Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Mola hidatidosa merupakan suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar


dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal
yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih,
dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 sentimeter.1

Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi (1 atas 20


kehamilan) dari pada wanita di negara-negara Barat (1 atas 2000 kehamilan).2 Di Asia
insiden mola hidatidosa komplit tertinggi adalah di Indonesia yaitu 1 dari 77
kehamilan dan 1 dari 57 persalinan.3

Faktor resiko mola hidatidosa lebih sering pada wanita usia dibawah 20 tahun
dan diatas 35 tahun. Pada mola hidatidosa juga sering pada etnik mongoloid dan pada
mereka yang mengalami kekurangan protein.4

Mola hidatidosa yang sifatnya jinak, dapat tumbuh tumor trofoblas yang
bersifat ganas. Selain itu, terdapat pula tumor trofoblas yang hanya terdiri atas sel-sel
trofoblas tanpa stroma yang umumnya tidak hanya berinvasi di otot uterus tetapi
menyebar ke bagian lain.2

Sebagian besar penderita mola hidatidosa akan baik kembali setelah kuretase.
Bila hamil lagi, umumnya berjalan normal. Mola hidatidosa berulang dapat terjadi,
tetapi jarang. Penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami degenerasi keganasan
menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG).4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Mola hidatidosa ialah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stroma
villus korialis langka vaskularisasi, dan edematus.2
Yang dimaksud dengan mola hidatidosa ialah suatu kehamilan yang
berkembang tidak wajar, dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh
vili korialis mengalami perubahan hidropik. Secara makroskopik, mola
hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus
pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa
milimeter sampai 1 atau 2 sentimeter.3
Janin biasanya meninggal, akan tetapi villus-villus yang membesar dan
edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan ialah sebagai
segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada villus kadang-kadang
berproliferasi ringan kadang-kadang keras, dan mengeluarkan hormon, yakni
human chorionic gonadotropin (HcG) dalam jumlah yang lebih besar dari
pada kehamilan biasanya.2

B. FISIOLOGI PEMBUAHAN, NIDASI DAN PLASENTASI


Fertilisasi adalah penyatuan ovum dan spermatozoa yang biasanya
berlangsung di ampula tuba. Fertilisasi meliputi penetrasi spermatozoa ke
dalam ovum, fusi spermatozoa dan ovum, diakhiri dengan fusi materi
genetik.5
Ovum yang dilepas oleh ovarium disapu oleh mikrofilamen-
mikrofilamen infundibulum tuba ke arah ostium tuba abdominalis, dan
disalurkan terus ke arah medial. Ovum ini mempunyai diameter 100 (0,1
mm). Di tengah-tengahnya dijumpai nukleus yang berada dalam metafase
pada pembelahan pematangan kedua, terapung-apung dalam sitoplasma yang
kekuning-kuningan yakni vitelus. Vitelus ini mengandung banyak zat
karbohidrat dan asam amino.5

