ANTIMIKROBA
OBJECTIVES
1. Memahami dan mengaplikasikan terminology spesifik dari infeksi yang mengancam hidup
2. Mengetahui factor resiko pada perkembangan infeksi
3. Identifikasi sistemik dan manifestasi klinis spesifik dari infeksi yang mengancam hidup
dan memahami diagnosis dari penggunaan tes laboratory klinis
4. Mendeskripsikan perbedaan klinis dan variable epidemiologi untuk menseleksi terapi
antimikroba
5. Menjelaskan terapi mikroba untuk terapi empiris dan untuk infeksi spesifik.
CASE STUDY
Seorang laki-laki 75 tahun datang ke IGD dengan perubahan status mental. Keluarga mengatakan
sejak 2 hari yang lalu pasien batuk produktif. Tanda vital yakni TD 11/70 mmHg, HR 110/menit
suhu 102.2 F 0 39 C, RR 20 x/menit, dan SpO2 92% dengan pemberian oksigen nasal kanul 2L.
kamu adalah dokter layanan primer dan menrima pasien tersebut di Rumah Sakit.
INTRODUCTION
Infeksi yang mengancam nyawa menyebabkan dan mengakibatkan dari sakit kritis.
Insidensi infeksi yang mengancam nyawa atau sepsis meningkat sesuai dengan orang yang
memiliki factor resiko, sebagai contoh : pasien dengan imunokompromise, dengan keganasan,
sakit kronik, multipel trauma. Syok septik, lebih berat dari respon sistemik pada infeksi, biasanya
menyebabkan kematian dan menurunkan rasio mortalitas.
Sepsis didefenisikan dengan manifestasi sistemik dari infeksi. Sepsis berat adalah sepsis
yang berhubungan dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi. Abnormalitas menunjukkan
hipoperfusi dan disfungsi organ mungkin termasuk tapi tidak hanya sebatas itu, asidosis laktat,
oligouria, gangguan koagulasi, dan perubahan status mental. Abnormalitas tersebut tidak selalu
spesifik untuk sepsis dan mungkin bisa menunjukkan kondisi lain. Syok septik adalah sepsis
dengan hipotensi arteri, dengan Sistolik <90mmHg atau >40mmHg dari pasien dengan penurunan
tekanan darah yang tidak respon dengan resusitasi cairan yang adekuat disertai terjadi disfungsi
organ. Pasien yang diberikan inotropic atau vasopressor kemungkinan tidak menjadi hipotensi
ketika diukur perfusi yang abnormal.
DIAGNOSA INFEKSI
Diagnosa dari infeksi yang mengancam nyawa adalah dasar dari kehati-hatian dan
penilaian lengkap dari riwayat pasien, termasuk factor resiko, dan manifestasi klinis. gambaran
atipikal mungkin terjadi, khususnya pada pasien tua, pasien dengan imunokompromise, yang
harusnya mendapat perhatian. Laboratory, mikrobiologi, dan hasil imaging juga mendukung
diagnosis atau kemungkinan infeksi.
Di beberapa ICU, pengukuran peningkatan suhu otomatis memberi banyak waktu, biaya,
mengganggu pasien dan staff. Kebanyakan, pasien merasa tidak nyaman, menjadi membuka
radiasi yang tidak perlu, memerlukan pengangkutan keluar untuk mengontrol lingkungan ICU,
atau mempertimbangkan pengambilan darah untuk tes, hal ini akan diulangi beberapa kali dalam
24 jam dan setiap hari setelahnya. Di era ketika penggunaan dari Rumahsakit dan sumber pasien
di penelitian intensif, beberapa demam dapat di evaluasi dengan hati-hati dan dengan cara biaya
yang efektif. Seorang pasien dengan demam yang baru di ICU sebaiknya dilakukan penilaian klinis
yang cermat daripada menilai hasil dari laboratorii dan radiologi. Tujuannya adalah pendekatan
untuk menentukan cara yang terarah ketika infeksi terlihat pada pemeriksaan tambahan dapat
dihindari, dan pemilihan terapi dapat diputuskan. Rekomendasi untuk evaluasi pada demam baru
dapat dilihat pada tabel berikut.
