Anda di halaman 1dari 19

KEGAWATDARURATAN

NEUROLOGI

030.11.187 Mentari Erry Putri


PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak mengakibatkan


seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan/pertolongan segera dalam arti pertolongan
secara cermat, tepat dan cepat. Kegawatdaruratan neurologi merupakan suatu kondisi di bidang
neurologi yang memerlukan tindakan pengobatan segera dan bila tidak dilakukan dapat
menyebabkan kerusakan lebih berat, bahkan kematian.

Penanganan terhadap kegawatdaruratan neurologi harus dilakukan secara segera karena hal
ini menentukan prognosis dari pasien tersebut. Terdapat beberapa kasus kegawatdaruratan
neurologi yang cukup sering ditemui dalam sehari-hari. Kasus-kasus tersebut adalah stroke
iskemik, status epileptikus, dll.

Page | 1
PENJELASAN

A. Stroke Iskemik
I. Definisi

Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit
neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan
kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Bila
gangguan peredaran darah otak ini berlangsung sementara, beberapa detik hingga beberapa jam
(kebanyakan 10 - 20 menit), tapi kurang dari 24 jam, disebut sebagai serangan iskemia otak
sepintas (transient ischemic attack/TIA).1

Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di
Indonesia. Serangan otak ini merupakan kegawatdaruratan medis yang harus ditangani secara
cepat, tepat, dan cermat.1

II. Etiologi

Stroke iskemik dapat disebabkan oleh kelainan vaskuler, kelainan jantung, dan kelainan
darah. Dimana kelainan vaskuler dapat berupa arterosklerosis, displasi fibromuskuler, inflamasi
(giant cell arteritis, SLE, poliarteritis nodosa, angiitis granuloma, arteritis sifilitika, AIDS), diseksi
arteri, penyalahgunaan obat, sindrom Moyamoya, thrombosis sinus, atau vena.2

Kelainan jantung yang dapat menyebabkan stroke iskemik adalah trombus mural, aritmia
jantung, endocarditis infeksiosa dan non infeksiosa, penyakit jantung rematik, penggunaan katup
jantung prostetik, miksoma atrial, dan fibrilasi atrium. Sedangkan kelainan darah yang dapat
menyebabkan stroke iskemik adalah trombositosis, polisitemia, anemia sel sabit, leukositosis,
hiperkoagulasi, dan hiperviskositas darah.2

III. Epidemiologi

Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal
kematian, kejadian, ataupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9%
(umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 223,5% (umur 65 tahun). Kejadian stroke
sebesar 51,6/100.000 penduduk dan kecacatan 1,6% tidak berubah dan 4,3% semakin memberat.

Page | 2
Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar
11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang usia
produktif dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan
kesehatan secara nasional di kemudian hari.3 Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke
iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi
serebrum.4

IV. Patofisiologi

Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu
pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat
terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa
melalui sistem aretri ke otak sebagai suatu embolus.4

Sumbatan aliran di arteri karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang usia
lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga
terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteri karotis interna (tempat arteri karotis komunis
bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya
aterosklerosis.5

Stroke Trombotik

Trombosis pembuluh darah besar dengan aliran lambat adalah salah satu subtipe stroke
iskemik. Sebagian besar dari stroke jenis ini terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami
dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik
yang menyebabkan stenosis di arteri karotis interna, atau, yang lebih jarang, di pangkal arteri
serebri media atau di taut arteri vertebralis dan basilaris. Tidak seperti trombosis arteri koronaria
yang oklusi pembuluh darahnya cenderung terjadi mendadak dan total, trombosis pembuluh darah
otak cenderung memiliki awitan bertahap, bahkan berkembang dalam beberapa hari. Pola ini
menyebabkan timbulnya istilah stroke-in-evolution.4

Akibat dari penyumbatan pembuluh darah karotis bervariasi dan sebagian besar tergantung
pada fungsi sirkulus Willisi. Bila sistem anastomosis arterial pada dasar otak ini dapat berfungsi
normal, maka sumbatan arteri karotis tidak akan memberikan gejala, seperti yang terjadi pada
kebanyakan penderita. Sirkulasi pada bagian posterior tidak memiliki derajat perlindungan

Page | 3
anastomosis yang sama, dan penyumbatan aterosklerotik dari arteri basilaris selalu mengakibatkan
kejadian yang lebih berat, dan biasanya fatal. Penyumbatan arteri vertebralis, boeh jadi tidak
memberikan gejala.4

Mekanisme lain pelannya aliran pada arteri yang mengalami trombosis parsial adalah
defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah
sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intraarteri, aliran darah mungkin bergantung pada
tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat menyebabkan
penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan stroke. Dengan demikian, hipertensi harus diterapi
secara hati-hati dan cermat, karena penurunan mendadak tekanan darah dapat memicu stroke atau
iskemia arteri koronaria atau keduanya.4

