4. REKOMENDASI KEBIJAKAN 38
Gambar 1
Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2010
6,4
6,2
6
5,8
Persen / Tahun
5,6
5,4
5,2
5
4,8
4,6
2011 2012 2013 2014
Jawa Tengah 5,3 5,34 5,14 5,42
Nasional 6,16 6,16 5,74 5,21
Kinerja pertumbuhan ekonomi daerah yang diukur dari besarnya PDRB per kapita di
Jawa Tengah selama kurun waktu 2010 2014 cenderung meningkat, yang menunjukkan
meningkatnya tingkat kesejahteraan di provinsi ini walaupun berada dari rata-rata nasional
pada periode tersebut. Jika pada tahun 2010 rasio antara PDRB perkapita Jawa Tengah dan PDB
nasional sebesar 66,75 persen, maka pada tahun 2014 rasionya menurun menjadi 65,08 persen
(Gambar 2). Hal ini menunjukkan kinerja rata-rata provinsi lain berkembang lebih pesat dari
Jawa Tengah. Tantangan yang dihadapi pemerintah daerah adalah meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan landasan ekonomi daerah yang memperluas
kesempatan kerja dan mempercepat peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Gambar 2
PDRB Per Kapita ADHB
45.000,00
40.000,00
35.000,00
30.000,00
Ribu Rupiah
25.000,00
20.000,00
15.000,00
10.000,00
5.000,00
0,00
2010 2011 2012 2013 2014
Jawa Tengah 19.209,31 21.162,83 22.865,43 25.040,44 27.613,04
Nasional 28.778,17 32.336,26 35.338,48 38.632,67 42.432,08
Gambar 3
Tingkat Pengangguran Terbuka
9
8
7
6
5
Persen
4
3
2
1
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jawa Tengah 7,12 7,28 6,86 6,07 5,88 5,57 5,45 5,31
Nasional 8,46 8,14 7,41 6,8 6,32 5,92 5,7 5,81
Gambar 4
Persentase Penduduk Miskin
25,00
20,00
15,00
Persen
10,00
5,00
-
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Perkotaan 17,23 16,34 15,41 14,33 14,12 13,11 12,8 12,6
Perdesaan 23,45 21,96 19,89 18,66 17,14 16,55 15,9 15,9
Jawa Tengah 20,43 19,23 17,72 16,56 15,76 14,98 14,5 14,4
Nasional 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49 11,96 11,37 10,96
pemerintah daerah adalah menjaga efektivitas dan efisiensi kebijakan dan program
pengurangan kemiskinan, dan secara bersamaan mendorong percepatan pembangunan
ekonomi dengan prioritas sektor atau kegiatan ekonomi yang punya potensi berkembang
seperti kelautan, perikanan, pertanian, serta perdagangan dan jasa.
Gambar 5
Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengurangan Jumlah Penduduk Miskin
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2013
Ketiga, Kabupaten Boyolali, Temanggung, Sukoharjo, magelang, Kudus, dan Kota Tegal
terletak di kuadran III, merupakan daerah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-poor). Pemerintah
daerah harus bekerja keras untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui
peningkatan produktivitas sektor dan kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja
besar terutama dari golongan miskin. Pemerintah daerah juga dituntut untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi berbagai kebijakan dan program pengurangan kemiskinan.
Keempat, Kabupaten Purworejo, Pemalang, Semarang, Karanganyar, Banyumas, Sragen,
Jepara, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Pekalongan, dan Kota Semarang
terletak di kuadran IV, merupakan kota dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas rata-
rata, dan pengurangan kemiskinan di bawah rata-rata provinsi (high-growth, less pro-poor).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah tersebut belum memberikan dampak penurunan
angka kemiskinan secara nyata. Tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah adalah
mendorong pengembangan kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga
kerja. Selain itu diperlukan juga program dan kebijakan dalam hal penanggulangan kemiskinan.
rata provinsi namun peningkatan IPM di atas rata-rata (low-growth, pro-human development).
Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan untuk
meningkatkan pelayanan publik dapat meningkatkan IPM. Tantangan yang harus diatasi adalah
mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan nilai
tambah sektor dan kegiatan ekonomi yang menggunakan sumber daya lokal seperti industri
manufaktur, perdagangan dan jasa, pertanian, perikanan, dan kelautan.
Ketiga, Kabupaten Wonosobo, Grobogan, Magelang, Sukoharjo, Kudus, Klaten,
Temanggung, Kebumen, Boyolali, dan Kota Tegal terletak di kuadran III dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-
human development). Kondisi ini menegaskan perlunya pemerintah daerah membenahi
pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, pemerintah daerah juga harus
bekerja keras mendorong seluruh SKPD untuk memacu pembangunan ekonomi dengan
meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sektor dan kegiatan utama daerah.
Keempat, Kabupaten Jepara, Pati, Banyumas, Banjarnegara, Semarang, Kota pekalongan,
Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang berada di kuadran IV, termasuk
kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di atas rata-rata, tapi peningkatan IPM di
bawah rata-rata (high-growth, less-pro human development). Tantangan bagi pemerintah daerah
adalah menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan peningkatan mutu pelayanan
publik terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
Gambar 7
Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Rata-Rata Pengurangan Jumlah Pengangguran
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2013
Gambar 8
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pendidikan Dasar Tahun 2013 (Persen)
102
100
99,28
98
96
94
92
90,73
90
88
86
84
Kota Surakarta
Kab. Blora
Kab. Grobogan
Kab. Kebumen
Kota Pekalongan
Kab. Rembang
Kab. Pekalongan
Kab. Pemalang
Kab. Banjarnegara
Kab. Wonosobo
Kab. Magelang
Kab. Sragen
Kab. Karanganyar
Kab. Demak
Kab. Tegal
Kab. Brebes
Kota Magelang
Kota Salatiga
Kab. Cilacap
Kab. Boyolali
Kab. Sukoharjo
Kab. Jepara
Kota Tegal
Kab. Semarang
Kota Semarang
Kab. Purworejo
Kab. Klaten
Kab. Purbalingga
Kab. Wonogiri
Kab. Pati
Kab. Temanggung
Kab. Banyumas
Kab. Batang
Kab. Kendal
Kab. Kudus
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 07-12 tahun Angka Partisipasi Sekolah (APS) 13-15 tahun
APS 7-12 tahun Provinsi APS 13-15 tahun Provinsi
Berbagai kemajuan dalam bidang pendidikan telah dicapai oleh Provinsi Jawa Tengah,
hal ini tampak dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang mengalami peningkatan secara
signifikan. Semakin tinggi jenjang pendidikan di Jawa Tengah, semakin rendah angka
partisipasi sekolahnya. Hal ini menggambarkan masih kurangnya partisipasi masyarakat untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Partisipasi sekolah untuk tingkat SD dan
SMP sudah cukup tinggi dan merata di setiap kabupaten dan kota (Gambar 8). Berdasarkan APS
di Jawa Tengah tahun 2013, program pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun sudah tercapai di Kota
Kabupaten Cilacap, Karanganyar, Sragen, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, temanggung,
Batang, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota salatiga, Kota Semarang, dan Kota Pekalongan.
