Anda di halaman 1dari 8

Cara Pencapaian

Untuk mencapai kawah G. Slamet, pendakiannya dilakukan dari arah timur, yakni dari
Bambangan. Pada tahun 1853, Junghuhn mendaki puncak G. Slamet melalui kampung Priatin,
sebelah timur Kutabawa. Dalam 1923 Taverne mendaki puncaknya juga dari arah timur.
Matahelumual (1961) dan Siswowidjojo (1970) mendaki puncaknya dari kampung Bambangan.
Dalam tahun 1973 pendakian dari sini sampai puncaknya memerlukan waktu lk. 7 jam,
kembalinya hanya dalam waktu 3 jam. Sampai ketinggian 1400 m dimana - mana masih terdapat
kebun rakyat, dan setelah itu sampai ketinggian 1700 m yang ada hanya hutan pinus. Selanjutnya
melalui hutan lebat dengan kayu - kayuan yang besar sampai ketinggian 2600 m, disini sebagian
jalan setapak harus dirintis karena tertutup semak belukar. Sampai ketinggian lk. 3220 m masih
terdapat berbagai tumbuhan kekayuan, diantaranya kayu tanganan dan wanarasa, dan makin ke
atas lagi di puncaknya gundul, yang ada hanya batuan lepas (Hamidi, 1973).

Sistem Pemantauan

Kegiatan G. Slamet, baik secara visual maupun kegempaan, dipantau secara terus-menerus dari Pos
Pengamatan G. Slamet di Desa Gambuhan, Kabupaten Pemalang. Kegiatan kegempaan G. Slamet, dipantau
dengan menggunakan seismograf (model MEQ-800) satu komponen, yang dioperasikan secara sistem radio
telemetri (RTS).

Sejarah Letusan

Tabel sejarah letusan G. Slamet, Jawa Tengah

Tahun Peristiwa

1772 11-12 Agustus, terjadi letusan abu dan lava


1825 Oktober, terjadi letusan abu
1835 September (2 hari), terjadi letusan abu
1847 Peningkatan kegiatan
1849 1 Desember, terjadi letusan abu
1860 19 Maret dan 11 April, terjadi letusan abu
1875 Mei, Juni, November dan Desember, terjadi letusan abu
1885 21- 30 Maret, terjadi letusan abu
1890 Terjadi letusan abu
1904 14 Juli - 9 Agustus, terjadi letusan abu dan lava
1923 Juni, terjadi letusan abu dan lava
1926 November (selama seminggu), terjadi letusan abu dan lava
1927 27 Februari, terjadi letusan abu dan lava
1928 20 - 29 Maret dan 8 - 12 Mei, terjadi letusan abu dan lava
1929 6, 7 dan 15 Juni, terjadi letusan abu dan lava
1930 2 - 13 April, terjadi letusan abu dan lava
1932 1 Juli dan 12 September, terjadi letusan abu dan lava
1934 Peningkatan kegiatan
1939 20 Maret, akhir April, 6 Mei, 15 Juli dan 4 Desember, terjadi
letusan abu
1940 15 - 20 Maret dan 15 April, terjadi letusan abu
1943 18 Maret, 1 - 10 Oktober, terjadi peningkatan kegiatan, hujan
abu dan suara dentuman
1944 5 Januari, 30 Juni, Juli dan 28 - 30 Oktober, terjadi
peningkatan kegiatan
1948 14 November, terjadi peningkatan kegiatan
1949 Terjadi peningkatan kegiatan
1951 11 Februari, 26 Juni, 2 Juli, 24 Agustus, Oktober dan 30
Desember, terjadi peningkatan kegiatan
1952 1 Januari, terjadi peningkatan kegiatan
1953 Juli, Agustus dan Oktober, terjadi letusan abu dan lava
1955 12 - 13 November, 6 dan 16 Desember, terjadi letusan abu dan
lava
1957 8 Februari, terjadi letusan abu
1958 17 April, 4 dan 6 Mei, 5 dan 13 September, Oktober, terjadi
letusan abu dan lava
1960 Desember, terjadi letusan abu
1961 Januari, terjadi letusan abu
1966 Terjadi letusan abu
1969 Juni, Juli dan Agustus, terjadi letusan abu
1973 Agustus, terjadi semburan lava di kawah
1988 12 - 13 Juli, terjadi letusan abu dan lava
1989 9 - akhir Oktober, terjadi peningkatan kegempaan
1990 20 Februari - 29 Maret, terjadi peningkatan kegempaan
1991 28 Juni - 9 Juli, terjadi peningkatan kegempaan
1992 12 Maret - 4 April, terjadi peningkatan kegempaan

Karakter Letusan

Berdasarkan catatan sejarah letusan, pada umumnya letusan G. Slamet adalah letusan abu
disertai lontaran sekoria dan batu pijar, kadang-kadang mengeluarkan lava pijar. Letusannya
berlangsung beberapa hari, pada keadaan luar biasa mencapai beberapa minggu.