TABEL 11.1
1. Pengukuran suhu
Hasil suhu di ICU lebih akurat dengan pengukuran intravascular, esophageal,
thermistor vesika dibanding pengukuran oral, rektal dan membrane timpani.
Penguluran axila, jumlah arteri temporal dan thermometer kimia tidak digunakan
di ICU. Thermometer rektal harus dihindari pada pasien neutropenic.
Beberapa penggunaan alat untuk mengukur suhu harus di pelihara dan di
kalibrasi dan penggunaanya harus sesuai dengan cara penggunaan yang benar
Onset yang baru jika suhunya lebih dari 100,9 F (38,3 C) atau 96,8 F(36 C)
dengan gejala yang tidak diketahui penyebab hipotermia (hipotiroidisme),
merupakan pemicu suatu penilaian tapi tidak membutuhkan evaluasi
laboratorium atau radiologi untuk infeksi
2. Lakukan kultur darah
3 atau 4 kultur darah dilakukan 24 jam saat onset demam. Gambaran kultur
pertama sebelum pemberian terapi antimikroba.
Penambahan kultur darah diindikasikan jika adanya klinis yang berkelanjutan
atau bakterimia yang berulang atau fungimia untuk tes obat 48-96 jam sebelum
pendekatan terapi awal.
Pada pasien yang penggunaan kateter vascularnya tidak baik, dilakukan 2 kultur
darah dari vena pungsi dan meggunakan stik aseptic dari lokasi perifer.
Kultur darah lainnya diambil darah sebanyak 20-30 ml
3. Manajemen kateter intravascular
Pemeriksaan pasien setidaknya pada hari inflamasi atau purulensi pada tempat
infeksi dan penilian pasien sesuai gejala thrombosis vena atau kejadian
venomena emboli. Kuman gram dan kultur di indikasikan untuk
mengagambarkan purulensi dari masukknya tempat sumber infeksi.
Jika kejadian infeksi tunel, fenomena emboli, compromise vascular, atau syok
septik, kateter harus dicabut dan harus dikultur, dan kateter baru dipasang di
tempat lainnya
Kateter yang bersifat sementara, kateter vena perifer, kateter vena sentral tanpa
cuff atau kateter arteri harus dilepas dan bagian kateter harus di kultur. Kultur
darah harus dilakukan dengan baik
Setidaknya 2 kultur harus dilakukan, satu vena pungtur veriver dan satu lagi dari
kateter yang terinfeksi. Jika system kultur kuantitatif yang tersedia, harusnya
digunakan untuk menentukan jika kateter adalah sumber bakterimea atau
fungimia
Semua karteter yang dilepas dari pasien ICU tidak memerlukan kultur, hanya
diduga menjadi sumber infeksi
4. Evaluasi infeksi pulmonary
Rontgen thoraks harus dilakukan pada banyak kasus, rontgen dada anterior
posterior banyak dilakukan. Gambaran Rontgen thoraks AP/ Lateral atau CT-
Scan memberikan banyak informasi yang harus dilakukan ketika ada indikasi
medis khususnya pada pasien imunokomprimise
Satu sampel dari sekresi traktus respirasi bawah harus dilakukan untuk
pemeriksaan langsung dan kultur sebelum diberikan antibiotic awal, atau
perubahan antibiotic. Sputum dahak, sputum induksi, secret trakea, sebaiknya
dilakukan bronkoskopi atau lavage alveolar nan bronkoskopi
Sekresi respirasi dilakukan untuk evaluasi mikrobiologi seharusnya di masukkan
di laboratorium dan diperiksa dalam 2 jam
Cairan pleura harus diperiksa untuk kuman gram dan kultur rutin jika ada dugaan
infeksi
5. Evaluasi Traktur Gastrointestinal
C difficile atau toxin nya dapat terlihat pada pasien diare, ileus juga bisa diduga
dengan C defficille
Pendekatan test PCR lebih cepat, sensitive, dan spesifik
Jika sakit berat menggambarkan C difficele negative, dipikirkan untuk
sigmoidoskopi
Kultur untuk pathogen enteric lain jarang diindiasikan pada pasien diare atau
pasien yang tidak terinfeksi HIV
