NEUROLOGI
Penanganan terhadap kegawatdaruratan neurologi harus dilakukan secara segera karena hal
ini menentukan prognosis dari pasien tersebut. Terdapat beberapa kasus kegawatdaruratan
neurologi yang cukup sering ditemui dalam sehari-hari. Kasus-kasus tersebut adalah stroke
iskemik, status epileptikus, dll.
Page | 1
PENJELASAN
A. Stroke Iskemik
I. Definisi
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit
neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan
kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Bila
gangguan peredaran darah otak ini berlangsung sementara, beberapa detik hingga beberapa jam
(kebanyakan 10 - 20 menit), tapi kurang dari 24 jam, disebut sebagai serangan iskemia otak
sepintas (transient ischemic attack/TIA).1
Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di
Indonesia. Serangan otak ini merupakan kegawatdaruratan medis yang harus ditangani secara
cepat, tepat, dan cermat.1
II. Etiologi
Stroke iskemik dapat disebabkan oleh kelainan vaskuler, kelainan jantung, dan kelainan
darah. Dimana kelainan vaskuler dapat berupa arterosklerosis, displasi fibromuskuler, inflamasi
(giant cell arteritis, SLE, poliarteritis nodosa, angiitis granuloma, arteritis sifilitika, AIDS), diseksi
arteri, penyalahgunaan obat, sindrom Moyamoya, thrombosis sinus, atau vena.2
Kelainan jantung yang dapat menyebabkan stroke iskemik adalah trombus mural, aritmia
jantung, endocarditis infeksiosa dan non infeksiosa, penyakit jantung rematik, penggunaan katup
jantung prostetik, miksoma atrial, dan fibrilasi atrium. Sedangkan kelainan darah yang dapat
menyebabkan stroke iskemik adalah trombositosis, polisitemia, anemia sel sabit, leukositosis,
hiperkoagulasi, dan hiperviskositas darah.2
III. Epidemiologi
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal
kematian, kejadian, ataupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9%
(umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 223,5% (umur 65 tahun). Kejadian stroke
sebesar 51,6/100.000 penduduk dan kecacatan 1,6% tidak berubah dan 4,3% semakin memberat.
Page | 2
Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar
11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang usia
produktif dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan
kesehatan secara nasional di kemudian hari.3 Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke
iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi
serebrum.4
IV. Patofisiologi
Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu
pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat
terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa
melalui sistem aretri ke otak sebagai suatu embolus.4
Sumbatan aliran di arteri karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang usia
lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga
terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteri karotis interna (tempat arteri karotis komunis
bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya
aterosklerosis.5
Stroke Trombotik
Trombosis pembuluh darah besar dengan aliran lambat adalah salah satu subtipe stroke
iskemik. Sebagian besar dari stroke jenis ini terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami
dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik
yang menyebabkan stenosis di arteri karotis interna, atau, yang lebih jarang, di pangkal arteri
serebri media atau di taut arteri vertebralis dan basilaris. Tidak seperti trombosis arteri koronaria
yang oklusi pembuluh darahnya cenderung terjadi mendadak dan total, trombosis pembuluh darah
otak cenderung memiliki awitan bertahap, bahkan berkembang dalam beberapa hari. Pola ini
menyebabkan timbulnya istilah stroke-in-evolution.4
Akibat dari penyumbatan pembuluh darah karotis bervariasi dan sebagian besar tergantung
pada fungsi sirkulus Willisi. Bila sistem anastomosis arterial pada dasar otak ini dapat berfungsi
normal, maka sumbatan arteri karotis tidak akan memberikan gejala, seperti yang terjadi pada
kebanyakan penderita. Sirkulasi pada bagian posterior tidak memiliki derajat perlindungan
Page | 3
anastomosis yang sama, dan penyumbatan aterosklerotik dari arteri basilaris selalu mengakibatkan
kejadian yang lebih berat, dan biasanya fatal. Penyumbatan arteri vertebralis, boeh jadi tidak
memberikan gejala.4
Mekanisme lain pelannya aliran pada arteri yang mengalami trombosis parsial adalah
defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah
sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intraarteri, aliran darah mungkin bergantung pada
tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat menyebabkan
penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan stroke. Dengan demikian, hipertensi harus diterapi
secara hati-hati dan cermat, karena penurunan mendadak tekanan darah dapat memicu stroke atau
iskemia arteri koronaria atau keduanya.4
Stroke Embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat, atau asal embolus. Asal
stroke embolik dapat suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya
menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di
bagian pembuluh darah yang mengalami stenosis. Stroke kardioembolik, yaitu jenis stroke
embolik tersering, didiagnosis apabila diketahui adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau
apabila pasien baru mengalami infark miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan
mendadak pembuluh besar otak. Embolus berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding
rongga jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan yang sangat kecil, fragmen-
fragmen embolus dari jantung mencapai otak melalui arteri karotis atau vertebralis. Dengan
demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya bergantung pada bagian mana dari sirkulasi yang
tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut.4
Selain itu, embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga
gejala-gejala mereda. Namun, fragmen kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbukan
gejala-gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki resiko yang lebih besar
menderita stroke hemoragik di kemudian hari, saat terjadi perdarahan petekie atau bahkan
perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah
proses emboli pertama. Penyebab perdarahn tersebut adalah bahwa struktur dinding arteri sebelah
distal dari oklusi embolus melemah atau rapuh karena kekurangan perfusi. Dengan demikian,
Page | 4
pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh
tersebut.4
V. Gejala Klinis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi dan
diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat.3
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat serangan,
gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan
visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).3
Page | 5
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan
tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan
paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.3
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan saraf
kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik
dan fungsi kognitif. Skala stroke dapat menggunakan Skor Siriraj dan Algoritma Gajah Mada (lihat
Tabel 1).3
Skor Siriraj
Dimana :
Ateroma : 0 = tidak ada, 1 = salah satu atau lebih (diabetes, angina, penyakit
pembuluh darah)
Page | 6
VII. Penatalaksanaan
1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan3
- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah, suhu
tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit
neurologis yang nyata.
- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%.
- Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak sadar.
Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar dengan gangguan jalan napas.
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.
- Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen.
- Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada
pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada
pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
- Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang lebih
dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik3
- Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan hipotonik seperti
glukosa).
- Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk memantau
kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.
- Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
- Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Stroke
Akut)
- Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat
vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
- Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah
serangan stroke iskemik.
Page | 7
- Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi Kardiologi).
- Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi
dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah
jantung sekuncup harus dikoreksi.
6. Pengendalian Kejang3
- Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh fenitoin,
loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
- Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
- Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak
dianjurkan.
Page | 9
- Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat diberikan
selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama
pengobatan.
8. Pemeriksaan Penunjang3
- EKG
- Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula
darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)
- Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal
- Pemeriksaan radiologi
i. Foto rontgen dada
ii. CT Scan
B. Status Epileptikus
I. Definisi
Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan Status
Epileptikus (SE) sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya
dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima
secara luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat
Page | 10
merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus
lebih dari 5 menit.6
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu pada aktivitas
listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas motorik
suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada respons
motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-
convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara definisi subtle SE merupakan
nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis yang buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE.
Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis; focal motor
SE mempunyai prognosis lebih buruk.
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area korteks
serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE,
simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
II. Etiologi
Etiologi dari Status Epileptikus tergantung usia dan menentukan prognosis. Setelah usia 60
tahun penyakit serebrovaskular beresiko menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh
Richmon di Virginia USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status
epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA). Etiologi lainnya
hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.7
Page | 11
III. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon,
talamus, dan korteks sereprum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di
serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.5
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila terpicu
akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA);
- Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang.
Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas kejang.5
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik yang
seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural.
Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme
kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap
Page | 12
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.5
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus melibatkan
adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui
kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi
yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar
yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama
berlangsungnya status.6
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik seperti
hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan homeostasis
melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit,
kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi,
rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot
spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya
meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak
memadai.6
Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak cukup,
untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral Blood Flow),
kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida
Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-
methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5
menit saja - yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical.
Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya,
berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh glutamat - glutamic-mediated
excitotoxicity-khususnya di hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal
pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan
kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya
apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.7
Page | 13
IV. Gejala Klinis
Fase 1: Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme fisiologis cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau kerusakan
metabolisme. Perubahan fi siologis utama terkait dengan mening kat nya aliran darah dan
metabolisme otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.6
Fase 2: Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan tidak dapat sepenuhnya
tercukupi, sehingga me nyebabkan hipoksia dan perubahan meta bolik sistemik. Perubahan
autonom tetap berlangsung dan fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis.6
V. Penatalaksanaan
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa
yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus
dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini
diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat
ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada
Page | 14
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah),
dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65 persen.
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam
plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari
50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping
termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol,
Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar
diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove
syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak
Page | 15
seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru
kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat
atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan
kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg
EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah
lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah
Arteri)
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM
Page | 16
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi
berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan
tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara
intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per
menit
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga
kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan
infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG
Page | 17
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Stroke. Dalam: eds. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. h.17-
26.
2. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis &
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.h.24-30.
3. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke 2011.
Jakarta: PERDOSSI; 2011.h.14.
4. Hartwig M. Penyakit serebrovaskular. Dalam: Price SA,eds. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2005.h.1105-30.
5. Morris JH. Sistem saraf. Dalam: Robbins SL, Kumar V,eds. Buku ajar patologi.
Volume 2. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 2002. h.474-510.
Page | 18