Anda di halaman 1dari 5

FILSAFAT ILMU

Posted on 3 Desember 2014by nersdicky


Sepanjang kehidupan, manusia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang
membutuhkan pemahaman terhadap makna dari setiap peristiwa. Manusia
menggunakan beberapa pendekatan dalam menghayati setiap peristiwa dalam
kehidupannya. Pendekatan tersebut digunakan untuk memahami, mengolah, dan
menghayati peristiwa-peristiwa yang ada di dunia beserta isinya. Filsafat, ilmu
pengetahuan, seni, dan agama adalah bagian dari pendekatan-pendekatan yang
digunakan oleh manusia. (Mudhofir, 2010).
Filsafat merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh manusia untuk mengerti dan
memahami sesuatu dalam kontek memberi makna dan nilai yang terkandung. Filsafat
merupakan suatu bidang yang menyeluruh dan berkaitan erat dengan bidang-bidang
pengalaman setiap manusia. Filsafat memiliki tujuan untuk menyatukan hasil dari
pemahaman dan ilmu tentang moral, agama, dan estetika. (Mudhofir, 2010).

Menurut Mudhofir (2010) dan Soemowinoto (2008), filsafat atau falsafah


atau philosophydalam segi etimologi merupakan kata yang bersumber dari bahasa
Yunani, philosophia. Philosopia sendiri terdiri dari dua suku kata,
yaitu philein (philos) yang berarti mencintai (teman) dan sophos (sophia) yang
berarti bijaksana (kebijaksanaan). Sehingga dapat diartikan
bahwa philosophia adalah mencintai sifat bijaksana (kata sifat) dan teman
kebijaksanaan (kata benda). Dengan kata lain, seseorang yang dianggap telah
memiliki kemampuan berfilsafat yaitu orang yang terbiasa berteman dengan
kebijaksanaan dan melakukan pendekatan dalam memahami sesuatu dengan rasa
cinta dan sifat yang bijaksana.
Pada awalnya, Mudhofir (2010) menjelaskan bahwa filsafat identik dengan ilmu
pengetahuan, sehingga penganut sistem filsafatlah yang memberikan batasannya.
Waktu demi waktu filsafat berkembang dan bercabang-cabang dengan baik sampai
akhirnya masing-masing cabang melepaskan diri dari batasan filsafat yang dianutnya.
Pelepasan cabang-cabang tersebut berkembang secara mandiri dan mengikuti kaidah
metodologi perkembangan keilmuan secara mandiri. Sampai akhirnya kini berbeda
dengan pada jaman awal filsafat yang memiliki batasan jelas, pada masa kini cabang-
cabang ilmu memiliki kekaburan mengenai batasannya dengan ilmu yang lain
sehingga interdependensi dan interrelasi ilmu semakin dirasakan.

Sementara itu, ilmu sendiri merupakan kata terjemahan dari bahasa Inggris, science,
yang awalnya dari bahasa Latin, scientia yang berarti pengetahuan. Ilmu merupakan
sebuah kumpulan dari pengetahuan, namun tidak dapat diartikan bahwa kumpulan
dari pengetahuan itu adalah ilmu. Seiring perkembangan cakupan keilmuan, ilmu
sendiri didefinisikan sebagai sebuah pengetahuan yang diperoleh dari proses yang
sistematis dan teratur (Soeprapto, 2010).
Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat yang menempatkan ilmu sebagai objek
sasarannya (Siswomihardjo, 2010). Menurut Suriasumantri (1998) dalam Nursalam
(2008), filsafat ilmu merupakan suatu cara untuk menelaah pertanyaan hakikat ilmu
dengan filsafat. Hakikat dari ilmu tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dengan adanya hakikat ontologis, sebuah
ilmu memiliki batas lingkup yang membedakan dengan pengetahuan yang lainnya.
Begitu juga yang terjadi pada ilmu keperawatan.
Apabila ditinjau dari filsafat, ilmu keperawatan harus memiliki syarat-syarat tertentu
agar dapat dikatakan sebagai bidang ilmu. Syarat-syarat tersebut adalah adanya objek
material dan objek formal. Kedua objek tersebut harus ada dalam bidang keilmuan
(Mudhofir, 2010). Berikut ini adalah penjabaran objek-objek ilmu keperawatan, yaitu:

1. Objek material
Objek material merupakan segala sesuatu yang dijadikan pemikiran, yang diselidiki,
atau segala sesuatu yang bisa dipelajari (Mudhofir, 2010). Objek material ilmu
keperawatan adalah manusia yang dipandang sebagai sosok yang unik dan tersusun
atas bio-psiko-sosio-spiritual (Asmadi, 2008).