Rata-rata APS Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 sebesar 98,86 persen untuk usia 7-12 tahun
dan 89,2 persen untuk usia 13-15 tahun. Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memilki APS
pendidikan dasar terendah adalah Kabupaten Grobogan, yaitu sebesar 89,44 persen, artinya
masih ada 10,56 persen anak usia 7-13 tahun yang tidak bersekolah.
APS mengindikasikan seberapa besar akses dari penduduk usia sekolah dapat
menikmati pendidikan formal di sekolah. Gambarannya menunjukkan pada kelompok umur
yang lebih tua, APS cenderung semakin menurun. Sedangkan APM mengindikasikan proporsi
anak usia sekolah yang dapat sekolah tepat waktu. Dalam 3 tahun terakhir terjadi peningkatan
APM pada setiap jenjang pendidikan. APK mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang
mengenyam pendidikan sesuai jenjang pendidikannya. Selama tiga tahun terakhir APK di semua
jenjang meningkat kecuali APK SMP/sederajat dan SMA/sederajat pada tahun 2013. Selisih
antara APK dan APM diatas 13 persen, menunjukkan besarnya persentase pelajar yang
menduduki jenjang pendidikan yang tidak sesuai dengan umurnya.
Ditinjau dari rasio murid terhadap guru, untuk semua jenjang pendidikan keadaannya
dapat dikatakan sudah cukup baik. Secara rata-rata seorang guru hanya melayani 11-16 siswa
saja. Semakin tinggi jenjang pendidikan, rasio murid terhadap guru semakin baik. Artinya
jumlah murid yang dilayani oleh seorang guru semakin kecil, sehingga murid semakin
mendapat perhatian dari guru semakin besar. Untuk jenjang SD/sederajat dan SMP/ sederajat,
rata-rata seorang guru melayani 16 siswa. Sedangkan untuk SMA/sederajat, rata-rata seorang
guru melayani 11 siswa saja. Walaupun upaya perbaikan kinerja pembangunan pendidikan
terus ditingkatkan namun beberapa indikator pendidikan di Jawa Tengah belum menunjukkan
kinerja yang optimal. Pada tahun 2013 Rata-rata lama sekolah penduduk Jawa Tengah adalah 7
(Gambar 9). Kondisi ini berarti secara rata-rata siswa hanya tamat SD dan baru masuk jenjang
pendidikan SLTP.
Gambar 9
Rata-Rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf Tahun 2009-2013
8,4 95
8,2 94
8
93
7,8
7,6 92
7,4 91
7,2 90
7
89
6,8
6,6 88
6,4 87
2009 2010 2011 2012 2013
2.1.2. Kesehatan
Penyediaan fasilitas kesehatan menjadi salah satu upaya dalam meningkatkan
pembangunan kesehatan di Provinsi Jawa Tengah. Dalam rangka mengembangkan kesehatan
bagi masyarakat pemerintah Provinsi Jawa Tengah terus berupaya meningkatkan layanannya
baik berupa sarana maupun prasarana kesehatan. Tingkat kesehatan masyarakat Jawa Tengah
menunjukkan hasil yang baik apabila dilihat dari indikator kesehatan, seperti angka kematian
ibu, angka kematian bayi dan balita, serta gizi buruk yang berada di bawah nasional. Angka
kematian bayi di Jawa Tengah pada tahun 2012 sebanyak 32 kematian per 1000 kelahiran baru,
sedangkan angka nasional menunjukkan 34 kematian per 1000 kelahiran baru (Gambar 10).
Angka ini juga mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kondisi pada 2007, angka
kematian bayi Jawa Tengah sebanyak 26 kematian per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu,
angka kematian balita mencapai 38 kematian per 1000 kelahiran hidup atau meningkat dari
kondisi tahun 2008 sebesar 32 kematian per 1000 kelahiran hidup.
Gambar 10
Angka Kematian Bayi Provinsi Jawa Tengah
45
40 39
35 34
30
32
25 26
20
26
15
21
10
5
0
2007 2010 2012
Keselamatan ibu dan bayi dalam proses melahirkan menjadi perhatian khusus di negara
berkembang seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia persalinan yang ditangani oleh tenaga
medis dan terlatih berperan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan anak juga sebagai indikator
kemajuan suatu daerah. Biaya pengobatan semakin terjangkau melalui berbagai program
pemerintah salah satunya BPJS. Data terakhir BPJS Kesehatan Divisi Regional VI Jawa Tengah
menyebutkan jumlah peserta BPJS di Jawa Tengah adalah 18.292.668 orang. Dari jumlah
tersebut, 14.248.182 merupakan penerima bantuan iuran dari APBN maupun APBD, sementara
sisanya merupakan pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah, dan bukan pekerja
(BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015).
Mengingat pentingnya kesehatan ibu dan anak, yang juga berkaitan dengan kualitas
penduduk, pemerintah daerah telah berupaya meningkatkan kepedulian masyarakat dalam
mewujudkan keluarga kecil bahagia melalui program Keluarga Berencana (KB). Program KB
digulirkan bertujuan untuk mengatur jarak kelahiran serta menurunkan angka kematian ibu
dan bayi. Tahun 2015 Jawa Tengah sudah memiliki 1.848 klinik KB, dimana 67,21 persen milik
pemerintah dan sisanya milik swasta. Selama 2012-2014 jumlah klinik KB terus mengalami
peningkatan namun peningkatan jumlah klinik KB tidak diiringi dengan peningkatan jumlah
peserta KB.
Pemerintah Jawa Tengah terus berupaya memperbaiki pelayanan kesehatan dan
membangun fasilitas kesehatan untuk masyarakat. Sasaran pembangunan kesehatan di Provinsi
Jawa Tengah antara lain program peningkatan sarana prasaran alat RS rujukan regional di
RSUD Dr. Moewardi Kota Surakarta, RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Kota Purwokerto, RSUD
Tugurejo Semarang, RSUD Kardinah Kota Tegal, RSUD Kota Tidar Kab. Magelang, RSUD Kraton
Kab. Magelang, RSUD Soewondo Kab. Pati. Penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan
merupakan bagian dari program pembangunan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dan tenaga
kesehatan berhubungan kemudahan penduduk dalam mengakses layanan kesehatan. Sebagai
rujukan penduduk untuk berobat jalan di Provinsi Jawa Tengah, jumlah fasilitas kesehatan
tertinggi adalah puskesmas. Sampai akhir tahun 2014 jumlah puskesmas di Provinsi Jawa
Tengah terbanyak berada di Kabupaten Banyumas dan Brebes, masing-masing sebanyak 39
puskesmas, sedangkan paling sedikit terdapat di Kota Magelang sebanyak 5 puskesmas (Tabel
1). Di setiap puskesmas ditugaskan 1-2 orang dokter jaga.
Tabel 1
Jumlah Puskesmas (Unit) Tahun 2014 Provinsi Jawa Tengah
2.1.3. Perumahan
Arah kebijakan pada sasaran pembangunan perumahan adalah meningkatkan akses
masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak, aman, terjangkau serta
didukung oleh penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai. Kualitas fisik dan
fasilitas rumah yang dimiliki dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga.
