietnam
berperan dalam pengakuan resmi PTSD.
Walaupun demikian, pada taun 1971, psikiater Robert Jay Liftonj dihunungi oleh para
veteran anti perang dari wilayah New York- New Heaven untuk bekerja sama dengan mereka
untuk membentuk kelompok-kelompok diskusi. Dipelopori oleh para veteransendiri,
kelompok ini memiliki dua tujuan; tujuan terapeutik untuk menyembuhkan diri sendiri dan
tujuan politis untuk mendorong masyarakat Amerika untukmulai memahami korban manusia
dalam perang (Liftom, 1976). Kelompok diskusi tersebut menyebar ke luar New York City
hingga tahun 1979ketika kongres menyetujui paket sebesar 25 juta dollar untuk membentuk
Operation Outreach, suatu jaringan yang terdiri dari 91 pusat konseling di depan gudan
gpenyimpanan militer bagi para veteran Vietnam yangmengalami masalah psikologis. Pada
tahun 1981 pendanaan diperpanjang 3 tahun.
Teknologi baru realitas virtual (virtual reality-VR) mulai digunakan bagi GSPT untuk
membuat pemaparan menjadi lebih dramatis dan lebih nyata dibanding yang dapat
dimunculkan dalam imajinasi pasien. Satu studi yang menggunakan teknologi VR
menunjukkan manfaat terapeutik dengan meminta para veteran Vietnam melakukan
penerbangan dengan helicopter dalam VR lengkap dengan suara pertmpuran (Rothbaum dkk.,
1999).
Bagaimana cara kerja pemaparan? Kita telah membahas kemungkinan bahwa pemaparan
mengarah pada penghapusan respons ketakuan. Namun, pemaparan juga dapat mengubah
makna stimuli bagi orang terkait. Pandangan kognitif ini dijabarkan oleh Edna Foa dan para
koleganya dalam sejumlah studi dan makalah teoritis. Merekan menekankan aspek-aspek
korektif pemaparan terhadap hal yang ditakuti.
Pada tahun 1989, Sharpio (1989) mulai mempublikasikan suatu pendekatan untuk menangani
trauma yang disebut Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR). EMDR ini
dimaksudkan untuk diklakukan sangat cepatsering kali hanyamemerlukan satu atau dua
sesidan lebih efektif dibanding prosedur pemaparan standar yangn telah dijelaskan
sebelumnya. Dalam prosedur ini, pasien membayangkan suatu situasi yang berkaitan dengan
masalahna, seperti kecelakaan mobil yang mengerikan. Dengan teteap membayangkan situasi
tersebut, pasien memandang jari terapis dan mengikutinya dengan pandangannya eiring
terapis menggerakannya maju mundur kira-kira satu kaki di depan pasien. Proses ini
berlangsung kira-kira selama satu menit atau sampai pasien menuturkan bahwa kengerian
bayangan tersebut telah berkurang. Kemudian terapis meminta pasien menceritakan semua
pikiran negative yang muncul dalam pikirannya, sekali lagi dengan mengarahkan
pandangannya pada jari tapis yang terus bergerak. Terakhir, terapis mendorong pasien untuk
berpikir secara lebih positif, seperti Saya dapat mengatasi hal ini dan hal ini juga dilakukan
sambil memandang jari-jari terapis yang bergerak.
Sangat banyak kontroversi berkaitan dengan teknik ini (atau berbagai teknik, karena
spesifikasi terapi telah berubah sejak pertama kali dikembangkan), dan pendapat terpolarisasi
dengn cara yang jarang terjadi dalam ilmu pengetahuan. Di satu sisi para pendukung EMDR
beragumentasi bahwa mengombinasikan gerakan mata dan pikiran tentang kejadian yang
ditakuti menyebabkan pendekondisian atau pemrosesan ulang (restrukturisasi kognitif)
stimulus yang menakutkan secara cepat (a.l., Shapiro, 1995, 1999). Di sisi lain studi
menunjukkan bahwa gerakan mata tidak memberi tambahan apapun pada hasil pemaparan itu
sendiri (a.l., Cahill, Carrigan, Frueh, 1999; Devilly, Spence, & Rapee, 1998; Hazlett-Stevens,
Lytle, & Borkovec, 1996, dikutip dalam Lohr dkk., 1998; Renfrey & Spates, 1994) dan
bahwa klaim efektivitas dilandasi berbagai eksperimen yang memiliki banyak kelemahan
metodologis (of. Lohr, Tolin, & Lilienfeld, 1998; Resick & Calhoun, 2001; Rosen, 1999;
Tolin dkk., 1996). Selain itu teori yang mendasari EMDR dikritik tidakkonsisten dengan apa
yang diketahui tentang dasar-dasar psikologi dan ilmu saraf mengenai pembelajaran dan
fungsi otak (a.l., Keane, 1998; Lohr dkk., 1998).
