Anda di halaman 1dari 61

1

LAPORAN LONG CASE


KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA
PUSKESMAS I CILONGOK

FARINGITIS AKUT

Preceptor Fakultas : Dr. dr. Nendyah Roestijawati, M.KK


Preceptor Lapangan : dr. Novita Sabjan

Disusun Oleh :
Nama : Yuni Purwati
NIM : G4A014085

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2016
2

HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN LONG CASE


KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA
PUSKESMAS I CILONGOK

FARINGITIS AKUT

Disusun Oleh :
Nama : Yuni Purwati
NIM : G4A014085

Disusun untuk memenuhi laporan kepaniteraan kedokteran keluarga


Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan:


Pada tanggal, November 2016

Preseptor Lapangan Preseptor Fakultas


Tanda tangan dan stempel institusi Tanda Tangan

dr. Novita Sabjan dr.Nendyah Roestijawati, M.KK


NIP. 19730111.200604.2.006 NIP. 19701110.200801.2.026
3

BAB I
KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

Nama Kepala Keluarga : Tn. ARD


Alamat lengkap : Pageraji RT.002 RW.002, Kecamatan Cilongok,
Kabupaten Banyumas
Bentuk Keluarga : nuclear family
Tabel 1. Daftar Anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
No Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan terakhir Pekerjaan
1 Tn. ARD Bapak L 55 SD Pedagang
2 Ny. SC Ibu P 48 SD Pedagang
3 An. WF Anak P 14 Tidak/Belum Sekolah Belum/Tidak
Bekerja
4 An. ASR Anak L 7 Tidak/Belum Sekolah Belum/Tidak
Bekerja
Sumber : Data Sekunder, Mei 2014

Kesimpulan dari karakteristik demografi di atas adalah bentuk keluarga


dari Tn. ARD berbentuk nuclear family. An. WF menderita faringitis Akut
sedangkan bapak (Tn. ARD), ibu (Ny. SC), dan adik (An. ASR) tidak menderita
penyakit.
4

BAB II
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. WF
Usia : 14 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Kewargenegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Belum/Tidak bekerja
Pendidikan Terakhir : Tidak/Belum Sekolah
Alamat : Pageraji RT. 002 RW. 002, Kecamatan Cilongok,
Kab.Banyumas
Pengantar : Orangtua

B. ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
1. Keluhan Utama
Nyeri saat menelan
2. Keluhan tambahan
Demam, pusing, batuk, lemas, nafsu makan dan minum menurun
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas I Cilongok bersama orang tuanya
dengan keluhan utama nyeri saat menelan sejak 2 hari sebelum masuk
puskesmas. Keluhan dirasakan pasien semakin memberat dari hari ke
hari terutama saat makan dan minum. Pasien merasa penyakitnya
mengganggu aktivitas sehingga orang tua pasien memberi pasien obat
yang di beli di warung terdekat. Selain demam, pasien juga
mengeluhkan pusing, lemas, nafsu makan menurun dan batuk. Pasien
5

dibawa oleh orang tua pasien ke Puskesmas I Cilongok pada hari


ketiga karena keluhan tidak juga membaik.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit yang serupa : disangkal
b. Riwayat penyakit jantung : disangkal
c. Riwayat hipertensi : disangkal
d. Riwayat diabetes melitus : disangkal
e. Riwayat gastritis : disangkal
f. Riwayat trauma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat mondok di rumah sakit : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat diabetes : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal

6. Riwayat Sosial dan Exposure


a. Community
Pasien dalam kesehariannya tinggal bersama orang tuanya.
Rumah pasien berada di pedesaan dan merupakan lokasi yang
padat penduduk. Jarak antara rumah satu dengan yang lainnya
berdekatan. Bagian depan rumah pasien terdapat jalan berbatu
yang cukup lebar untuk menjemur padi hasil panen.
b. Home
Pasien tinggal di Desa Pageraji, Kecamatan Cilongok.
Pasien tinggal di sebuah rumah permanen dengan jumlah
penghuni 4 orang penghuni, yakni pasien, bapak dan ibunya serta
satu orang adik laki-laki. Dinding rumah terbuat dari tumpukan
batu bata, lantai sebagian terbuat dari semen dan sebagian terbuat
dari keramik. Terdapat jendela namun jarang dibuka sehingga
6

pencahayaan di rumah kurang. Ventilasi udara <10 % luas lantai.


Dalam rumah terdapat 7 ruangan, yaitu 1 ruang tamu dan
keluarga, 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 dapur, 1 ruang makan
serta 1 ruang tempat menyimpan padi. Sumber air bersih yang
digunakan pasien untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari sumur.
c. Hobby
Pasien gemar bermain sepak bola bersama teman-
temannya.
d. Occupational
Pasien adalah siswa SMP 1 Ayah. Pasien adalah siswa
kelas 7.
e. Personal habbit
Pasien memiliki kebiasaan makan tidak teratur, jika makan
harus diingatkan oleh ibu nya, dan gemar jajan makanan di luar.
Pasien jarang mencuci tangan sebelum makan.
f. Diet
Pasien makan tidak teratur, 2 kali dalam sehari. Pasien
makan di rumah dari masakan yang dibuatkan oleh ibunya dengan
lauk sayur, tahu, tempe, dan terkadang telur, ikan, atau ayam.
Pasien jarang minum susu.
g. Drug
Pasien tidak memiliki alergi obat. Pasien mengkonsumsi
obat warung untuk menurunkan demam
7. Riwayat Gizi
Pasien makan makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhan
pasien. Nasi, lauk pauk berupa sayur, tahu, tempe, dan terkadang telur,
ikan atau ayam namun pasien jarang minum susu dan makan buah.
Makanan yang pasien makan di rumah disediakan oleh ibunya namun
pasien sering jajan di pinggir jalan saat di sekolah atau jajajn di luar
saat bermain bersama teman-teman.
7

8. Riwayat Psikologi
Pasien mendapat kasih sayang dan perhatian yang besar dari bapak,
ibu dan anggota keluarga lainnya. Bapak pasien merupakan buruh tani
yang selalu merawat dan menjaga pasien ketika pasien sehat, begitu
pula dengan ibu pasien. Ibu pasien menyiapkan kebutuhan sehari-hari
pasien. Pasien juga selalu mendapat perhatian yang sangat dari orang
tua dan saudaranya ketika pasien sakit termasuk dalam menjalani
pengobatan ini.
9. Riwayat Ekonomi
Pasien dirawat oleh keluarga dengan status ekonomi menengah ke
bawah. Pasien merupakan siswa SMP yang belum berpenghasilan
sehingga masih tergantung kepada kedua orang tuanya. Biaya
perawatan sepenuhnya ditanggung oleh JAMKESMAS.
10. Riwayat Demografi
Hubungan antara pasien dengan keluarganya harmonis. Hal
tersebut dapat dilihat dari keluarga pasien yang selalu menemani dan
merawat pasien saat dirawat inap.
11. Riwayat Sosial
Penyakit yang diderita pasien mengganggu aktivitas pasien dan
keluarganya. Pasien menjalani kegiatan di sekolah bersama dengan
teman-temannya ketika sehat namun karena sakit pasien harus
istirahat.
12. Anamnesis Sistemik
a. Keluhan utama : nyeri saat menelan
b. Keluhan tambahan : Demam, pusing, batuk, lemas, nafsu
makan dan minum menurun
c. Kulit : sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)
d. Kepala : simetris,ukuran normal, pusing (+)
e. Mata : gatal (-), bengkak (-)
f. Hidung : keluar cairan (-)
g. Telinga : pendengaran jelas, keluar cairan (-)
h. Mulut : kebiruan (-)
8

