A. PENDAHULUAN.............................................................................................................1
B. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3
A.EPIDEMIOLOGI...................................................................................................3
B.ETIOLOGI.............................................................................................................3
C. PATOFISIOLOGI..................................................................................................6
D. DIAGNOSIS.........................................................................................................10
E. DIAGNOSA BANDING.......................................................................................12
F. PENATALAKSANAAN........................................................................................13
G. KOMPLIKASI......................................................................................................13
H. EDUKASI.............................................................................................................14
I. PROGNOSIS.........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
i
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit ini pertama kali ditemukan secara wabah do Afrika Timur pada tahun
1952-1953. Kemudian pada tahun 1954,1956 dan 1968, ditemukan lagi epidemic
Chikungunya di Filipina, Thailand, Cambodia, Vietnam, India, Burma dan Sri Lanka.
Bermula tahun 2003, terdapat wabah di pulau-pulau di LAutan Pasifik termasuk
Madagascar, Comoros, Mauritius dan Reunion Island. 1
1
Setelah masa inkubasi, kebanyakan pasien menderita polyarthralgia dan
myalgia, dengan dampak signifikan terhadap kualitas hidup mereka. Demam
Chikungunya ditandai dengan beban viremik yang sangat tinggi dan kelainan
bersamaan seperti lymphopenia yang diucapkan dan trombositopenia moderat.
Tingkat kasus asimtomatik lebih rendah, dan persentase pasien yang terinfeksi yang
membutuhkan perawatan medis lebih tinggi, dibandingkan kebanyakan infeksi
arboviral lainnya. Setelah tahap akut, beberapa pasien mengalami kekambuhan,
arthralgia persisten atau nyeri muskuloskeletal. Meningkatnya usia merupakan faktor
risiko yang paling jelas terkait dengan penyakit berat atau gejala persisten di
Indonesia. Orang dewasa, sementara pada populasi anak-anak, bayi yang baru lahir
memiliki nilai lebih tinggi risiko penyakit parah.2
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPIDEMIOLOGI
3
peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia
potensial untuk terjadinya Chikungunya. Penyakit ini sering terjadi pada awal dan akhir
musim hujan. Penyakit Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.3
B. ETIOLOGI
Demam chikungunya disebabkan oleh CHIK virus (CHIKV), virus ini termasuk
famili Alphavirus. Fakta sejarah menyatakan bahwa virus chikungunya terjadi pertama di
negara Afrika dan selanjutnya menyebar ke Asia. Chikungunya telah menyebar ke
beberapa daerah seperti wilayah Afrika dan Asia, termasuk India, Srilanka, Myanmar,
Tailand, Indonesia, dan Malaysia. Studi secara filogenetik melaporkan bahwa strain virus
chikungunya termasuk dalam tiga genotype berdasarkan kasus di Afrika, Afrika
tengah/timur dan Asia, dan selanjutnya termasuk ke dalam grup yang diisolasi dari Klang
di Malaysia.4
Demam chikungunya didiagnosis pada pendatang di wilayah Amerika Serikat sejak
tahun 2005 dan 2006. Kasus demam chikungunya dilaporkan kembali di area Eropa,
Canada, Carabbia (Martinique) dan Amerika selatan (French Guyana) selama tahun 2006.
