Anda di halaman 1dari 26

INFEKSI YANG MENGANCAM HIDUP : DIAGNOSIS DAN PILIHAN TERAPI

ANTIMIKROBA

OBJECTIVES

1. Memahami dan mengaplikasikan terminology spesifik dari infeksi yang mengancam hidup
2. Mengetahui factor resiko pada perkembangan infeksi
3. Identifikasi sistemik dan manifestasi klinis spesifik dari infeksi yang mengancam hidup
dan memahami diagnosis dari penggunaan tes laboratory klinis
4. Mendeskripsikan perbedaan klinis dan variable epidemiologi untuk menseleksi terapi
antimikroba
5. Menjelaskan terapi mikroba untuk terapi empiris dan untuk infeksi spesifik.

CASE STUDY

Seorang laki-laki 75 tahun datang ke IGD dengan perubahan status mental. Keluarga mengatakan
sejak 2 hari yang lalu pasien batuk produktif. Tanda vital yakni TD 11/70 mmHg, HR 110/menit
suhu 102.2 F 0 39 C, RR 20 x/menit, dan SpO2 92% dengan pemberian oksigen nasal kanul 2L.
kamu adalah dokter layanan primer dan menrima pasien tersebut di Rumah Sakit.

1. Apakah pasien tersebut sepsis atau sepsis berat?


2. Apa urutan tatalaksana untuk pasien ini?
3. Apa intervensi awal yang harus dilakukan ?

INTRODUCTION

Infeksi yang mengancam nyawa menyebabkan dan mengakibatkan dari sakit kritis.
Insidensi infeksi yang mengancam nyawa atau sepsis meningkat sesuai dengan orang yang
memiliki factor resiko, sebagai contoh : pasien dengan imunokompromise, dengan keganasan,
sakit kronik, multipel trauma. Syok septik, lebih berat dari respon sistemik pada infeksi, biasanya
menyebabkan kematian dan menurunkan rasio mortalitas.

Sepsis didefenisikan dengan manifestasi sistemik dari infeksi. Sepsis berat adalah sepsis
yang berhubungan dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi. Abnormalitas menunjukkan
hipoperfusi dan disfungsi organ mungkin termasuk tapi tidak hanya sebatas itu, asidosis laktat,
oligouria, gangguan koagulasi, dan perubahan status mental. Abnormalitas tersebut tidak selalu
spesifik untuk sepsis dan mungkin bisa menunjukkan kondisi lain. Syok septik adalah sepsis
dengan hipotensi arteri, dengan Sistolik <90mmHg atau >40mmHg dari pasien dengan penurunan
tekanan darah yang tidak respon dengan resusitasi cairan yang adekuat disertai terjadi disfungsi
organ. Pasien yang diberikan inotropic atau vasopressor kemungkinan tidak menjadi hipotensi
ketika diukur perfusi yang abnormal.

DIAGNOSA INFEKSI

Diagnosa dari infeksi yang mengancam nyawa adalah dasar dari kehati-hatian dan
penilaian lengkap dari riwayat pasien, termasuk factor resiko, dan manifestasi klinis. gambaran
atipikal mungkin terjadi, khususnya pada pasien tua, pasien dengan imunokompromise, yang
harusnya mendapat perhatian. Laboratory, mikrobiologi, dan hasil imaging juga mendukung
diagnosis atau kemungkinan infeksi.

A. EVALUASI DARI DEMAM BARU PADA PASIEN DEWASA KRITIS

Di beberapa ICU, pengukuran peningkatan suhu otomatis memberi banyak waktu, biaya,
mengganggu pasien dan staff. Kebanyakan, pasien merasa tidak nyaman, menjadi membuka
radiasi yang tidak perlu, memerlukan pengangkutan keluar untuk mengontrol lingkungan ICU,
atau mempertimbangkan pengambilan darah untuk tes, hal ini akan diulangi beberapa kali dalam
24 jam dan setiap hari setelahnya. Di era ketika penggunaan dari Rumahsakit dan sumber pasien
di penelitian intensif, beberapa demam dapat di evaluasi dengan hati-hati dan dengan cara biaya
yang efektif. Seorang pasien dengan demam yang baru di ICU sebaiknya dilakukan penilaian klinis
yang cermat daripada menilai hasil dari laboratorii dan radiologi. Tujuannya adalah pendekatan
untuk menentukan cara yang terarah ketika infeksi terlihat pada pemeriksaan tambahan dapat
dihindari, dan pemilihan terapi dapat diputuskan. Rekomendasi untuk evaluasi pada demam baru
dapat dilihat pada tabel berikut.

TABEL 11.1

RESUSTIASI AWAL DAN PERRSOALAN INFEKSI


Resusitasi Awal ( 6 jam awal)
Memulai resusitasi pada pasien dengan hipotensi atau mengukur serum laktat >
4mmol/L
Tujuan resusitasi :
CVP 8-12 mmHg
MAP 65 mmHg
Urin output 0,5 mL/kg/jam
Saturasi Vena sentral (vena cava superior) 70%
DIAGNOSA
Lakukan kultur sebelum memulai antibiotic
Lakukan dua atau lebih kultur darah
Kultur lain sesuai indikasi klinis
Lakukan imaging untuk konfirmasi dan sampel dari sumber infeksi, jika aman untuk
dilakukan
TERAPI ANTIBIOTIK
Mulai antibiotic intravena sebagai tindakan awal dan selalu lakukan pada 1 jam awal
setelah mengenali sepsis berat dan syok septik
Pilih antibiotic spectrum luas , satu atau lebih agen aktif seperti pathogen bakteri/jamur
dan dengan penetrasi baik untuk sumber infeksi
Nilai ulang regimen antimikroba untuk efikasi optimal, pencegahan resistensi, hindari
toksisitas dan minimalisasi biaya
IDENTIFIKASI SUMBER DAN KONTROL
Menentukan tempat anatomic spesifik dari infeksi secepat yang bisa dilakukan
Lakukan pengukuran sumber infeksi secepatnya
Lepaskan akses intravascular yang memungkinkan terjadinya infeksi