i. Tenggorokan : sakit menelan (+), faring hiperemis (+),


tonsil T1-T1
j. Pernapasan : sesak napas (-), mengi (-) batuk (-)
k. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
l. Sistem Gastrointestinal : nyeri perut (-), mual (-),muntah (-),
nafsu makan menurun (+)
m. Sistem muskuloskeletal : lemas (+)
n. Sistem Genitourinaria : BAK normal
o. Ekstremitas : Atas : bengkak (-), luka (-)
Bawah : bengkak (-), luka (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum/kesadaran
Sedang / compos mentis
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 100/60 mmHg
b. Nadi : x /menit
c. RR : x /menit
d. Suhu : 38,80 C per axiller
3. Status gizi
BB : 40 kg
TB : cm
BMI : kg/m2
Status gizi :
4. Kepala : Bentuk mesocephal, tidak ada luka, rambut tidak
mudah dicabut
5. Kulit : Sianosis (-), ikterik (-), keriput, tugor kulit menurun
6. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
7. Telinga : Bentuk dan ukuran normal, cairan sekret (-/-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)
9. Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa mulut basah (+)
10. Tenggorokan : Faring hiperemis (+), pembesaran tonsil (-)
9

11. Leher : Deviasi trakea (-), limfonodi cervicalis tidak teraba


12. Thoraks :
Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi (-/-), ketertinggalan gerak (-/-)
Palpasi :Simetris, ketertinggalan gerak (-/-), vokal fremitus
paru kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru kanan dan kiri, batas
paru hepar SIC VI LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikular (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-)
wheezing(-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS, kuat
angkat (-)
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
13. Punggung : Skoliosis (-)
14. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak hipocondriaca dextra
Palpasi : Nyeri tekan (-), abdomen supel, pekak sisi (-), pekak
alih (-) , tes undulasi (-), hepar teraba 3 jari BACD
konsistensi kenyal, tepi tajam, tidak bernodul, dan lien
tidak teraba.
15. Genitalia : Tidak diperiksa
16. Anorektal : Tidak diperiksa
10

17. Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), jejas (-/-), akral dingin (-/-)
Inferior : Edema (-/-), jejas (-/-), akral dingin (-/-)

D. RESUME
Anamnesis
Keluhan utama : demam
Keluhan tambahan : pusing, lemas, nafsu makan menurun, batuk
Riwayat sosial :
Penderita An. N usia 14 tahun dengan bentuk keluarga nuclear family.
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien penderita demam tifoid.
Faktor risiko dari pasien ini adalah perilaku pola makan pasien yang gemar
jajan sembarangan dan jarang mencuci tangan sebelum makan yang
memudahkan penyebaran kuman.
Selain itu, higienitas keluarga pasien yang kurang dilihat dari rumah yang
lembab, tidak cukup cahaya, rumah dibersihkan namun tidak dipel sedangkan
debu di jalan depan rumah terus bertebaran. Kondisi psikologi keluarga
cukup baik yang terlihat dari dukungan keluarga dalam merawat pasien ketika
sakit. Status ekonomi pasien menengah ke bawah.

Pemeriksaan Fisik
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 60x/menit regular
RR : 20x/menit
Suhu : 36,70 C
Mulut : lidah tampak kotor (+),tepi lidah hiperemis (+)
Abdomen : nyeri tekan (+), hepar teraba 3 jari BACD konsistensi kenyal,
tepi tajam, tidak bernodul.
11

E. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Aspek personal
An. N, usia 14 tahun hidup dalam satu keluarga yang terdiri dari bapak,
ibu, dan kakak sehingga bentuk keluarga nuclear family. An. N menderita
demam tifoid.
a) Idea : pasien berpikir bahwa dengan berobat penyakitnya
yang diderita pasien bisa sembuh total
2) Concern : pasien merasa karena penyakit tersebut, pasien
menjadi tidak bisa beraktivitas seperti biasa.
3) Expectacy : pasien mempunyai harapan penyakitnya segera
sembuh agar dapat kembali dalam keadaan seperti
biasa.
4) Anxiety : pasien khawatir jika penyakitnya menjadi lebih parah
2. Aspek klinis
Diagnosis kerja : demam tifoid
Diagnosis defferensial : Malaria, Demam Dengue
3. Aspek faktor intrinsik
Aspek faktor risiko intrinsik individu adalah usia pasien karena
demam tifoid umumnya menyerang usia 5-30 tahun. Perilaku pasien juga
mendukung penyebaran kuman karena pasien mempunyai kebiasaan
makan tidak teratur (makan harus diingatkan oleh ibunya) sehingga status
gizi pasien underweight dan pasien memiliki kebiasaan jajan di luar rumah
saat sekolah maupun ketika bermain dengan teman-temannya. Pasien
jarang mencuci tangan sebelum makan.
4. Aspek faktor ekstrinsik
Aspek faktor risiko eksternal individu meliputi :
a. Lingkungan sekitar rumah pasien dengan kepadatan penduduk yang
cukup padat dan cenderung kotor terlihat dari rumah pasien yang
lembab dan berdebu di bagian depan rumah.
b. Sumber air yang kadang masih menggunakan sumur sekaligus sebagai
tempat mandi umum padahal penularan penyakit dapat melalui air
12

tercemar atau tinja. Jarak antara sumber air dan kamar mandi lebih dari
10 meter.
c. Ventilasi dan jendela rumah yang masih kurang sehingga pencahayaan
dan pertukaran udara menjadi kurang
d. Perilaku keluarga yang tidak mengajarkan pasien untuk mencuci tangan
sebelum makan.
e. Makanan yang kurang bersih yang dikonsumsi setiap hari bila sedang
bermain bersama teman.

5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial


Pasien mempunyai aspek skala penilaian 3, pasien dapat merawat
diri dan melakukan pekerjaan ringan.

F. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
1. Personal care
a. Initial Plain
Usulan Pemeriksaan Penunjang:
1) Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb, Ht, leukosit, trombosit, eritrosit,
LED
2) Pemeriksaan serologik tes widal
3) Kultur darah pada minggu pertama, feses pada minggu kedua, atau
urin pada minggu ketiga
b. Non Medikamentosa
1) Bed rest atau cukup istirahat.
2) Pengaturan cara dan pola makan berupa makanan bergizi, lunak,
tidak pedas, tidak mentah, bersih, teratur serta tidak telat makan.
3) Mencuci tangan sebelum makan
4) Diet tinggi kalori tinggi protein dan rendah serat
c. Medikamentosa
1) IVFD RL 20 tpm
2) P.O. Cloramphenicol 4 x 500 mg
3) P.O. Paracetamol 3 x 500 mg
13

4) P.O. Ambroxol 3x1 cth


d. KIE (Konseling, Informasi, dan Edukasi)
1) Edukasi untuk minum obat secara teratur dan penggunaan antibiotik
sesuai yang diajurkan walaupun gejala sudah membaik.
2) Penjelasan keluarga pasien tentang penyakit demam tifoid serta
edukasi.
3) Mulai membiasakan diri tidak memakan makanan yang pedas dan
mentah
4) Bawalah selalu cairan yang mengandung alkohol untuk
membersihkan tangan bila tidak tersedia air bersih.
e. Monitoring
Pasien secara rutin memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan
terutama 1 minggu setelah keluhannya berangsur pulih
2. Family Focus
a. Memberikan pengatahuan kepada orang tua pasien pentingnya
mendidik anak untuk menerapkan PHBS dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya mengingatkan mencuci tangan sebelum makan
b. Meningkatkan imunitas pasien dengan makan makanan bergizi dan
tidak jajan sembarangan di luar.
c. Pasien mendapatkan dukungan psikologis dari keluarga
3. Community Focus
a. Pasien juga mendapatkan dukungan psikologis dari dokter dan tenaga
medis lainnya
b. Menjaga kebersihan lingkungan desa oleh seluruh warga desa
tempat pasien tinggal
G. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
14

H. Follow Up
Jumat, 2 Mei 2014 jam 19.00
S : lemas, batuk
O : Keadaan umum/kesadaran: baik/compos mentis
Tanda vital :
T : 120/70 mmHg RR : 20 x/menit
N : 60 x/menit S : 370C per axiler
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa mulut basah (+),Lidah tampak
kotor dan pucat, tepi lidah hiperemis
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak hipocondriaca dextra
Palpasi : Nyeri tekan (+), abdomen supel, pekak sisi (-), pekak
alih (-) , tes undulasi (-), hepar teraba 3 jari BACD
konsistensi kenyal, tepi tajam, tidak bernodul, dan lien
tidak teraba.
A : Demam tifoid
P : Terapi medikamentosa, non medikamentosa. Selain itu juga dilakukan
dukungan psikologis, penjelasan tentang penyakit yang diderita pasien
kepada keluarga dan edukasi pasien.

Sabtu, 3 Mei 2014 jam 08.00


S : lemas
O : Keadaan umum/kesadaran: baik/compos mentis
Tanda vital :
T : 120/70 mmHg RR : 20 x/menit
N : 64 x/menit S : 36,60C per axiler
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa mulut basah (+),Lidah tampak
kotor dan pucat, ujung lidah hiperemis
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), sikatrik (-)
15

Auskultasi : Bising usus (+) normal


Perkusi : Timpani, pekak hipoccondriaca dextra
Palpasi : Nyeri tekan (+), abdomen supel, pekak sisi (-), pekak
alih (-) , tes undulasi (-), hepar teraba 3 jari BACD
konsistensi kenyal, tepi tajam, tidak bernodul, dan lien
tidak teraba.
A : Demam tifoid
P : Terapi medikamentosa, non medikamentosa. Selain itu juga dilakukan
dukungan psikologis, penjelasan tentang penyakit yang diderita pasien
kepada keluarga dan edukasi pasien.

I. FLOW SHEET
No Tanggal Problem TD RR N t Planning Target
1 2/05/2014 Lemas, 120 20 60 37 a. IVFD RL 20 Gejala
Jam batuk /70 tpm membaik
19.00 b. PO
Cloramphenicol
4x500mg

c. PO Parasetamol
3x500mg

d. PO Ambroxol
3x1 cth

2 3/05/2014 Lemas 120 20 64 36,6 a. IVFD RL 20 Gejala


Jam 08.00 /70 tpm membaik

b. PO
Cloramphenicol
4x500mg

c. PO Parasetamol
3x500mg

d. PO Ambroxol
3x1 cth
16

J. FLOW CHART
PROBLEMS
Demam, Pusing, Lemas, nafsu makan menurun, batuk
2/05/2014 (16.00) 2/05/2014 (19.00) 3/05/2014 (08/00)
N 60 60 64
RR 20 20 20
S 36,7 37 36,6
Hidun Lidah tampak kotor Lidah tampak kotor Lidah tampak kotor
dan
mulut
Abdome Supel, nyeri tekan (+), Supel, nyeri tekan (+), Supel, nyeri tekan (+),
n hepatomegali hepatomegali hepatomegali
17

BAB III

IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA

A. FUNGSI HOLISTIK
1. Fungsi Biologis
Keluarga terdiri dari penderita (An. N) berusia 14 tahun yang
merupakan anak dari Tn. R (48 tahun) dan Ny. M (48 tahun). An. N
adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Fasilitas pelayanan
kesehatan yang dipakai adalah puskesmas.
2. Fungsi Psikologis
An. N tinggal dengan bapak dan ibunya. Kakak pertama dan
keduanya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah sedangkan kakak ketiga
tinggal di Jakarta karena sedang bekerja. Keluarga An.N sangat
menyayangi anggota keluarganya. Mereka saling memberi perhatian satu
dengan yang lainnya sehingga terjalin hubungan harmonis antar anggota
keluarga. Jika ada anggota keluarga yang sakit maka segera dicari
pengobatan dan memeriksakan diri ke puskesmas.
3. Fungsi Sosial
An. N mempunyai sosialisasi yang baik dengan lingkungan sekitar.
Dalam lingkungan masyarakat cukup aktif dalam bergaul dengan teman-
teman dan tetangganya. Kedudukan keluarga ditengah lingkungan social
cukup baik.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Penghasilan keluarga berasal dari penghasilan kepala keluarga yaitu
Bp.R yang bekerja sebagai buruh tani. Pemenuhan kebutuhan primer cukup
terpenuhi dari penghasilan tersebut. Untuk membiayai perawatan anggota
keluarga yang sakit menggunakan JAMKESMAS.

Kesimpulan :
Penderita merupakan seorang anak dari Tn. R dan Ny. M. Keluarga
An. N tidak mempunyai riwayat penyakit demam tifoid. Keluarga An. N
sangat menyayangi anggota keluarganya. Di lingkungan masyarakat
18

(pergaulan) cukup aktif dalam berinteraksi sosial. Penghasilan keluarga berasal


dari penghasilan Bp. R. Biaya pengobatan menggunakan JAMKESMAS.

