Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang


Kata epilepsi berasal dari kata Yunani yang berarti Epilepsia yang harus
diambil, disita atau diserang. Salah serorang ilmuwan dari Yunani Hippokrates
(460-377 SM) menyatakan bahwa penyebab dari epilepsi berasal dari otak. 1
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
(seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.2
Status epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas
epilepsi tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis
fisiologis dan memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai
patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi. Berdasarkan observasi pada pasien yang
menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG) selama episode
kejang, komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang
berlangsung lebih dari lima menit.3,4
Status epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui
meningkat akhir-akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan
dengan mortalitas yang tinggi pada 152.000 kasus di Amerika yang terjadi tiap
tahunnya menghasilkan kematian. Begitu pula dalam praktek sehari-hari, Status
epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani
untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.5
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi:
status petitmal, status psikomotor, dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus
tidak bisa diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang
permanen. Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi
secepat mungkin. Rata-rata 15 % penderita meninggal, walaupun pengobatan
dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang

1
setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi
penderita epilepsi.5
Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, status epileptikus tidak
hanya penting untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit
dasar merupakan bagian utama pada penatalaksanaan Status epileptikus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang
lalu, status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau
aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang
tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus.1
Status epileptikus adalah keadaan epileptik yang berlangsung cukup lama
atau timbul berulang dengan interval cukup pendek sehingga merupakan keadaan
yang tetap. (Dictionary of Epilepsy-WHO-1973).6
Suatu serangan kejang yang berlangsung 30 menit atau lebih atau suatu
rangkaian serangan kejang yang begitu seringnya sehingga merupakan keadaan
tetap yang berlangsung 30 menit tanpa pulihnya kesadaran.6

2.2 Fisiologi Impuls Saraf

Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial


membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.
Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran
ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran
ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K + dan
Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan
mengakibatkan menurunnya potensial membran. (Guyton, Arthur 1987).
Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas
membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak
masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membran
masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga

3
selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian
sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat
perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka
permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran pula,
sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan
dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia
yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai, maka
permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+ akan
kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K
yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan
disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan
dari ujung akson terminal dan juga direabsorbsi untuk daur ulang.
Neurotransmiter merupakan cara komunikasi amntar neuron. Setiap neuron
melepaskan satu transmitter. Zat zat kimia ini menyebabkan
perubahanpermeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang dapat
menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga puluh macam
neurotransmitter, diantaranya adalah Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin,
Serotonin, Asam Gama-Aminobutirat (GABA) dan Glisin. (Price,Sylvia 1995)
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls du
sepanjang neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan
kalium bervariasi dan dipengaruhi oleh perobahan kimia serta listrik dalam neuron
tersebut ( terutama neurotransmitter dan stimulus organ receptor ). (Guyton,
Arthur 1987).

4
Gambar 1. 8 Langkah sintesis gamma aminobutyric (GABA)
Tempat tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan dengan
neuron lain atau dengan organ organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan
satu satunya tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari suatu neuron ke
neuron lainnya atau efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron berikutnya
( atau organ efektor ) dikenal dengan nama celah sinaptik (synaptic cleft). Neuron
yang menghantarkan impuls saraf menuju ke sinaps disebut neuron
prasinaptik.Neuron yang membawa impuls dari sinaps disebut neuron
postsinaptik.

Gambar 2. Struktur neuron motorik (Lita F,2006)

5
Dalam keadaan istirahat , permeabillitas membran sel menciptakan kadar
kalium intrasel yang tinggi dan kadar natrium intra sel yang rendah, bahkan pada
pada kadar natrium extrasel yang tinggi. Impuls listrik timbul oleh pemisahan
muatan akibat perbedaan kadar ion intrasel dan extrasel yang dibatasi membran
sel. Potensial aksi yang terjadi atau impuls pada saat terjadi depolarisasi dialirkan
ke ujung saraf dan mencapai ujung akson ( akson terminal ). Saat potensial aksi
mencapai akson terminal akan dikeluarkanlah neurotransmitter, yang melintasi
synaps dan dapat saja merangsang saraf berikutnya. (Guyton, Arthur 1987).

Timbulnya kontraksi otot

Timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial aksi dalam serabut
serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke
bagian dalam serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion ion kalsium dari
retikulum sarkoplasma. Selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa
peristiwa kimia proses kontraksi. (Guyton, Arthur 1987).

Perangsangan serabut otot rangka oleh saraf

Dalam fungsi tubuh normal, serabut serabut otot rangka dirangsang oleh
serabut serabut saraf besar bermielin. Serabut serabut saraf ini melekat pada
serabut serabut otot rangka dalam hubungan saraf otot ( neuromuscular junction)
yang terletak di pertengahan otot. Ketika potensial aksi sampai pada
neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf , menyebabkan
dilepaskan Acethylcholin, kemudian akan terikat pada motor end plate membrane,
menyebabkan terjadinya pelepasan ion kalsium yang menyebabkan terjadinya
ikatan Actin Myosin yang akhirnya menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena
itu potensial aksi menyebar dari tengah serabut ke arah kedua ujungnya, sehingga
kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh sarkomer otot. (Guyton, Arthur
1987).

6
2.3. Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan
angka kejadian kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-
klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga
kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang
mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa
epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status
epileptikus kira-kira 10 persen.7
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status
epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua status
epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler,
disfungsi jantung, dementia. Pada negara miskin, epilepsi merupakan kejadian
yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.7

2.4. Etiologi
Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Secara klinis dan
berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama
terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,
peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30
menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang
dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf
irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah
pada terjadinya hipertermia, perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan
syaraf yang irreversibel.6
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap
keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang
pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.