6. Evaluasi Traktus Urinari
Untuk pasien risiko tinggi infeksi tarktus urinarius (hasil transplantasi ginjal,
pasien granulositopenia, atau yang baru di bedah urologi atau obstruksi) evaluasi
laboratory penting djika dicurigai infeksi
Pasien yang dipasang kateter urin harus diambil sampelnya dan bukan dari
tempat urinbagnya
Urin harus di berikan ke laboratorium dan diperoses fdalam 1 jam untuk
menjegah multipikasi bakteri
Kultur dari pasien kateter menggambarkan bakteri uria sebanyak 103 CFU/ml,
atau Candiduria
Kuman gram dari hasil sentrifuge urin dipecaya mendeteksi infeksi organisme
Pada analisa hubungan kateter dan infeksi, test rapid dipstic tidak
direkomendasikan pada pasien yang menggunakan kateter urin
7. Evaluasi Sinus
Jika sinusitis didugapenyebab demam, CT-Scan wajah harus dilakukan
Jika pasien tidak respon terapi, pungsi dan aspirasi dilakukan pada sinus untuk
memasukkan antiseptic. Aspirasi cairan dapat melihat kuman gram dan kultur
untuk bakteria aerobic dan anaerobic dan fungi
8. Evaluasi demam dalam 72 jam dari Pembedahan
Gambaran thotraks dan urinalisa tidak dilakukan 72 jam setelah operasi, jika
demam hanya sebagai indiaksinya
Urinalisa dan kultur harus mengambarkan untuk pasien demam yang memiliki
kateter urin lebih dari 72 jam
Luka pembedahan harus diperiksa setiap hari untuk infeksi, tidak boleh
dilakuakn kultur jika tidak ada dugaan infeksi
9. Evaluasi Tempat infeksi pembedahan
Pemeriksaan insisi bedah pada hari pertama untuk eritema purulensi adalah
bagian evaluasi demam. Jika diduga infeksi insisi harus dibuka dan dikultur.
Biopsy jaringan atau aspirasi lebih baik di swap
Drainase dari infeksi bedah supervicial mungin diperlukan kultur kuman gram,
karena insis, drainase dan perawatan lokal mungkin enjadi tatalaksana yang
khusus. Terapi atibiotik tidak diperlukan
10. Evaluasi infeksi Sistem Saraf Pusat
Jika terjadi perbahan status mental atau tanda neurologic local terlihat, pungsi
lumbal dipertimbangkan pada beberapa pasien dengan demam yang baru dan
tidak ada kntra indikasi
Pasien yang baru demam dan deficit neurologic yang baru mennjukkan penyakit
diatas foramen magnum, gambaranya biasanya diperlukan sebelum pungsi
lumbal
Pada pasien febris dengan penggunaan alat intracranial, LCS harus dilakukan
analisa. Alat tersebut sebainya dilepas dan dikultur (contohnya ventriculostomi)
LCS sebainya di evaluasi dengan kultur gram, glukosa, protein dan jumlah sel
yang berbeda. Tes tambahan (tuberculosis, virus, dan fungal)
11. Kenali demam yang dikarenakan bukan oleh Infeksi
Semua pasien yang baru diberikan obat dan tranfusi darah harus
dipertimbangkan, idealnya obat baru itu dapat dihentikan atau diganti dengan
obat yang sama
Demam yang disebabkan obat-obatan dapat memakan waktu beberapa hari untuk
diselesaikan
B. FAKTOR EPIDEMIOLOGI
Infeksi yang mengancam nyawa dapat terjadi pada komunitas , fasilitas perawatan
lama (misalnya; perawatan dirumah) atau rumahsakit. Infeksi komunitas tersebut adalah
seperti pneumonia, infeksi CNS atau meningitis, urosepsis, sepsis intraabdomen yang
berhubungan dengan dengan rupture atau obstruksi, atau infeksi jarang seperti fasciitis
nekrotik. Pasien yang dirawat lama memberikan spectrum ini tapi memiliki infeksi dengan
lebih pathogen resisten dan kemungkinan dapat berkembang. Akhirnya pasien rumah sakit
terekspos oleh antimikroba yang resisten flora dan mereka lebih meningkat
kormobiditasnya dan berat sakitnya daripada populasi lain.