TABEL 11.2. EVALUASI DEMAM PADA PASIEN DEWASA YANG KRITIS

1. Pengukuran suhu
Hasil suhu di ICU lebih akurat dengan pengukuran intravascular, esophageal,
thermistor vesika dibanding pengukuran oral, rektal dan membrane timpani.
Penguluran axila, jumlah arteri temporal dan thermometer kimia tidak digunakan
di ICU. Thermometer rektal harus dihindari pada pasien neutropenic.
Beberapa penggunaan alat untuk mengukur suhu harus di pelihara dan di
kalibrasi dan penggunaanya harus sesuai dengan cara penggunaan yang benar
Onset yang baru jika suhunya lebih dari 100,9 F (38,3 C) atau 96,8 F(36 C)
dengan gejala yang tidak diketahui penyebab hipotermia (hipotiroidisme),
merupakan pemicu suatu penilaian tapi tidak membutuhkan evaluasi
laboratorium atau radiologi untuk infeksi
2. Lakukan kultur darah
3 atau 4 kultur darah dilakukan 24 jam saat onset demam. Gambaran kultur
pertama sebelum pemberian terapi antimikroba.
Penambahan kultur darah diindikasikan jika adanya klinis yang berkelanjutan
atau bakterimia yang berulang atau fungimia untuk tes obat 48-96 jam sebelum
pendekatan terapi awal.
Pada pasien yang penggunaan kateter vascularnya tidak baik, dilakukan 2 kultur
darah dari vena pungsi dan meggunakan stik aseptic dari lokasi perifer.
Kultur darah lainnya diambil darah sebanyak 20-30 ml
3. Manajemen kateter intravascular
Pemeriksaan pasien setidaknya pada hari inflamasi atau purulensi pada tempat
infeksi dan penilian pasien sesuai gejala thrombosis vena atau kejadian
venomena emboli. Kuman gram dan kultur di indikasikan untuk
mengagambarkan purulensi dari masukknya tempat sumber infeksi.
Jika kejadian infeksi tunel, fenomena emboli, compromise vascular, atau syok
septik, kateter harus dicabut dan harus dikultur, dan kateter baru dipasang di
tempat lainnya
Kateter yang bersifat sementara, kateter vena perifer, kateter vena sentral tanpa
cuff atau kateter arteri harus dilepas dan bagian kateter harus di kultur. Kultur
darah harus dilakukan dengan baik
Setidaknya 2 kultur harus dilakukan, satu vena pungtur veriver dan satu lagi dari
kateter yang terinfeksi. Jika system kultur kuantitatif yang tersedia, harusnya
digunakan untuk menentukan jika kateter adalah sumber bakterimea atau
fungimia
Semua karteter yang dilepas dari pasien ICU tidak memerlukan kultur, hanya
diduga menjadi sumber infeksi
4. Evaluasi infeksi pulmonary
Rontgen thoraks harus dilakukan pada banyak kasus, rontgen dada anterior
posterior banyak dilakukan. Gambaran Rontgen thoraks AP/ Lateral atau CT-
Scan memberikan banyak informasi yang harus dilakukan ketika ada indikasi
medis khususnya pada pasien imunokomprimise
Satu sampel dari sekresi traktus respirasi bawah harus dilakukan untuk
pemeriksaan langsung dan kultur sebelum diberikan antibiotic awal, atau
perubahan antibiotic. Sputum dahak, sputum induksi, secret trakea, sebaiknya
dilakukan bronkoskopi atau lavage alveolar nan bronkoskopi
Sekresi respirasi dilakukan untuk evaluasi mikrobiologi seharusnya di masukkan
di laboratorium dan diperiksa dalam 2 jam
Cairan pleura harus diperiksa untuk kuman gram dan kultur rutin jika ada dugaan
infeksi
5. Evaluasi Traktur Gastrointestinal
C difficile atau toxin nya dapat terlihat pada pasien diare, ileus juga bisa diduga
dengan C defficille
Pendekatan test PCR lebih cepat, sensitive, dan spesifik
Jika sakit berat menggambarkan C difficele negative, dipikirkan untuk
sigmoidoskopi
Kultur untuk pathogen enteric lain jarang diindiasikan pada pasien diare atau
pasien yang tidak terinfeksi HIV
6. Evaluasi Traktus Urinari
Untuk pasien risiko tinggi infeksi tarktus urinarius (hasil transplantasi ginjal,
pasien granulositopenia, atau yang baru di bedah urologi atau obstruksi) evaluasi
laboratory penting djika dicurigai infeksi
Pasien yang dipasang kateter urin harus diambil sampelnya dan bukan dari
tempat urinbagnya
Urin harus di berikan ke laboratorium dan diperoses fdalam 1 jam untuk
menjegah multipikasi bakteri
Kultur dari pasien kateter menggambarkan bakteri uria sebanyak 103 CFU/ml,
atau Candiduria
Kuman gram dari hasil sentrifuge urin dipecaya mendeteksi infeksi organisme
Pada analisa hubungan kateter dan infeksi, test rapid dipstic tidak
direkomendasikan pada pasien yang menggunakan kateter urin
7. Evaluasi Sinus
Jika sinusitis didugapenyebab demam, CT-Scan wajah harus dilakukan
Jika pasien tidak respon terapi, pungsi dan aspirasi dilakukan pada sinus untuk
memasukkan antiseptic. Aspirasi cairan dapat melihat kuman gram dan kultur
untuk bakteria aerobic dan anaerobic dan fungi
8. Evaluasi demam dalam 72 jam dari Pembedahan
Gambaran thotraks dan urinalisa tidak dilakukan 72 jam setelah operasi, jika
demam hanya sebagai indiaksinya
Urinalisa dan kultur harus mengambarkan untuk pasien demam yang memiliki
kateter urin lebih dari 72 jam
Luka pembedahan harus diperiksa setiap hari untuk infeksi, tidak boleh
dilakuakn kultur jika tidak ada dugaan infeksi