2
Ovum dilingkari oleh zona pelusida, diluar zona ini ditemukan sel-sel
korona radiata, dan didalamnya terdapat ruang perivitelina. Bahan-bahan dari
sel-sel korona radiata dapat disalurkan ke ovum melalui saluran-saluran halus
di zona pelusida. Jumlah sel-sel korona radiata di dalam perjalanan ovum di
ampula tuba makin berkurang, sehingga ovum hanya dilingkari oleh zona
pelusida pada waktu berada dekat pada perbatasan ampula dan ismus tuba,
tempat pembuahan umumnya terjadi.5
Jutaan spermatozoa ditumpahkan di forniks vagina dan disekitar
porsio pada waktu koitus. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoa yang dapat
terus ke kavum uteri dan tuba, dan hanya beberapa ratus yang dapat sampai ke
bagian ampula tuba dimana spermatozoa dapat memasuki ovum yang telah
siap untuk dibuahi. Hanya satu spermatozoa yang mempunyai kemampuan
untuk membuahi. Pada spermatozoa ditemukan peningkatan konsentrasi DNA
di nukleusnya, dan kaputnya lebih mudah menembus dinding ovum oleh
karena diduga dapat melepaskan hialuronidase.5
Spermatozoa yang telah masuk ke vitelus kehilangan membran
nukleusnya, yang tertinggal hanya pronukleusnya, sedangkan ekor
spermatozoa dan mitokondrianya berdegenerasi. Itulah sebabnya seluruh
mitokondria pada manusia berasal dari ibu (maternal). Masuknya spermatozoa
ke dalam vitelus membangkitkan nukleus ovum yang masih dalam metafase
untuk proses pembelahan selanjutnya (pembelahan meiosis kedua). Sesudah
anafase kemudian timbul telofase, dan polar body kedua menuju ke ruang
perivitelina. Ovum sekarang hanya mempunyai pronukleus yang haploid.
Pronukleus spermatozoa juga telah mengandung jumlah kromosom yang
haploid.5
Kedua pronukleus dekat mendekati dan bersatu membentuk zigot yang
terdiri atas bahan genetik dari perempuan dan laki-laki. Pada manusia terdapat
46 kromosom, ialah 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin, pada
seorang laki-laki satu X dan satu Y. Sesudah pembelahan kematangan, maka
ovum matang mempunyai 22 kromosom otosom serta 1 kromosom X, dan

3
suatu spermatozoa mempunyai 22 kromosom otosom serta 1 kromosom X
atau 22 kromosom otosom serta 1 kromosom Y. zigot sebagai hasil
pembuahan yang memiliki 44 kromosom otosom serta 2 kromosom X akan
tumbuh sebagai janin perempuan, sedang yang memiliki 44 kromosom
otosom serta 1 kromosom X dan 1 kromosom Y akan tumbuh sebagai janin
laki-laki.5
Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan
zigot. Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung
banyak zat asam amino dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi,
pembelahan-pembelahan selanjutnya berjalan dengan lancer, dan dalam 3 hari
terbentuk suatu kelompok sel yang sama besarnya. Hasil konsepsi berada
dalam stadium morula. Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitelus,
hingga volume vitelus makin berkurang dan terisi seluruhnya oleh morula.
Dengan demikian, zona pelusida tetap utuh, atau dengan perkataan lain,
besarnya hasil konsepsi tetap sama. Dalam ukuran yang sama ini hasil
konsepsi disalurkan terus ke pars ismika dan pars interstisialis tuba (bagian-
bagian tuba yang sempit) dan terus disalurkan kea rah kavum uteri oleh arus
serta getaran silia pada permukaan sel-sel tuba dan kontraksi tuba.5
Selanjutnya pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium
blastula disebut blastokista, suatu bentuk yang bagian luarnya adalah trofoblas
dan di bagian dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner cell ini
berkembang menjadi janin dan trofoblas akan berkembang menjadi plasenta.
Dengan demikian, blastokista diselubungi oleh suatu simpai yang disebut
trofoblas. Trofoblas ini sangat kritis untuk keberhasilan kehamilan terkait
dengan keberhasilan nidasi (implantasi), produksi hormon kehamilan, proteksi
imunitas bagi janin, peningkatan aliran darah maternal ke dalam plasenta, dan
kelahiran bayi. Sejak trofoblas terbentuk, produksi hormon human chorionic
gonadotropin (hCG) dimulai, suatu hormon yang memastikan bahwa
endometrium akan menerima (reseptif) dalam proses implantasi embrio.5