C. KONDISI PREDISPOSISI
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda dan gejala sistemik
Demam adalah manifestasi klinis yang biasa terjadi pada infeksi, tapi pasien yang
infeksi berat mungkin normotermik atau mungkin hipotermik. Khususnya jika mereka
tua atau diberikan antipiretik, alcoholism, gagal ginjal atau gagal hati. Pemeriksaan
suhu pada kateter urin, ketika tersedia, adalah metode yang baik untuk mengukur suhu.
Pengukuran suhu lebih baik via oral atau rektal. Sementara itu pengukuran axila tidak
akurat.
E. MANIFESTASI LABORATORIUM
Tes laboratorium rutin tidak spesifik pada diagnosa infeksi yang mengancam
nyawa (berat) tapi mungkin dapat menilai fungsi organ. WBC biasanya tinggi dengan
tingginya sel batang (shif to the left). Leukosistosis biasanya tampak pada pasien non
infeksi misalny pada pasien post operatif, terapi kortikosteroid, tranfusi massiv, dan
multitrauma. Sebaliknya leukosit normal mungkin akan terlihat pada pasien infeksi aktif
yang sudah tua atau lamadan pasien dengan hipersplenism atau gangguan myelosupresif
kronis. Neutropenia mungkin dihasilkan dari infeksi yang besar (pada neonates dan pasien
AIDS), infeksi virus berat, demam tifoid, brucellosis, dan infeksi lainnya. Granulasi toxic
dengan neutrophil juga dicatat.
Yang paling sering yakni gangguan koagulasi pada sepsis adalah trombositopenia.
Penemuan koagulasi diseminata jarang tapi jika ada merupakan prognosis yang buruk. Hal
itu ditandai dengan peningkatan protrombine time, partial tromboplastin time, produk
fibrin, dan atau D-Dimer, serta penuruanan fibrinogen.
Sepsis menyebabkan resistensi insulin relatif, biasanya pasien menjadi
hiperglikemia, dimana hipoglikemia menunjukkan glikogen hepatic yang rendah.
Pengukuran Arteri gas darah menunjukkan hypoxemia. Peningkatan serum laktat adalah
tanda signifikan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan kesemibangan oksigen
dihubungkan dengan sepsis berat atau syok sepsis. Disfungsi hepatic biasanya tidak berat
tapi menunjukkan gambaran kolestatik dengan peningkatan bilirubin dan peningkatan
transamin. Insufisiensi renal berhubungan dengan fdari inflamai/infeksi termasuk actor
multiple seperti adanya hipotensi dan hipovolema. Penanda lain yang mungkin tidak
spesifik yakni prokalsitonin dan protein C reactive.
F. STUDI MIKROBILOGI
Studi mikrobilologi membagi dengan segera hasil yang tersedia (menit sampai
beberapa jam) dan memerlukan periode inkubasi atau penentuan laboratorium. Studi secara
cepat tersedia hasil kuman Gram pada cairan tubuh. Kuman khusus ( sperti fungal dan
kuman basa), imunnoassay (seperti pada urin Legionlla antigen dan toksin Clostdirium
difficie) , dan kounterimunoelektroporesis membutuhkan waktu untuk berproses.
Sebaiknya semua kultur harus dilakukan sebelum terapi antimikroba diberikan, tapi hal ini
tidak bisa dilakukan pada pasien yang mengalami perburukan secara cepat.
Pemilihan kultur harus berpedoman sesuai dengan manifestasi klinis. Sampel yang
diambil dari bnyak tempat tidak hanya membingungkan hasil berkaitan dengan
kontaminasi kultur sumber kolonisasi, tapi hal ini juga berkaitan dengan biaya yang tidak
efektif dan menjadi resiko tambahan bagi pasien. Kultur ulangan dapat menjadi pendekatan
untuk menilai perubahan tipe dari organisme atau resistensi.