2. Objek formal
Mudhofir (2010) menjelaskan bahwa objek formal merupakan sebuah cara pandang,
cara seorang peneliti meninjau sebuah objek material dari berbagai sudut pandang.
Sebagai contoh dalam ilmu keperawatan, objek material manusia dipandang atau
ditinjau dari aspek kesehatan, aspek lingkungan, atau aspek keperawatan itu sendiri.
Selain itu, bantuan yang bersifat holistik diberikan pada individu yang tidak berfungsi
secara sempurna dalam konteks kesehatan dan proses penyembuhan juga menjadi
objek formal (Asmadi, 2008).

Sebuah ilmu menjadi eksis jika ditopang dengan komponen filsafat ilmu. Seperti yang
disebutkan diatas, bahwa hakikat ilmu ada tiga bagian, yaitu ontologis, epistemologis,
dan aksiologis (Siswomihardjo, 2010). Ilmu keperawatan akan eksis bila dapat
ditelaah menggunakan hakikat tersebut. Berikut ini merupakan pertanyaan-
pertanyaan dalam menelaah ilmu keperawatan sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu
keperawatan merupakan ilmu yang memiliki eksistensi, diantaranya:

1. Pertanyaan ontologis
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat dari ilmu, kemudian apa hakikat kebenaran dan
kenyataannya (Siswomihardjo, 2010). Dengan kata lain, pertanyaannya adalah Apa
yang dimaksud ilmu keperawatan?. Nightingale (1859/1992) dalam Parker dan
Smith (2010) menbedakan keperawatan dengan medis. Beliau mendefinisikan
keperawatan sebagai upaya menempatkan seseorang pada kondisi terbaik untuk
beraktivitas secara normal, dengan fokus pada kesehatan dan proses penyembuhan
secara alami, dan bukan pada penyakit dan pengobatan. Ilmu keperawatan
dikarakteristikkan menjadi dua cabang filosofi pengetahuan sebagai pengembangan
disiplin ilmu. Banyak istilah dalam dua cabang ini, seperti empiris dan interpretif,
mekanistik dan holistik, kualitatif dan kuantitatif, serta bentuk deduktif dan induktif
(Hardin, 2014). Ilmu keperawatan merupakan ilmu yang terdiri dari ilmu-ilmu dasar,
perilaku manusia, biomedik, sosial, dan imu keperawatan itu sendiri (dasar, anak,
maternitas, medikal bedah, jiwa, dan komunitas) yang dikembangkan melalui
pendekatan dan metode ilmiah dalam penyelesaian masalah agar kebutuhan dasar
manusia secara menyeluruh dapat dipertahankan, ditopang, dipelihara, dan
ditingkatkan integritasnya (Nursalam, 2008).

2. Pertanyaan epistemologis
Epistemologi menunjukkan bagaimana sebuah ilmu itu bisa dicapai dengan mengikuti
tatacara penggunaan sumber dan sarana yang ada (Siswomihardjo, 2010). Sehingga
pertanyaan yang sesuai dengan epistemologi ilmu yaitu Bagaimana cerita lahirnya
ilmu keperawatan?. Pada awalnya sekitar 4000 SM, evolusi keperawatan dimulai
pada komunitas primitif dimana mother-nurses bekerja bersama pendeta. Perawat
pertama yang tercatat dalam sejarah adalah Deborah. Dalam perkembangannya,
keperawatan dipengaruhi oleh keagamaan pertama kali di India sekitar 800-600 SM.
Hingga sekitar tahun 1800an, perang sipil terjadi dan seorang perawat, Florence
Nightingale, muncul sebagai penemu keperawatan yang modern. Beliau menjadi ibu
dari keperawatan karena teorinya menjadi filosofi dalam keperawatan(DeLaune &
Ladner, 2010). Metaparadigma keperawatan dalam filosofinya terdiri dari manusia,
lingkungan, kesehatan, dan keperawatan yang menjadikan keperawatan sebagai
sebuah ilmu dan seni (Marchuk, 2014). Hingga sekarang, banyak teori keperawatan
berkembang dan dikembangkan oleh para ilmuan. Mulai dari filosofi, grand theory,
middle theory, hingga micro theory.