Pendekatan Biologis. Terakhir, berbagai obat-obatan psikoaktif telah digunakan untuk para
pasien PTSD, termasuk antidepresan dan tranquilizer. Kadangkala pengobatan digunakan
dalam mengaasi berbagai kondisi yang dialami yang dialami bersamaan PTSD, seperti
depresi; perbaikan kondisi depresi dapat berkontribusi terhadap perbaikan kondisi PTSD
terlepas dari bagaimana penganganan terhadap PTSD itu sendiri (contohnya dengan salah
satu dari berbagai intervensi psikologi yang dibahas di atas (Marshall dkk., 1994)). Beberapa
keberhasilan kecil dilaporkan diperoleh dalam penggunaan antidpresan, terutama penghambat
pengembalian serotonin (Brady dkk., 2000)
Adapun modal intervensi spesifik, para ahli PTSD sepakat bahwa dukungan social adalah hal
penting. Kadangkala menemukan cara untuk member dukungan pada orang lain dpaat
membantu si pemberi dan si penerima sekaligus (Hobfoll dkk., 1991). Menjadi anggota
kelompok religious; memiliki keluarga, teman-teman, aau sesaman individu yang mengalami
trauma yang mendengarkan penuturan tentang ketakutan dan ingatan seseorang tentang suatu
trauma tanpa menghakimi; dan menemukan cara lain untuk menumbuhkan kepercayaan yang
dimiliki seseorang dan bahwa orang lain ingin membantu mengurangi rasa sakit dapat
menghasilkan perbedaan antara stress pascatrauma dan gangguan pascatrauma.
KLASIFIKASI GANGGUAN
Beberapa gangguan fase perkembangan yang terjadi pada kanak-kanak dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Autisme
Adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia,
percaya bahwa kejadian kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Dicirikan dengan
gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang
terbatas (Johnson, 1997). Gejala-gejalanya meliputi kurangnya respon terhadap orang lain,
menarik diri dari hubungan sosial, dan respon yang aneh terhadap lingkungan seperti
mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukulkan kepala.
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks,menyangkut
komunikasi, interaksi sosial, dan aktifitas imajinasi dan anak autistic ialah anak yang
mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang komunikasi,interaksi sosial,ganguan
sensoris,pola bermain,perilaku,dan emosi (depdiknas,2002).
Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika memang peranan penting
dalam proses terjadinya autistik. Lahirnya anak autistic juga diduga dapat disebabkan oleh
virus seperti rubella, toxo,herpes, jamur, nutrisi yang buruk, perdarahan, dan keracunan
makanan pada masa kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang
menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman,
komunikasi, dan interaksi (depdiknas,2002).
Reterdasi Mental
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan fungsi intelektual
secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis., IQ dibawah 70) dan keterbatasan terkait
dalam dua bidang keterampilan adaptasi atau lebih (mis., komunikasi, perawatan diri,
aktivitas hidup sehari-hari, keterampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan diri,
kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
d. Gangguan Eliminisi
Adalah gangguan pada perkembangan anak dan remaja dimana tidak dapat
mengontrol buang air kecil ( BAK ) dan buang air besar ( BAB ) setelah mencapai usia
normal untuk mampu melakukannya. Terbagi menjadi dua yaitu:
Enuresis
Adalah dimana anak tidak mampu mengontrol BAKnya bukan karena akibat dari
kerusakan neurologis atau penyakit lainnya . kita sering menyebutnya dangan mengompol.
Enkopresis
Ketidakmampuan mengontrol BABnya yang bukan disebabkan masalah organik.
PENYEBAB GANGGUAN
Belum ada penyebab tunggal pada gangguan perkembangan anak dan remaja.
Berbagai situasi, termasuk faktor psikobiologik, dinamika keluarga, dan faktor lingkungan
berkombinasi secara kompleks yang menjadi penyebab gangguan perkembangan anak dan
remaja.
b. Dinamika keluarga.
Dinamika keluarga yang tidak sehat dapat mengakibatkan perilaku menyimpang yang
dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Penganiayaan anak. Anak yang terus-menerus dianiaya pada masa kanak-kanak awal,
perkembangan otaknya menjadi terhambat (terutama otak kiri). Penganiayaan dan efeknya
pada perkembangan otak berkaitan dengan berbagai masalah psikologis, seperti depresi,
masalah memori, kesulitan belajar, impulsivitas, dan kesulitan dalam membina hubungan
(Glod, 1998).
