Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:
Nurul Azizah C111 12 317
Andi Yuniar Firmansyah C111 12 327

Pembimbing:
DR. dr. Risna H. Mubin, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

1
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ...... 1
DAFTAR ISI ......... 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN.... 3
B. EPIDEMIOLOGI . 4
C. PATOFISIOLOGI .... 7
D. GEJALA KLINIS .... 7
E. DIAGNOSIS 9
E. PENATALAKSANAAN 10
F. EDUKASI. 15
DAFTAR PUSTAKA . 17

2
DEMAM TIFOID

A. PENDAHULUAN
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid
fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau
lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran. Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak
dijumpai di berbagai belahan dunia saat ini adalah demam tifoid yang
disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi. 1,2
Di Indonesia demam tifoid lebih dikenal oleh masyarakat dengan
istilah penyakit tifus. Dalam 4 dekade terakhir demam tifoid menjadi
masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan insidensi
penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka
mortalitas mencapai 600 ribu jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid
tersebar di berbagai benua mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan,
Karibia, hingga Oceania. Sebagian besar kasus (80%) ditemukan di negara
berkembang seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan
Indonesia. Indonesia merupakan wilayah endemik demam tifoid dengan
mayoritas angka insidensi terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun (91%
kasus). 1,2
Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi dari genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram
negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul, dan mempunyai flagela
(rambut getar). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif
anaerob.3,4
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:
1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan
terhadap formaldehid.

3
2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.
Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut agglutinin.

B. EPIDEMIOLOGI
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun
2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh
dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan
Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik
yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara
berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan
21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam
tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia
Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang
tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia
lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan
Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000
populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.3,7
Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga
insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat
inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun
dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000

4
dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia
dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. CDC Indonesia melaporkan
insidensi demam tifoid mencapai 358-810 per 100 ribu populasi pada tahun
2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitas
antara 3,1-10,4% pada pasien rawat inap.5,6
Demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga,
yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak
adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk
makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah. Berikut
ini gambar mengenai insidens demam tifoid dan usia rata-rata pasien dari
studi mengenai demam tifoid di 5 negara Asia, yang salah satunya adalah
Indonesia (lihat gambar 1).7

Gambar 1. Rentang insidens demam tifoid dan usia pasien dibeberapa negara Asia7

5
C. PATOFISIOLOGI
Demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut
dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui
mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili,
kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffl
ing, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler.
Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan
masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia
primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur
darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini
terjadi selama 7-14 hari.7
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh
dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di
hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi
dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali
ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri
abdomen.7
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak
diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyers patches di mukosa
ileum terminal. Ulserasi pada Peyers patches dapat terjadi melalui proses
inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi
perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat
terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.
Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai
pembawa kuman atau carrier.7

6
Setelah seorang terinfeksi S. typhi, periode asimtomatik berlangsung
7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Awitan bakteremia ditandai gejala demam
dan malaise. Pasien pada umumnya datang ke RS menjelang akhir minggu
pertama setelah terjadi gejala demam, gejala mirip influenza, nyeri kepala,
anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan mialgia. Lidah kotor, nyeri
abdomen, diare, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan.
Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid,
namun bukan gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis
lainnya. Demam akan meningkat secara progresif dan pada minggu kedua,
demam seringkali tinggi dan menetap (39-40 derajat celsius). Beberapa rose
spot, lesi makulopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm, dilaporkan pada
5%-30% kasus yang tampak terutama pada abdomen dan dada.8

D. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita.9,10,11
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu
badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi
makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa,
perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai
berat.

7
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41o C).
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal,
di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih
kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel
sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman
salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di
bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi
lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan
bertahan selama 2 -3 hari.

8
E. DIAGNOSIS
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat
untuk menda- patkan hasil yang cepat dan optimal sehing- ga dapat

mencegah terjadinya komplikasi.2 Pengetahuan mengenai gambaran klinis


pe- nyakit sangat penting untuk membantu men- deteksi dini penyakit ini.
Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari
laboratorium untuk membantu mene- gakkan diagnosis. Gambaran darah
tepi pada permulaan pe- nyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada
keadaan penyakit yang lanjut. Pada per- mulaan penyakit, dapat dijumpai
pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium
lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif.
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium
didasarkan pada 3 prinsip, yaitu:7
Isolasibakteri

Deteksi antigen mikroba

Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab

Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan


hasilnya positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup
(darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik
di- mana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur
darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi).7

Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap


antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O
dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari
10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap
dapat dijumpai set- elah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.
Karena itu, Widal bukanlah pemerik- saan untuk menentukan kesembuhan
penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua

9
pengambilan berse- lang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil
pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.

Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil


pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap
Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan
hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D.7

Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi


IgM dan IgG. Terde- teksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid,
sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut
pada fase pertengahan.Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah
infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut
dan kasus dalam masa penyembuhan, yang lebih baru lagi adalah Typhidot
M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja Typhidot M memiliki
sensitivitas dan spesi si- tas yang lebih tinggi dibandingkan
Typhidot.Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus
disertai gambaran klinis se- suai yang telah dikemukakan sebelumnya 7

F. PENATALAKSANAAN
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien


harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.7
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam

10
tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi
biasa.7
c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak
pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.7
d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan


suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh
akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang
belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak,
dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/
kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan
suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka
pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.8

Medika Mentosa
Pengobatan simptomatik diberikan untuk menekan gejala seperti
demam, diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3
hari, perlu dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat

11
laksansia atau enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan
perdarahan maupun perforasi usus.
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan
penderita seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan
keseimbangan cairan. Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada
toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan
neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau demam
tifoid yang mengalami syok septik.
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
a. Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena
sampai 7 hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan
karena dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri.
Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang,
karier kronis, depresi sumsum tulang (anemia aplastik), dan angka
mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang perlu terhadap
kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama.
Penurunan demam terjadi pada hari ke-5. 11,13
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis
tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun pada hari ke-6 11,13
c. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
orang dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400
mg dan trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan
karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.
Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan ampisilin dan
kotrimoksazol resisten. 11,13

12
d. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in
vitro serta mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu.
Siprofloksasin mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella
typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat
digunakan untuk demam tifoid meliputi:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam
sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin. 11,13
e. Sefalosporin generasi III
Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3
hari dan memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14
hari. Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis
3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan
3-5 hari.
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam
tifoid dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif
daripada kloramfenikol. Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis
1 x 1 gram per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisin dapat
digunakan anak-anak, ibu hamil, dan menyusui.1
g. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada
keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok
septik di mana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam
kultur darah selain bakteri Salmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap
antibiotik yaitu:

13
1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin
mempunyai kepekaan 95,12%.
2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,13

Tabel 3. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid

sensitif fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari

demam tifoid MDR fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari
tanpa
resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14
komplikasi
hari

14
sensitif fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari

demam tifoid
MDR fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
dengan
resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14
komplikasi
hari

G. EDUKASI

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien


harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,
bubur lunak, tim, dan nasi biasa, Penderita harus mendapat cairan yang
cukup, baik secara oral maupun parenteral. Jika pasien demam tifoid atau
baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa edukasi agar anda tidak
menginfeksi orang lain: 9

Sering cuci tangan.


Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir)
dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama
sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.9

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.


Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali
sehari. 9

Hindari memegang makanan.


Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata
bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan

15
atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil
tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella. 9

Gunakan barang pribadi yang terpisah.


Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan
cuci dengan menggunakan air dan sabun. 9

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of Internal


Medicine: Harrison 16th Ed. 897-900.
2. Brusch, J.L. 2010. Typhoid Fever. www.emedicine.medscape.com.
3. Hudayani R et al. 2013. Risk Factors Analysis of Thypoid Fever Occurrence
of Inpatient in Kebumen Public Hospital in 2013. Tropical Medicine
Journal, Vol 03, No. 2.
4. Jawetz, Melnick, & Adelberghs. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika.
5. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease.
www.medline.com.
6. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta:
Infomedika.
7. Nelwan, RHH. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192/ vol.
39 no. 4.
8. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan
demam pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr.
Aloei Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JH
SVol05No01_08_2012.pdf. 22 Januari 2012.
9. Widodo, Djoko. 2014. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid VI. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Pusat.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar
Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.
11. WHO. 2007 . Background decument: The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. Geneva; WHO press.

17

Anda mungkin juga menyukai