4
Trofoblas yang mempunyai kemampuan menghancurkan dan
mencairkan jaringan menemukan endometrium dalam masa sekresi, dengan
sel-sel desidua. Sel-sel desidua ini besar-besar dan mengandung lebih banyak
glikogen serta mudah dihancurkan oleh trofoblas. Nidasi diatur oleh suatu
proses yang kompleks antara trofoblas dan endometrium. Di satu sisi trofoblas
mempunyai kemampuan invasive yang kuat, di sisi lain endometrium
mengontrol invasi trofoblas dengan menyekresikan factor-faktor yang aktif
setempat yaitu inhibitor sitokin dan protease. Keberhasilan nidasi dan
plasentasi yang normal adalah hasil keseimbangan proses antara trofoblas dan
endometrium.5
Dalam perkembangan diferensiasi trofoblas, sitotrofoblas yang belum
berdiferensiasi dapat berkembang dan berdiferensiasi menjadi 3 jenis, yaitu
(1) sinsiotrofoblas yang aktif menghasilkan hormon, (2) trofoblas jangkar
ekstravili yang akan menempel pada endometrium, dan (3) trofoblas yang
invasive.5
Dalam tingkat nidasi, trofoblas menghasilkan hormon human
chorionic gonadotropin (hCG), produksi human chorionic gonadotropin
(hCG) meningkat sampai kurang lebih hari ke 60 kehamilan untuk kemudian
turun lagi. Diduga bahwa fungsinya ialah mempengaruhi korpus luteum untuk
tumbuh terus, dan menghasilkan terus progesterone, sampai plasenta dapat
membuat cukup progesterone sendiri. Hormon korionik gonadotropin inilah
yang khas untuk menetukan ada tidaknya kehamilan. Hormon tersebut dapat
ditemukan di dalam air kemih ibu hamil.5
Blastokista dengan bagian yang mengandung massa inner cell aktif
mudah masuk ke dalam lapisan desidua, dan luka pada desidua kemudian
menutup kembali. Kadang-kadang pada saat nidasi yakni masuknya ovum ke
dalam endometrium terjadi perdarahn pada luka desidua (tanda Hartman).
Pada umumnya blastokista masuk di endometrium dengan bagian dimana
massa inner cell berlokasi. Dikemukakan bahwa hal inilah yang menyebabkan
tali pusat berpangkal sentral atau parasentral. Bila sebaliknya dengan bagian

5
lain blatokista memasuki endometrium, maka terdapatlah tali pusat dengan
insersio velamentosa. Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang
uterus, dekat pada fundus uteri. Jika nidasi ini terjadi, barulah dapat disebut
adanya kehamilan.5
Setelah nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai. Pada
manusia palsentasi berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi.5
Dalam 2 minggu pertama perkembangan hasil konsepsi, trofoblas
invasive telah melakukan penetrasi ke pembuluh darah endometrium.
Terbentuklah sinus intertrofoblastik yaitu ruangan-ruangan yang berisi darah
maternal dari pembuluh-pembuluh darah yang dihancurkan. Pertumbuhan ini
berjalan terus sehingga timbul ruangan-ruangan interviler dimana vili korialis
seolah-olah terapung-apung diantara ruangan-ruangan tersebut sampai
terbentuknya plasenta.5
Tiga minggu setelah fertilisasi sirkulasi darah janin dini dapat
diidentifikasi dan dimulai pembentuka vili korialis. Sirkulasi darah janin ini
berakhir di lengkung kapilar didalam vili korialis yang ruang intervilinya
dipenuhi dengan darah maternal yang dipasok oleh arteri spiralis dan
dikeluarkan melalui vena uterine. Vili korialis ini akan bertumbuh menjadi
suatu massa jaringan yaitu plasenta.5
Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi ke arah kavum uteri
disebut desidua kapsularis, yang terletak antara hasil konsepsi dan dinding
uterus disebut desidua basalis, disitulah plasenta akan dibentuk.5
Darah ibu dan janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah janin dan
lapisan korion. Plasenta yang demikian dinamakan plasenta jenis hemokorial.
Disini jelas tidak ada percampuran darah antara darah janin dan darah ibu.
Ada juga sel-sel desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh trofoblas dan sel-
sel ini akhirnya membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch.
Ketika proses melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan
Nitabuch ini.5