Setidaknya ada dua kultur darah perifer (aerobic dan anaerobic) yang harus diukur
dari sumber anatomic yang berbeda atau dari sumber yang sama tapi dilakukan dengan
jarak 30 menit. Volume darah 10 15 ml/set optimal untuk dewasa. Pengambilan kultur
darah yang berasal daari kateter vena sentral dapat mengasilkan hasil positif palsu akibat
adanya kontaminasi bacterial pada sambungan kateter. Isolasi kultur darah penting untuk
diagnose dari beberapa organisme (seperti Candida, Micobaterium) atau pada pasien yang
akan mendapatan terapi antimikroba.
Kulltur dari traktus respiratori memerlukan sputum dahak dari pasien pasien yang
tidak teritubansi dan suction trakea atau spesimen bronkoskopi dari pasien yang terintubasi.
Banyak ahli mikrobiologi akan menggambarkan dari specimen berdasarkan jumlah epitel
dan netrofil untuk menentukan akuratnya kultur. Kultur kuantitatif dari traktur respirasi
bawah dapat menggambarkan Antara koloni dan patologi bacterial.
G. STUDI TAMBAHAN
Bagaimanapun, beberapa studi spesifik dari jantung, CNS, dan abdomen / retroperitonium
tergambar dalam table 11.4 berikut
Proritas pertama manajemen pasien yang hemodinamik tidak stabil dan infeksi berat atau
yang mengancam adalah Resusitasi. Setelah dievaluasi riwayat pasien, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang (laboratorium dan CT-scan), agen antimikroba dapat dipilih
dengan dengan cepat.
Control sumber penybab infeksi adalah penting untuk hasil baik dan hal yang perlu
menjadi tambahan dalam terapi antimikroba yang adekuat. Misalnya control sumber pada
manajemen luka, drainase perkutaneus atau bedah pada infeksi tertutup, dan pembedahan.
Terapi antimikroba drekomendasikan pada pasien yang manifestasi klinisnya sesuai
dengan pedoman yang ada. Untuk scenario klinis, pilihan antmikroba harus disesuaikan
dengan manifestasi klinis dan epidemiologi dan dan infeksi mikrobiologi termasuk
prevalensi mikroba yang tampak dan adanya resistensi atau komunitas local.
Pilihan pendekatan terapi antimikroba yang diyakini dengan beberapa factor, berikut.
A. SSP
1. Meningitis
Semua penyakit infeksi salahsatunya bakteri meningitis adalah yang emergensi,
ketika meningitis di dapatkan sebagai dugaan klinis. Rumah sakit
memeprtimbangkan terapi antimikroba tanpa harus menunggu hasil lumbal
pungsi, komunitas yang mendapatkan bakteri meningitis akut pada dewasa
biasanya adalah S.pneumoniae atau Niessheria meningitides. dan terapi empiric
awal dengan sefalosporin generasi 3 (ceftriaxone atau cefotaxim) merupakan
terapi adekuat, dengan penambahan vancomisin jika penisisli resisten S
Pneumonia sudah dicurigai dan konfirmasi. Jika S pneumonia diisolasi,
sefalosporin generasi ketiga dapat diulang sampai sensivitas peniislin di
konfirmasi, dimana pasien dapat diberikan penisilin dosis tinggi. G.N
meningidtidis pada cairan serebrosinal atau kultur otak dapat diterapi dengan
dosis tinggi dengan penisilin parenteral G. jika N meningiditis diisolasi, pekerja
perawat yang terekspos infeksi diberikan antimikroba profilaksis. Pada
penambahan terapi antimikroba tambahan dexametason (0,15 mg/kg intravena
/ 6 jam selama 2-4hari ) dapat direkomendasikan untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas, khususnya meningitis pneumococcal.