9. Evaluasi Tempat infeksi pembedahan
Pemeriksaan insisi bedah pada hari pertama untuk eritema purulensi adalah
bagian evaluasi demam. Jika diduga infeksi insisi harus dibuka dan dikultur.
Biopsy jaringan atau aspirasi lebih baik di swap
Drainase dari infeksi bedah supervicial mungin diperlukan kultur kuman gram,
karena insis, drainase dan perawatan lokal mungkin enjadi tatalaksana yang
khusus. Terapi atibiotik tidak diperlukan
10. Evaluasi infeksi Sistem Saraf Pusat
Jika terjadi perbahan status mental atau tanda neurologic local terlihat, pungsi
lumbal dipertimbangkan pada beberapa pasien dengan demam yang baru dan
tidak ada kntra indikasi
Pasien yang baru demam dan deficit neurologic yang baru mennjukkan penyakit
diatas foramen magnum, gambaranya biasanya diperlukan sebelum pungsi
lumbal
Pada pasien febris dengan penggunaan alat intracranial, LCS harus dilakukan
analisa. Alat tersebut sebainya dilepas dan dikultur (contohnya ventriculostomi)
LCS sebainya di evaluasi dengan kultur gram, glukosa, protein dan jumlah sel
yang berbeda. Tes tambahan (tuberculosis, virus, dan fungal)
11. Kenali demam yang dikarenakan bukan oleh Infeksi
Semua pasien yang baru diberikan obat dan tranfusi darah harus
dipertimbangkan, idealnya obat baru itu dapat dihentikan atau diganti dengan
obat yang sama
Demam yang disebabkan obat-obatan dapat memakan waktu beberapa hari untuk
diselesaikan

B. FAKTOR EPIDEMIOLOGI

Infeksi yang mengancam nyawa dapat terjadi pada komunitas , fasilitas perawatan
lama (misalnya; perawatan dirumah) atau rumahsakit. Infeksi komunitas tersebut adalah
seperti pneumonia, infeksi CNS atau meningitis, urosepsis, sepsis intraabdomen yang
berhubungan dengan dengan rupture atau obstruksi, atau infeksi jarang seperti fasciitis
nekrotik. Pasien yang dirawat lama memberikan spectrum ini tapi memiliki infeksi dengan
lebih pathogen resisten dan kemungkinan dapat berkembang. Akhirnya pasien rumah sakit
terekspos oleh antimikroba yang resisten flora dan mereka lebih meningkat
kormobiditasnya dan berat sakitnya daripada populasi lain.

C. KONDISI PREDISPOSISI

Hadirnya kondisi predisposisi sebaiknya diawasi tim perawat pada pasienyang


memiliki resiko tinggi oleh perkembangan infeksi. Implant prostetik permanen, seperti
katup jantung,, cangkok intravaskuler, atau alat orthopedic, mungkin dapat mengjadi
infeksi baik itu diawal maupun postoperative. Prosedur invasive (pembedahan, kateter
vaskuler, kateter urin, dan intubasi endotrakea) menjembatani barrier mukosa normal dan
predisposisi infeksi pasien. Kekurangan kondisi yang mempengaruhi tidak bias di
eliminasi yang akan memperlihatkan infeksi yang serius, membuat pasien di arahkan ke
ICU dari komunitas.

Kondisi predisposisi dari infeksi

Usia tua Diabetes


Penerima transplantasi Gagal hati
Multiple trauma Malnutrisi
Alcoholism Keganasan
HIV Pengguna kortikosteroid
Kemoterapi/Radioterapi Burns
Tidak memiliki Splen Implant prostetik
Prosedur Invasive

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda dan gejala sistemik

Demam adalah manifestasi klinis yang biasa terjadi pada infeksi, tapi pasien yang
infeksi berat mungkin normotermik atau mungkin hipotermik. Khususnya jika mereka
tua atau diberikan antipiretik, alcoholism, gagal ginjal atau gagal hati. Pemeriksaan
suhu pada kateter urin, ketika tersedia, adalah metode yang baik untuk mengukur suhu.
Pengukuran suhu lebih baik via oral atau rektal. Sementara itu pengukuran axila tidak
akurat.

Manifestasi klinis lain adalah kedinginan, menggigil, hipotensi, takipnea, dyspnea,


takikardia, mual dan muntah. Takikardi selalu terjadi mungkin diakibatkan konduksi
jantung , disfungsi otonom, bloker atau channel bloker dan obat demam. Hipotensi
mungkin bisa terjadi bersamaan dengan dehidrasi dan hypovolemia tapi juga
indikasikan menjadi syok septik. Khususnya jika tekanan darah tidak meningkat ketika
sudah diberikan cairan resusitasi. Hipoperfusi ginjal menyebabkan oliguria atau anuria.
Ensefalopati adalah manifestasi klinis yang biasa dan status letargi/iritabilitas menjadi
delirium dan koma. Pateki dan atau ekimosis bisa terjadi, khususnya estermitas bawah.