Rumah tangga sejahtera menempati rumah dengan kualitas yang lebih baik. Bagi masyarakat
golongan ekonomi menengah bawah, menempati rumah kualitas layak huni baik segi kesehatan,
kenyamanan, maupun keamanan merupakan suatu impian yang sulit diwujudkan. Kebutuhan
rumah layak huni di Jawa Tengah sangat besar dan terus mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Pemenuhan hunian yang layak dengan didukung oleh prasarana, sarana, dan utilitas
yang memadai perlu mendapatkan perhatian khusus. Kegiatan pembinaan dan bantuan teknis
pembiayaan perumahan bagi masyarakat dapat meningkatkan dan mendorong pemberdayaan
masyarakat serta membina peran swasta juga para pemangku kepentingan dalam
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
Pembangunan perumahan yang layak huni juga harus memperhatikan akses air minum
dan sanitasi layak. Selama tahun 2010-2013 rumah tangga di Jawa Tengah yang mendapatkan
kriteria kelayakan sanitasi dan kelayakan air minum cenderung meningkat, namun masih
berada di bawah nasional (Gambar 11). Jumlah rumah tangga dengan kelayakan sanitasi di
Provinsi Jawa Tengah cenderung meningkat pada tahun 2010 ke tahun 2013, yaitu dari 57,76
persen menjadi 63,28 persen. Sementara itu jumlah rumah tangga dengan kriteria kelayakan air
minum di Jawa Tengah selama 2010-2013 meningkat dari 57,44 persen menjadi 71,3 persen.
Kurangnya dukungan infrastruktur yang memadai serta masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk melakukan pola hidup bersih merupakan salah satu penyebab rendahnya
kualitas dan kuantitas sanitasi baik dalam hal pengelolaan air limbah, persampahan, maupun
drainase permukiman. Pembangunan sanitasi sangat penting karena berdampak pada
kesehatan, kebutuhan infrastruktur permukiman, degradasi lingkungan, estetika wilayah serta
kesejahteraan masyarakat umum.
Gambar 11
Persentase Rumah Tangga Kriteria Kelayakan Sanitasi dan Air Minum
Air merupakan sumber kehidupan bagi semua mahluk hidup, tidak terkecuali manusia
yang dalam kehidupan sehari-harinya banyak membutuhkan air mulai dari mandi, minum
mencuci dan sebagainya. Ironisnya sumber air bersih mulai sulit didapatkan terutama di kota-
kota besar. Kebanyakan masyarakat Jawa Tengah yang hidup di perkotaan dalam pemenuhan
kebutuhan air minum banyak menggunakan air minum dalam kemasan atau isi ulang serta air
ledeng. Permasalahan sanitasi di Jawa Tengah terdiri dari kebutuhan air bersih, masalah air
limbah, sampah, drainase dan pola hidup bersih dan sehat. Kondisi lingkungan sangat
mempengaruhi kehidupan manusia. Seringkali pengaruhnya justru berakibat buruk, misalnya
mengganggu kesehatan, menyebabkan penyakit, dan menjadi media transmisi penyakit, dan
lain-lain.
Sanitasi sebagai salah satu aspek pembangunan memiliki fungsi penting dalam
menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat, karena berkaitan dengan pemukiman serta
kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari, namun sanitasi sering kali dianggap sebagai urusan
sekunder sehingga belum mendapatkan perhatian. Salah satu pendekatan kepada masyarakat
untuk dapat membantu usaha pemerintah dalam penanganan sanitasi permukiman adalah
dengan mengkondisikan masyarakat pada suatu kebiasaan atau perilaku laku tertentu.
Pendekatan tersebut dilakukan melalui sosialisasi dan pemahaman penanganan sanitasi
lingkungan menuju masyarakat bersih dan sehat.
2.1.4. Mental/Karakter
Untuk mencapai Indonesia yang maju, makmur dan mandiri diperlukan sumberdaya
manusia yang unggul dan memiliki pendidikan yang baik, keahlian dan keterampikan, pekerja
keras, memiliki etos kemajuan, bersikap optimis, serta memiliki nilai luhur budaya bangsa.
Nilai-nilai luhur yang penting ditanamkan untuk mencapai kemandirian tersebut antara lain
gotong royong, toleransi, solidaritas, saling menghargai dan menghormati. Negara Indonesia
merupakan negara majemuk dengan latar belakang budaya dan adat istiadat yang beragam.
Pembangunan mental dan budaya masyarakat penting dilakukan untuk mendukung
pembangunan fisik dan mengatasi permasalahan sosial.
Pembangunan karakter melalui pendidikan dalam masyarakat merupakan upaya
meningkatkan sikap mental untuk meningkatkan nilai etis diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari. Karakter mengacu pada kebiasaan berpikir, bersikap, berbuat dan memotivasi kehidupan
seseorang. Karakter erat kaitannya pola tingkah laku dan kecenderungan untuk berbuat baik.
Dalam hal ini perlu adanya usaha mengadakan pendidikan baik formal maupun informal di
lingkungan tempat tinggal untuk menggerakkan perubahan yang terjadi. Pembangunan wilayah
Jawa Tengah menuntut perubahan sikap mental manusia yang selain merupakan sarana untuk
mencapai tujuan pembangunan juga merupakan salah satu tujuan utama pembangunan itu
sendiri. Semua elemen masyarakat berperan serta dalam membangun karakter bangsa, di
antaranya melalui media massa, pada akademisi, tokoh adat, dan melalui peran organisasi
kepemudaan. Proses penanaman karakter yang dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah
meliputi pengembangan bentuk pembelajaran substantif yang materinya terkait langsung
dengan nilai, serta melalui pendidikan keagamaan.
Salah satu upaya membentuk karakter masyakarat di Jawa Tengah adalah melalui
pendidikan agama. Masyarakat Jawa Tengaha cukup majemuk sehingga upaya pembentukan
karakater bisa dimulai dari pendidikan dalam keluarga, kelompok kegamaan, serta organisasi
kepemudaan lain. Keberadaan tempat ibadah untuk pendidikan karakter masyarakat menjadi
penting untuk dikembangkan (Tabel 2). Media tempat ibadah dan pendidikan guru agama
adalah komponen masyarakat yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan.