3. Pertanyaan aksiologis
Aksiologi ilmu mencakup nilai-nilai atau value yang bersifat normatif disetiap
memberikan makna pada kebenaran atau kenyataan dan wajib dipatuhi dalam
kegiatan keilmuan (Siswomihardjo, 2010). Selain itu aksiologi mencakup cara
penggunaan atau pemanfaatan dari pengetahuan ilmiah (Asmadi, 2008). Apakah
nilai-nilai yang ada pada ilmu keperawatan? menjadi pertanyaan dalam aksiologi
ilmu ini. Dalam penerapan ilmu keperawatan, perawat tidak hanya bertanggung jawab
secara profesional namun juga dalam hal moral. Keperawatan memiliki nilai-nilai
luhur yang disebut sebagai The Core Professional Value of Nursing, yang terdiri dari
altruism, autonomy, human dignity, integrity, dan social justice (Shaw & Degazon,
2008). Nilai-nilai tersebut tertuang dalam kode etik keperawatan yang menjadi
landasan etik dalam melakukan praktik keperawatan secara profesional.

Sejak lahirnya keperawatan modern era Nightingale, ilmu keperawatan sampai saat
ini berkembang dengan pesat. Perkembangan ilmu keperawatan tidak hanya pada
teori saja, namun pada praktik dan spesialisasi atau kekhususan bidang tertentu.
Sekolah-sekolah keperawatan formal sudah dikembangkan sejak jaman Nightingale
(DeLaune & Ladner, 2010). Perkembangan ilmu keperawatan bertujuan untuk
pengembangan keilmuan ditinjau dari berbagai sudut objek material dan formal.
Pengembangan ilmu keperawatan melalui proses metodologi yang sistematis melalui
penelitian. Penelitian ilmu keperawatan disesuaikan dengan situasi di era peneliti
tersebut (Hardin, 2014).

Di Kanada, sekitar akhir tahun 1970an dan awal 1980an, kehadiran pasien di rumah
sakit menjadi kompleks dan secara teknologi mempengaruhi lingkungan kerja,
keperawatan sebagai profesi mulai diperhatikan secara langsung dalam
spesialisasinya. Asosiasi keperawatan di Kanada memulai program sertifikasi pada 17
spesialisasi dalam keperawatan, salah satunya adalah keperawatan emergensi atau
gawat darurat. Praktik keperawatan spesialis dikembangkan dengan baik dan terus
tumbuh. (Turris, Binns, Kennedy, Finamore, & Gillrie, 2007). Komplesisitas
lingkungan kerja di bagian gawat darurat mengharuskan perawat memiliki
kemampuan khusus dalam memberikan perawatan pada pasien gawat darurat yang
memiliki situasi klinis yang cukup berbahaya (Chu & Hsu, 2011; Lowe, 2010). Oleh
karena itu ilmu dan praktik keperawatan dikembangkan pada bagian gawat darurat.
Praktik keperawatan spesialis tentunya tidak lepas dari terminologi atau definisi dari
spesialis itu sendiri. Asosiasi keperawatan di Kanada mendefinisikan spesialisasi
dengan praktik yang terkonsentrasi pada salah satu bagian aspek keperawatan
(Turris et al., 2007). Misalnya tatanan praktis di bagian emergensi untuk spesialis
keperawatan gawat darurat.
Pengembangan spesialisasi tidak hanya dalam praktis saja. Setelah banyak program
sertifikasi, spesialisasi di bidang keperawatan menjadi dasar program pendidikan
formal dan dikembangkan di program magister keperawatan dengan spesialisasi
klinis. Spesialisasi ini merupakan respon dari semakin kompleksnya lingkungan
pekerjaan (DeLaune & Ladner, 2010; Turris et al., 2007). Dengan sudut pandang ini
meninjau ilmu keperawatan dikembangkan sesuai kaidah pengembangan filsafat atau
filosofinya.
Program keperawatan gawat darurat memberikan perawat keuntungan untuk belajar
konteks yang unik dari bagian gawat darurat berdasarkan evidence-based practice,
dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Filosofi dari kurikulum merefleksikan
pada sudut pandangan postmodern theory dan critical social theory. Di Kanada,
program spesialis keperawatan gawat darurat memiliki satuan kredit program belajar
sebanyak 30 kredit yang diselesaikan dalam 13 minggu. (Turris et al., 2007).
Pada era awal 1990an, banyak yang membahas tentang regulasi dari pendidikan
keperawatan spesialis. Meskipun demikian, program pendidikan keperawatan ini
berdasarkan teori dan komponen klinis yang berhubungan dengan spesialisasi
keperawatan gawat darurat. Kemampuan perawat spesialis yang berpengalaman,
regulasi, dan edukasi memiliki tantangan dalam membangun batang tubuh keilmuan
profesional di bidang keperawatan gawat darurat. (Chu & Hsu, 2011; Turris et al.,
2007).
Sampai saat ini banyak program spesialis keperawatan gawat berkembang. Program
itu tersebar di Amerika, Australia, Eropa, hingga Asia. Perawat gawat darurat
berkembang dengan cepat di dunia dan sangat menguntungkan untuk mewujudkan
kesempatan kolaborasi keperawatan gawat darurat (Gurney & Calleja, 2013). Hal ini
dapat menjadi bukti bahwa ilmu keperawatan dapat berkembang sesuai kaidah filsafat
ilmu. Berbagai sudut pandang digunakan untuk menganalisa, memahami, dan
menelaah ilmu keperawatan dari bidang gawat darurat. Proses penelaahan ini
berdasarkan metodologi ilmiah yang sistematis dalam mengembangkan keilmuan
keperawatan.