Stroke Embolik

Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat, atau asal embolus. Asal
stroke embolik dapat suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya
menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di
bagian pembuluh darah yang mengalami stenosis. Stroke kardioembolik, yaitu jenis stroke
embolik tersering, didiagnosis apabila diketahui adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau
apabila pasien baru mengalami infark miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan
mendadak pembuluh besar otak. Embolus berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding
rongga jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan yang sangat kecil, fragmen-
fragmen embolus dari jantung mencapai otak melalui arteri karotis atau vertebralis. Dengan
demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya bergantung pada bagian mana dari sirkulasi yang
tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut.4

Selain itu, embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga
gejala-gejala mereda. Namun, fragmen kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbukan
gejala-gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki resiko yang lebih besar
menderita stroke hemoragik di kemudian hari, saat terjadi perdarahan petekie atau bahkan
perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah
proses emboli pertama. Penyebab perdarahn tersebut adalah bahwa struktur dinding arteri sebelah
distal dari oklusi embolus melemah atau rapuh karena kekurangan perfusi. Dengan demikian,

Page | 4
pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh
tersebut.4

V. Gejala Klinis

Manifestasi klinis stroke bergantung pada neuroanatomi dan vaskularisasinya. Gejala


klinis dan defisit neurologik yang ditemukan berguna untuk menilai lokasi iskemik.2

1. Gangguan peredaran darah arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan


hemihipestesi kontralateral yang terutama melibatkan tungkai.2
2. Gangguan peredaran darah arteri serebri media menyebabkan hemiparesis dan
hemihipestesi kontralateral yang terutama mengenai lengan disertai gangguan fungsi luhur
berupa afasia (mengenai daerah otak dominan) atau hemispatial neglect (mengenai area
otak nondominan).2
3. Gangguan peredaran darah arteri serebri posterior menimbulkan hemianopsia homonim
atau kuadrantanopsi kontralateral tanpa disertai gangguan motorik maupun sensorik.
Gangguan daya ingat terjadi bila infark pada lobus temporalis medial. Aleksia tanpa agrafia
timbul bila infark terjadi pada korteks visual dominan dan splenium korpus kalosum.
Agnosia dan prosopagnosia timbul akibat infark pada korteks temporooksipitalis inferior.2
4. Gangguan peredaran darah batang otak menyebabkan gangguan saraf kranial seperti
disartria, diplopia dan vertigo, gangguan serebelar, seperti ataksia atau hilang
keseimbangan, atau penurunan kesadaran.2
5. Infark lacunar merupakan infark kecil dengan klinis gangguan murni motoric atau sensorik
tanpa disertai gangguan fungsi luhur.2
VI. Diagnosis

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi dan
diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat.3

Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:

a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat serangan,
gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan
visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).3

Page | 5
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan
tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan
paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.3

c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan saraf
kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik
dan fungsi kognitif. Skala stroke dapat menggunakan Skor Siriraj dan Algoritma Gajah Mada (lihat
Tabel 1).3

Skor Siriraj

(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan diastolik) (3 x


penanda atheroma) 12

Dimana :

Derajat kesadaran : 0 = kompos mentis, 1 = somnolen, 2 = stupor / koma

Muntah : 0 = tidak ada, 1 = ada

Nyeri kepala : 0 = tidak ada, 1 = ada

Ateroma : 0 = tidak ada, 1 = salah satu atau lebih (diabetes, angina, penyakit
pembuluh darah)

Tabel 1. Algoritma Gajah Mada2

Penurunan Kesadaran Nyeri Kepala Babinski Jenis Stroke


+ + + Perdarahan
+ - - Perdarahan
- + - Perdarahan
- - + Iskemik
- - - Iskemik

Page | 6
VII. Penatalaksanaan
1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan3
- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah, suhu
tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit
neurologis yang nyata.
- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%.
- Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak sadar.
Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar dengan gangguan jalan napas.
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.
- Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen.
- Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada
pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada
pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
- Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang lebih
dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.

2. Stabilisasi Hemodinamik3
- Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan hipotonik seperti
glukosa).
- Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk memantau
kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.
- Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
- Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Stroke
Akut)
- Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat
vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
- Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah
serangan stroke iskemik.

Page | 7
- Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi Kardiologi).
- Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus dikoreksi
dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah
jantung sekuncup harus dikoreksi.

3. Pemeriksaan Awal Fisik Umum3


- Tekanan darah
- Pemeriksaan jantung
- Pemeriksaan neurologi umum awal:
i. Derajat kesadaran
ii. Pemeriksaan pupil dan oculomotor
iii. Keparahan hemiparesis

4. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)3


- Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang mengalami
penurunan kesadaran karena kenaikan TIK.
- Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan Cerebral Pressure Point >70 mmHg.
- Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi :
i. Tinggikan posisi kepala 200 - 300
ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
iv. Hindari hipertermia
v. Jaga normovolernia
vi. Osmoterapi atas indikasi:
Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam
dengan target 310 mOsrn/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam
sehari selama pemberian osmoterapi
Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi
mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
Page | 8
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan
tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator. Agen nondepolarized
seperti vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan
blok pada ganglion lebih baik digunakan. Pasien dengan kenaikan krtitis TIK
sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai
alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan
tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak
ada kontraindikasi.
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar.
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang menimbulkan
efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan
memberikan hasil yang baik.