2. Disfungsi sistem keluarga (misal kurangnya sifat pengasuhan orang tua pada anak,
komunikasi yang buruk) disertai dengan keterampilan koping yang tidak baik antaranggota
keluarga dan model peran yang buruk dari orang tua. Sehingga menyebabkan gangguan pada
perkembangan anak dan remaja.
c. Faktor lingkungan.
Lingkungan dan kehidupan sosial yang tidak menguntungkan akan menjadi penyebab
utama pula, seperti :
1. Kemiskinan. Perawatan pranatal yang buruk, nutrisi yang buruk, dan kurang terpenuhinya
kebutuhan akibat pendapatan yang tidak mencukupi dapat memberi pengaruh buruk pada
pertumbuhan dan perkembangan normal anak.
2. Tunawisma. Anak-anak tunawisma memiliki berbagai kebutuhan kesehatan yang
memengaruhi perkembangan emosi dan psikologi mereka. Berbagai penelitian menunjukkan
adanya peningkatan angka penyakit ringan kanak-kanak, keterlambatan perkembangan dan
masalah psikologis diantara anak tunawisma ini bila dibandingkan dengan sampel kontrol
(Townsend, 1999).
3. Budaya keluarga. Perilaku orang tua yang secara dramatis berbeda dengan budaya sekitar
dapat mengakibatkan kurang diterimanya anak-anak oleh teman sebaya dan masalah
psikologik.
PENANGANAN
Beberapa terapi atau perawatan gangguan perkembangan anak dan remaja antara lain:
A. Perawatan berbasis komunitas saat ini lebih banyak terdapat pada managed care.
Yaitu dengan cara-cara :
> Pencegahan primer melalui berbagai program sosial yang ditujukan untuk menciptakan
lingkungan yang meningkatkan kesehatan anak. Contohnya adalah perawatan pranatal awal,
program penanganan dini bagi orang tua dengan faktor resiko yang sudah diketahui dalam
membesarkan anak, dan mengidentifikasi anak-anak yang berisiko untuk memberikan
dukungan dan pendidikan kepada orang tua dari anak-anak ini.
Pencegahan sekunder dengan menemukan kasus secara dini pada anak-anak yang
mengalami kesulitan di sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan.
Metodenya meliputi konseling individu dengan program bimbingan sekolah dan rujukan
kesehatan jiwa komunitas, layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami situasi
traumatik, konseling kelompok di sekolah, dan konseling teman sebaya.
> Dukungan terapeutik bagi anak-anak diberikan melalui psikoterapi individu, terapi bermain,
dan program pendidikan khusus untuk anak-anak yang tidak mampu berpartisipasi dalam
sistem sekolah yang normal. Metode pengobatan perilaku pada umumnya digunakan untuk
membantu anak dalam mengembangkan metode koping.
> Terapi keluarga dan penyuluhan keluarga. Penting untuk membantu keluarga mendapatkan
keterampilan dan bantuan yang diperlukan guna membuat perubahan yang dapat
meningkatkan fungsi dari semua anggota keluarga.
C. Farmakoterapi.
Medikasi digunakan sebagai satu metode pengobatan. Medikasi psikotropik digunakan
dengan hati-hati pada klien anak-anak dan remaja karena memiliki efek samping yang
beragam. Pemberian metode ini berdasarkan :
a. Perbedaan fisiologi anak-anak dan remaja mempengaruhi jumlah dosis, respon klinis, dan
efek samping dari medikasi psikotropik.
b. Perbedaan perkembangan neurotransmiter pada anak-anak dapat mempengaruhi hasil
pengobatan psikotropik, mengakibatkan hasil yang tidak konsisten, terutama dengan anti
depresan trisiklik.
Definisi gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang
melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang
dianggap sebagai simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap
orang lain atau hewan, merusakkan kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan tingkah
laku merujuk pada berbagai tindakan yang kasar dan sering dilakukan yang jauh melampaui
kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja. Seringnya,
perilaku ini ditandai dengan kesewenang-wenangan, kekejian dan kurang penyesalan.
1. Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau
norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau lebih
perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam
enam bulan terakhir :
1. Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai
perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan,
memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual
2. Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar, vandalisme
3. Berbohong atau mencuri, contohnya, masuk dengan paksa ke rumah atau
mobil milik orang lain, menipu, mengutil
4. Pelanggaran aturan yang serius, contohnya tidak pulang ke rumah hingga larut
malam sebelum usia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua,
sering membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun
2. Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik atau pekerjaan
3. Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak
memenuhi gangguan kepribadian anti sosial
Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan lain. Ada
tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal ini terjadi
pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas
gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum
terjadi bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling
memperparah satu sama lain.
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan komorbid
dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan kejahatan
dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan penarikan
diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang
mengalami gangguan tingkah laku beresiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan
komorbid, termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan
anak laki-laki yang memiliki gangguan tingkah laku.
Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut menjadi
perilaku antisosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang mempredisposisi.
Studi baru-baru ini, menunjukkan bahwa meskipun sekitar separuh anak laki-laki yang
mengalami gangguan tingkah laku tidak memenuhi kriteria lengkap bagi diagnosis tersebut
pada pengukuran terkemudian (1-4 tahun kemudian), hampir semuanya tetap menunjukkan
beberapa masalah tingkah laku (Lahey dkk.,1995). Beberapa individu tampaknya
menunjukkan pola perilaku anti sosial yang tetap sepanjang hidup, dengan masalah tingkah
laku yang bermula di usia 3 tahun dan berlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di
masa dewasa. Sementara itu, yang lain terbatas di usia remaja. Orang-orang tersebut
mengalami masa kanak-kanak yang normal, terlibat dalam perilaku antisosial dengan tingkat
yang tinggi selama masa renaja, dan kembali ke gaya hidup tidak bermasalah di masa
dewasa.
Lahey, dkk (1995) menemukan bahwa anak laki-laki dengan gangguan tingkah laku perilaku
antisosialnya jauh lebih mungkin untuk berlanjut jika memiliki salah satu orang tua yang
mengalami gangguan kepribadian antisosial atau jika mereka memilki kecerdasan verbal
rendah. Interaksi beberapa faktor individual, seperti temperamen, psikopatologi yang dialami
orang tua, dan interaksi orang tua-anak yang disfungsional, dan faktor-faktor sosiokultural,
seperti kemiskinan, dan dukungan sosial rendah, berkontribusi terhadap lebih banyaknya
kemungkinan timbulnya perilaku agresif di usia dini dengan sifat tetap.
Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi banyak system
dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan tempat
tinggal). Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat adalah bagaimana menghadapai
orang-orang yang nurani sosialnya tampak kurang berkembang.
1. Pengertian
Zat adiktif adalah zat yang dapat mengakibatkan ketergantungan (adiksi) dalam arti
lain adalah zat yang dapat menyebabkan kecanduan. Contoh: alcohol, nikotin
(rokok),ganja, opium, sabu-sabu, putau, morfin dll.
Kecanduan merupakan suatu keadaan fisik maupun pisikologis (kejiwaan) seseorang
yang mengakibat kan badan dan jiwanya selalu memerlukan obat tersebut untuk
dapat berfungsi secara normal.
Ketergantungan dapat berupa
Ketergantungan Fisik
-Toleransi adalah menurunnya khasiat obat setelah pemakaian yang berulang ulang
-Gejala putus asa adalah suatu keadaan yang sangat menyiksa, baik secara isik maupunorang
pecandu berbuat nekat (bunuh diri).
Ketergantungan Psikologis
-Zat adiktif diperoleh dari berbagai jenis tumbuhan yaitu ganja (cannabis sativa), opium
(papaver somniverum), kokain (erytroxylum coca). Keseluruhan zat adiktif ini disebut
narkoba (Narkotika dan obat terlarang) atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif
lainya).
-Tergolong narkotika adalah OPIOIDA (Opium, Morfin, Heroin), ganja dan kokain.
-Tergolong psikotrapika adalah obat atau zat yang tidak tergolong narkotika dan alkohol
(minuman keras) tetapi memiliki khasiat seperti narkotika dan alcohol. Contoh: amfetamin
dan barbiturate.
Tergolong zat adiktif lainya adalah rokok, jenis inhalansia (tiner, bensin dan lem).
Stimulan
Adalah zat yang merangsang system saraf pusat, sehingga mempercepat proses-proses yang
terjadi didalam tubuh seperti meningkatnya detak jantung, pernafasan dan tekanan darah.
Depresan
Halusinogen
Adalah zat yang dapat memepengaruhi system syaraf dan menyebabkan halusinasi
(khayalan). Contohnya adalah LASA (Lyser gic Acid Amide) dan LSD (Lyser gic Acid
Diethylamide).