C. EPIDEMIOLOGI

6
Mola hidatidosa terjadi pada sekitar 1 dalam 1000 kehamilan di
Amerika Serikat dan Eropa. Walaupun di negara-negara lain dilaporkan lebih
sering, terutama di beberapa negara Asia. Sebagian besar informasi ini berasal
dari penelitian. Berdasarkan studi-studi pada populasi, insiden di sebagian
besar dunia mungkin serupa dengan insiden di Amerika Serikat.
Frekuensi mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada awal atau
akhir usia subur relatif lebih tinggi. Efek paling berat dijumpai pada wanita
berusia lebih dari 45 tahun, dengan frekuensi lesi relatif lebih dari 10 kali lipat
dibandingkan pada 20 sampai 30 tahun. Banyak kasus molahidatidosa yang
terbukti pada wanita berusia 50 tahun atau lebih.6
Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi (1 atas 20
kehamilan) dari pada wanita di negara-negara Barat (1 atas 2000 kehamilan).2

D. FAKTOR RESIKO
Sampai sekarang belum diketahui etiologi dari penyakit ini, yang baru
diketahui adalah faktor resiko seperti:4
1. Umur : mola hidatidosa lebih banyak ditemukan pada wanita
berumur di bawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.
2. Etnik : lebih banyak ditemukan pada mongoloid dari pada
kaukasus.
3. Genetik : wanita dengan balanced translocation mempunyai resiko
lebih tinggi.
4. Gizi : mola hidatidosa banyak ditemukan pada mereka yang
kekurangan protein.

E. KLASIFIKASI
Klasifikasi mola hidatidosa dibagi atas:
1. Mola hidatidosa sempurna
Vili korionik berubah menjadi suatu massa vesikel-vesikel jernih.
Ukuran vesikel bervariasi dari yang sulit dilihat sampai yang
berdiameter beberapa sentimeter dan sering berkelompok-
kelompok menggantung pada tingkat kecil. Gambaran histologik
ditandai oleh:6
a. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma vilus

7
b. Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
c. Proliferasi epitel trofoblas dengan derajat bervariasi
d. Tidak adanya janin dan amnion
Degenerasi hidropik atau degenerasi mola, yang mungkin sulit
dibedakan dari mola sejati, tidak digolongkan sebagai penyakit trofoblastik.
Pada pemeriksaan sitogenik terhadap kehamilan mola sempurna menemukan
komposisi kromosom yang umumnya (85% atau lebih) adalah 46,XX, dengan
kromosom seluruhnya berasal dari ayah. Fenomena ini disebut sebagai
androgenesis. Biasanya ovum dibuahi oleh sperma haploid, yang kemudian
memperbanyak kromosomnya sendiri setelah meiosis sehingga kromosomnya
bersifat homozigot. Kromosom ovum tidak ada atau tidak aktif, kadang-
kadang pola kromosom suatu molasempurna mungin 46,XY, yaitu heterozigot
karena pembuahan dua sperma.6
Mola hidatidosa sempurna hanya mengandung DNA paternal sehingga
bersifat androgenetik tanpa adanya jaringan janin. Hal ini terjadi karena satu
sel sperma membawa kromosom 23,X melakukan fertilisasi terhadap sel telur
yang tidak membawa gen maternal (tidak aktif), kemudian mengalami
duplikasi membentuk 46XX homozigot. Namun, fertilisasi juga dapat terjadi
pada dua spermatozoa yang akan membentuk 46XY atau 46XX heterozigot.
Secara makroskopis, pada kehamilan trimester dua mola hidatidosa sempurna
berbentuk seperti anggur karena vili korialis mengalami pembengkakan secara
menyeluruh. Pada kehamilan trimester pertama, vili korialis mengandung
cairan dalam jumlah lebih sedikit, bercabang dan mengandung
sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas hiperplastik dengan banyak pembuluh
darah.6
Lawler dkk melaporkan bahwa dari 202 mola hidatidosa, 151 mola
hidatidosa sempurna dan 49 mola hidatidosa parsial.6
Sebagian besar mola sempurna (85%) adalah diploid sedangkan
sebagian besar mola parsial (86%) adalah triploid. Variasi-variasi lain juga
pernah dilaporkan, misalnya 45,X. oleh karena itu, mola yang secara