Hipotermia adalah prognosis buruk untuk infeksi berat

2. Tanda dan gelaja spesifik.


Infeksi SSP mungkin berhubungan dengan nyeri kepala, seizures,
meningismus, atau deficit neurologic fokal. Perubahan status mental bisa terjadi
walaupun tidak spesifik pada infeksi SSP
Infeksi saluran nafas local atau difus mungkin berhubungan dengan dyspnea,
takipnea, batuk, produksi sputum, atau (jarang) hemoptysis. Penemuan
auskultasi, yakni crackles, rhonki, atau suara nafas tubular, diindikasi kan
sebagai proses local atau difus. Penurunan suara nafas dan dullness pada
perkusi disugestikan sebagai efusi pleura.
Infeksi intrabdomen mengakibatkan nyeri abdomen, distensi abdomen,
mual/muntah, diare, anorexa. Iritasi diafragma dapat menjadi nyeri di sisi leher
atau area bahu proximal atau menyebabkan hiccups. Penemuan pemeriksaan
termasuk tenderness local atau difus, rebound tenderness, ileus atau guaiac
positive stool. Suatu luka infeksi dengan kerusakan fascia dapat menjadi tanda
infeksi intraabdomen bawah.
Infeksi saluran kemih mungkin mengakibatkan nyeri panggul, atau nyeri
abdomen, tenderness, dysuria, hematuria, dan olgouria,. Contohnya , kateter
urin berhubungan dengan infeksi yang tidak menyebabkan gejala local.
Manifestasi kulit mungkin menghasilkan dari infeksi awal kulit atau struktur
kulit (nyeri, eritema, dan indurasi yang bersamaan dengan selulitis, luka tipis
eritema, discharge purulen, lesi vesicular yang berhubungan dengan infeksi
herpes) atau menjadi suatu akibat infeksi sistemik diseminata (indurasi papul
atau nodul eritema oleh gangrenosum ektima yang berhubungan dengan
bakterimia, emboli septik yang bersamaan dengan infeksi endocarditis, eritema
macular difus bersamaan dengan sindrom syok toxic, distal simetris purpura
fulminant yang bersamaan dengan meningococcemia).

E. MANIFESTASI LABORATORIUM
Tes laboratorium rutin tidak spesifik pada diagnosa infeksi yang mengancam
nyawa (berat) tapi mungkin dapat menilai fungsi organ. WBC biasanya tinggi dengan
tingginya sel batang (shif to the left). Leukosistosis biasanya tampak pada pasien non
infeksi misalny pada pasien post operatif, terapi kortikosteroid, tranfusi massiv, dan
multitrauma. Sebaliknya leukosit normal mungkin akan terlihat pada pasien infeksi aktif
yang sudah tua atau lamadan pasien dengan hipersplenism atau gangguan myelosupresif
kronis. Neutropenia mungkin dihasilkan dari infeksi yang besar (pada neonates dan pasien
AIDS), infeksi virus berat, demam tifoid, brucellosis, dan infeksi lainnya. Granulasi toxic
dengan neutrophil juga dicatat.
Yang paling sering yakni gangguan koagulasi pada sepsis adalah trombositopenia.
Penemuan koagulasi diseminata jarang tapi jika ada merupakan prognosis yang buruk. Hal
itu ditandai dengan peningkatan protrombine time, partial tromboplastin time, produk
fibrin, dan atau D-Dimer, serta penuruanan fibrinogen.
Sepsis menyebabkan resistensi insulin relatif, biasanya pasien menjadi
hiperglikemia, dimana hipoglikemia menunjukkan glikogen hepatic yang rendah.
Pengukuran Arteri gas darah menunjukkan hypoxemia. Peningkatan serum laktat adalah
tanda signifikan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan kesemibangan oksigen
dihubungkan dengan sepsis berat atau syok sepsis. Disfungsi hepatic biasanya tidak berat
tapi menunjukkan gambaran kolestatik dengan peningkatan bilirubin dan peningkatan
transamin. Insufisiensi renal berhubungan dengan fdari inflamai/infeksi termasuk actor
multiple seperti adanya hipotensi dan hipovolema. Penanda lain yang mungkin tidak
spesifik yakni prokalsitonin dan protein C reactive.

F. STUDI MIKROBILOGI
Studi mikrobilologi membagi dengan segera hasil yang tersedia (menit sampai
beberapa jam) dan memerlukan periode inkubasi atau penentuan laboratorium. Studi secara
cepat tersedia hasil kuman Gram pada cairan tubuh. Kuman khusus ( sperti fungal dan
kuman basa), imunnoassay (seperti pada urin Legionlla antigen dan toksin Clostdirium
difficie) , dan kounterimunoelektroporesis membutuhkan waktu untuk berproses.
Sebaiknya semua kultur harus dilakukan sebelum terapi antimikroba diberikan, tapi hal ini
tidak bisa dilakukan pada pasien yang mengalami perburukan secara cepat.
Pemilihan kultur harus berpedoman sesuai dengan manifestasi klinis. Sampel yang
diambil dari bnyak tempat tidak hanya membingungkan hasil berkaitan dengan
kontaminasi kultur sumber kolonisasi, tapi hal ini juga berkaitan dengan biaya yang tidak
efektif dan menjadi resiko tambahan bagi pasien. Kultur ulangan dapat menjadi pendekatan
untuk menilai perubahan tipe dari organisme atau resistensi.
Setidaknya ada dua kultur darah perifer (aerobic dan anaerobic) yang harus diukur
dari sumber anatomic yang berbeda atau dari sumber yang sama tapi dilakukan dengan
jarak 30 menit. Volume darah 10 15 ml/set optimal untuk dewasa. Pengambilan kultur
darah yang berasal daari kateter vena sentral dapat mengasilkan hasil positif palsu akibat
adanya kontaminasi bacterial pada sambungan kateter. Isolasi kultur darah penting untuk
diagnose dari beberapa organisme (seperti Candida, Micobaterium) atau pada pasien yang
akan mendapatan terapi antimikroba.
Kulltur dari traktus respiratori memerlukan sputum dahak dari pasien pasien yang
tidak teritubansi dan suction trakea atau spesimen bronkoskopi dari pasien yang terintubasi.
Banyak ahli mikrobiologi akan menggambarkan dari specimen berdasarkan jumlah epitel
dan netrofil untuk menentukan akuratnya kultur. Kultur kuantitatif dari traktur respirasi
bawah dapat menggambarkan Antara koloni dan patologi bacterial.