Minuman Keras
Minuman keras meliiputi seluruh jenis minuman yang mengandung alcohol (nama
kimianya etanol). Alcohol dapat dibuat melalui proses fermentasi (peragian) berbagai jenis
bahan ang mengandung gula, misalnya buah-buahan (anggur dan apel), biji-bijian (beras dan
gandum), umbi-umbian (singkong) dan madu. Melalui proses fermentasi dapat diperoleh
alcohol dengan kadar 14%. Alcohol dengan kadar yang lebih tinggi dapat diperoleh melalui
penyulingan. Selain proses fermentasi, alcohol juga dapat dibuat dari etana, suatu produk dari
minyak bumi.
Minuman Keras dibagi kedalam tiga golongan berdasarkan kadar alcohol didalamnya:
Mula-mula alcohol akan menekan pusat pengendalian diri. Oleh karena itu rasa malu
peminim minuman keras akan berkurang, sehingga peminum lebih berani bicara, merasa
santai, dan tidak merasakan kecemasan.
Peminum akan sempoyongan, berbicara pelo, dan kemampuan menilai sesuatu akan
berkurang untuk sementara waktu.
Dapat menyebabkan koma, bahkan kematian. Ada juga juga orang yang peka terhadap
minuman keras. Dalam jumlah sedikit saja akan menyebabkan perubahan tingkah laku nyata,
yaitu manjadi agresif dan cenderung melawan orang lain.
Alcohol dapat menyebabkan ketergantungan jika orang mengalami ketergantungan ini pada
suatu saat menghentikan kebiasaannya minum minuman keras, akan timbul berbagai
gangguan fisik maupun psikis misalnya tangan, lidah, dan kelopak mata bergetar, mual, lesu,
mudah teringgung, penurunan kasadaran yang akut (delinum), kehilangan daya ingat
(amnesia) dan melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada (halusinasi).
Kebiasaan minum minuman keras dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu
panjang
Dapat menimbulkan kerusakan pada hati (kanker hati), otak, jantung, pankreas, lambung,
impotensi, dan pembesaran payudara pada pria. Kerusakan permanen pada otak dapat
menyebabkan gengguan daya ingat, gangguan kemampuan belajar, dan tentunya gangguan
jiwa.
Dampak social
ROKOK
Kadar nikotin dalam tembakau berkisar antara 1% 4%. Jadi, dalam satu batang
rokok terdapat sekitar 1,1 mg. selain nikotin, tembakau mengandung zat-zat organik lain dan
berbagai bahan tambahan (zat adiktif).
Pada waktu rokok dihisap, tersedot pula hasil pembakaran berupa karbon dioksida
(CO2), karbon monoksida (CO), PAH, tar, dinitrigen oksida (N2O), ammonia dan berbagai
jenis zat lain yang jumlah zat-zat ini tidak kurang dari 4000 macam senyawa.
Efek Negatif dari Beberapa Zat Kimia yang Berasal dari Rokok
-Karbon Monoksida
Merupakan gas yang sangat beracun, mudah erikat pada hemoglobin, sehingga mengurangi
kemampuan darah mengikat oksige. Hal itu akan menyebabkan jantung bekerja leebih keras.
Keracunan karbon monoksida dapat menyebabkan kematian.
-PAH
Merupakan suatu cairan kental berwarna kuning coklat. Tar dan resin juga dapat mengiritasi
sitem pernapasan, sehingga menjadi sulit bernapas. Keduanya dapat menumpuk dan dapat
menggangu kerja paru-paru. Sekitar 30 jenis senyawa yang terdapat dalam tar diduga dapat
menyebabkan kanker.
-Nikotin
Zat bersifat racun dan dapat menyebabkan adiksi. Nikotin merupakan stimulan susunan saraf
pusat. Dosis fatal nikotin pada manusia adalah 60 mg.
Peroko pemula dapat mengalami keracunan nikotin. Gejala keracunan nikotin ditandai
dengan mual, muntah, nyeri kepala, keringat dingin, tak mampu memusatkan pikiran,
kesadaran berkurang dan den ut nadi bertambah cepat. Pada pemakaian rokok yang lama
dapat menyebabkan ketergantungan fisik. Gejala pemantangan rokok berupa denyut jantung
bertambah cepat, gemetar pada tangan, suhu tubuh nik, dorongan yang kuat untuk merokok
lagi, mudah marah, tekanan darah menurun, terasa ada kedutan pada otot, nyeri kepala, dan
kehilangan selera makan. Banyaknya gejala pemantangan itulah yang menyebabkan
seseorang perokok berat, susah berhenti merokok.