8
morfologis sempurna dapat terdiri dari berbagai pola kromosom. Resiko
tumor trofoblastik yang berkembang dari mola sempurna adalah sekitar 20%.6
Tabel 1. Komposisi kromosom dari 200 molahidatidosa

Sempurna (n=151) Parsial (n=49)


Kromosom
Jumlah (%) Jumlah (%)
Haploid 1 (0.7%) --
Diploid 128 (85%) 1 (2%)
Triploid 3 (2%) 42 (86%)
Tetraploid -- 2 (4%)
Tidak diketahui 19 (13%) 4 (8%)
Sumber: Cunningham FG, Hauth JC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Wenstrom KD.
Obstetri Williams. Vol.2. 21th ed. Jakarta. EGC; 2006.

2. Mola hidatidosa parsial


Apabila perubahan mola hidatidosa bersifat fokal dan kurang
berkembang, dan mungkin tampak sebagian jaringan janin,
biasanya paling tidak kantung amnion, keadaan ini diklasifikasikan
sebagai mola hidatidosa parsial. Terjadi pembengkakan hidatidosa
yang berlangsung lambat pada sebagian vili yang biasanya
avaskuler, sementara vili-vili berpembuluh lainnya dengan
sirkulasi janin plasenta yang masih berfungsi tidak terkena.
Hiperplasia trofoblastik lebih bersifat lokal dari pada generalisata.6
Kerotipe biasanya triploid 69,XXX, 69,XXY, atau 69,XYY,
dengan suatu komplemen haploid ibu dan biasanya dua
komplemen haploid ayah. Janin pada mola parsial biasanya
memiliki tanda-tanda triploid, yang mencakup malformasi
kongenital multipel dan hambatan pertumbuhan serta tidak viabel.
Dalam laporan oleh Lawler dkk, 86% mola parsial bersifat triploid
dan 2% diploid. Jauniaux dalam suatu kajian mengenai mola

9
parsial, melaporkan bahwa 82% janin dengan kerotipe triploid
memperlihatkan hambatan pertumbuhan simetris. Lembet dkk
melaporkan satu kasus mola hidatidosa parsial dengan kerotipe
diploid dan janin hidup.6
Gestasi kembar dengan mola sempurna serta janin dan plasenta
normal kadang-kadang salah di diagnosis sebagai mola parsial
diploid. Sebaiknya keduanya diupayakan dibedakan, karena
kehamilan kembar yang terdiri dari satu janin normal dan satu
mola sempurna memiliki kemungkinan 50% untuk menyebabkan
penyakit trofoblastik persisten dibandingkan dengan angka yang
jauh lebih rendah pada mola parsial triploid. Analisis sitogenetika
dan analisis sitometri DNA untuk membantu membedakan entilas
ini.6
Mola hidatidosa mungkin diikuti oleh tumor trofoblastik
nonmetastatik pada 4-8% kasus. Resiko koriokarsinoma yang berasal dari
mola parsial sangat rendah.5 Vajerslev (1991) mengulas hasil kehamilan
dengan mola hidatidosa bersama dengan janin normal. Dari 113 kehamilan, 52
janin berkembang sampai usia gestasi 28 minggu, dan angka kelangsungan
hidupnya adalah 70%. Karena itu, dalam memberi konseling kepada wanita
yang hamil mola plus janin, baik hasil pemeriksaan sitogenetik maupun
ultrasonografi resolusi tinggi paling penting dilakukan.6
Dari mola yang sifatnya jinak, dapat tumbuh tumor trofoblas yang
bersifat ganas. Tumor ini ada yang kadang-kadang masih mengandung villus
disamping trofoblas yang berproliferasi, dapat mengadakan invasi yang
umumnya bersifat lokal, dan dinamakan mola destruens. Selain itu, terdapat
pula tumor trofoblas yang hanya terdiri atas sel-sel trofoblas tanpa stroma,
yang umumnya tidak hanya berinvasi di otot uterus tetapi menyebar ke bagian
lain.2
Tabel 2. Gambaran mola hidatidosa komplit dan parsial