G. STUDI TAMBAHAN

Bagaimanapun, beberapa studi spesifik dari jantung, CNS, dan abdomen / retroperitonium
tergambar dalam table 11.4 berikut

PILIHAN STUDI TAMBAHAN


Thorak
Gambaran Radiografi AP Lateral thorak
Radiografi torak lateral decubitus atau evaluasi USG pada cairan pleura
CT-scan thorak untuk evaluasi mediastinum parenkim paru dan lesi basal pleura
Torakosintesis jika terdapt cairan
Transthoracic dan atau transesofageal ekokardiogram
SSP
Pungsi lumbal untuk pasien dengan infeksi SSP termasuk pasien dengan
meningismus/ perubahan status mental tanpa penyebab yang tampak. Lumbal
pungsi dilakukan pada neonates yang demam karena meningkatkan kejadin
sepsis engan meningitis pada beberapa pasien. Kontraindikasi pada
trombositopenia yang berat koagulopati, suspek massa intracranial atau
gangguan respirasi yang berat yang berhubungan dengan posisi. Jika
keterlambatan dari 1 jam atau lebih antisispasi sebelum dilakukan lumbal pungsi,
antimikroba sebaiknya dimulai dengan cepat sebelum prosedur dimulai.
CT-scn atau MRI pada kepala dan tulang belakang
Elektroensefalogram.
Abdomen atau Retroperitoneum
supinasi, tegak lurus atau supinasi decubitus untuk menilai udara bebas
CT-scan, biasanya dengan intravena atau oral kontras
USG Hepar
USG Renal

III. Study kasus


Seorang wanita 23 tahun dengan kecelakan motor dipindahkan ke ICU lalu dilakukan
intubasi 4 hari bersamaan dengan adanya kontusio pulmonary. Setalah 1 hari dia demam
dan WBC meningkat dan hipoksemia yang memburuk. Kamu dipanggil untuk evaluasi.
- Apa sumber infeksi dari pasien ini?
- Apa factor yang mempengaruhi pemilihan antimikroba kamu?

Proritas pertama manajemen pasien yang hemodinamik tidak stabil dan infeksi berat atau
yang mengancam adalah Resusitasi. Setelah dievaluasi riwayat pasien, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang (laboratorium dan CT-scan), agen antimikroba dapat dipilih
dengan dengan cepat.

Control sumber penybab infeksi adalah penting untuk hasil baik dan hal yang perlu
menjadi tambahan dalam terapi antimikroba yang adekuat. Misalnya control sumber pada
manajemen luka, drainase perkutaneus atau bedah pada infeksi tertutup, dan pembedahan.
Terapi antimikroba drekomendasikan pada pasien yang manifestasi klinisnya sesuai
dengan pedoman yang ada. Untuk scenario klinis, pilihan antmikroba harus disesuaikan
dengan manifestasi klinis dan epidemiologi dan dan infeksi mikrobiologi termasuk
prevalensi mikroba yang tampak dan adanya resistensi atau komunitas local.

Pilihan pendekatan terapi antimikroba yang diyakini dengan beberapa factor, berikut.

1. Suspek pathogen microbial dan daerah tempat infeksi


Tempat infeksi yang paling sering mengancam nyawa pada pasien dewasa adalah
saluran resprasi bawah, kapasitas intraabdomen dan pembuluh darah. Progresi cepat
Infeksi softissue dan infeksi SSP sebaiknya juga dipertimbangkan dan klinisnya
tampak. Penetrasi antimikroba ke tempat infeksi harus dipertimbangkan. SSP dan Paru
merupakan dua tempat penetrasi dari antimikroba yang terbatas, oleh karena itu
karakteristik farmakokinetik dari pemilihan agen harus diketahui untuk menjami
aktivitas maksmal antimikroba pada tempat tersebut.
2. Hasil kuman Gram terdapat pada pasien yang suspek infeksi
Deskripsi awal hasil kuman merupakan jembatan bagi klinisi untuk mengkategorikan
organisme yang terlibat. Contohnya pada kuman gram positif dalam kelompok
Staphylococci atau kelompok dan rantai (eneterococci,streptococci), diplokokus
bebentuk tombak (pneumococcus), bakteri gram positif (cornybacterium, NOcardia),
bakteri gram negative (Escheriacolli, Klabsiella,Pseudomonas), pleomorphic kecil
bakteri gram negative (Bcterioides spp), gram negative coccobacilli (Hemophiliccus
spp, Morasella, Acinetobacter), dan jamur (candida). Bagaimanapun, klinisi harus
menunggu hasil kultur untuk mengganti terapi antimikroba inisial.
3. Penilaian resisten antimikroba
Prediksi factor pathogen bacterial mungkin resisten luas terhadap antimikroba adalah:
- Utamakan isolasi resisten kuman dari pasien yang sama
- Utamakan terapi antimikroba (spectrum luas seperti antipseudomonas
kombinasi penisilin/ laktase inhibitor, sefalosforin generasi 3 atau 4,
fluorokuinolon, karbapenem, dll)
- Perawatan di rumah sakit atau ICU
- Nilai endemic tinggi multidrug resisten bakteri di ICU tau rumah sakit,
- Teruskan terapi di RS tau ICU
- Long term dialisys
- Tempatkan di ruang perawatan dan fasilitas kesehatan
- Penyakit imunosupresif atau terapi

Umumnya terjadi peningkatan resistensi organisme pada antimikroba. Kategori


ini termasuk streptokokus pneumonia, dengan resisten sedang atau tinggi pada
penisislin dan ceftriaxone, kuman eneterococcus faecium resisten ampicillin
dan fancomisin, staphilokokus aureus resisten pada oksasilin/ metisilin, bakteri
gram negative (E.colli, klabsiela pneumonia) dengan spectrum luas lactamase
atau chromosomal mediated lactamase diamati produksi kuman pseudomonas
aeroginosa, atau mekanisme lain multiple resisten terapi antimicrobial spectrum
luas. Ini vital untuk diketahui dan terbaru gambaran resistensi perbedaan
pathogen bakteri di Rumah sakit atau ICU.
4. Kondisi komorbid
Nefrotoxic minimal antimikroba mungkin lebih bai pada pasien dengan gangguan
fungsi renal atau pasien beresiko gagal ginjal kecuali keuntungan pengguna obesitas
yang beresiko disfungsi renal. Kormobiditas lain untuk dipertimbangkan yakni supsi
sumsus tulang, gagal hati akut atau kronik, penurunan pendengaran, kehamilan, dan
adanya riwayat hipersensitifitas pada antimikroba spesifik.