REFERENSI
Asmadi. (2008). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC.
Chu, W., & Hsu, L.-L. (2011). The process of acquiring practical knowledge by
emergency nursing professionals in Taiwan: A Phenomenological study. Journal of
Emergency Nursing, 37(2), 126-131.
DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2011). Fundamentals of nursing: Standards and
practice (4th ed.). Clifton Park, NY: Delmar, Cengage Learning.
Gurney, D., & Calleja, P. (2013). Emergency nursing in Malta: Past and present with a
vision for the future. Journal of Emergency Nursing, 39(1), 78-81.
Hardin, S. R. (2014). History and philosophy of science. In M. R. Alligood
(Ed.), Nursing theorist and their work (8th ed.). Missouri: Elsevier.
Lowe, G. (2010). Scope of emergency nurse practitioner practice: where to beyond
clinical practice guidelines? Australian Journal of Advanced Nursing, 28(1), 74-82.
Marchuk, A. (2014). A personal nursing philosophy in practice. Journal of Neonatal
Nursing, http://dx.doi.org/10.1016/j.jnn.2014.06.004.
Mudhofir, A. (2010). Pengenalan filsafat. In T. D. F. I. F. F. UGM (Ed.), Filsafat ilmu:
Sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan (2nd ed.). Yogyakarta: Liberty.
Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan:
Pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Parker, M. E., & Smith, M. C. (2010). Nursing theory and the discipline of nursing. In
M. E. Parker & M. C. Smith (Eds.), Nursing theories and nursing practice (3rd ed.).
Philadelphia: F.A. Davis Company.
Shaw, H. K., & Degazon, C. (2008). Integrating the core professional value of nursing:
A profession, not just a career. Journal of Cultural Diversity, 15(1), 44-50.
Siswomihardjo, K. W. (2010). Ilmu pengetahuan sebuah sketsa umum mengenai
kelahiran dan perkembangannya sebagai pengantar untuk memahami filsafat ilmu. In
T. D. F. I. F. F. UGM (Ed.), Filsafat ilmu: Sebagai dasar pengembangan ilmu
pengetahuan (2nd ed.). Yogyakarta: Liberty.
Soemowinoto, S. (2008). Pengantar filsafat ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Soeprapto, S. (2010). Metode Ilmiah. In T. D. F. I. F. F. UGM (Ed.), Filsafat ilmu:
Sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan (2nd ed.). Yogyakarta: Liberty.
Turris, S. A., Binns, D.-M., Kennedy, K. J., Finamore, S., & Gillrie, C. (2007). Specialty
nursingthe Past, the present, and the future. Journal of Emergency Nursing, 33(5),
499-504.

Anda mungkin juga menyukai