Bila terjadi letusan besar, seperti letusan G. Agung (1962), G. Galunggung (1982) atau G. Colo
(1983), maka bahaya utama letusan G. Slamet atau bahaya primer (bahaya langsung akibat
letusan) adalah luncuran awan panas, lontaran piroklastik (bom vulkanik, lapili, pasir dan abu)
dan mungkin aliran lava. Sedangkan bahaya sekunder (bahaya tidak langsung dari letusan)
adalah lahar hujan yang terjadi setelah letusan apabila turun hujan lebat di sekitar puncak.

Jauhnya sebaran jatuhan piroklastik, tergantung pada ketinggian lontaran dan kencangnya angin
yang bertiup pada saat terjadi letusan, terutama penyebaran hujan abu dan pasir.

Perioda Letusan

Letusan G. Slamet berulang-ulang dalam tempo, berlangsung paling lama sampai beberapa
minggu (kurang dari satu bulan). Periode istirahat terpendek antara dua letusan lk. 1 tahun dan
terpanjang 53 tahun. Untuk periode istirahat lk. 1 tahun mungkin masih satu fase letusan atau
kegiatan lanjutan.

Karakter Letusan

Berdasarkan catatan sejarah letusan, pada umumnya letusan G. Slamet adalah letusan abu
disertai lontaran sekoria dan batu pijar, kadang-kadang mengeluarkan lava pijar. Letusannya
berlangsung beberapa hari, pada keadaan luar biasa mencapai beberapa minggu.

Bila terjadi letusan besar, seperti letusan G. Agung (1962), G. Galunggung (1982) atau G. Colo
(1983), maka bahaya utama letusan G. Slamet atau bahaya primer (bahaya langsung akibat
letusan) adalah luncuran awan panas, lontaran piroklastik (bom vulkanik, lapili, pasir dan abu)
dan mungkin aliran lava. Sedangkan bahaya sekunder (bahaya tidak langsung dari letusan)
adalah lahar hujan yang terjadi setelah letusan apabila turun hujan lebat di sekitar puncak.

Jauhnya sebaran jatuhan piroklastik, tergantung pada ketinggian lontaran dan kencangnya angin
yang bertiup pada saat terjadi letusan, terutama penyebaran hujan abu dan pasir.

Perioda Letusan

Letusan G. Slamet berulang-ulang dalam tempo, berlangsung paling lama sampai beberapa
minggu (kurang dari satu bulan). Periode istirahat terpendek antara dua letusan lk. 1 tahun dan
terpanjang 53 tahun. Untuk periode istirahat lk. 1 tahun mungkin masih satu fase letusan atau
kegiatan lanjutan.

GEOFISIKA

Seismik

Kegempaan di G. Slamet dipantau dengan menggunakan seismograf (model MEQ-800) satu


komponen, yang dioperasikan secara sistem radio telemetri (RTS). Sejak 17 Mei 1993,
seismometer (sensor gempa), ditempatkan di sekitar G. Cilik (1600 m) di lereng utara G. Slamet,
sedangkan rekordernya (perekam gempa) dipasang di Pos PGA G. Slamet. Sebelumnya
seismometer ditempatkan di lereng utara G. Slamet pada ketinggian lk. 3000 m.
Jenis gempa yang terekam di G. Slamet terdiri dari gempa vulkanik A, vulkanik B, Tektonik dan
gempa hembusan. Gempa hembusan merupakan gempa yang mendominasi rekaman seismograf
di G. Slamet.

Geomagnet

Harga medan magnit regional untuk daerah G. Slamet dan sekitarnya, yang merupakan bagian dari
peta magnit dunia adalah sebesar 45.000 nT (nano Telsa). Adanya penyimpangan-penyimpangan
(anomali) yang terjadi, sangat berhubungan erat dengan kondisi geologi setempat.

Penyelidikan magnit di G. Slamet menggunakan dua buah magnetometer proton dari jenis
SCINTREX tipe MP-3 dengan ketelitian 0,1 nT yang masing-masing dilengkapi dengan sebuah
sensor magnit. Pengambilan data dilakukan secara random. Interpretasi penyelidikan dilakukan
secara kualitatif, yang berdasarkan pada pola penyebaran anomalinya dan pembuatan model 2
dimensi dari lintasan yang ada dalam peta Isomagnetik.