Sejak tahun 2005 2006, 12 kasus demam fever didiagnosis secara serologis dan virologi
oleh Centers for Disease Controland Prevention (CDC) Amerika serikat dari wilayah yang
diketahui sebagai daerah epidemi atau endemis demam chikungunya. Epidemi yang
terjadi di Asia pada wilayah perkotaan/urban disebabkan oleh vektor nyamuk Ae. aegypti
dan Ae. albopictus. Seroprevalensi yang dipelajari terhadap Macaca sinica di Srilanka
melaporkan bahwa kerentanan populasi ini terhadap virus tidaklah diketahui.4
Transmisi penyakit Chikungunya di Asia, terutama ditularkan oleh vektor nyamuk
Aedes aegypti melalui siklus transmisi orang ke orang di pemukiman padat penduduk
(urban). Tidak diketahui bagaimana virus ini dapat terpelihara di alam. Tidak ada binatang
yang betindak secara pasti sebagai reservoir, sekalipun hasil dari neutralizing antibody
terhadap virus Chikungunya pada monyet di Malaysia memberi kesan bahwa primata
dapat bertindak sebagai host. Tidak sama seperti virus dengue, transmisi secara
transovarial untuk virus Chikungunya belum dapat didemonstrasikan.4
Di Afrika, nonhuman primata juga terlibat dalam siklus transmisi dengan berbagai
spesies nyamuk vektor. Babon dan monyet Cercopithecus dianggap berperan sebagai
inang antara yang menyebarkan virus ke manusia. Nyamuk yang bertanggung jawab
dalam transmisi enzootik pada savana dan hutan tropis Afrika dikelompokkan dalam
dalam dua subgenera Aedes, yaitu :
4
(a) Subgenera : Stegomya (Ae. africanus, Ae. luteocephalus, and Ae. opok)
(b) Subgenera : Diceromya (Ae. cordillieri, Ae. furcifer, dan Ae. taylor).4
C. PATOFISIOLOGI
Vektor utama penyakit ini sama dengan DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus.Nyamuk lain mungkin bisa sebagai vector namun perlu penelitian
5
lebih lanjut. Nyamuk Aedes spp seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami
metamorphosis sempurna, yaitu : telur jentik (larva) pupa nyamuk. Stadium
telur, jentik dan pupa hidup di dalam air.Pada umumnya telur akan menetas menjadi
jentik/larva dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik/larva
biasanya berlangsung 6-8 hari dan stadium kepompong (pupa) berlangsung antara 2-4
hari. Pertumbuhan dari telurmenjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk
betina dapat mencapai 2-3 bulan.3
1. Habitat perkembangbiakan
Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat menampung air
di dalam, luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Habitat
perkembangan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut 3 :
1). Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti : drum, tangki
reservoir, tempayan, bakmandi/ wc, dan ember.
2). Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti :tempat minum
burung, vas bunga, perangkap semut, bak control pembuangan air, tempat
pembuangan air kulkas /dispenser, barang-barang bekas (contoh : ban, kaleng, botol,
plastic, dll)
6
3). Tempat penampungan air alamiah seperti :lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bamboo, serta tempurung cokelat/
karet.
Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk sementara
waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu
terbang dan mencari makanan. Nyamuk Aedes sp jantan menghisap cairan tumbuhan atau
sari bungau ntuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina menghisap darah. Nyamuk
betina ini lebih menyukai darah manusia daripada darah hewan. Darah diperlukan untuk
pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan,
waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut dengan siklus
gonotropik.3
Aktifitas mengigit nyamuk Aedes sp biasanya mulai pagi dan petang hari, dengan 2
puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Aedes aegypti mempunyai
kebiasaan menghisap darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi
lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penularan
penyakit.3
Setelah menghisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang gelap dan
lembap di dalam atau diluar rumah, berdekatan dengan habitat perkembang biakannya,
Pada tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Setelah beristirahat
dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di atas
permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat
perkembang biakannya. Pada umunya telur akan menetas menjadi jentik /larva dalam
waktu 2 hari. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak +100
butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan 6 bulan, jika tempat-
tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembapan tinggi maka telur dapat menetas
lebih cepat.3
7
Gambar 2. Siklus Gonotropik
Sumber :Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya Edisi 2. 2012
3. Penyebaran
Kemampuan terbang nyamuk Aedes spp betina rata-rata 40 meter, namun secara pasif
misalnya karena angina atau terbawa kendaraan dapat berpisah lebih jauh. Aedes spp
tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di
rumah maupun di tempat umum. Nyamuk Aedes spp dapat hidup dan berkembang biak
sampai ketinggian daerah 1.000 mdpl. Pada ketinggian diatas itu, suhu udara terlalu
rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembang biak.3
4. Variasi Musiman
Pada musim hujan populasi Aedes spp akan meningkat karena telur-telur yang tadinya
belum sempat menetasakan menetas ketika habitat perkembang biakannya mulai terisi air
hujan.3
Mekanisme Penularan
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes spp.