B. FUNGSI FISIOLOGIS (A.P.G.A.R SCORE)


Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga ini digunakan A.P.G.A.R
SCORE dengan nilai hampir selalu = 2, kadang = 1, hampir tidak pernah = 0.
A.P.G.A.R SCORE disini akan dilakukan pada masing-masing anggota
keluarga, kemudian dirata-rata untuk menentukan fungsi fisiologis keluarga
secara keseluruhan. Nilai rata-rata 1-5 = jelek, 5-7 = sedang, 8-10 = baik.
Adaptation
Dalam menghadapi masalah selama ini pasien selalu mendapatkan
dukungan dari keluarganya. Jika pasien menghadapi suatu masalah tampak
berusaha menceritakan kepada bapak dan ibunya. Penyakitnya ini kadang
mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Partnership
Komunikasi terjalin satu sama lain, meskipun waktu kebersamaan
dirasa singkat. Setiap ada permasalahan didiskusikan bersama dengan anggota
keluarga lainnya, komunikasi dengan orang tua dan kakak-kakaknya berjalan
dengan baik.
Growth
Pasien terlihat puas dalam menjalani pertumbuhan dan perkembangan
bersama orang tua dan anggota keluarga lainnya yang berada di lingkungan rumah
pasien.
Affection
Pasien tampak tidak mempunyai hambatan dalam hubungan kasih sayang
dan interaksi dengan orang tua dan keluarganya yang lain. Keluarga pasien sangat
menyayangi anggota keluarganya.
Resolve
Rasa kasih sayang yang diberikan kepada pasien tampak cukup, baik dari
keluarga maupun dari saudara-saudara.
19

Tabel 3.1 APGAR SCORE keluarga An. N

A.P.G.A.R An. N Terhadap Keluarga Hampir Kadang Hampir


selalu -kadang tidak
pernah
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
keluarga saya bila saya menghadapi
masalah
P Saya puas dengan cara keluarga saya
membahas dan membagi masalah
dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 9
Nilai A.P.G.A.R An. N baik, dapat dikatakan fungsi fisiologis keluarga sehat.
20

Tabel 3.1 APGAR SCORE keluarga Tn. R


A.P.G.A.R Tn. R Hampir Kadang- Hampir
selalu kadang tidak
pernah
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
keluarga saya bila saya menghadapi
masalah
P Saya puas dengan cara keluarga saya
membahas dan membagi masalah
dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 8
Nilai A.P.G.A.R Tn. R baik,dapat dikatakan fungsi fisiologis keluarga sehat.
21

Tabel 3.1 APGAR SCORE keluarga Ny. M


A.P.G.A.R Ny. M Hampir Kadang- Hampir
selalu kadang tidak
pernah
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
keluarga saya bila saya menghadapi
masalah
P Saya puas dengan cara keluarga saya
membahas dan membagi masalah
dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya
dan saya membagi waktu bersama-sama
Total poin = 8
Nilai A.P.G.A.R Tn. R baik,dapat dikatakan fungsi fisiologis keluarga sehat.
A.P.G.A.R SCORE keluarga pasien = (9+8+8)/2 = 8,3
Kesimpulan : fungsi fisiologis keluarga pasien baik
Secara keseluruhan total poin dari A.P.G.A.R keluarga pasien adalah 25,
sehingga rata-rata A.P.G.A.R dari keluarga pasien adalah 8,3. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki keluarga pasien dalam
keadaan baik.
22

C. FUNGSI PATOLOGIS (S.C.R.E.E.M)


Fungsi patologis dari keluarga An. N dinilai dengan menggunakan
S.C.R.E.E.M sebagai berikut :
Tabel 4. S.C.R.E.E.M Keluarga An.N
SUMBER PATOLOGI KET
Interaksi sosial antar keluarga dan saudara cukup baik, _
Social
partisipasi mereka dalam kegiatan kemasyarakatan cukup
aktif.
Cultural Dalam sehari-hari pasien menggunakan bahasa jawa.
Anggota keluarga pasien tidak mempercayai mitos tau hal- _
hal lain yang berhubungan dengan kesehatan.
Religion Pemahaman agama cukup. Penerapan ajaran agama cukup, _
pasien dan keluarga pasien setiap seminggu sekali ikut
pengajian dan menjalankan sholat 5 waktu.
Economic Ekonomi keluarga ini tergolong menengah kebawah. +
Penghasilan yang didapatkan cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Education Pendidikan dan pengetahuan keluarga penderita terhadap +
kesehatan tergolong kurang. Kemampuan untuk
memperoleh dan memiliki fasilitas pendidikan seperti buku
dan koran sangat terbatas. Belum ada perencanaan khusus
untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
Medical Dalam mencari pelayanan kesehatan keluarga _
menggunakan pelayanan puskesmas dan menggunakan
JAMKESMAS. Akses layanan kesehatan jaraknya
terjangkau namun medan jalan tergolong sulit.

Keterangan :
1. Economic (+) artinya ekonomi keluarga pasien tergolong menengah ke
bawah, penghasilan Tn.R mencukupi kebutuhan sehari-hari.
2. Education (+) artinya pengetahuan pasien tentang kesehatan terutama
tentang penyakitnya masih kurang.
23

Kesimpulan :
Keluarga An. N, fungsi patologis yang ditemukan antara lain fungsi ekonomi
dan fungsi pendidikan.

D. GENOGRAM

Ny. M Tn. R
48 thn 48 thn

Nn. S An. N
Ny. K Ny. D 19 thn 14 thn
29 thn 24 thn

Diagram 3.1. Family Genogram Keluarga An. N (Mei, 2014)

Keterangan :

: laki- laki

: meninggal

: perempuan

: pasien

: tinggal satu rumah


24

E. Informasi Pola Interaksi Keluarga


Diagram 3.2. Pola Interaksi Keluarga An. N
Ny.M
Bp.R
48 th 48 th

An. N
14 th

Sumber : Data Primer, Mei 2014


Keterangan :
hubungan baik

Kesimpulan :
Hubungan anggota keluarga Sdr. N baik dan harmonis serta saling
mendukung.
25

BAB IV

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


KESEHATAN

A. Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga


1. Faktor Perilaku Keluarga
An. N adalah seorang penderita demam tifoid. Dari segi pelayanan
kesehatan, keluarga ini segera mencari pertolongan kesehatan apabila ada
anggota keluarganya yang sakit. Jenis pelayanan kesehatan yang sering
digunakan adalah puskesmas. Akses layanan kesehatan dekat dari
puskesmas.
Pasien tinggal di pemukiman penduduk dengan kriteria yang kurang
memenuhi standar. Ventilasi yang masih kurang pada beberapa ruangan
dan lingkungan yang cenderung kotor. Terdapat jendela namun jarang
dibuka sehingga sirkulasi udara kurang dan terkesan lembab. Keluarga
An.N secara rutin membersihkan rumah. Aktivitas sehari-hari An. N
adalah sebagai siswa SMP yang banyak menghabiskan waktu bersekolah
dan bergaul bersama teman-teman.
2. Faktor Non Perilaku
Dari segi keturunan pasien tidak memiliki keluarga dengan riwayat
sakit yang sama. Keluarga Sdr. N merupakan keluarga yang pengetahuan
mengenai penyakit demam tifoid ini masih agak kurang. Angggota keluarga
memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah.
Dari segi ekonomi, keluarga ini termasuk keluarga menengah ke
bawah. Penghasilan per bulan bersumber dari Bp.R yang bekerja sebagai
buruh tani. Dalam mencari pelayanan kesehatan keluarga menggunakan
pelayanan puskesmas dan menggunnakan JAMKESMAS.
26

Diagram 4.1. Faktor Perilaku dan Non Perilaku

Perilaku:
Keluarga pasien rutin Lingkungan:
makan - makanan yang Lingkungan rumah
bergizi, namun pasien berada pada lingkungan
sering jajan makanan yang padat penduduk
yang cenderung kotor dengan ventilasi yang
dan tidak mencuci masih kurang di beberapa
tangan menggunakan ruangan
air bersih