10
Gambaran Mola hidatidosa parsial Mola hidatidosa komplit
Kariotip Umumnya 69,XXX atau 46,XX atau 46,XY
69,XXY
Patologi
Embrio-fetus Ada Tidak ada
Amnion, RBC fetus Ada Tidak ada
Edema vili Fokal, variabel Difus (menyeluruh)
Trofoblastik hyperplasia Fokal Difus (menyeluruh)
Inklusi stroma trofoblas Ada Tidak ada
Gambaran klinis
Diagnosis Missed abortion Molar gestasion
Ukuran uterus Lebih kecil dari usia 50% lebi besar dari usia
kehamilan kehamilan
Kista theca-lutein Jarang 25-30%
Peningkatan -HCG 0,5% 20%
Komplikasi Jarang Sering
Neoplasia trofoblas <5-10% 20%
gestasional
Sumber: Cunningham FG, Hauth JC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Wenstrom KD.
Obstetri Williams. Vol.2. 21th ed. Jakarta. EGC; 2006
F. DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis sebagian besar kehamilan mola telah banyak berubah
dalam 20 tahun terakhir karena penggunaan ultrasonografi transvagina dan
hCG serum kuantitatif menyebabkan diagnosa ditegakkan lebih dini. Pada
akhir trimester pertama dan selama trimester kedua, sering tampak jelas
sejumlah perubahan. Gejala-gejala mencolok lebih besar kemungkinannya
terjadi pada mola sempurna..6
Uterus membesar lebih cepat dari biasanya, penderita mengeluh
tentang mual dan muntah, tidak jarang terjadi perdarahan pervaginam.
Kadang-kadang pengeluaran darah disertai dengan pengeluaran beberapa
gelembung villus.2
Perdarahan uterus hampir bersifat universal, dan dapat bervariasi dari
bercak sampai perdarahan berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum
abortus atau yang lebih sering terjadi secara intermiten selama beberapa
minggu sampai bahkan bulan. Efek dilusi akibat hipervolemia yang cukup
berat dibuktikan terjadi pada sebagian wanita yang molanya lebih besar.
Kadang-kadang terjadi perdarahan berat yang tertutup di dalam uterus.

11
Anemia defisiensi besi sering dijumpai dan kadang-kadang terdapat tropoiesis
megaloblastik, mungkin akibat kurangnya asupan gizi karena mual dan
muntah disertai meningkatnya kebutuhan folat trofoblas yang cepat
berproliferasi.6
Uterus sering membesar lebih cepat dari pada biasanya. Ini adalah
kelainan yang tersering dijumpai, dan pada sekitar separuh kasus, ukuran
uterus jelas melebihi yang diharapkan berdasarkan usia gestasi. Uterus
mungkin sulit diidentifikasi secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita
nulipara, karena konsistensinya yang lunak dibawah dinding abdomen yang
kencang. Kadang-kadang ovarium sangat membesar akibat kista-kista teka
lutein sehingga sulit dibedakan dari uterus yang membesar.6
Walaupun uterus cukup membesar hingga mencapai jauh diatas
simfisis, bunyi jantung janin biasanya tidak terdeteksi. Walaupun jarang,
mungkin terdapat plasenta kembar dengan perkembangan kehamilan mola
sempurna pada salah satunya, sementara plasenta lain dan janinnya tampak
normal. Demikian juga, walaupun sangat jarang, plasenta mungkin mengalami
perubahan mola yang luas tetapi tidak lengkap disertai oleh janin hidup.6
Yang sangat penting adalah kemungkinan terjadinya preeklampsia
pada kehamilan muda, yang menetap sampai trimester kedua. Karena
hipertensi akibat akibat kehamilan jarang dijumpai sebelum usia gestasi 24
minggu, preeklampsia yang terjadi sebelum waktu ini sedikitnya
mengisyaratkan mola hidatidosa atau adanya mola yang luas.6
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering
meningkat, tetapi jarang menyebabkan gejala klinis hipertiroidisme.
Peningkatan tiroksin plasma mungkin terutama disebabkan oleh estrogen
seperti pada kehamilan normal, yang kadar tiroksin bebasnya tidak meningkat.
Tiroksin bebas dalam serum meningkat akibat efek gonadotropin korionik
atau varian-variannya yang mirip tirtropin.6
Kadar hCG pada mola jauh lebih tinggi dari pada kehamilan biasa,
pada kehamilan biasa, kadar hCG darah paling tinggi 100.000 IU/L,