Tabel 2
Data Pemeluk Agama dan Tempat Ibadah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014
Pengembangan mental dan karakter bangsa membutuhkan peran serta masyarakat baik
melalui keluarga, organisasi profesi, pengusaha, serta organisasi kemasyarakatan. Adanya
keberagaman etnis dan agama dan berkembangnya lembaga sosial dalam kehidupan
masyarakat membutuhkan peran pemuda sebagai aset pembangunan sosial. Untuk menjamin
kesejahteraan sosial keterlibatan pemuda dipelukan untuk mendorong proses pembelajaran
serta membangun komitmen bersama dalam pembangunan. Pengembangan karakter pemuda
dapat dilakukan melalui lembaga sosial dan organisasi kemasyarakatan karena keterlibatan
pemuda dalam hal ini sangat tinggi. Jumlah organisasi kepemudaan yang terdaftar di
Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun 2014 sebanyak 68 organisasi, terdiri atas bidang
keagamaan, kebangsaan, dan kesiswaan, dan lain-lain. Organisasi kepemudaan yang terdaftar
tersebut merupakan wadah aspirasi generasi muda dalam menjalankan aktivitas kepemudaan
(Gambar 12). Tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan organisasi kepemudaan adalah
adanya sifat dan karakter dari generasi muda yang tidak relevan dengan norma kehidupan
masyarakat. Melalui peran organisasi-organisai ini pengembangan karakter yang positif dapat
dilakukan untuk menghindari masalah negatif dalam internal maupun eksternal organisasi.
Pemuda memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun daerahnya untuk kepentingan
masyarakat.
Gambar 12
Bidang Organisasi
kekaryaan profesi hukum
kekeluargaan 2% 3% 1%
3%
ekonomi
3%
keagamaan
sosial 16%
3%
kepartaian
13%
kebangsaan
31%
kesiswaan
25%
Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu stabilitas ekonomi sehingga
upaya pemenuhan kecukupan pangan menjadi kerangka pembangunan yang mampu
mendorong pembangunan sektor lainnya. Ketahanan pangan dibangun atas tiga pilar utama,
yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Tersedianya pangan secara
fisik di daerah bisa diperoleh dari hasil produksi daerah sendiri, impor, maupun bantuan
pangan. Analisis mengenai ketersediaan pangan dan akses pangan menjadi tahapan
pembangunan yang strategis karena dibutuhkan untuk menelaah kinerja ketahanan pangan di
Jawa Tengah. Kemandirian pangan akan mampu menjamin masyarakat memenuhi kebutuhan
pangan yang cukup, mutu yang layak, aman dan tanpa ketergantungan dari pihak luar.
Sumber pangan lokal di Provinsi Jawa Tengah antara lain tanaman pangan dan
holtikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan. Tanaman pangan merupakan salah satu
subsektor pertanian yang dominan di Jawa Tengah. Produksi padi dan jagung angkanya
berfluktuatif namun hasil produksinya lebih besar daripada komoditas lain. Produksi padi di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 1.397.390 ton dari tahun
sebelumnya yaitu mencapai hasil produksi 9.648.104 ton pada tahun 2014 menjadi 11.045.494
ton pada tahun 2015 (Gambar 13). Peningkatan angka produksi padi dipengaruhi oleh
penambahan luas panen yang cukup signifikan yaitu sebesar 68,40 ribu hektar (3,80 persen)
dari 1,80 juta hektar pada tahun 2014 menjadi 1,87 juta hektar pada tahun 2015. Keadaan ini
didukung dengan peningkatan produktivitas padi di tahun 2015 dibanding tahun 2014.
Produktivitas tahun 2015 sebesar 59,09 ku/ha lebih tinggi 5,52 ku/ha dibandingkan tahun
2014 dengan angka produktivitas sebesar 53,57 ku/ha.
Gambar 13
Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Padi Provinsi Jawa Tengah
11.500.000 60
11.045.494
57,7 58
11.000.000
56,53 58,11
56,04 56
10.500.000 10.232.934
10.344.816
53,7 54
10.000.000 52
9.648.104
9.391.959 50
9.500.000
48
9.000.000
46
8.500.000 44
2011 2012 2013 2014 2015
Kondisi ideal untuk menanam padi memberikan pengaruh yang cukup besar bagi
komoditas yang lain. Pada saat lahan difungsikan untuk tanaman padi maka tanaman yang lain
mengalami penurunan baik luas panen maupun produksinya. Pengelolaan pertanian hingga saat
ini masih dikelola secara tradisional sehingga hasil produksinya sangat dipengaruhi oleh
kondisi iklim. Peningkatan produksi jagung dan kedelai juga menjadi prioritas pemerintah
Provinsi Jawa Tengah. Produksi dan produkstivitas jagung di Provinsi Jawa Tengah selama
tahun 2011-2015 berfluktuatif namun memiliki kecenderunan meningkat dan mencapai hasil
produksi sebsar 3,2 juta ton pada tahun 2015 (Gambar 14). Peningkatan produksi jadung
tahun 2015 dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas sebesar 3,54 persen dari 56,71 ku/ha
di tahun 2014 menjadi 58,72 ku/ha di tahun 2015. Didukung dengan penambahan luas panen
seluas 15,68 ribu hektar dari 538,10 ribu hektar di tahun 2014 menjadi 553,78 ribu hektar pada
tahun 2015.
Gambar 14
Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Jagung Provinsi Jawa Tengah
3.300.000 3.251.870 70
3.200.000 60
3.100.000 3.041.630 3.051.516
50
3.000.000 2.930.911 40
2.900.000
2.772.575 30
2.800.000
20
2.700.000
2.600.000 10
2.500.000 0
2011 2012 2013 2014 2015
Hasil produksi kedelai di Jawa Tengah tidak sebesar hasil produksi jagung dan pagi.
Pada tahun 2015 angka produksi kedelai di Jawa Tengah besarnya 132.349 ton, lebih tinggi dari
pencapaian tahun 2014 sebesar 125.467 ton. Peningkatan produksi kedelai tahun 2015
diperkirakan terjadi karena adanya peningkatan luas panen sebesar 459 hektar dari tahun
2014, dan meningkatnya produktivitas kedelai dari 17,37 kw/ha menjadi 18,21 kw/ha pada
tahun 2015.
Gambar 15
Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Kedelai Provinsi Jawa Tengah
180.000 20
152.416 18,43 18
160.000 17,37
140.000 15,69 132.349 16
15,21 125.467
112.273
13,69 14
120.000
99.318 12
100.000
10
80.000
8
60.000
6
40.000 4
20.000 2
0 0
2011 2012 2013 2014 2015
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Jawa Tengah peningkatan luas lahan
pertanian diperlukan untuk menjamin stabilitas dan ketahanan pangan. Provinsi Jawa Tengah
memiliki potensi lahan kering yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif lahan produksi
pangan. Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan usaha pertanian di lahan kering antara
lain kesuburan tanah di lahan kering relatif rendah, akses irigasi terbatas, serta biaya
pengelolaan lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian konvensional. Upaya ketahanan
pangan yang didukung dengan dana APBN perlu disalurkan ke petani dalam bentuk bantuan
sosial untuk memilih bibit unggul, pupuk, perbaikan irigasi, serta pemberian alat mesin
pertanian sehingga petani mampu meningkatkan produktivitas dan memperluas areal
tanamnya.
Kebutuhan bahan pangan selain bersumber dari pertanian juga berasal dari peternakan.
Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang besar. Kebutuhan konsumsi
penduduk akan semakin besar seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan
pertumbuhan ekonominya. Dengan demikian produksi hasil ternak perlu terus dikembangkan,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan penduduk. Produksi daging di Provinsi Jawa Tengah
cukup besar, dengan produksi tertinggi pada tahun 2014 adalah daging sapi (Gambar 16).