IV. REKOMENDASI TERAPI ANTIMIKROBA

Penggunaan terapi antimikroba direkomendasikan menjadi dasar sumber kemungkinan


tida adanya mikroba dalam kultur. Klinisi sebaiknya selalu mempertimbangkan dosis,
penyesuaian dosis, kemungkinan interaksi, dan efek samping. Terapi antimikroba harus
diberikan pada dosis terapi maximum. Pada pasien sakit kritis, pemberian intravena
lebih baik daripada pemberian intramuscular atau oral. Dosis oral antimicrobial dengan
equivalen serupa (contohnya kuinolon) dan penyerapan gastrointestinal yang adekuat
diberikan setelah pasien stabil. Dosis tambahan harus dibuat untuk pasien tua, neonates,
anak-anak, dan pasien dengan gangguan hati dan ginjal. Penurunan antimikroba harus
dilakukanpada hasil kultur yang negative. Pada tatalaksana infeksi antimikroba harus
tepat dan berespon.

A. SSP
1. Meningitis
Semua penyakit infeksi salahsatunya bakteri meningitis adalah yang emergensi,
ketika meningitis di dapatkan sebagai dugaan klinis. Rumah sakit
memeprtimbangkan terapi antimikroba tanpa harus menunggu hasil lumbal
pungsi, komunitas yang mendapatkan bakteri meningitis akut pada dewasa
biasanya adalah S.pneumoniae atau Niessheria meningitides. dan terapi empiric
awal dengan sefalosporin generasi 3 (ceftriaxone atau cefotaxim) merupakan
terapi adekuat, dengan penambahan vancomisin jika penisisli resisten S
Pneumonia sudah dicurigai dan konfirmasi. Jika S pneumonia diisolasi,
sefalosporin generasi ketiga dapat diulang sampai sensivitas peniislin di
konfirmasi, dimana pasien dapat diberikan penisilin dosis tinggi. G.N
meningidtidis pada cairan serebrosinal atau kultur otak dapat diterapi dengan
dosis tinggi dengan penisilin parenteral G. jika N meningiditis diisolasi, pekerja
perawat yang terekspos infeksi diberikan antimikroba profilaksis. Pada
penambahan terapi antimikroba tambahan dexametason (0,15 mg/kg intravena
/ 6 jam selama 2-4hari ) dapat direkomendasikan untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas, khususnya meningitis pneumococcal.
Listeria monocytogenes mungkin merupakan penyebab meningitis bacterial
pada usia yang extrim (neonates, anak dan tua) dan pada pasien dengan
kerusakan limfosit T, biasanya pada Diabetes, penggunaan kortikosteroid dan
terapi imunsupresif. Pasien dengan suspek Listeria meningitis sebaiknya
diberikan ampicillin (trimetroprim/sulfametosazol pada pasien yang alergi
penisilin) . siapa yang memiliki prosedur neurosurgical sebelumnya atau
pemasangan shunt meningkatkan factor resiko S. Aureus, Streptococci negative
koagulasi, bakteri gram negative (pseudomonas, klabsiela). Untuk itu,
beberapa pasien diberikan antimikroba awal denga vancomisin dosis tinggi dan
sefalosforin genarasi 3 atau 4. Jika pemberian metisilin dan kuman S aureus
dikonfirmasi, maka nafsilin adalah obat pilihannya.
2. Ensefalitis atau meningoensefalitis.
Banyak agen viral dapat menyebabkan ensefalitis atau meningoensefalitis,
namun hanya herpes simplek (HSV) dan cytomegalovirus (CMV) ensefalitis
yang dapat diterapi. Herpessimplek ensefalitis biasanya disebabkan individu
yang imunokompartemen dalam komunitas. Ini termasuk emergensi. Demam,
letargi, pusing, dan kejang merupakan gambaran umum yang tampak.
Hemorgik LCS dan kerusakan lobus pada studi imaging atau
elektroensefalografi menunjukkan HSV ensefalitis. Jika HSV ensefalitis sudah
dicurigai dan terkonfirmasi maka pemberian asiklovir csecara cepat selama 14-
21 hari. CMV ensefalitis biasanya pada pasien imunosupresif (HIV) dan pasien
dengan transplantasi gambarannya sama dengan HSV ensefalitis. Percobaan
reaksi rantai Polimerasi LCS untuk CMV sangat sensitive dan pemberian
terapinya yakni gansiklovir atau foscarnet.
3. Abses otak
Abses otak adalah infeksi yang jarang tapi harus di curigai pada pasien dengan
infeksi kronis pada struktur parameningeal, endokarditis atau penyakit
kongenital jantung sianotik. Abses otak juga berhubungan dengan
imunokompromise seperti pasien AIDS, pengguna obat-obatan intravena atau
penerima donor. Terapi antimikroba awalsebaiknya termasuk vancomisin,
metronidazole dosis tinggi, sefalosporin generasi 3 (ceftriaxone). pada pasien
dengan resiko tiggnggi untuk toxoplasmisis, primetamin atau sulfadiazin
menjadi bagian antimikroba awal .