Asap rokok tidak hanya berbahaya bagi perokok aktif. Asap rokok juga berbahya bagi
orang disekitarnya yang secara tidak sengaja ikut menghisap , yang disebut sebagai perokok
pasif. Resiko yang dihadapi oleh peroko pasif sama dengan perokok aktif.
NARKOTIKA
-Opioida
Adalah nama golongan zat yang memiliki khasiat mirip morfin. Dalam bidang kedokteran,
zat ini dimanfaatkan terutama analgesic (penghilang rasa nyeri).
Opioda Semisintetis, yaitu opioda yang diperoleh dari bahan alami dengan sedikit
perubahan kimia, misalnya heroin, dan oksikodon.
Opioda alami berasal dari getah yang keluar dari buah papaver somniverum yang belum
masak. Getah ini disebut opiam. Didalam opium terkandung morfin, kodein, dan tebain.
Morfin merupakan analgesik kuat, tidak berbau, rasanya pahit, berupa Kristal putih yang
lambat laun berubah menjadi kecoklat-coklatan, morfin menekan pusat pernafasan. Kematian
akibat kelebihan dosis (OD = overdosis) morfin pada umumnya disebabkan oleh sifatnya
yang dapat menghambat pernafasan. Selain itu, morfin dapat menyebabkan sembelit,
mengganggu siklus menstruasi, impotensi, dan berbagai macam efek lainnnya.
Kodein merupakan analgesik lemah. Kekuatannya sekitar 1/12 dari morfin. Oleh karena itu
kodein tidak digunakan sebagai analgesik, tetapi sebagai antibatuk yang kuat.
Heroin merupakan opioda semisintetis yang banyak disalahgunakan. Kemampuannya untuk
menghilangkan rasa sakit jauh lebih kuat daripada morfin, tetapi tidakdigunakan dalam
kedokteran karena sangat mudah menimbulkan adiksi. Heroin murni berupa serbuk putih dan
rasanya pahit. Dipasar gelap, warnanya bermacam-macam karena dicampur dengan bahan
lain seperti kakao (bubuk coklat), gula merah, gula tepung dan susu bubuk. Biasanya,
kadarnya hanya sekitar 2 4%. Khasiat heroin sama dengan morfin. Putaw juga mengandung
heroin.
Ganja
Ganja atau mariyuana diperoleh dari tanaman cannabis sativa atau cannabis indica. Ganja
mengandung zat psikoaktif. Kadar tertinggi zat psikoaktif yang terdapat pada spesies tanaman
ini dapat mencapai 5%. Akhir-akhir ini dengan cara penanaman tertentu bisa didapat zat
psikoaktif dengan kadar 10%.
Dari ganja diperoleh hashish, yaitu getah tanaman ganja yang dikeringkan dan dibentuk
menjadi lempengan atau bola. Kadar zat psikoaktif dalam hashish mencapai 15-30%.
Kokain
Kokain berasal dari tanaman koka (erythroxylum coca) yang tumbuh diBolivia dan Peru pada
lereng-lereng pegunungan Andes, Amerika Selatan. Kokain diisolasi dari daun koka berupa
Kristal berwarna putih. Kokain yang sering disalahgunakan biasanya dicampur dengan zat
lain seperti gula. Penyalahgunaan dapat melalui berbagai cara seperti ditelan, disedot melalui
hidung, disuntikan atau dirokok.
Intoksikasi (keracunan) kokain ditandai oleh cuphoria, meningkatnya rasa percaya diri,
banyak bicara, hilangnya rasa lelah, meningkatnya kekuatan fisik, dan berkurangnya
kebutuhan akan tidur. Pada keadaan kelebihan dosis, timbul eksitasi, kesadaran berkurang,
pernafasan tak teratur, tremor, pupil melebar, nadi bertambah cepat, tekanan darah naik, rasa
cemas, dan ketakutan. Kematian biasanya disebabkan karena pernafasan berhenti.
Kadar kokain dalam darah sama untuk cara pemakaian apapun. Kadar tertinggi dicapai
setelah 5-30 menit dan hilang setelah 2 jam. Sebagian kecil kokain dikeluarkan melalui urin
tanpa mengalami perubahan. Toleransi merupakan masalah penting pada pengguna kokain.
Kokain dimetabolisasi secara cepat oleh hati, sehingga toleransi cepat terjadi.
Sedative dan Hipnotika adalah golongan zat yang dapat member efek menenangkan dan
kantuk (depresan) contohnya yaitu asam barbiturate dan benzodiazeptin.