Listeria monocytogenes mungkin merupakan penyebab meningitis bacterial
pada usia yang extrim (neonates, anak dan tua) dan pada pasien dengan
kerusakan limfosit T, biasanya pada Diabetes, penggunaan kortikosteroid dan
terapi imunsupresif. Pasien dengan suspek Listeria meningitis sebaiknya
diberikan ampicillin (trimetroprim/sulfametosazol pada pasien yang alergi
penisilin) . siapa yang memiliki prosedur neurosurgical sebelumnya atau
pemasangan shunt meningkatkan factor resiko S. Aureus, Streptococci negative
koagulasi, bakteri gram negative (pseudomonas, klabsiela). Untuk itu,
beberapa pasien diberikan antimikroba awal denga vancomisin dosis tinggi dan
sefalosforin genarasi 3 atau 4. Jika pemberian metisilin dan kuman S aureus
dikonfirmasi, maka nafsilin adalah obat pilihannya.
2. Ensefalitis atau meningoensefalitis.
Banyak agen viral dapat menyebabkan ensefalitis atau meningoensefalitis,
namun hanya herpes simplek (HSV) dan cytomegalovirus (CMV) ensefalitis
yang dapat diterapi. Herpessimplek ensefalitis biasanya disebabkan individu
yang imunokompartemen dalam komunitas. Ini termasuk emergensi. Demam,
letargi, pusing, dan kejang merupakan gambaran umum yang tampak.
Hemorgik LCS dan kerusakan lobus pada studi imaging atau
elektroensefalografi menunjukkan HSV ensefalitis. Jika HSV ensefalitis sudah
dicurigai dan terkonfirmasi maka pemberian asiklovir csecara cepat selama 14-
21 hari. CMV ensefalitis biasanya pada pasien imunosupresif (HIV) dan pasien
dengan transplantasi gambarannya sama dengan HSV ensefalitis. Percobaan
reaksi rantai Polimerasi LCS untuk CMV sangat sensitive dan pemberian
terapinya yakni gansiklovir atau foscarnet.
3. Abses otak
Abses otak adalah infeksi yang jarang tapi harus di curigai pada pasien dengan
infeksi kronis pada struktur parameningeal, endokarditis atau penyakit
kongenital jantung sianotik. Abses otak juga berhubungan dengan
imunokompromise seperti pasien AIDS, pengguna obat-obatan intravena atau
penerima donor. Terapi antimikroba awalsebaiknya termasuk vancomisin,
metronidazole dosis tinggi, sefalosporin generasi 3 (ceftriaxone). pada pasien
dengan resiko tiggnggi untuk toxoplasmisis, primetamin atau sulfadiazin
menjadi bagian antimikroba awal .
B. Traktus Respiratori
C. Jantung
Infeksi jantung biasanya berat dan mengancam hidup, sebaiknya berkoordinasi
dengan penanganan medic oleh ahli jantung dan kadang juga dengan bedah jantung.
Studi mikrobiologi dan ekokardiografi (transthoracic atau transesofageal) untuk
diagnosis dan manajemen dari infeksi lain di jantung
Infeksi endocarditis, atau infeksi endokardial, lebih banyak dikaitkan dengan katup
jantung. Penyalahguna obat intravena, katup prostetik, sclerosis dari katup yang
berhubungan dengan usia tua, infeksi yang didapat dari rumah sakit dan pathogen
yang baru teridentifikasi (Bartonella spp, coxiella, bunetti, Tropheryma whipplei,
fungi) merupakan factor resiko dari kondisi ini. Infeksi pembuluhdarah dan
gambaran EKG yang positif dari vegetasi katup adalah kunci penegakan diagnosis,
meskipun fenomena emboli perifer dan penemuan lain juga menjadi penunjuk yang
kuat. Bakter gram positif seperti staphylococcus dan streptococcus dan juga
enterococcus biasanya lebih sering terinfeksi pada endocarditis di populasi umum
dan populasi yang beresiko (Penyalahguna obat intravena, katup prostetik
endocarditis) tapi gram negative , polimikrobial, dan kultur negative endokarditis
menjadi biasa .