Pengembangan komoditas sapi juga membuka peluang bagi pelaku usaha dengan berbagai
alternatif investasi diantaranya usaha perbibitan sapi, usaha penggemukan sapi, usaha
campuran dan pembibitan, dan usaha peternakan hilir.
Gambar 16
Produksi Daging Provinsi Jawa Tengah (Ton)
70.000
60.322 60.893 61.141 61.868
60.000
51.001
50.000
40.000
30.000
20.000
11.829 12.948 11.540 10.933
10.211
10.000
3.155 2.495 2.267 2.396 1.666 1.509 2.257 1.675 2.195 1.576
0
2010 2011 2012 2013 2014
Peternakan unggas di Provinsi Jawa Tengah juga banyak dibudidayakan dan jumlahnya
cenderung meningkat setiap tahun. Jumlah populasi ternak terbesar di Jawa Tengah adalah
ayam pedaging yaitu sebanyak 104 juta ekor pada tahun 2014, mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya sebanyak 103 juta ekor (Gambar 17). Ayam jenis ini banyak diminati karena
lebih menguntungkan dan mudah pemeliharaannya. Sedangkan itik sangat sedikit peminatnya
di Jawa Tengah sebanyak 8 juta ekor.
Gambar 17
Populasi Ternak Unggas Provinsi Jawa Tengah (Ribu Ekor)
120.000,00
103.964,80 104.437,00
100.000,00
76.906,30
80.000,00
64.332,80 66.239,70
60.000,00
0,00
2010 2011 2012 2013 2014
Tercapainya kondisi ketahanan dan kemandirian pangan di Provinsi Jawa Tengah juga
dipengaruhi adanya inovasi dan adopsi teknologi dalam pengembangan usaha tani tanaman
pangan, usaha tani hortikultura, usaha peternakan, dan usaha perkebunan yang mampu
memberikan dampak bagi peningkatan produksi dan produktivitas petani dan peternak.
Kebutuhan penyediaan pangan terus meningkat sementara peningkatan produksi pangan dan
produktivitas hasil pertanian juga terus diupayakan. Pemerintah daerah mendorong
peningkatan jumlah lahan pertanian dengan memfungsikan kembali lahan sawah untuk
ditanam padi, jagung, dan kedelai sesuai dengan musimnya. Ketersediaan lahan di Jawa Tengah
cukup luas untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan produksi tanaman pertanian dan
kebutuhan pangan lainnya. Pemerintah berupaya melakukan pembukaan lahan pertanian
dalam memenuhi target produksi tanaman pangan di tahun 2019 (Tabel 3).
Tabel 3
Sasaran Kedaulatan Pangan Provinsi Jawa Tengah
Dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan sawah petani perlu mendapatkan pembinaan
dan didampingi secara intensif baik dalam pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen,
dan pasca panen oleh penyuluh pertanian dengan menerapkan inovasi teknologi spesifik lokasi.
Dinas pertanian perlu memantau penyaluran benih dan pupuk agar lahan sawah bisa
pusat pembangkit hydro (PLTA) dengan kapasitas kecil melalui saluran distribusi 20 kV (Dinas
Pertambangan dan Energi Jawa Tengah, 2015).
Penempatan pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi terbarukan di
Provinsi Jawa Tengah perlu diprioritaskan. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
harus diimbangi dengan ketersediaan tenaga listrik karena meningkatnya permintaan tenaga
listrik. Rasio elektrifikasi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 di bawah 100 persen, namun
lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 81,70 persen (Gambar 18). Rasio elektrifikasi
merupakan perbandingan jumlah rumah tangga yang berlistrik dan jumlah keseluruhan rumah
tangga (RUPTL PLN 2015-2024). Rasio elektrifikasi ini menggambarkan tingkat ketersediaan
energi listrik untuk masyarakat.
Gambar 18
Rasio Elektrifikasi (%) Tahun 2014
120
100 88,15
80 81,70
60
40
20
0
DKI Jakarta Tangerang
Kepulauan Riau
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Papua
Banten
Aceh
Jambi
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Riau
Bengkulu
Maluku
Lampung
Kalimantan Selatan
Kep Bangka Belitung
D.I Yogyakarta
Sulawesi Barat
Jawa Tengah
Sulawesi Utara
Sumatera Selatan
Papua Barat
Jawa Timur
Jawa Barat
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
Kalimantan Tengah
Sumatera Utara
Maluku Utara
BALI
Tabel 4
Aktivitas di Pelabuhan Provinsi Jawa Tengah
Kunjungan
Kota/ Kabupaten Pelabuhan GRT
Kapal (unit)
Kota Semarang Tanjung Mas 4.749 21.123.038
Cilacap Tanjung Intan 1.820 24.134.255
Tegal Tegal 441 64.274
Sumber: Statistik Transportasi Provinsi Jawa Tengah, 2015
Jawa Tengah juga memiliki potensi sumber daya besar pada wilayah pesisir dan laut.
Sebagian besar produksi ikan terbanyak berasal dari budidaya ikan di kolam tambak, serta
perikanan tangkap laut. Potensi perikanan air laut Provinsi Jawa meliputi pelagis besar, pelagis
kecil, demersal, ikan karang, ikan hias, udang dan krustasea lainnya, kerang, serta rumput laut.
Hasil produksi ikan terbanyak tahun 2013 di Jawa Tengah adalah perikanan tangkap laut
sebesar 224.229 ton, perikanan budidaya tambak sebesar 188.407 ton, serta budidaya kolam
sebanyak 160.987 ton (Gambar 19).
Gambar 19
Produksi Perikanan (ton) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
1%
5%
0%
35%
25%
29% 3%
2%
Gambar 20
Jumlah Tamu yang Menginap Tahun 2010-2014
Peningkatan wisatawan terhadap hotel dan akomodasi lainnya ternyata tidak diikuti
dengan peningkatan wisatawan terhadap objek wisata. Hal ini perlu mendapatkan perhatian
dari pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mempromosikan tempat wisata di Jawa Tengah.
Potensi wisata Jawa Tengah cukup lengkap, dari wisata alam, budaya, sejarah, dan lain-lain.
Jawa Tengah memiliki daya tarik wisata budaya dan alam yang beraneka ragam, antara lain
peninggalan situs-situs purbakala seperti Candi Borobudur, Prambanan dan lain-lain. Selain
wisata peninggalan budaya, di Jawa Tengah juga terdapat beragam objek wisata alam berupa
pegunungan, keindahan wisata pantai, gua alam, air terjun dan lain-lain Untuk seni kreatifitas,
maka Jawa Tengah terkenal dengan karya seninya dalam seni ukiran Jepara, kerajinan batik,
kerajinan kuningan, pahat batu, keramik, wayang dan lain-lain. Untuk menarik
minat wisatawan baik wisatawan dalam negeri maupun mancanegara, pemerintah daerah
harus terus menjaga kelestarian tempat-tempat wisata budaya dan terus mengembangkan
sumberdaya budaya, sumberdaya alam yang akan membuat satu daya tarik kepariwisataan.