5. Penanganan Transformasi Hemoragik3


Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik
(AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B).1 Terapi transformasi perdarahan simtomatik
sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral
dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.

6. Pengendalian Kejang3
- Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh fenitoin,
loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
- Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
- Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak
dianjurkan.

Page | 9
- Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat diberikan
selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama
pengobatan.

7. Pengendalian Suhu Tubuh3


- Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi
penyebabnya.
- Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA Guideline) atau
37,5 oC (ESO Guideline).
- Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan
(trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler,
analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
- Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic.

8. Pemeriksaan Penunjang3
- EKG
- Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula
darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)
- Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal
- Pemeriksaan radiologi
i. Foto rontgen dada
ii. CT Scan
B. Status Epileptikus
I. Definisi

Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan Status
Epileptikus (SE) sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya
dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima
secara luas, walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat dapat

Page | 10
merupakan suatu SE. Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai SE jika kejang terus-menerus
lebih dari 5 menit.6

Saat ini, ada beberapa versi pengklasifi kasian SE sebagai berikut:6

1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized mengacu pada aktivitas
listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas motorik
suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada respons
motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-
convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara definisi subtle SE merupakan
nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis yang buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex partial SE.
Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis; focal motor
SE mempunyai prognosis lebih buruk.
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area korteks
serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE,
simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
II. Etiologi

Etiologi dari Status Epileptikus tergantung usia dan menentukan prognosis. Setelah usia 60
tahun penyakit serebrovaskular beresiko menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh
Richmon di Virginia USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status
epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA). Etiologi lainnya
hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.7

Pada penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi dementia ditambah dalam


daftar penyebab status epileptikus. Penelitian juga di California mengidentifikasi strok sering
menyebabkan generalized status epilepticus(GSE).7

Page | 11
III. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon,
talamus, dan korteks sereprum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di
serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.5

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,


termasuk yang berikut:5

- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila terpicu
akan melepaskan muatan secara berlebihan;
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA);
- Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang.
Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas kejang.5

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik yang
seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural.
Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme
kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap

Page | 12
asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.5

Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus melibatkan
adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui
kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi
yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar
yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama
berlangsungnya status.6

Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik seperti
hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan homeostasis
melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit,
kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi,
rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot
spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya
meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak
memadai.6

Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak cukup,
untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral Blood Flow),
kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida
Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-
methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5
menit saja - yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical.
Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya,
berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh glutamat - glutamic-mediated
excitotoxicity-khususnya di hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal
pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan
kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya
apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.7

Page | 13
IV. Gejala Klinis

SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan kebutuhan metabolik


akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi
pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis
metabolik, dan gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi
serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang terus menerus. SE
tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai berikut:6

Fase 1: Kompensasi

Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme fisiologis cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau kerusakan
metabolisme. Perubahan fi siologis utama terkait dengan mening kat nya aliran darah dan
metabolisme otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.6

Fase 2: Dekompensasi

Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat meningkat dan tidak dapat sepenuhnya
tercukupi, sehingga me nyebabkan hipoksia dan perubahan meta bolik sistemik. Perubahan
autonom tetap berlangsung dan fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis.6

V. Penatalaksanaan

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa

yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus

dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini

diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam

penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering

digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat

ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada

Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.

Page | 14
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang

mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah),

dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang

sebanyak 65 persen.

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan

karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan

terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam

plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan

dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan

Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari

50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping

termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol,

Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar

diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove

syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi

presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun

dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak

Page | 15
seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.

Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru

kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan

yang berespon terhadap terapi lini pertama.

Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat

atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan

kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg

EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang

dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus


Pada : awal menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)

a. Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen

c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubu

e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah

lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah

Arteri)

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM

untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty

Page | 16
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan

kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi

berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan

tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara

intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau

NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per

menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga

kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan

infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan

tekanan darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per

menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG

Page | 17
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Stroke. Dalam: eds. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. h.17-
26.
2. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis &
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.h.24-30.
3. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke 2011.
Jakarta: PERDOSSI; 2011.h.14.
4. Hartwig M. Penyakit serebrovaskular. Dalam: Price SA,eds. Patofisiologi konsep
klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2005.h.1105-30.
5. Morris JH. Sistem saraf. Dalam: Robbins SL, Kumar V,eds. Buku ajar patologi.
Volume 2. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 2002. h.474-510.

Page | 18

Anda mungkin juga menyukai