Nyamuk lain mmungkin bisa berperan sebagai vector namun perlu penelitian lebih lanjut.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus Chikungunya pada saat mengigit manusia
yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam
timbul. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrintic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan
berikutnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.3
8
Gambar 3. Mekanisme Penularan
Sumber : Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya Edisi 2 .2012
D. DIAGNOSIS
Anamnesis
Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut
berlangsung 3-10 hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak dan nyeri sendi
9
berat. Nyeri sendi ini terkadang membuat seseorang menjadi terbaring lemah,
namun biasanya sembuh dalam beberapa hari atau beberapa minggu. 5
Infeksi chikungunya dapat juga disertai gejala lain seperti sakit kepala, nyeri
seluruh punggung, mialgia, mual, muntah, poliartritis, bintik merah, dan
konjungtivitis. Pada fase subakut dan kronis, dapat memberikan gejala klinis
pembengkakan tangan yang disertai deskuamasi halus, hiperpigmentasi wajah,
tenosinovitis pada tangan, mata kaki, higroma siku, bengkak, dan kaku pada jari-
jari tangan.5 Arthritis dengan pembengkakan sendi juga bisa terjadi. Arthralgias
ekstremitas bawah bisa sangat melumpuhkan, menghasilkan gaya berjalan lambat,
berbasis luas, berhenti, yang bisa bertahan selama berbulan-bulan.6
Pemeriksaan Fisik
10
menghilang pada penekanan. Pada bayi, lesi vesokulobulosa sering ditemukan. Lesi
kulit lain yang dikenal selama wabah baru-baru ini meliputi lesi vesikulobullous
dengan deskuamasi, ulkus seperti aphthous, dan lesi vaskulitis.6
Pemeriksaan Penunjang
1. Isolasi virus
2. Diagnosa serologis
Tes ini menggunakan metode ELISA untuk mengukur kadar IgM spesifik
terhadap Chikungunya dalam serum darah. Tes antibody umumnya lebih wajar
dilakukan setelah satu minggu dari onset gejala.1
3. RT-PCR
Tes ini digunakan untuk menggandakan gene spesifik Chikungunya dari darah
yang akan menghasilkan ribuan malah jutaan salinan dari gene ini untuk tujuan
mengidentifikasi. Tes RT-PCR ini lebih baik dilakukan pada fase-fase awal onset
gejala kerana CHIKV RNA dapat teridentifikasi di fase akut penyakit ini. 1
Trombositopenia
Leukopenia
Peningkatan tes fungsi hati
Peningkatan LED dan CRP
IgM Chikungunya
E. DIAGNOSA BANDING
1. Demam Dengue7
11
Infeksi CHIKV sering dikacaukan dengan infeksi virus dengue, karena kedua
penyakit tersebut dapat hadir dengan suhu tinggi dan myalgia pada orang yang tinggal
di atau kembali dari daerah tropis. Selain itu, kedua virus tersebut ditularkan oleh
spesies nyamuk yang sama dan mungkin mengerosiasikan, menyebabkan infeksi
ganda dan epidemi bersamaan. Meskipun penyakit ini memiliki ciri klinis yang
serupa, arthalgia yang menonjol dan berkepanjangan yang mempengaruhi banyak
persendian lebih konsisten dengan CHIKV, dan perdarahan lebih sering terjadi pada
kasus infeksi virus dengue. Prevalensi gejala atau tanda spesifik dapat membantu
dalam membedakan antara 2 penyakit, terutama bila pengujian diagnostik tidak
tersedia (tabel 1). 6
2. Malaria .7
3. Leptospirosis7
4. Meningitis7
5. Artritis post infeksi7
6. Infeksi virus lain : Mayaro, rubella, measles, parvovirus, enterovirus7
12
F. PENATALAKSANAAN
Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini pemyakit ini
belum ada obat ataupun vaksinnya, pengobatan hanya bersifat simptomatis dan
suportif.3
1. Simptomatis
-
Antipiretik : Paracetamol atau acetaminophen (untuk meredakan demam)
-
Analgetik : Ibuprofen, naproxen, danobat anti inflamasi Non steroid lainnya