Faktor yangharus diperhatikan selain infrastruktur adalah kesehatan, kebersihan, keamanan
dan keselamatan bagi para wisatawan.
Untuk sektor industri, pembangunan sektor industri bukan hanya mambangun pabrik
dan memasarkan hasil produksinya namun membangun sistem untuk berkembang secara
mandiri pada struktur ekonomi masyarakat setempat. Salah satu tantangan yang dihadapi
industri nasional saat ini adalah daya saing yang rendah di pasar internasional. Faktor yang
menyebabkan rendahnya daya saing tersebut antara lain adanya peningkatan biaya energi,
tingginya biaya ekonomi, serta belum memadainya layanan birokrasi. Tantangan lain yang
dihadapi adalah masih lemahnya keterkaitan antar industri (industri hulu dan hilir maupun
antara industri besar dengan industri kecil dan menengah), adanya keterbatasan berproduksi
barang setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi,
kesenjangan kemampuan ekonomi antardaerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa
komoditas tertentu.
Sektor industri merupakan salah satu dari empat sektor utama pendukung
perekonomian Jawa Tengah. Namun sejak 2011 jumlah industri khususnya industri besar
sedang (IBS) justru menunjukkan penurunan. Walaupun jumlah IBS terus mengalami
penurunan, jumlah tenaga kerja yang terlibat di dalamnya semakin bertambah (Tabel 5). Selain
IBS di Jawa Tengah juga berkembang IMK. Keberadaan Industri Kecil Menengah merupakan
kekuatan perekonomian Indonesia yang mampu bertahan dari krisis ekonomi Indonesia
maupun krisis ekonomi global. Bila jumlah IBS semakin menurun sebaliknya jumlah IMK
semakin meningkat. Pada tahun 2014 Industri Kecil dan Menengah (IMK) tumbuh 8,04 persen
jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Tabel 5
Statistik IBS dan IMK Jawa Tengah
Tahun
Uraian
2011 2012 2013 2014
Industri Besar Sedang (IBS)
Jumlah IBS (unit) 3.850 3.736 3.666 *
Tenaga Kerja (orang) 732.031 777.087 838.351 *
Industri Kecil Menengah (IMK)
Jumlah IMK (unit) * 645.005 645.148 697.018
Tenaga Kerja (ribu orang) * 2.853,22 2,887,51 3.119,67
* Data tidak tersedia
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2015
Gambar 21
Jumlah Industri dan Tenaga Kerja (IBS) Tahun 2013
350 160000
300 140000
120000
250
100000
200
80000
150
60000
100
40000
50 20000
0 0
Kota Pekalongan
Magelang
Pemalang
Wonosobo
Cilacap
Tegal
Purbalingga
Klaten
Grobogan
Semarang
Banyumas
Temanggung
Kebumen
Purworejo
Wonogiri
Blora
Rembang
Kendal
Batang
Pekalongan
Banjarnegara
Boyolali
Karanganyar
Sragen
Kudus
Demak
Brebes
Sukoharjo
Jepara
Kota Semarang
Pati
Kota Magelang
Kota Surakarta
Kota Salatiga
Kota Tegal
Suatu daerah dianggap maju jika kelompok sektor sekunder menjadi penopang bingkai
perekonomiannya. Industri manufaktur merupakan salah satu penopang perekonomian yang
dianggap tangguh. Keberadaan dan keberlanjutan industri manufaktur memegang peranan yang
kuat karena mengakar di masyarakat. Sektor industri manufaktur, baik Industri Besar Sedang
(IBS) maupun Industri Mikro Kecil (IMK) perannya tidak begitu besar dalam pembentukan
ekonomi daerah, namun berperan dalam menciptakan lapangan kerja dan pemerataan
pendapatan. Jumlah unit usaha di sektor industri besar dan menengah Jawa Tengah tahun 2013
terbesar adalah di Kota Semarang yaitu 300 perusahaan, sementara penyerapan tenaga kerja
terbesar adalah di Kabupaten Kudus yaitu 146.045 orang tenaga kerja. (Gambar 21).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui usaha kecil
dan mikro, antara lain kualitas SDM bidang udaha kecil dan mikro yang masih rendah, tingkat
kesejahteran masyarakat lokal yang rendah, modal usaha yang belum tersedia, kurangnya
kebijakan pemerintah terhadap pengembangan UKM, serta strategi pemasaran terhadap jenis
usaha belum tersedia. Peran pemerintah terhadap industri kecil dan mikro adalah bagaimana
menumbuhkan iklim usaha dengan menerapkan peraturan perundangan dan kebijakan yang
meliputi aspek pendanaan, sarana prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha,
kesempatan berusaha, promosi dagang, serta dukungan kelembagaan.
Kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Provinsi Jawa Tengah cukup tinggi,
terlihat dari besarnya gap antara kabupaten dan kota dengan PDRB perkapita tertinggi dan
PDRB perkapita terendah (Tabel 6). Kesenjangan yang ditimbulkan juga relatif besar
antarwilayah yang memiliki sumber daya alam melimpah, yang didukung oleh pengolahan
industri dari hulu ke hilir. Kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang memiliki pendapatan per
kapita tinggi antara lain Kabupaten Cilacap, Kudus, dan Kota Semarang yang menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi karena dukungan kawasan industri di daerah ini. Keberadaan industri
pengolahan turut meningkatkan pendapatan per kapita bagi masyarakat di daerah ini.
Tabel 6
Perkembangan Nilai PDRB Perkapita ADHB dengan Migas Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2013 (000/jiwa)
Apabila ditelusuri lebih lanjut berdasarkan analisis sektor basis, pertanian, ekhutanan,
dan perikanan; industri pengolahan; konstruksi; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil
dan sepeda motor; penyediaan akomodasi dan makan minum merupakan sektor-sektor
tradable (dapat diperdagangkan antardaerah), dengan nilai location quotient lebih besar dari
satu (LQ>1). Hal ini menunjukkan Provinsi Jawa Tengah memiliki proportional share lebih
besar dari rata-rata daerah lain untuk sektor-sektor tersebut (Tabel 8). Sebaliknya, kelompok
sektor yang memiliki nilai LQ kurang dari satu (LQ<1) menunjukkan peluang dan potensi
Provinsi Jawa Tengah untuk mengembangkan kegiatan pertanian dan jasa-jasa tersebut.
Tabel 8
Nilai LQ Sektor Ekonomi Provinsi Jawa Tengah
ditunjukkan dengan relatif bertahannya kinerja pertumbuhan sektor pertanian di masa krisis,
namun ketika situasi ekonomi membaik dan pendapatan masyarakat meningkat permintaan
terhadap komoditas pertanian tidak meningkat dengan proporsi yang sama. Berbeda halnya
dengan permintaan terhadap produk manufaktur, yang sangat elastis terhadap peningkatan
pendapatan. Kedua, sektor industri pengolahan non migas sangat potensial dalam menciptakan
nilai tambah, mendorong perkembangan sektor-sektor lain (multiplier effect), dan menciptakan
lapangan kerja. Keberadaan operasi pertambangan konsentrat tembaga diharapkan bukan
untuk keperluan ekspor saja namun bisa dilakukan pengolahan lebih lanjut di daerah tersebut.