B. Traktus Respiratori

1. Severe Community acquired pneumonia (imunokompeten Host)


Hasil organisme yang sering d Rumah sakit untuk terjadinya pneumonia yang didapat
adalah S Pneumniae tapi organisme penyebab lain termasuk Legionnela, Mycoplasma dan
Clamidia. Haemopilus influenza yakni pathogen yang jarang di amerika sejak
diperkenalkanya vaksi H.nfluenza tipe B pada anak. lactam (ceftriaxone, cefotaxim,
ampisilin) salahsatu macrolide (azitromisin) atau fluroquinolon direkomendasikan pada
pasien di ICU. Jika pasien alergi penisilin, fluikonolon respiratori dan aztreonam
direkomendasikan. Jika aspirasi pneumonia menjadi suspek (alkoholik,infeksi akar gigi)
pemberian klindamisin dijamin kecuali lactam inhibitor kombinasi lebih menguntungkan.
Jika pseudomonas ditemukan, antipseudomonas lactam (piperasilin tazobactam,
cefepime, imipenem, atau meropenem) dapat digunakan

2. Community acquired pneumonia


Pasien imunokompromise dengan pneumonia memiliki pathogenesis yang sama seperti
pasien imunokompeten tapi memiliki infeksi bberat. Gambaran radiografi pneumonia awal
atau pasien dengan radiografi torak normal dengan gejala respiratori yang jelas memiliki
deficit sel T (AIDS, penggunaan steroid yang lama) diberikan trimetroprim
sulfametoxazole dengan dosis yang tepat pada infeksi pneumositis carinii. Pertimbangan
pemberian steroi pada Pneumonia P.Carinii berhubngan signifikan dengan hypoxemia.
Lesi fokal (abses,nodul) menggambarkan infeksi jamur, M.Tuberculosis, atau Nocardia,
diberikan antifungal , antimikobakterial dan trimetroprim sulfametoxazole dimungkinkan
menjamin perbaikan.
3. Nasokomial dan ventilator berkaitan dengan Pneumonia
Organisme gram negative dan S. Aureus sering menyebabkan Pneumonia pada pasien di
Rumah sakit atau yang mendapatkan terapi ventilasi mekanik. Organisme nasokomial
cenderung resisten dan sering terjadi pada pasien yang tinggal lama di rumah sakit,
pemberian antimikroba awal dan komorbiditas. Jika dimungkin kan sebaiknya diambil
sampel dari traktus respirasi untuk mengevaluasi mikrobiologik kuantitatif pada pasien
yang mendapat terapi ventilasi mekanik. Antimikroba adekuat biasanya diberikan dengan
sefalosforin generasi 3 atau 4, lactam / kombinasi lactam inhibitor atau carbapenem ,
ditambah flurokuinolon atau aminoglikosid. Jika pseudomonas menjadi pertimbangan
atipseudomonas lactam (dpiperazilin/tazobaktam, cefepime, meropenem) dapat
dignakan. Pneumonia berkaitan dengan metisilin sensitive pada kuman S aureus dapat
diterapi dengan antistaphilococcal penisilin sebagai salah satu agen yang lebih baik dari
vancomisin. Pasien dengan resisten metisilin S aureus dan dengan vancomisin tidak
respon dengan vancomisisn dapat diterapi dengan linezolid. Jika vancomisin bermanfaat,
kadar serum sebaiknya dilakukan dosis pemeliharaan tidak kuran dari 5 10 g/mL
Sampai agen obat ini menembus paru hingga habis.

C. Jantung
Infeksi jantung biasanya berat dan mengancam hidup, sebaiknya berkoordinasi
dengan penanganan medic oleh ahli jantung dan kadang juga dengan bedah jantung.
Studi mikrobiologi dan ekokardiografi (transthoracic atau transesofageal) untuk
diagnosis dan manajemen dari infeksi lain di jantung
Infeksi endocarditis, atau infeksi endokardial, lebih banyak dikaitkan dengan katup
jantung. Penyalahguna obat intravena, katup prostetik, sclerosis dari katup yang
berhubungan dengan usia tua, infeksi yang didapat dari rumah sakit dan pathogen
yang baru teridentifikasi (Bartonella spp, coxiella, bunetti, Tropheryma whipplei,
fungi) merupakan factor resiko dari kondisi ini. Infeksi pembuluhdarah dan
gambaran EKG yang positif dari vegetasi katup adalah kunci penegakan diagnosis,
meskipun fenomena emboli perifer dan penemuan lain juga menjadi penunjuk yang
kuat. Bakter gram positif seperti staphylococcus dan streptococcus dan juga
enterococcus biasanya lebih sering terinfeksi pada endocarditis di populasi umum
dan populasi yang beresiko (Penyalahguna obat intravena, katup prostetik
endocarditis) tapi gram negative , polimikrobial, dan kultur negative endokarditis
menjadi biasa .