(untuk meredakan persendiaan /arthralgia. arthritis)
-
Asam asetilsalisilat tidak dianjurkan karena adanya resiko perdarahan pada
sejumlah penderita dan resiko timbulnya Reyes syndrome pada anak dibawah 12
tahun.3
2. Suportif
-
Tirah baring (bedrest) batasi pergerakkan
-
Minum banyak untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh akibat muntah, keringat
dan lain-lain.3
3. Pencegahan penularan
-
Penggunaan kelambu selama masa viremia (sejak timbul gejala sampai 7 hari).3
G. KOMPLIKASI
Demam chikungunya relatif kurang berbahaya dan tidak fatal dibandingkan dengan
DBD. Demam chikungunya merupakan penyakit self limiting disease (sembuh
sendiri). Meski demikian, akibat yang ditimbulkan demam chikungu- nya cukup
merugikan, apalagi jika sam- pai penderita mengalami kelumpuhan.8
Selama epidemi awal, komplikasi penyakit yang langka namun serius dicatat,
termasuk miokarditis, meningoensefalitis, dan perdarahan ringan. Dari epidemi baru-
baru ini, komplikasi neuroinvasive lebih lanjut telah dikenali, termasuk Sindrom
Guillan-Barr, kelumpuhan akut dan kelumpuhan. Selain itu, komplikasi baru, seperti
uveitis dan retinitis, telah dijelaskan. Kematian akibat infeksi chikungunya
nampaknya jarang terjadi. Namun, kenaikan tingkat kematian kasar telah dilaporkan
13
selama epidemi 2004-2008. Dengan infeksi CHIKV, individu yang lebih tua dengan
kondisi medis yang mendasarinya dan individu dengan koinfeksi tampaknya lebih
cenderung mengalami komplikasi dan memiliki risiko kematian yang lebih tinggi.6
Selama wabah baru-baru ini, wanita hamil ditemukan terinfeksi dengan CHIKV
dan memiliki gejala dan hasil yang serupa dengan orang lain. Sebagian besar infeksi
CHIKV yang terjadi selama kehamilan tampaknya tidak menyebabkan penularan
virus ke janin. Namun, jika wanita hamil tersebut mengalami viremik pada saat
melahirkan, ada risiko penularan dari ibu-ke-bayi dengan tingkat transmisi vertikal
sebesar 49%. Penularan intrapartum mengakibatkan komplikasi neonatal termasuk
penyakit neurologis, perdarahan, dan penyakit miokard. Aborsi trimester pertama
setelah infeksi CHIKV ibu jarang dilaporkan [64]. Tidak ada bukti bahwa virus
ditularkan melalui ASI. Penularan juga telah didokumentasikan melalui paparan darah
yang terinfeksi, yang menunjukkan bahwa infeksi CHIKV dapat terjadi melalui
transfusi produk darah.6
H. EDUKASI
Mengingat nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus adalah vektor penular
virus chikungunya dan virus dengue (DBD), maka upaya pencegahan chikungunya
hampir sama dengan pencegahan untuk penyakit DBD. Pencegahan dititik beratkan
pada pemberantasan nyamuk penular dapat dilakukan terhadap jentiknya dan nyamuk
dewasa.9
I. PROGNOSIS
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Ministry of Health and Family Welfare. 2016. National Guideline for Clinical
Management of Chikungunya. Govt of India.
2. Thiberville S et al, 2013. Chikungunya fever: Epidemiology, clinical syndrome,
pathogenesis and therapy. Antiviral Research 99 (2013) 345-370. Elsevier B.V.
3. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya. Edisi 2. Jakarta :
Kemenkes RI
4. Amirullah et al. 2015. Chikungunya : Transmisi dan Permasalahannya. Kendari :
Jurnal FMIPA Universitas Haluoleo
5. Alwi, Idrus dkk. 2016. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktik Klinis. Jakarta : Interna Publishing
15
6. Staples, J et. Al. 2009. Chikungunya Fever: An Epidemiological Review of a Re-
Emerging Infectious Disease. Clinical Infectious Diseases, Volume 49, Issue 6, 15
September 2009, Pages 942948. Infection Disease Society of America.
16