Berdasarkan pola penyebaran anomali magnetik, maka daerah G. Slamet dan sekitarnya dibagi
menjadi 3 zona anomali. Anomali tinggi (diatas 45.000 nT), menempati daerah ujung timur,

utara dan selatan. Anomali sedang ( 44.000 - 45.000 nT) berada di daerah barat, tengah
melingkar G. Slamet, sebagian baratlaut, timur dengan membentuk kelurusan relatif utara -

selatan. Sedangkan anomali rendah ( 42.000 - 44.000 nT) terdapat di daerah sekitar tubuh
dan puncak G. Slamet sekarang.

Gaya Berat

Pola anomali Bourguer di G. Slamet dan sekitarnya, secara umum memiliki kecenderungan arah
baratlaut - tenggara. Harga anomali besar terlihat di bagian baratdaya dan mengecil ke arah
timurlaut. Pola anomali sisa orde 2 juga memperlihatkan kecenderungan arah baratlaut -
tenggara, namun memiliki anomali yang lebih menonjol di bagian timurlaut.

G. Slamet sendiri masuk dalam daerah anomali rendah, namun belum bisa melihat pola anomali
di sekitar puncak, karena belum ada data gaya berat untuk bagian puncak. Pendugaan keberadaan
struktur geologi di G. Slamet dan sekiarnya berdasarkan data gaya berat tersebut, secara umum
berarah baratlaut - tenggara.

GEOKIMIA

Jenis Batuan

Berdasarkan analisa kimia sample pasir dan batuan lava !988 G. Slamet, diperoleh unsur-unsur
kimia sebagai berikut :

Unsur Pasir (%) Lava (%)


SiO2 51,84 52,55
Al2O3 19,12 18,69
Fe2O3 3,32 3,82
FeO 6,83 6,12
CaO 7,98 8,26
MgO 4,66 4,26
Na2O 2,73 2,83
K2O 0,87 0,98
TiO2 1,12 1,18
MnO 0,20 0,18
SO3 0,12 0,06
P2O5 0,07 0,02
H2O- 0,25 0,49
HD 0,97 0,87

Dengan menggunakan metode Whitford (1975), M.J. Le Bas (1985), metoda indek mafik
(Thornton & Tuttle, 1960) dan kandungan kimianya, diinterpretasikan bahwa :
1. Jenis lavanya andesit basaltis
2. Temperatur magma berkisar antara 1140 - 1150 C
3. Kedalaman magma sekitar 153 km di bawah permukaan bumi

Analisa Gas

Cuplikan gas vulkanik dan kondensat diambil di dinding kawah IV, yaitu pada titik tradisi 1 dan
2. Kedua lokasi tersebut berjarak kl. 1000 m dengan temperatur 263C - 270C. Lokasi 1
merupakan titik tradisi di G. Slamet dengan lokasi yang dianggap representif dan dapat
dijangkau. Pengambilan cuplikan gas dilakukan dengan metoda "Giggenbach". Sedangkan lokasi
pengukuran suhu dilakukan di Segoro wedi, Kawah I, II, III dan kawah IV, dilakukan dengan
thermocouple digital yang dilengkapi elektroda sepanjang 1 meter.

Pengukuran kecepatan emisi gas SO2 dilakukan di Gunung Guci, sebelah baratlaut puncak G.
Slamet dengan jarak 4,7 km dari puncak. Dipilih lokasi tersebut karena sumber asap solfatara
berada di sebelah barat puncak.
Hasil analisa gas terhadap unsur utama yang dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta :

Mei 1996 Mei 1996


Unsur Lokasi 1 Lokasi 1 Lokasi 2

(satuan % mol) (satuan % mol) (satuan % mol)

H2 0,06 0,16 0,07


O2 + Ar 0,007 0,01 0,01
N2 0,04 0,13 0,14
CO2 1,41 1,07 1,45
SO2 1,19 1,21 1,23
H2S 0,19 0,39 1,69
HCl 0,47 0,42 0,28
H2O 96,64 96,61 95,14
Temperatur 261,5 C 263 C 270 C

Hasil pengukuran suhu di puncak G. Slamet (Mei 1996) :

Lokasi Temperatur (C)

1. 1. 263
2. 2. 270
3. 3. 90,8
4. 4. 89,6
5. 5. 89,3
6. 6. 88,9
7. 7. 85,4
8. 8. 89,2
9. 9. 61,0
10. 10. 89,2
11. 11. 77,1
12. 12. 86,3

Hasil analisis kimia kondensat puncak G. Slamet (Mei 1996)

Unsur Lokasi 1

(ppm)