Selama periode 2011-2015, sektor perekonomian yang menyerap tenaga kerja secara
signifikan adalah sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, dan
jasa jasa. Sementara jumlah orang bekerja pada sektor angkutan dan telekomunikasi menurun
(Tabel 9). Sektor industri pengolahan menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan sektor
lainnya. Ke depan, sektor industri pengolahan masih perlu berkembang lagi sehingga mampu
menyerap angkatan kerja baru dan menyerap tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian,
bangunan, perdagangan, jasa-jasa yang kurang produktif.
Tabel 9
Perubahan Jumlah Orang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan 2011-2015
Tabel 10
PDRB Menurut Penggunaan 2014
Tabel 11
Kerapatan Jalan dan PDRB Per Kapita Provinsi Tahun 2014
Berdasarkan asumsi terdapat korelasi antara tingkat kerapatan jalan dan tingkat
pendapatan perkapita dalam suatu perekonomian, dengan menggunakan data 33 provinsi
terlihat hubungan positif antara PDRB per kapita dan tingkat kerapatan jalan (Gambar 23).
Semakin tinggi pendapatan per kapita wilayah kerapatan jalannya cenderung tinggi pula.
Provinsi-provinsi yang posisinya di bawah kurva linier tersebut berarti mengalami defisiensi
infrastruktur jalan. Dengan menggunakan ukuran ini terlihat bahwa posisi Jawa Tengah relatif
baik dibandingkan provinsi lain di Indonesia karena Jawa Tengah tidak mengalami defisiensi
infrastruktur jalan. Ketersediaan jaringan jalan bukan menjadi permasalahan utama bagi Jawa
Tengah, namun ke depannya pembangunan infrastruktur perlu ditingkatkan lagi.
Gambar 23
Hubungan antara Kerapatan Jalan dan PDRB Per Kapita Tahun 2014
3,50
3,00
Log Kerapatan Jalan
2,50
y = 0,2139x - 0,008
2,00 R = 0,0149
Jawa Tengah
1,50
1,00
0,50
0,00
6,50 7,00 7,50 8,00 8,50
Log PDRB per kapita
Sumber: BPS (2014) diolah
Secara kualitas, kondisi fisik jalan di Provinsi Jawa Tengah cukup baik karerna 85 persen
permukaan jalan sudah beraspal. Jenis permukaan jalan akan sangat mempengaruhi kinerja
sektor angkutan. Perbaikan dan pelebaran jalan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut
dapat dilihat dari bertambahnya panjang jalan yang beraspal serta berkurangnya jalan tanah
dan kerikil. Pada tahun 2013 terdapat 27.038,56 km jalan beraspal, kemudian di tahun 2014
bertambah menjadi 47.480,02 km. Bertambahnya panjang jalan yang signifikan pada tahun
2014 disebabkan telah dibukanya beberapa ruas tol baru.
Infrastruktur lain yang mendorong produktivitas daerah adalah jaringan listrik.
Konsumsi listrik di Jawa Tengah besarnya 585,60 kWh, lebih rendah dari tingkat konsumsi
listrik nasional sebesar 787,6 kWh (Gambar 24). Untuk mengukur defisiensi terhadap
infrastruktur kelistrikan digunakan cara yang sama, yaitu dengan melihat korelasi antara
pendapatan perkapita dan konsumsi listrik perkapita terlihat hubungan yang positif antara PDB
per kapita dengan tingkat konsumsi listrik (Gambar 25). Wilayah yang memiliki posisi di bawah
kurva linier mengalami defisiensi infrastruktur listrik. Semakin tinggi pendapatan perkapita
suatu perekonomian, konsumsi listriknya cenderung semakin tinggi pula. Posisi Jawa Tengah
berada di atas kurva linier, menunjukkan Jawa Tengah tidak mengalami defisiensi infrastruktur
listrik. Data energi listrik selama tahun 2014 menunjukkan peningkatan baik jumlah pelanggan,
daya tersambung, maupun energi yang terjual. Hal ini sebagai respon dari kebutuhan energi
listrik yang semakin meningkat, baik pelanggan rumah tangga, pabrik, ataupun usaha lainnya.
Ketersediaan energi listrik yang memadai dan berkesinambungan menjadi hal yang penting
untuk menggerakkan roda perekonomian terutama sektor industri
Gambar 24
Konsumsi Listrik per Kapita (KWh) Tahun 2014
3.000
2.500
2.000
1.500
1.000 585,60 787,60
500
0
Kalimantan Timur dan
Jawa Barat
Riau
Aceh
Jambi
Papua
DKI Jakarta Tangerang
Jawa Tengah
Bengkulu
Banten
Papua Barat
Sumatera Barat
Kepulauan Riau
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Sumatera Selatan
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Sumatera Utara
Lampung
Kep Bangka Belitung
Kalimantan Selatan
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
BALI
Kalimantan Tengah
D.I Yogyakarta
Sulawesi Tenggara
Jawa Timur
Gambar 25
Hubungan Konsumsi Listrik dan Pendapatan Tahun 2014
4,00
3,50
y = 0,648x - 2,1557
3,00 R = 0,3755
Jawa Tengah
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
6,80 7,00 7,20 7,40 7,60 7,80 8,00 8,20
Gambar 26
Nilai IPM Provinsi di Indonesia Tahun 2010 dan 2014
90
80
68,9
70
60
50
40
30
20
10
0
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Riau
Maluku
Lampung
D.I Yogyakarta
Gorontalo
Sumatera Selatan
Bengkulu
Aceh
Banten
Jambi
DKI Jakarta
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Papua Barat
Jawa Timur
Jawa Barat
Sulawesi Tenggara
Sumatera Barat
Papua
Sumatera Utara
Kepulauan Riau
Kalimantan Selatan
Kep Bangka Belitung
Sulawesi Barat
Maluku Utara
Jawa Tengah
BALI
Sulawesi Utara
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
Kalimantan Utara
Nilai IPM ini sudah menerapkan metode baru yang lebih merepresentasikan kondisi saat
ini. IPM Jawa Tengah pada tahu 2010 dan 2014 termasuk kategori IPM sedang, yaitu antara 66
70. Pengukuran keberhasilan pembangunan bukan hanya ditandai oleh tingginya pertumbuhan
ekonomi tetapi juga mencakup kualitas manusianya. Konsep pengukuran keberhasilan
pembangunan harus berorientasi pada manusia dan masyarakat, yaitu bagaimana pertumbuhan
ekonomi mampu dirasakan seluruh lapisan masyarakat dan meningkatkan kualitas manusia.
Apabila dilihat dari struktur angkatan kerja berdasarkan pendidikan tertinggi yang
ditamatkan, proporsi angkatan kerja di Jawa Tengah dengan ijasah minimal SMA meningkat
dari 25,71 persen pada tahun 2012 menjadi 27,51 persen pada tahun 2015 (Tabel 12).