Pengetahuan :
Tindakan: Keluarga pasien
Pengobatan demam mempunyai
tifoid hanya mengatasi Sdr. N
pengetahuan agak
demam saja Demam Tifoid
kurang mengenai
demam tifoid

Keterangan:
: Faktor Perilaku

: Faktor Non Perilaku

B. Identifikasi Lingkungan Rumah


1. Gambaran Lingkungan
a. Keadaan rumah
Pasien tinggal di daerah pedesaan dengan bentuk bangunan
permanen tidak bertingkat, dinding terbuat dari susunan batu bata,
lantai rumah sebagian terbuat dari semen dan kamar tidur orang tua
terbuat dari keramik, atap rumah dari genteng dan tidak terdapat
langit-langit, ventilasi masih kurang pada beberapa ruangan dengan
pencahayaan kurang, halaman rumah cukup, kebersihan dalam rumah
cukup, sumber air minum dari sumur, wc ada di dalam rumah, luas
rumah 50 m2 dengan jumlah anggota keluarga 3 orang. Di dalam
27

rumah pasien terdapat 7 buah ruangan yaitu 1 ruangan tamu berukuran


4 x 4 meter, 2 kamar tidur yang masing-masing berukuran 4x2 meter
dan 2 x 3 meter, 1 tempat menyimpan padi berukuran 1x2 m. 1 kamar
mandi yang berukuran 2 x 2 meter, dan 1 dapur berukuran 2 x 3 meter
dan 1 ruang makan berukuran 2x2 m. Di ruang tamu terdapat kursi
panjang serta televisi. Ventilasi di ruangan tersebut masih kurang dari
standar yang sudah ditentukan yaitu minimal 10% dari luas ruangan
tersebut.
b. Keadaan Lingkungan sekitar Rumah
Rumah berada di suatu gang yang berjarak 4 km dari jalan besar
desa. Jalan menuju rumah pasien melalui jalan setapak tanah dan
berbatu, Jika ada kendaraan lewat menimbulkan debu betebaran.
Lingkungan rumah dikelilingi oleh daerah persawahan. Kesan
kebersihan lingkungan rumah kurang baik.
2. Denah Rumah
Rumah pasien mempunyai luas 50 m2 dan terdapat 7 buah ruangan
yaitu 1 ruangan tamu berukuran 4 x 4 meter, 2 kamar tidur yang masing-
masing berukuran 4x2 meter dan 2 x 3 meter, 1 tempat menyimpan padi
berukuran 1x2 m. 1 kamar mandi yang berukuran 2 x 2 meter, dan 1 dapur
berukuran 2 x 3 meter dan 1 ruang makan berukuran 2x2 m.
28

Kamar tidur Dapur


4x2 m Kamar tidur 2x3 m
2x3m

Ruang Tamu Tempat 2x1 m


4x4m makan
2x2m Kamar
mandi
1x2 m 2x2 m
2x1 m

Keterangan:
: Pintu
: Jendela
: jalan setapak

: tempat padi
: ruang kosong

Gambar 4.1 Denah Rumah pasien


29

BAB V
DAFTAR MASALAH DAN PEMBINAAN KELUARGA

A. Masalah Medis
1. An. N menderita demam tifoid

B. Masalah Non Medis


1. Makanan yang dikonsumsi pasien yaitu jajanan di luar rumah tidak
terjamin kebersihannya.
2. Keluarga pasien jarang sering membersihkan rumah sehingga lingkungan
rumah cenderung kotor.
3. Ventilasi masih kurang memenuhi persayaratan rumah sehat
4. Jalan di depan rumah pasien sempit dan berdebu sehingga apabila ada
kendaraan lewat maka debu itu bertebaran.
5. Pengetahuan terhadap penyakit demam tifoid agak kurang.

C. Diagram Permasalahan Pasien


Perilaku:
Keluarga pasien rutin Lingkungan:
makan - makanan yang Lingkungan
bergizi, namun pasien rumah berada
sering jajan makanan pada lingkungan
yang cenderung kotor persawahan yang
dan tidak mencuci cenderung kotor
tangan menggunakan
air bersih

Pengetahuan :
An. N Keluarga
Tindakan: Demam pasien
Pengobatan demam Tifoid mempunyai
tifoid hanya pengetahuan
membeli obat kurang
demam di warung mengenai
demam tifoid
30

D. Matrikulasi Masalah
Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks (Azrul, 1996)
Tabel 5.1 Matrikulasi masalah
I R Jumlah
No Daftar Masalah T
P S SB Mn Mo Ma IxTxR
1. Keluarga pasien jarang 5 5 4 4 5 5 5 50000
membersihkan rumah
dan perilaku pasien
yang jarang cuci tangan
sebelum pasien makan

2. Pengobatan demam 4 4 4 4 4 3 5 15360


tifoid hanya membeli
obat demam di warung

3. Keluarga pasien 5 5 5 4 5 5 5 62500


mempunyai
pengetahuan kurang
mengenai demam
tifoid

4. Lingkungan rumah 5 4 4 3 4 3 4 11520


berada pada lingkungan
persawahan yang
cenderung kotor

Keterangan :
I : Importancy (pentingnya masalah)
P : Prevalence (besarnya masalah)
S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
T : Technology (teknologi yang tersedia)
R : Resources (sumber daya yang tersedia)
Mn : Man (tenaga yang tersedia)
Mo : Money (sarana yang tersedia)
Ma : Material (pentingnya masalah)
Kriteria penilaian :
1 : tidak penting
2 : agak penting
3 : cukup penting
31

4 : penting
5 : sangat penting

E. Prioritas Masalah
Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah
keluarga An. N adalah sebagai berikut :
1. Keluarga pasien mempunyai pengetahuan kurang mengenai demam tifoid
2. Keluarga pasien jarang membersihkan rumah dan perilaku pasien yang
jarang cuci tangan sebelum pasien makan
3. Pengobatan demam tifoid hanya membeli obat demam di warung
4. Lingkungan rumah berada pada lingkungan persawahan yang cenderung
kotor.