12
sedangkan pada mola hidatidosa bisa mencapai 5.000.000 IU/L.
Ultrasonografi (B-scan) memberi gambaran yang khas mola hidatidosa, yaitu
ditemukan gambaran vesikuler (gambaran badai salju).4

G. PENATALAKSANAAN
Terapi mola hidatidosa terdiri dari evakuasi mola segera, dan tindak
lanjut untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan
keganasan. Evaluasi awal sebelum evakuasi atau histerektomi paling tidak
mencakup pemeriksaan sepintas untuk mencari metastasis. Radiografi toraks
harus dilakukan untuk mencari lesi paru.6
Perbaikan keadaan umum, yakni transfusi darah untuk mengatasi syok
hipovolemik atau anemia, pengobatan terhadap penyulit, seperti preeklampsia
atau tirotoksikosis. Setelah penderita stabil, baru dilakukan evakuasi.4
Akibat meningkatnya kesadaran, dan tentunya karena tehnik
diagnostik yang lebih baik, kehamilan mola sekarang lebih sering diakhiri saat
masih kecil dan pada keadaan yang terkendali dan bukan pada saat kacau
seperti umumnya saat mola mengalami abortus spontan. Karenanya tersedia
cukup waktu untuk mengevaluasi pasien yang mungkin mengalami anemia,
hipertensi, atau kekurangan cairan.6
Berhubung dengan kemungkinan, bahwa mola hidatidosa menjadi
ganas, maka terapi yang terbaik pada wanita dengan usia yang sudah lanjut
dan sudah mempunyai jumlah anak yang diingini, ialah histerektomi. Akan
tetapi, pada wanita yang masih menginginkan anak, maka setelah diagnosis
mola dipastikan, dilakukan pengeluaran mola dengan kerokan isapan disertai
dengan pemberian infus oksitosin intravena.2
Evakuasi isap merupakan terapi pilihan untuk mola hidatidosa,
berapapun ukuran uterusnya. Untuk mola besar, dipersiapkan darah yang
sesuai dan apabila diperlukan dipasang sistem intravena untuk menyalurkan
infus secara cepat. Zat-zat dilator serviks digunakan apabila serviks panjang,
sangat padat, dan tertutup. Dilatasi lebih lanjut dapat dengan aman dilakukan

13
dalam anastesi sampai tercapai diameter yang memadai untuk memasukkan
kuret plastik pengisap.6
Setelah sebagian besar mola dikeluarkan melalui aspirasi dan pasien
diberi oksitosin, serta miometrium telah berkontraksi, biasanya dilakukan
kuretase yang menyeluruh tapi berhati-hati dengan kuret tajam besar.
Evakuasi semua isi mola besar tidak selalu mudah dilakukan, dan
pemeriksaan ultrasonografi intraoperasi mungkin bermanfaat untuk
memastikan bahwa rongga uterus sudah kosong. Wajib tersedia fasilitas dan
petugas untuk laparatomi darurat seandainya terjadi perdarahan yang tidak
terkendali atau trauma serius uterus.6
Tujuh sampai sepuluh hari sesudahnya itu dilakukan kerokan ulangan
dengan kuret tajam, agar ada kepastian bahwa uterus betul-betul kosong, dan
untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas yang dapat ditemukan.
Makin tinggi tingkat itu, makin perlu untuk waspada terhadap kemungkinan
keganasan.2
Tujuan utama tindak lanjut adalah deteksi dini setiap perubahan yang
mengisyaratkan keganasan.6
Pengamatan lanjutan pada wanita dengan mola hidatidosa yang
uterusnya dikosongkan, sangat penting berhubung dengan kemungkinan
timbulnya tumor ganas (dalam 20%). Anjuran untuk semua penderita pasca
mola dilakukan kemoterapi untuk mencegah timbulnya keganasan, belum
dapat diterima oleh semua pihak.2
Metode umum tindak lanjut adalah sebagai berikut:6
a. Cegah kehamilan selama masa tindak lanjut sekurang-
kurangnya setahun.
b. Ukur kadar hCG setiap 2 minggu. Walaupun sebagian
menganjurkan pemeriksaan setiap minggu, belum terbukti
adanya manfaat yang nyata.
c. Tunda terapi selama kadar serum tersebut terus berkurang.
Kadar yang meningkat atau mendatar mengisyaratkan perlunya
evaluasi dan biasanya terapi.