Al 0
Fe 0,31
Ca 1,05
Mg 0,57
Na 0,06
K 0,15
Mn 0
SO4 109,89
H2S 137,10
NH3 14,35
Cl - 3.285,71
B 111,68

Hasil pengukuran kecepatan emisi gas SO2


No Tanggal Rata-rata Minimun Maksimum
(ton/hari) (ton/hari) (ton/hari)

1 18 Mei 1996 76 21 97
2 19 Mei 1996 kabut kabut kabut
3 20 Mei 1996 kabut kabut kabut
4 21 Mei 1996 53 25 93
5 22 Mei 1996 34 22 52

BAHAYA GUNUNGAPI

Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi

Untuk menghadapi bahaya letusan G. Slamet jika terjadi letusan besar, maka digunakan Peta
Daerah Bahaya atau Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB). Peta Daerah Bahaya G. Slamet
dibagi menjadi 2 zona, yaitu Daerah Bahaya (Kawasan Rawan Bencana II) dan Daerah Waspada
(Kawasan Rawan Bencana I).

Kawasan Rawan Bencana II (Daerah Bahaya)

Adalah daerah yang letaknya terdekat dengan sumber bahaya, sehingga kemungkinan akan
terlanda oleh bahaya langsung, berupa luncuran awan panas, aliran lava dan lontaran piroklastik
serta lahar hujan. Tanpa memperhitungkan arah tiupan angin pada saat terjadi letusan, daerah
bahaya ini diperkirakan meliputi wilayah dalam radius lk 5 km berpusatkan kawah aktif di
puncak G. Slamet. Kawasan ini diperpanjang pada lembah-lembah sungai yang curam yang
berhulu di daerah puncak/tepi kawah sampai sejauh lk 10-14 km. Sungai-sungai tersebut yaitu :
Kali Gung diperpanjang sampai lk. 14 km, K. Pelus dan K. Ponggawa lk.12 km, k. Sat dan K.
Alurjero lk 10 km. Sungai-sungai lainnya diperpanjang lk 607 km.

Kawasan Rawan Bencana I ( Daerah Waspada)

Adalah kawasan yang letaknya lebih jauh dari sumber bahaya. Daerah ini mungkin akan terlanda
hujan abu, pasir dan lapili. Tanpa memperhitungkan arah tiupan angin pada saat terjadi letusan,
daerah ini meliputi wilayah antara radius 5 dan 8 km dari kawah aktif di puncak G. Slamet.
Daerah ini terutama hanya berdasarkan untuk kemungkinan terlanda lontara piroklastik
(pyroclastic fall). Untuk kemungkinan bahaya lahar, meliputi lembah dan daerah aliran
sepanjang sungai-sungai yang berhulu di daerah puncak.

DAFTAR PUSTAKA

Aswin, D., dkk, Laporan kemajuan II, Pemetaan Geologi Gunungapi Slamet, Jawa Tengah, Arsip Direktorat
Vulkanologi, Bandung, 1984.
Hamidi, S., dkk, Laporan Kegiatan Pemetaan Daerah Bahaya G. Slamet, Jawa Tengah, Arsip Direktorat
Vulkanologi, Bandung, 1989.
Hamidi, S., dkk, Laporan Pengumpulan Data dan Informasi G. Slamet, Jawa Tengah, Arsip Direktorat
Vulkanologi, Bandung, 1998.
Hidayat, Y., dkk, Penyelidikan Gaya Berat G. Slamet, Jawa Tengah, Arsip Direktorat Vulkanologi, Bandung,
1997.
Kusumadinata, K., Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi, Bandung, 1979.
Palgunadi, S., dkk, Penyelidikan Geomagnet G. Slamet, Jawa Tengah, Arsip Direktorat Vulkanologi Bandung
1996.
Rakimin, Penyelidikan Petrologi G. Slamet, Jawa Tengah, rsip Direktorat Vulkanologi Bandung 1990.
Sumarti, S., dkk, Penyelidikan Geokimia dan Emisi Gas SO2 G.Slamet, Jawa Tengah, Arsip Direktorat
Vulkanologi Bandung 1996.
Wahyudin, D., dkk, Evaluasi Kegiatan Vulkanik G.Slamet, Januari-Oktober 1993 ditinjau dari Pengamatan
Visual dan Kegempaan, Arsip Direktorat Vulkanologi Bandung 1993.
Wildan, A., dkk, Relokasi Seismograf PS-2 dan Pemeriksaan Visual Kawah di G.Slamet sehubungan dengan
terjadinya Peningkatan Kegempaan, Arsip Direktorat Vulkanologi, Bandung, 1999.

Anda mungkin juga menyukai