Kesimpulan :
Prioritas masalah yang diambil adalah keluarga pasien mempunyai
pengetahuan kurang mengenai demam tifoid. Pengetahuan tentang demam
tifoid yang kurang ini tentu saja berpengaruh terhadap segala aspek, misalnya
cara mencegah agar tidak terjadi kekambuhan, cara pengobatan demam tifoid,
dan lain sebagainya.
BAB VI
RENCANA DAN HASIL PEMBINAAN KELUARGA

A. Rencana Pembinaan Keluarga


1. Tujuan
a. Tujuan umum
Pasien dan keluarga pasien lebih memahami mengenai penyakit
demam tifoid serta cara pencegahan agar tidak terjadi penyakit demam
tifoid pada pasien.
b. Tujuan khusus
1) Pasien dan keluarga pasien dapat mengerti definisi demam tifoid
2) Pasien dan keluarga pasien mengetahui faktor-faktor risiko yang
berpengaruh terhadap terjadinya demam tifoid sehingga dapat
mewaspadai timbulnya penyakit demam tifoid pada anggota
keluarga lain.
3) Pasien dan keluarga pasien mengetahui cara penatalaksanaan dan
pencegahan demam tifoid
2. Materi
Kegiatan yang akan dilaksanakan disajikan dalam bentuk konseling
mengenai demam tifoid dan pentingnya mengetahui faktor risiko yang
dapat menimbulkan serangan demam tifoid. Materi yang digunakan dalam
bentuk konseling pada keluarga pasien. Memberikan Edukasi : DEGP3,
meliputi :
a. Mengenal apa itu demam tifoid (definisi)
b. Mengenal penyebab gejala-gejala khas demam tifoid (etiologi dan
gejala)
c. Mengenal melalui media apa saja bisa tertular (penularan)
d. Mengatasi penyakit demam tifoid dengan tepat (penatalaksanaan)
e. Mengubah perilaku (pencegahan)
3. Cara Pembinaan
Pembinaan dilakukan dengan cara konseling pada pasien dan keluarga
pasien.
33

4. Sasaran individu
Pasien dan anggota keluarga pasien (bapak dan ibu)
5. Target Waktu
Hari / Tanggal : Selasa, 13 Mei 2014
Tempat : Desa Gebangsari, Tambak
Waktu : 16.00 WIB
6. Cara Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan metode tanya-jawab secara lisan
a. Apa itu demam tifoid? Biasanya dikenal dengan nama apa?
b. Apa penyebab demam tifoid?
c. Apa gejala jika terkena penyakit demam tifoid?
d. Apa saja media penularan demam tifoid?
e. Bagaimana cara mencegah agar tidak terkena penyakit demam tifoid?
f. Apa pengobatan jika terkena penyakit demam tifoid?
7. Hasil Pembinaan
Tabel 6.1. Tabel pembinaan
Rabu, 7 Mei 2014 Selasa, 13 Mei 2014
Kegiatan Memberikan Edukasi : DEGP3, Mengevaluasi hasil
yang meliputi : dengan metode
dilakukan a. Mengenal apa itu demam tifoid Tanya jawab secara
(definisi) lisan
Pasien bisa
b. Mengenal penyebab gejala-gejala menjawab 5 dari 6
khas demam tifoid (etiologi dan pertanyaan (83%).
gejala) Ibu dan bapak bisa
menjawab 4 dari 6
c. Mengenal melalui media apa saja bisa
pertanyaan (67%)
tertular (penularan)
d. Mengatasi penyakit demam tifoid
dengan tepat (penatalaksanaan)
e. Mengubah perilaku (pencegahan)

Sasaran Pasien dan keluarga pasien Pasien dan keluarga


pasien

Faktor 1. Kemampuan keluarga dalam


penyulit memahami agak lama
Faktor 1. Keluarga pasien kooperatif dalam Pasien dan keluarga
pendukung komunikasi pasien sudah lebih
34

2. Keluarga pasien memiliki motivasi memahami dari


kesembuhan penjelasan
sebelumnya
Rencana Mengevaluasi hasil dengan metode
selanjutnya Tanya jawab secara lisan
35

BAB VII

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya
sore hingga malam hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi (Darmowandowo, 2002).

B. Epidemiologi
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular. Demam tifoid pada umumnya menyerang
penderita kelompok umur 5-30 tahun, laki-laki sama dengan wanita resikonya
terinfeksi. Jarang pada umur di bawah 2 tahun maupun di atas 60 tahun.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan
menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah (Parry, 2002;
Widodo, 2006).
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara
e p i d e m i k , t e t a p i l e b i h s e r i n g bersifat sporadik, terpencar-pencar
disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada
orang-orang serumah. Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan
(Parry, 2002; Widodo, 2006).
Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam
tifoid dan yang lebih sering adalah pasien karier (pasien karier adalah
orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S. typhi
dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu
t a h u n ) . Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. D i
derah nonendemik penyebaran terjadi melalui tinja
(Parry, 2002; Widodo, 2006).
36

C. Etiologi Demam Tifoid


Demam tifoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella
paratyphi. Salmonella adalah kuman gram negatif yang berflagela, tidak
membentuk spora, dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang
memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi
memiliki antigen H yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan,
dan K yang terletak pada envelope, serta komponen endotoksin yang
membentuk bagian luar dari dinding sel (Parry, 2002).

Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi (Baker, 2010)

Gambar 2. Daur hidup Salmonella Typhi dalam


menginfeksi tubuh manusia (Baker, 2010)
37

D. Patogenesis Demam Tifoid


Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi
(S.Parathypi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria.
Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika (Widodo, 2006).
38

Gambar 2. Patogenesis Demam Tifoid

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat pada makrofag


ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikulo endothelial tubuh
terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan
bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik (Widodo, 2006).
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
gangguan mental, dan koagulasi (Widodo, 2006).
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologi jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya (Widodo, 2006).

E. Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias
diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan
gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi
39

secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan


untuk membantu menegakkan diagnosis (Baker, 2010; Lifshitz, 1996).
Diagnosis tifoid karier dapat ditegakkan berdasarkan ditemukannya kuman
S.typhi pada biakan feses ataupun urin pada seseorang tanpa tanda klinis
infeksi atau pada seseorang yang telah satu tahun paska demam tifoid. Saat
ini, kultur darah langsung yang diikuti dengan identifikasi mikrobiologi adalah
standar emas untuk mendiagnosa demam tifoid (Baker, 2010; Lifshitz, 1996).

F. Manifestasi klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga
kematian (Widodo, 2006; Lifshitz, 1996).
Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan
keluhan dan g e j a l a s e r u p a d e n g a n p e n y a k i t i n f e k s i a k u t p a d a
u m u m n ya , ya i t u d e m a m , n ye r i k e p a l a , pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga
malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan
denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi, dan
ujung lidah merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meterorismus,
gangguan mental berupa sombolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis
(Widodo, 2006; Lifshitz, 1996).
Sekitar 10-15% pasien menjadi demam tifoid berat. Faktor yang
mempengaruhi keparahan meliputi durasi penyakit sebelum terapi, pilihan
terapi antimikroba, tingkat virulensi, ukuran inokulum, paparan
sebelumnya atau vaksinasi, dan factor host lain seperti jenis HLA, AIDS
atau penekanan kekebalan lain, atau konsumsi antasida (WHO, 2003).
40

Pada pengidap tifoid (karier) tidak menimbulkan gejala klinis dan 25%
kasus menyangkal bahwa pernah ada riwayat sakit demam tifoid. Pada
beberapa penelitian menyebutkan bahwa tifoid karier disertai dengan infeksi
kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan terjadinya karsinoma
kandung empedu, karsinoma kolorektal dan lain-lain. Sedangkan patofisiologi
tifoid karier belum sepenuhnya diketahui (Widodo, 2006).

G. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah perifer; (2)
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis;
dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
1. Pemeriksaan darah perifer
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain
itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
P a d a pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus (Widodo, 2006).
2. Pemeriksaan bakteriologis
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit,
maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses (Widodo, 2006).
41

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid,


akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut (Widodo, 2006) :
a. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
b. Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5cc darah),
bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif.
Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung
dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman.
c. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibodi di dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat
menekan bakterimia hingga biakan darah dapat negatif. Saat
pengambilan darah setelah minggu pertama, dimana pada saat ini
agglutinin semakin meningkat.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri
yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak
mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat (WHO,
2003).
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita (WHO, 2003).
3. Uji serologi
UJI WIDAL
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
S.typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
42

dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah


menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid. Akibat infeksi oleh S.typhi,
pasien membuat antibodi(aglutinin) yaitu (Widodo, 2006):
a. Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O
(berasal dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagela kuman)
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya aglutinin O
d a n H ya n g d i g u n a k a n u n t u k d i a g n o s i s demam tifoid. Makin
tinggi titernya makin besar kemungkinan menderita demam tifoid.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir
m i n g g u p e r t a m a d e m a m k e m u d i a n meningkat secara cepat
dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang
yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-
6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Oleh karena itu uji widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan
kesembuhan penyakit (Widodo, 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal, yaitu:
b. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian korikosteroid
c. Gangguan pembentukan antibodi
d. Daerah endemik atau non endemik
e. Riwayat vaksinasi
f. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
g. Faktor teknik, akibat aglutinasi silang, strain salmonella yang
digunakan untuk suspensi antigen.
43

TES TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit
(Frankie, 2008).

METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP (outer membrane protein) S.
typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam
tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam
tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M
yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan
inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif
dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik (WHO,
2003; Begum, 2009).
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal
bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis
demam tifoid akut yang cepat dan akurat (WHO, 2003; Begum, 2009).
44

METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi
IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S.
typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S.
typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA
(Parry, 2002).

PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen
LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang
mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM
anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat
yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap. Pemeriksaan ini juga sangat
dipengaruhi hasilnya oleh penggunaan antibiotik (WHO, 2003).

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang
spesifik untuk S. Typhi (WHO, 2003).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang
terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-
bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif
rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
45

memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya


masih terbatas dalam laboratorium penelitian (WHO, 2003).
Tifoid Karier
Pemantauan bakteri di dalam feses adalah salah satu pilihan untuk
mendeteksi adanya kuman S.Typhi. Selanjutnya, pengambilan
sampel tinja secara rutin pasti akan memakan biaya yang besar, memakan
waktu yang lama, walaupun perkembangan bakteri di dalam feses dapat
menjadi salah satu cara pemantauan pemulihan demam tifoid. Namun,
salah studi mengatakan bahwa pada tifoid karie akan menghasilakan
antibody Vi yang lebih tinggi dalam waktu lama dibandingkan pasien
demam tifoid akut (Baker, 2010).

H. Diagnosis Banding Demam Tifoid


Paratifoid A, B, dan C, Infeksi virus dengue, malaria, influenza (Mansjoer,
2000; Sastroasmoro, 2007).

I. Komplikasi Demam tifoid


Komplikasi intestinal
1. perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis)
dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap
sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka,
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau
gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga pasien mengalami syok (Widodo,
2006; Sastroasmoro, 2007).
2. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3 % dari penderita yang dirawat.
Biasanya timbul padaminggu ketiga namun dapat pula terjadi
46

pada minggu pertama. Selain gejala umum d e m a m t i f o i d ya n g


biasa terjadi maka penderita demam tifoid denga perorasi
m e n g e l u h n ye r i p e r u t ya n g h e b a t t e r u t a m a d i d a e r a h
k u a d r a n k a n a n b a w a h ya n g kemudian menyebar ke seluruh
perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bisingusus melemah
pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
karenaadanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat,tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiridapat menyokong adanya perforasi
(Widodo, 2006).
Bila pada gambaran foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara
pada rongga peritoneum, maka hal ini merupakan nilai yang cukup untuk
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa
faktor yang meningkakan kerjadian perforasi adalah umur, lama
pengobatan, modalitas pengobatan, dan mobilitas penderita (Widodo,
2006)
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati
kuman S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif
dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum
luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisislin intravena. Untuk
kontaminasi usus dapat diberikan gentamisisn/ metronidazol. Cairan yang
harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan
dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat
kehilangan darah akibat perdarahan intestinal (Widodo, 2006).
3. ileus paralitik
4 . pankreatitis
47

Komplikasi ekstra-intestinal
1. Kardiovaskular : miokarditis
2. Hepatitis tifosa: dapat terjadi pada pasien dengan system imun yang
kuarang dan malnutrisi. Biasanya pada demam tifoid kenaikanenzim
tranaminasse tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membandaingkan dengan hepatitis akibat virus)
3. Tifoid toksik

J. Tatalaksana Demam Tifoid Dan Tifoid Karier


Tatalaksana demam tifoid
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu
(Widodo, 2006):
1. Istirahat dan perwatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan
2. Diet dan terapi penunjang dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan
kesehatan pasien secara optimal
3. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman.

Istirahat dan perawatan


Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buangair kecil, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
kelengkapan yang dipakai. Posisi pasien selalu diawasi untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.

Diet dan terapi penunjang


Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demamtifoid, karena makanan yang kurang akan menyebabkan
48

menurunnya keadaan umumdan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama (Widodo, 2006).

Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam
tifoid adalah (Widodo, 2006; Setiabudy, 2007) :
1. Kloramfenikol
Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau
intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuskular tidak di anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol,akan tetapi komplikasi hematologi
seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4
x 500 mg, demamrata-rata menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6.
3. K o t r i m o k s a z o l
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprin) diberikan selama 2
minggu.
4 . Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah bila
dibandingakan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
5. S e f a l o s p o r i n g e n e r a s i k e t i g a
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif
untuk demam tifoida dalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam per infus sekali
sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
6. Golongan fluorokuinolon
49

a. Norfloksasin dosis 2x 400mg/ hari selama 14 hari


b. Siprofloksasi dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
c. Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
d. Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
e. Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang
hari ke 4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan
norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki
bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan
kemudian.

7. Kombinasi obat antimikroba


Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja antara laintoksik tifoid, peritonitis atau perforasi,
septik syok, dimana pernah terbukti ditemukan 2 macam
organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella.
8. K o r t i k o s t e r o i d
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada
t o k s i k t i f o i d a t a u d e m a m t i f o i d y a n g mengalami syok
septik dengan dosis 3 x 5 mg.

K. Pencegahan Demam Tifoid


Preventif dan kontrol penularan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid
(Widodo, 2006) :
1. I d e n t i f i k a s i d a n e r a d i k a s i S a l m o n e l l a t yp h i p a d a p a s i e n
asimptomatik, karie atupun akut.
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi
akut maupun karier yang dapat dilakukan di rumah sakit, klinik,
maupun rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah
diketahui pengidap kuman S.Typhi
3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi terinfeksi dengan cara vaksinasi
50

Vaksinasi
Indikasi vaksinasi (Widodo, 2006) :
1. Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam
tifoid semakin tinggiuntuk daerah berkembang ( amerika latin, asia,
afrika )
2. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
3. Petugas laboratorium / mikrobiologi kesehatan

Jenis vaksin :
1. Vaksin oral Ty21a (vivotif Berna), belum beredar di Indonesia
2. Vaksin parenteral VICPS (Typhim Vi / Pasteur Merieux), vaksin
kapsul polisakarida

Kontraindikasi :
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran
alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan
(karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat antimalarial
dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi.
Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide
atau antimikroba lainnya.