Asam Barbiturat
Asam barbiturat tergolong depresan susunan saraf pusat. Asam barbiturate dalam dosis kecil
memberikan efek menenangkan, sedangkan dalam dosis besar dapat menyebabkan tidur.
Pada dosis yang tinggi selalu memberikan efek menenangkan, asam barbiturat dapat
menghambat pernafasan, menyebabkan koma, bahkan kematian.assam barbiturat banyak
disalahgunakan dengan nama pil koplo.
Intoksikasi asam barbiturat ditandai dengan pernafasan yang lambatdan dangkal, nadi cepat
dan lemah, tekanan darah menurun, kulit berkeringat, gerakan serba melamban, bicara pelo,
jalan sempoyongan, arefleksi, sulit berfikir, daya ingat terganggu, daya penilaian terhadap
sesuatu kacau, tertawa termehek-mehek, emosi labil, bersikap bermusuhan, mudah
bertengkar, kebiasaan hidup menjadi tidak teratur, kecenderungan bunuh diri, dan berbagai
hal lain yang tidak menguntungkan. Pemakai asam barbiturat yang lama menimbulkan
toleransi dan ketergantungan.
Benzodiazepia
AMFETAMIN
Amfetamin adalah stimulant susunan saraf pusat seperti kokain, kafein dan nikotin.
Amfetamin juga digunakan dalam bidang kedokteran tetapi banyak juga yang disalah
gunakan. Amfetamin juga dikenal dengan nama speed, uppers, whiz atau sulfat. Festacy juga
mengandung amfetamin. Sabu-sabu (SS) mengandung metal amfetamin.
Amfetamin sering digunakan untuk mengurangi berat badan karena dapat menghilangkan
rasa lapar. Amfetamin juga dapat menghilangkan rasa kantuk, sehingga sering digunakan
oleh pengemudi jarak jauh untuk menguatkan ketahanan fisik dalam bekerja. Amfetamin juga
sering digunakan olahragawan (doping) untuk meningkatkan prestasinya dalam pertandingan
olah raga.
Bila dipakai terus menerus, amfetamin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan
gejala putus asa berupa rasa lemas, apatis (sikap tidak peduli), depresi, rasa nyeri pada
seluruh tubuh, gerakan motorik lamban, hipersomnia (keinginan untuk selalu tidur) dan
banyak mimpi.
HALUSINOGEN
Adalah zat yang dapat mengubah persepsi pikiran dan perasaan seseorang, serta
menimbulkan halusinasi (khayalan). Sebagian zat tersebut merupakan zat sintetis, tetapi
banyak juga yang terdapat ilmiah dan telah lama digunakan oleh berbagai masyarakat secara
tradisional. Misalnya ololiuhqui merupakan zat sintetis, tetapi banyak juga yang terdapat
ilmiah dan telah lama digunakan oleh berbagai masyarakat secara tradisional. Misalnya
ololiuhqui , suatu ramuan yang berasal dari tanaman spesies rivca corymbosa. Tanaman ini
mengandung zat ergin (lysergic acid amide/LSA) yang tergolong hlusinogen,
Salah satu zat halusinogen lainnya adalah LSD (lysergic acid diethylamide). LSD merupakan
halusinogen yang sangat kuat dan paling banyak disalahgunakan. Beberapa menit setelah
pemakaian sebanyak 100-250 mikrogram akan timbul rasa pusing, rasa lemah, mengantuk,
nausea serta penurunan daya presepsi secara bergelombang. Pada saat itu pemakai menjadi
sangat siaga atau menarik diri, maupun berubah-ubah antara siaga dan menarik diri. Kadang-
kadang timbul rasa takut bahwa sebagian tubuhnya hilang atau berubah maupun terpecah-
pecah. Pikiran dan ingatannya sangat terang , perasaannya sangat labil, mulai dari murung
menjadi bahagia, dan sebliknya dari euphoria menjadi ketakutan. Sesudah 4-5 jam,
pengendalian dirinya menjadi buruk. Gejala tersebut akn hilang setelah 8-12 jam. Puncak
gejala tercapai pada 2-3 jam. Halusinasi dapat menyebabkan seseorang melakuhkan tindakan
yang tidak rasional, misalnya melompat dari gedung tinggi (bunuh diri).
INHALANSIA danSOLYEN
Zat ini meliputi berbagai senyawa organik yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap.
Inhalansia dan solyen dalam berbagai barang keperluan rumah tangga dan kantor contohnya
yaitu pelarut pada perekat lem, tiner, tipe-ex, kloroform, Freon, aseton, dan bensin.