14
d. Setelah kadar normal, yaitu setelah mencapai batas bawah
pengukuran-pemeriksaan dilakukan setiap bulan selama 6
bulan, lalu setiap 2 bulan untuk total 1 tahun.
e. Tindak lanjut dapat dihentikan dan kehamilan diizinkan setelah
1 tahun.

Pada kasus-kasus yang tidak menjadi ganas, kadar hCG lekas turun
menjadi begatif, dan tetap tinggal negatif. Pada awal masa pasca mola dapat
dilakukan tes hamil biasa, akan tetapi setelah tes hamil biasa menjadi negatif,
perlu dilakukan pemeriksaan radio-imunoassay hCG dalam serum.
Pemeriksaan yang peka ini dapat menemukan hormon dalam kuantitas yag
rendah.2

Kontrasepsi estrogen-progestin sering digunakan untuk mencegah


kehamilan berikutnya dan untuk menekan lutenizing hormon hipofisis yang
bereaksi silang dengan beberapa tes untuk gonadotropin korionik.6

Kemoterapi dilakukan dengan pemberian metotreksat atau


daktinomisin, atau kadang-kadang dengan kombinasi 2obat tersebut. Biasanya
cukup hanya memberi satu seri dari obat yang bersangkutan. Pengamatan
lanjutan terus dilakukan, sampai kadar hCG menjadi negatif selama 6 bulan.2

H. PROGNOSIS
Mortalitas akibat mola saat ini praktis telah berkurang menjadi nol
oleh diagnosis yang lebih dini dan terapi yang tepat pada kehamilan mola
tahap lanjut, wanita yang bersangkutan biasanya anemia dan mengalami
perdarahan akut. Infeksi dan sepsis pada kasus-kasus ini dapat menyebabkan
morbiditas serius.6
Sayangnya evakuasi lebih dini tidak menghilangkan kemungkinan
terjadinya tumor persisten. Hampir 20% dari mola sempurna berkembang
menjadi tumor trofoblastik gestasional.6

15
Sebagian besar penderita mola hidatidosa akan baik kembali setelah
kuretase. Bila hamil lagi, umumnya berjalan normal. Mola hidatidosa
berulang dapat terjadi, tetapi jarang. Walaupun demikian, 15-20% dari
penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami degenerasi keganasan
menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG), baik berupa mola invasif,
koriokarsinoma, maupun placental site trophoblastic tumor (PSTT).4

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S, Winkjosastro H. Mola Hidatidosa. In: Rauf S, Soraya D,


Sunarno I, editor. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: PT.Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2014. p.211-214
2. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Ilmu Kandungan 2nd ed. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009. p.262-264
3. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Mola Hidatidosa. In: Hadijanto B, editor. Ilmu
Kebidanan 3rd ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009.
p.488-490
4. Martaadisoebrata D, Wijaya N, Wirakusumah F, dkk. Obstetri Patologi. 2 nd ed.
Jakarta: EGC: 2005. p.29-32
5. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Pembuahan, Nidasi, dan Plasentasi. In:
Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan 3rd ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2009. p.139-146
6. Cunningham FG, Hauth JC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Wenstrom KD.
Obstetri Williams. Vol.2. 21th ed. Jakarta. EGC; 2006. p.930-939

17

Anda mungkin juga menyukai