Efeksamping :
Pada vaksin oral Ty21a : demam dan sakit kepala. Pada vaksin
parenteral ViCPS : demam, malaise, sakit kepala, rush , nyeri lokal.
Efek samping terbesar pada parenteral adalah heatphenol inactivated, yaitu
demam, nyeri kepala, dan reaksi local nyeri dan edema bahkan reaksi berat
termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok.

Efektivitas :
Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan
ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari 3 minggu dan 90% bertahan
51

selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik


(Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.

L. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya
pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa
7,4%, rata-rata 5,7%.
BAB VII
PENUTUP

A. KESIMPULAN
DIAGNOSTIK HOLISTIK
1. Aspek personal
An. N, 14 tahun hidup dalam satu keluarga yang terdiri dari istri dan
anaknya, sehingga bentuk keluarga nuclear family. An. N menderita
demam tifoid.
a) Idea : pasien berpikir bahwa dengan berobat penyakitnya
yang diderita pasien bisa sembuh total

b) Concern : pasien merasa karena penyakit tersebut, pasien


menjadi tidak bisa beraktivitas seperti biasa.
c) Expectacy : pasien mempunyai harapan penyakitnya segera sembuh
agar dapat kembali dalam keadaan seperti biasa.
d) Anxiety : pasien khawatir jika penyakitnya menjadi lebih parah

2. Aspek klinis
Diagnosis kerja : demam tifoid
Diagnosis defferensial : Malaria, Demam Berdarah Dengue

3. Aspek faktor intrinsik


Aspek faktor risiko intrinsik individu adalah usia pasien karena
demam tifoid umumnya menyerang usia 5-30 tahun. Perilaku pasien juga
mendukung penyebaran kuman karena pasien mempunyai kebiasaan
makan tidak teratur (makan harus diingatkan oleh ibunya) sehingga status
gizi pasien underweight dan pasien memiliki kebiasaan jajan di luar rumah
saat sekolah maupun ketika bermain dengan teman-temannya. Pasien
jarang mencuci tangan sebelum makan.

4. Aspek faktor ekstrinsik


Aspek faktor risiko eksternal individu meliputi :
53

a. Lingkungan sekitar rumah pasien dengan kepadatan penduduk yang


cukup padat dan cenderung kotor terlihat dari rumah pasien yang
lembab dan berdebu di bagian depan rumah.
b. Sumber air yang kadang masih menggunakan sumur sekaligus
sebagai tempat mandi umum padahal penularan penyakit dapat
melalui air tercemar atau tinja. Jarak antara sumber air dan kamar
mandi lebih dari 10 meter.
c. Ventilasi dan jendela rumah yang masih kurang sehingga
pencahayaan dan pertukaran udara menjadi kurang
d. Perilaku keluarga yang tidak mengajarkan pasien untuk mencuci
tangan sebelum makan.
e. Makanan yang kurang bersih yang dikonsumsi setiap hari bila
sedang bermain bersama teman.

5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial


Pasien mempunyai aspek skala penilaian 3, pasien dapat merawat
diri dan melakukan pekerjaan ringan.

B. SARAN
1. Personal care
a. Initial Plan
Usulan Pemeriksaan Penunjang:
1) Pemeriksaan Darah Lengkap : Hb, Ht, leukosit, trombosit,
eritrosit, LED
2) Pemeriksaan serologik tes widal
3) Kultur darah pada minggu pertama, feses pada minggu kedua,
atau urin pada minggu ketiga
b. Non Medikamentosa (Kuratif)
1) Bed rest atau cukup istirahat.
2) Pengaturan cara dan pola makan berupa makanan bergizi, lunak,
tidak pedas, tidak mentah, bersih, teratur serta tidak telat makan.
3) Mencuci tangan sebelum makan
54

4) Diet tinggi kalori tinggi protein dan rendah serat


c. Medikamentosa (Kuratif)
1) IVFD RL 20 tpm
2) P.O. Cloramphenicol 4 x 500 mg
3) P.O. Paracetamol 3 x 500 mg
4) P.O. Ambroxol 3x1 cth
d. Promotif KIE (Konseling, Informasi, dan Edukasi)
1) Kontrol secara teratur
2) Menjauhkan pasien dari faktor resiko (makan makanan mentah,
tidak dicuci, dan pola hidup kotor)
3) Menerima penyakitnya dengan lapang dada dan berusaha
menyembuhkan tanpa putus asa.
e. Preventif :
1) Pola hidup bersih sehat
2) Mencuci tangan menggunakan air bersih atau membawa cairan
yang mengandung alkohol (handsanitizer) untuk mencuci
tangan sebelum makan bila tidak ada air bersih.
3) Olahraga secara teratur
4) Istirahat cukup
5) Makan makanan yang bergizi
f. Monitoring (Rehabilitatif)
Pasien secara rutin memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan
terutama 1 minggu setelah keluhannya berangsur pulih.
2. Family Focus
a. Memberikan pengatahuan kepada orang tua pasien pentingnya
mendidik anak untuk menerapkan PHBS dalam kehidupan sehari-
hari, misalnya mengingatkan mencuci tangan sebelum makan
b. Meningkatkan imunitas pasien dengan makan makanan bergizi dan
tidak jajan sembarangan di luar.
3. Community Focus
a. Menjaga kebersihan lingkungan desa oleh seluruh warga desa tempat
pasien tinggal
55

DAFTAR PUSTAKA

Azrul, A. 1996. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta: Ikatan Dokter


Indonesia.

Baker. 2010. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC Infectious
Diseases. 10: 45.

Begum, Zohra. 2009. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early Diagnosis of


Typhoid Fever. Bangladesh J Med Microbiol. 03 (01): 10-13.

Darmowandowo W. 2002. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :


Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI.

Frankie, et al. 2008. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies
but also soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical
Microbiology. 57, 316323.

Lifshitz, Edward I. 1996. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and
review. Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI

Parry, C.M. 2002. Typhoid fever. N Engl J Med. 347(22): 1770-82.

Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2007. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu


Penyakit Dalam RSCM. Jakarta : RSUP.Nasional Dr.Cipto
Mangunkusumo

Setiabudy, R. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit


FKUI.

WHO. 2003. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The


diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. 7-18.
56

Widodo, Djoko. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Jilid III. Jakarta : IPD FKUI
57

LAMPIRAN

Gambar 1. Pemeriksaan An.N

Gambar 2. Bagian depan rumah


58

Gambar 3. Bagian rumah samping kanan

Gambar 4. Bagian rumah samping kiri


59

Gambar 5. Sumur dan kamar mandi umum

Gambar 6. Dapur
60

Gambar 7. Jamban

Gambar 8. Ruang tamu


61

Gambar 9. Ruang makan

Anda mungkin juga menyukai