Penyalahgunaan inhalansia dan solyen terutama terdapat pada anak-anak berumur 9-14 thn,
walaupun begitu orang yang lebih tua juga ada yang melakuhkannya. Pemakaian kronis dapat
merusak berbagai organ tubuh, misalnya otak, ginjal, paru-paru, jantung dan sumsum tulang.
KAFEIN
Adalah zat psikoaktif yang terdapat dalam tanaman kopi arab (coffica Arabica), kopi robusta
(coffea cannefora) dan coffea liberica. Kafein juga terdapat dalam daun cokelat. Selain itu
juga terdapat dalam minuman ringan dan berbagai obat tertentu. Kafein meningkatkan gairah
dan kesiagaan, tetapi juga menimbulkan ansietas (kecemasan).
GANGGUAN PSIKOSOSIAL
Parafilia (paraphilia) diambil dari akar bahasa Yunani para, yang artinya "pada sisi lain",
dan philos artinya "mencintai". Pada parafilia orang menunjukan keterangsangan seksual
sebagai stimulus yang tidak biasa. Menurut DSM IV, parafilia melibatkan dorongan dan
fantasi seksual yang berulang dan kuat yang bertahan selama 6 bulan atau lebih yang berpusat
pada (1) objek bukan manusia seperti pakaian dalam, sepatu, kulit, atau sutra, (2) perasaan
merendahkan atau menyakiti diri sendiri atau pasangannya atau (3) anak-anak dan orang lain
yang tidak mampu memberikan persetujuan.
Sejumlah parafilia dapat melakukan fungsi seksual tanpa kehadiran stimulus atau fantasi.
Sementara yang lainnya menggunakan stimulus parafilia saat berada dibawah stress. Tetapi
ada pula yang tidak terangsang kecuali dengan menggunakan stimulus ini baik secara nyata
maupun fantasi. Bagi sejumlah individu, parafilia adalah sebuah cara eksklusif untuk
mencapai kepuasan seksual.
Sejumlah penderita parafilia secara relatif tidak berbahaya dan tidak menyebabkan jatuh
korban. Diantaranya terdapat fethisisme, fethisisme transverstik. Sedangkan yang lain seperti
ekshibisionisme dan pedofilia melibatkan orang lain sebagai korban. Parafilia paling
berbahaya adalah sadism seksual yang dilakukan dengan pasangan tanpa persetujuannya.
2. Ekshibisionisme
Ekshibisionisme melibatkan dorongan kuat dan berulang untuk menunjukan alat genital
pada orang yang tak dikenal yang tidak menduganya, dengan tujuan agar korban terkejut,
syok, atau terangsang secara seksual. Orang tersebut dapat bermasturbasi sambil
membayangkan atau benar-benar menunjukan alat genitalnya. Penderita hampir selalu pria
dan sasarannya hampir selalu wanita.
Orang yang didiagnosis mengidap ekshibisionisme biasanya tidak tertarik pada kontak
seksual actual dengan korban dan karenanya biasanya tidak berbahaya. Namun begitu,
korban dapat merasa dirinya dalam bahaya besar dan dapat mengalami trauma karena
peristiwa itu. Saran yang paling baik untuk korban adalah untuk tidak menunjukan reaksi
apapun pada orang yang mengekspos dirinya dan tetap bersikap biasa saja.
Pria dengan gangguan ini cenderung pemalu, tergantung serta kurang memiliki
keterampilan sosial dan seksual, bahkan terhambat secara sosial. Sejumlah orang meragukan
maskulinitas mereka dan memiliki perasaan inferior. Rasa jijik dan ketakutan korban
membangkitkan rasa menguasai situasi dan meningkatkan keterangsangan seksual mereka.
3. Fetishisme
Kata Prancis fetiche diduga berasal dari bahasa Portugis feticio yang berarti suatu daya
tarik ajaib. Dalam kasus ini ajaib terletak pada kemampuan objek untuk merangsang secara
seksual. Cirri utama dari kelainan ini adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta
membangkitkan fantasi yang melibatkan objek tidak hidup, seperti bagian tertentu dari
pakaian. Normal bagi pria untuk menyukai tampilan, rasa dan aroma baju milik kekasih
mereka. Namun, pria fethisisme lebih memilih objeknya daripada orang yang memilikinya
dan tidak dapat terangsang tanpa objek tersebut. Mereka sering mengalami kepuasan seksual
melalui masturbasi sambil membelai, menggosok-gosok atau mencium objek tersebut, atau
melihat pasangannya memakai benda tersebut ketika melakukan aktivitas seksual.