7
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus,
tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari
korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus.7
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu
kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor
GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor
glutamat dengan masuknya ion natrium dan kalium dan kerusakan sel yang
diperantarai kalsium.

A. Etiologi status epileptikus5


Alkohol
Anoksia

Antikonvulsan-withdrawal

Penyakit cerebrovaskular

Epilepsi kronik

Infeksi SSP

Toksisitas obat-obatan

Metabolik

Trauma

tumor

2.5. Faktor risiko dan Klasifikasi6,7


Faktor risiko dan klasifikasi status epileptikus adalah satu pertiga kasus
terjadi pada epilepsi berulang, satu pertiga pada kasus epilepsi yang tidak teratur
meminum obat antikonvulsan, pada usia kebanyakan tipe sekunder karena adanya
demensia, penyakit serebrovaskular, dan disfungsi jantung.

8
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat,
karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada
umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan,
area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak
(Generalized onset), kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis
yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status
epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status
epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status
epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau
subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks,
absens).

1. Overt generalized convulsive status epilepticus


Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a. Tonik
b. Klonik
c. Tonik klonik
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus, diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik
3. Simple / partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. simple motor status epilepticus
b. sensory status epilepticus
c. aphasic status epilepticus
4. nonconvulsive status epilepticus (consciousness impaired)
a. petitmal status epilepticus
b. complex partial status epilepticus

2.6. Gambaran klinik6,7


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain
dapat juga terjadi.

9
Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari status epileptikus yang paling sering dihadapi
dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-
klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik
umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang
tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan
peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.
Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.
Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.

Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status


Epileptikus)

10
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati
kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya
pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi
pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.

Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu
periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang
absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz

11
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap
status epileptikus benzodiazepin intravena didapati.

Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai
perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi,
tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike
wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu
sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh.
Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu.

12
Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized
epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana
sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak.
Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang
intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian
march.

Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-
konvulsif pada beberapa kasus.

2.7. Diagnosa dan pemeriksaan penunjang1,6,7


Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 10 menit. Hal yang
pertama kita lakukan adalah:
Anamnesis
riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat
kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat
kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat
persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang diderita.

Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat

13
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu
parestesia, hipestesia, anestesia.

Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan
kultur darah
b. Imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak
c. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin
jika pasien mengalami gangguan mental
d. Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau
perdarahan subarachnoid.

2.8. Penatalaksanaan5
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan
penanganan segera. Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU).
Protokol pen atalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil
berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama
dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium),
Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).

Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric


acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat. Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570
pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat
kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat
terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase


1. Lorazepam 0,1 65 %
2. Phenobarbitone 15 59 %
3. Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %

14
4. Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan


dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam
sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25
menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari
konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan
menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg
dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis
selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi
(28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol,
Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum
suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi :
tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan
untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan
terbentuknya mikrokristal.

A. Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus, (EFA, 1993)5,6,7


Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila
perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

15
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen,
kadar glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar
antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan
Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
wernickes encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8
mg) intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2
mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin
(Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit,
dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang
berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular
dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT
jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jika kejang tetap berlangsung


1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan
kecepatan 100 mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung


Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian
bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus
Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai
6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan
darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75
sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis
pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

16
2.9. Komplikasi
1. Hipoksia dan edema serebral
2. Asidosis laktat
3. Hipoglikemia
4. Hipertensi syok
5. Hiperpireksia

17
2.10. Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang
mendasari status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan
antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka prognosis tergantung
dari meningitis tersebut.7

BAB III

18
KESIMPULAN

Status epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi


tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan
memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi
dan dasar etiologi.
Status epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus
ditangani segera dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada
sistem homeostasis tubuh, kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan
kematian. Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang
berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari status tersebut.
Umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari status
epileptikus, dan lamanya dari onset sampai penanganan merupakan faktor
prognostik penting.
Dengan ditetapkannya atau lebih dipahaminya dasar dari patofisologi
penyakit ini dan adanya konsensus mengenai penatalaksanaan status epileptikus,
maka diharapkan prognosa pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih
baik.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Mardjono, M. dan Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat. Hal:439-449.
2. Dr. Harsono, DSS. 2009. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. Edisi II Hal: 132.
3. James, W.Y. dan Claude, G.W. 2006. Status Epilepticus: Pathophysiology
and Management in Adults in Lancet Neurology. Department of
Neurology and Brain Research Institute, Geffen School of Medicine at
UCLA and VA Greater Los Angeles Health Care System, Los Angeles,
USA. Vol 5: 246
4. Price, Sylvia A, Lorraine M.Wilson, et al. Gangguan Kejang. Patofisiologi.
Hurawati Hartanto, Natalia Susi, Pita Wulansari, dan Dewi Asih
Mahanani. Jakarta: EGC.2003. 1161-1164.
5. Schachter, Steven C. Protocol for Treatment of Status Epilepticus.
Available from:
http://professionals.epilepsy.com/page/table_acutely_treatse.html.
[Accessed 14 September 2017].
6. Status Epileptikus. Available at: http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=06121
4-gtfy209.htm. Accessed , 14 September 2017.
7. Status Epileptikus. Available at:
http://www.scribd.com/doc/31403191/Makalah-EMS-Status-Epiletikus-
Dan-SJS. accessed on 24 september 2017

20

Anda mungkin juga menyukai