D. Kateter Intravaskuler
Pasien dengan konfirmasi atau curiga infeksi kateter intravaskuler berhubungan
dengan disfungsi organ, emboli sistemik, atau instabilitas kardiovaskuler, kateter
intravaskuler sbaiknya dilepaskan segera. Pada keadaan perubahan local
penempatan kateter (purulent, eritema) harus dilakukan pelepasan kateter. Pada
keadaan perubhan local atau sepsis , suatu pilihannya adalah memasukkan kateter
baru di tempat yang baru sesuai dengan pedoman. Bagaimanapun, kebutuhan
pemeriksaan dengan tambahan kultur darah lebih baik dari kultur intradermal.
Koagulasi- negative Staphylococcus dan S aureus lebih sering sebagai pathogen di
kateter yang berhubungan engan infeksi pembuluh darah.
Pasien dengan imunokompeten yang memiliki koagulase-negative infeksi
staphylococcal tapi tidak ada gejala sistemik, pelepasan kateter yang terinfeksi
kemungkinan cukup. Vancomisin direkomendasikan untuk Pasien dengan
imunokompromise dengan koagulase-negative staphylococcus dengan manifestasi
sistemik atau dengan alat prostetik yang beresiko menjadi infeksi yang kedua. Jika
S aureus menginfeksi maka nafsilin direkomendasikan bagaimapun jika nilai
meningkat dari MRSA di rumah sakit atau MRSA terkonfirmasi , maka
vancomysin harus digunakan. Sefalosporin generasi 3 atau 4 atau fluoroquinolon
sebaiknya diberikan jika nasokomial organisme gram negative dicurigai.
Candida kadang terjebak dalam ujiung kateter dan meningkatkan dugaan
candidemia yang mungkin terjadi diakhir. Pengobatan pilihan adalah fluconazole
atau jika mungkin resisten candida, caspofungin dapat digunakan. Ketika
mikroorganisme fungal diidentifikasi dalam kateter intravascular berhubungan
dengan infeksi pembuluh darah, kateter tetap harus dilepaskan.
E. Abdomen
Ketika intrabadomen dicurigai mengalami infeksi, ahli bedah harus melakukan
evaluasi pasien. Keduanya, infeksi flora dan terapi antimikroba berhubungan untuk
infeksi yang didapat dari rumah. Untuk infeksi yang didapat dari rumahsakit ,
kemungkinan factor penyebab bakteri dari terjadinya perforasi yakni gram positif,
bakteri gram negative aerobic, pada proximal usus halus dan anaerob pada proximal
ileum. Rekomendasi terapi termasuk lactam / lactam inhibitor kombinasi dan
carbapenem sebagai monoterapi atau sefalosporin / fluorokuinolon dengan
metronidazole. Terapi antimikroba sebaiknya dilanjutkan sampai gejala mnghilang
dan sebaiknya 5 sampai 7 hari. Diagnosis lebih lanjut bekerja pada pasien dengan
persisten atau gejala yang berulang . Isolasi flora dari rumah sakit yang
berhubungan dengan infeksi intraabdominal menyerupai infeksi nasokomial
lainnya. Terapi antimikroba menjadi dasar dan pengetahuan flora dan kemungkinan
antimikroba di instalasi. Terapi antifungal diindikasikan hanya pada isolasi fungi
dan kondisi komorbid yang baru seperti terapi imunosupresif untuk neoplasma ,
transplantasi dan penyakit inflamatori.
F. TRAKTUS URINARI
Pathogen yang sering ditemukan dari infeksi traktus urinarius yakni bakteri gram
negatif. Pasien rumah sakit dengan penggunaan kateter biasanya memiliki
bakteriuria yang menggambarkan tidak adanyan pyuria atau gejala local. Beberapa
pasien (dengan keadaan obstruksi urologi) jarang berkembang sepsis atau
bakterimia timbul dari traktus urinary, dan pelepasan kateter merupakan resolusi
bakteriuria. Pasien dengan infeksi traktus urinary atas selalu diberikan terapi
dengan antimikroba. Kompliasi berat pada pasien diabetik atau pasien
imunokompromise termasuk empisematous pyelonephritis , necrosisi papillary atau
abses perinefric kemungkinan membutuhkan intervesi bedah. Pilihan antimikroba
dari infeksi gram negative saluran urin dilakukan dengan percobaan dugaan dan
termasuk berikut :
Sefalosporin generasi ketiga
Fluoroquinolon
Aminoglikosid
Piperacilin-tazobactam
Trimetropin-sulfametxazole
Candiduria biasanya jarang dan biasanya tergambar pada pasien yang menggunkan kateter
pada waktu yang lama dan mendapatkan terapi antimikroba sprektum luas atau pasien dengan
glikosuria. Pilihan terapi termasuk fluconazole. (tidak efektif untuk T glabrata atau C krussei) atau
amphotericin yang berkepanjangan dapat mengirigasi vesica. Jika kandiduria diterapi pada pasien
dengan kateter indwelling sebaiknya kateter dirubah atau dilepas selama terapi berlangsung.