Perbaikan kualitas angkatan kerja merupakan modal berharga untuk mendukung industrialiasi
berbasis sumberdaya alam setempat. Kualitas angkatan kerja di Jawa Tengah tergolong baik
apabila didasarkan pada tingkat pendidikan yang ditamatkan
Tabel 12
Angkatan Kerja Menurut Pendidikan yang Ditamatkan
Pendidikan yang
No. 2012 2015 Perubahan
Ditamatkan
1 SD 9.511.184 9.767.722 256.538
2 SMP 3.210.125 3.491.748 281.623
3 SMA (Umum dan Kejuruan) 3.142.793 3.650.933 508.140
5 Diploma I/II/III/Akademi 425.019 366.406 -58.613
6 Universitas 833.776 1.015.833 182.057
Total 17.122.897 18.292.642 1.169.745
Sumber: BPS, 2015
Tabel 13
Rasio Simpanan dan Pinjaman di Bank Umum dan BPR Tahun 2014
Rasio Rasio
Posisi Pinjaman di Posisi Simpanan di
Pinjaman PMTB
Wilayah Bank Umum dan bank Umum dan
terhadap terhadap
BPR (Milyar Rp) BPR (Milyar Rp)
Simpanan Simpanan
Jawa Tengah 245.084,80 201.434,39 1,22 1,36
Nasional 3.707.916,34 4.013.816,57 0,92 0,85
Sumber: Bank Indonesia, 2014
Dalam jangka panjang terbatasnya sumber dana pinjaman ini akan berisiko
meningkatkan harga modal (cost of fund) di daerah. Dengan kondisi tingginya permintaan
kredit, bank-bank umum mungkin menerapkan tingkat bunga kredit yang sama antardaerah,
namun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan lembaga-lembaga keuangan non bank lainnya tentu
akan meningkatkan imbal hasil (bunga) pinjaman. Kenaikan bunga pinjaman akan
memberatkan bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah. Tantangan yang harus dihadapi
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah mengembangkan kerjasama dengan perbankan
dalam penjaminan kredit dan mobilisasi tabungan masyarakat.
Rasio PMTB terhadap simpanan di Jawa Tengah nilainya lebih dari satu, menunjukkan
investasi fisik di daerah mulai banyak dikembangkan. Percepatan pembangunan di Jawa Tengah
didukung oleh banyaknya infrastruktur fisik dibangun pemerintah maupun sektor swasta.
PMTB biasa disebut investasi fisik karena dihitung dari penanaman modal yang benar-benar
menghasilkan nilai tambah dan bukan dihitung dari realisasi penanaman modal yang tercatat
pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Banten
Aceh
Sulawesi Barat
Sumatera Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Lampung
Kepulauan Riau
Maluku
Jambi
Jawa Barat
Bali
Maluku Utara
Papua
Kalimantan Tengah
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Sulawesi Tenggara
DKI Jakarta
Jawa Timur
Papua Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Kalimantan Timur
Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Belanja Pegawai Belanja Lain-lain
kabupaten/kota dan provinsi di Jawa Tengah. Rasio belanja modal di Jawa Tengah pada tahun
2014 sebesar 10,30 persen, dan rasio belanja pegawai sebesar 16,23 (Gambar 27). Penyerapan
belanja daerah dipengaruhi oleh kinerja SKPD sehingga peningkatan kinerja SKPD diharapkan
dapat optimal. Apabila anggaran pada belanja publik lebih diorientasikan pada belanja modal
akan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Belanja modal di Jawa Tengah tergolong rendah
seiring dengan pembangunan proyek infrastruktur, proyek pengadaan bergbagai macam sektor,
jamkesmas, PNPM, dan program sosial lainnya. Efektivitas dari belanja pembangunan tersebut
perlu lebih ditingkatkan, sehingga dapat berdampak nyata terhadap kebutuhan pembangunan
di wilayah Jawa Tengah.
4. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Penanganan isu-isu di atas diperkirakan dapat meningkatkan kinerja perekonomian
daerah secara keseluruhan. Salah satu agenda prioritas pembangunan adalah mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Oleh karena
itu disarankan beberapa kebijakan operasional sebagai berikut:
a. Pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi khususnya dalam hal akses
permodalan dan penguasaan teknologi tepat guna;
b. Pengendalian konversi lahan pertanian;
c. Pemberdayaan petani dan nelayan khususnya dalam hal perbaikan akses faktor
produksi (pupuk, benih, pestisida) termasuk peningkatan jaringan irigasi, penyuluhan
dan promosi brand/citra komoditas unggulan daerah;
d. Peningkatan jumlah produk industri pengolahan berkualitas ekspor;
e. Peningkatan kemudahan perijinan usaha;
f. Perbaikan kualitas jaringan jalan;
g. Peningkatan akses pendidikan khususnya pendidikan menengah (umum dan kejuruan)
dan kesehatan;
h. Peningkatan porsi belanja modal APBD yang diprioritaskan pada sektor infrastruktur
yang menjadi kewenangan daerah;
i. Peningkatan koordinasi antara pemerintah daerah dan otoritas moneter di tingkat
wilayah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif: peningkatan fungsi intermediasi
perbankan di daerah, penjaminan kredit dan pengendalian inflasi daerah.
kesenjangan yang rendah akan menciptakan suasana yang kondusif bagi upaya penurunan
kemiskinan, peningkatan kerukunan sosial, dan penciptaan stabilitas politik dan kemanan.
Berdasarkan modal pembangunan yang dimiliki dan semakin meningkatnya kinerja
pembangunan, prospek pembangunan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016 dalam mendukung
pencapaian target RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut:
1. Sasaran pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 5,7 7,7
persen dimungkinkan dapat tercapai sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang
semakin membaik di tahun 2015 karena membaiknya kinerja ekspor seiring potensi
berlanjutnya pemulihan ekonomi Amerika dan Jepang. Investasi di Jawa Tengah
berpotensi semakin membaik karena ditopang realisasi proyek infrastruktur yang
berskala besar. Strategi pengembangan pariwisata nasional melalui pengembangan
Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) salah satunya adalah DPN Borobudur di Jawa
Tengah, yang diharapkan akan meningkatkan jumlah kunjung an wisatawan dan
berkontribusi tinggi terhadap perekonomian wilayah.
2. Upaya menurunkan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah harus dilakukan dengan optimal
agar sesuai dengan Buku III RPJMN 2015-2019. Sasaran pengurangan tingkat
kemiskinan dalam Buku III RPJMN 2015-2019 adalah 13,1 9,5 persen, sedangkan pada
tahun 2014 tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 14,46 persen, untuk itu
diperlukan upaya konsisten untuk menurunkan tingkat kemiskinan di provinsi ini.
Selama kurun waktu 2015-2019 Provinsi Jawa Tengah harus menurunkan persentase
penduduk miskin sebesar 4,96 poin persentase atau 0,99 poin persentase per tahun.
3. Prospek pencapaian sasaran-sarasan utama pembangunan Provinsi Jawa Tengah akan
sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan baik internal daerah Jawa Tengah
maupun lingkungan eksternal. Dampak pelambatan arus perdagangan global
merupakan ancaman eksternal yang bisa mengganggu kinerja perekonomian daerah.