G. INFEKSI KUTANEUS
S. Aureus atau grup hemolytic streptococcus lebih sering menjadi etiologi umum
penyebab selulitis atau abses kutaneus. H influaeza juga menjadi selulitis wajah
atau orbita. Infeksi saat penyembuhan post operatif biaanya muncul 5-7 hari setelah
operasi, bagaimanapun, percepatan infeksi luka muncul 24-48 jam setelah operasi
dapat mendorong pertimbangan atas Clostridium perfringens atau grup hemolytic
streptococcus. Infeksi tipe ini memerlukan tindakan bedah debridemen dan terapi
antimikroba cepat dengan pemeriksaan kuman gram dan kultur.
Antibiotic berhubungan diare dan colitis hasil dari infeksi C difficile dan komplikasi
rangkaian tatalaksana dari beberapa pasien. Antimikroba kebanyakan termasuk
clindamisis, penisilin, sefalosporin dan kuinolon terhadap infeksi memberikan
gambaran berhubungan dengan antimikroba lainnya. Pasien tidak memerlukan terapi
antimicrobial untuk memperbaiki kondisinya.
C difficile merupakan salah satu pathogen nasokomial yang menjadi transmisi silang
pada area yang berdekatan. Diagnosis biasanya sudah diidentifikasi pada toxin C
difficile dan deteksi aktivitas sitotoksin pada kultur jaringan. Tatalaksana dimulai
dengan diskontinutatum terapi antimikroba dengan maksud (jika mungkin) dan awal
dari terapi antimikroba spesifik yang melawan C difficile jika gejalanya sedang, berat
atau persisten. Regimen yang lebih disukai adala metronidazole oral 250-500 mg 3
kali sehari selama 10 hari. Vancomysisn 125 500 mg empat kali sehari selama 10 hari
, juga efektif tapi ini digunakan sedikit untuk mengurani resisten organisme. Pada
pasien yang tidak bisa menggunakan oral, vacomisin intraluminal dengan atau tanpa
intravena, metronidazole direkomendasikan. Colitis fulminant tidak respon untuk
pengukuran atau proseif dengan megacolon toxic yang mungkin dilakukan coloctomi
total.
L. TERAPI LAIN
Dalam penambahan terapi antimikroba , intervensi bedah harus dipertimbangkan
pada pasien dengan infeksi yang mengancam hidup. Adanya abses harus dillakukan
drainase, dan cedera atau iskemik organ harus diperbaiki atau diangkat. Kateter
vascular mungkin jadi sumber infeksi yang harus dilepaskan. Konsultasi
pembedahan awal sebaiknya dilakukan ketika abdomen yang menjadi sumber
infeksi pada pasien yang sakit kritis.
M. Healthcare Associated Infection Control (HAI)
Estimasi data terbaru menyatakan satu dari 10 sampai 20 (5-10%) pasien rumah
sakit mengalami hubungan Antara infeksi dan perawatan setiap tahun. HAI
berhubungan dengan lebih dari 10.00 kematian di US. Banyak penelitian
menunjukkan peningkatan HAI pada pasien yang meningkat lama, dan tingkat
mortalitas dan morbiditas. Pedoman tidak selalu sama dengan seorang individu
diantara pasien lain dan tidak termasuk tatalaksana fisik yang sesuai dengan situasi
dan kondisi pasien.
RESUME