D. Kateter Intravaskuler
Pasien dengan konfirmasi atau curiga infeksi kateter intravaskuler berhubungan
dengan disfungsi organ, emboli sistemik, atau instabilitas kardiovaskuler, kateter
intravaskuler sbaiknya dilepaskan segera. Pada keadaan perubahan local
penempatan kateter (purulent, eritema) harus dilakukan pelepasan kateter. Pada
keadaan perubhan local atau sepsis , suatu pilihannya adalah memasukkan kateter
baru di tempat yang baru sesuai dengan pedoman. Bagaimanapun, kebutuhan
pemeriksaan dengan tambahan kultur darah lebih baik dari kultur intradermal.
Koagulasi- negative Staphylococcus dan S aureus lebih sering sebagai pathogen di
kateter yang berhubungan engan infeksi pembuluh darah.
Pasien dengan imunokompeten yang memiliki koagulase-negative infeksi
staphylococcal tapi tidak ada gejala sistemik, pelepasan kateter yang terinfeksi
kemungkinan cukup. Vancomisin direkomendasikan untuk Pasien dengan
imunokompromise dengan koagulase-negative staphylococcus dengan manifestasi
sistemik atau dengan alat prostetik yang beresiko menjadi infeksi yang kedua. Jika
S aureus menginfeksi maka nafsilin direkomendasikan bagaimapun jika nilai
meningkat dari MRSA di rumah sakit atau MRSA terkonfirmasi , maka
vancomysin harus digunakan. Sefalosporin generasi 3 atau 4 atau fluoroquinolon
sebaiknya diberikan jika nasokomial organisme gram negative dicurigai.
Candida kadang terjebak dalam ujiung kateter dan meningkatkan dugaan
candidemia yang mungkin terjadi diakhir. Pengobatan pilihan adalah fluconazole
atau jika mungkin resisten candida, caspofungin dapat digunakan. Ketika
mikroorganisme fungal diidentifikasi dalam kateter intravascular berhubungan
dengan infeksi pembuluh darah, kateter tetap harus dilepaskan.
E. Abdomen
Ketika intrabadomen dicurigai mengalami infeksi, ahli bedah harus melakukan
evaluasi pasien. Keduanya, infeksi flora dan terapi antimikroba berhubungan untuk
infeksi yang didapat dari rumah. Untuk infeksi yang didapat dari rumahsakit ,
kemungkinan factor penyebab bakteri dari terjadinya perforasi yakni gram positif,
bakteri gram negative aerobic, pada proximal usus halus dan anaerob pada proximal
ileum. Rekomendasi terapi termasuk lactam / lactam inhibitor kombinasi dan
carbapenem sebagai monoterapi atau sefalosporin / fluorokuinolon dengan
metronidazole. Terapi antimikroba sebaiknya dilanjutkan sampai gejala mnghilang
dan sebaiknya 5 sampai 7 hari. Diagnosis lebih lanjut bekerja pada pasien dengan
persisten atau gejala yang berulang . Isolasi flora dari rumah sakit yang
berhubungan dengan infeksi intraabdominal menyerupai infeksi nasokomial
lainnya. Terapi antimikroba menjadi dasar dan pengetahuan flora dan kemungkinan
antimikroba di instalasi. Terapi antifungal diindikasikan hanya pada isolasi fungi
dan kondisi komorbid yang baru seperti terapi imunosupresif untuk neoplasma ,
transplantasi dan penyakit inflamatori.

F. TRAKTUS URINARI
Pathogen yang sering ditemukan dari infeksi traktus urinarius yakni bakteri gram
negatif. Pasien rumah sakit dengan penggunaan kateter biasanya memiliki
bakteriuria yang menggambarkan tidak adanyan pyuria atau gejala local. Beberapa
pasien (dengan keadaan obstruksi urologi) jarang berkembang sepsis atau
bakterimia timbul dari traktus urinary, dan pelepasan kateter merupakan resolusi
bakteriuria. Pasien dengan infeksi traktus urinary atas selalu diberikan terapi
dengan antimikroba. Kompliasi berat pada pasien diabetik atau pasien
imunokompromise termasuk empisematous pyelonephritis , necrosisi papillary atau
abses perinefric kemungkinan membutuhkan intervesi bedah. Pilihan antimikroba
dari infeksi gram negative saluran urin dilakukan dengan percobaan dugaan dan
termasuk berikut :
Sefalosporin generasi ketiga
Fluoroquinolon
Aminoglikosid
Piperacilin-tazobactam
Trimetropin-sulfametxazole

Infeksi enterococcal di system urinary kemungkinan pada pasien yang menggunakan


katater lama atau baru saja dilakukan tindakan pada traktus urinarius. Terapi sebaiknya diberikan
ampisislin, piperasilin, atau vancomysin

Candiduria biasanya jarang dan biasanya tergambar pada pasien yang menggunkan kateter
pada waktu yang lama dan mendapatkan terapi antimikroba sprektum luas atau pasien dengan
glikosuria. Pilihan terapi termasuk fluconazole. (tidak efektif untuk T glabrata atau C krussei) atau
amphotericin yang berkepanjangan dapat mengirigasi vesica. Jika kandiduria diterapi pada pasien
dengan kateter indwelling sebaiknya kateter dirubah atau dilepas selama terapi berlangsung.

G. INFEKSI KUTANEUS
S. Aureus atau grup hemolytic streptococcus lebih sering menjadi etiologi umum
penyebab selulitis atau abses kutaneus. H influaeza juga menjadi selulitis wajah
atau orbita. Infeksi saat penyembuhan post operatif biaanya muncul 5-7 hari setelah
operasi, bagaimanapun, percepatan infeksi luka muncul 24-48 jam setelah operasi
dapat mendorong pertimbangan atas Clostridium perfringens atau grup hemolytic
streptococcus. Infeksi tipe ini memerlukan tindakan bedah debridemen dan terapi
antimikroba cepat dengan pemeriksaan kuman gram dan kultur.

Pemilihan antimicrobial termasuk dibawah ini :

Cefazolin atau nafcilin jika mmethicilin resisten S aureus


Vancomisin atau linezolid jika pasti resisten methicillin
Penisilin G dengan atau tanpa clindamisin untuk infeksi
luka yang berkembang kurang dari 48 jam untuk
melindungi dari kuman C perfringens dan grup
hemolytic streptococcus.
Sindrom syok akibat toksin luka merupakan kondisi yang langka dan dapat berkembang kurang
dari 48 jam dari luka insisi bedah. Penyebab toksin merupakan produksi dari S aureus atau
hemolytic streptococcus tapi sering infeksinya tidak terlihat daari luka. Gambaran gejala seperti
demam , diare , muntah , hipotensi dan uremia. Eritoderma dan deskuamasi berikutnya merupakan
karakteristik tapi dapat tertunda dalam beberpa hari. Tatalaksana yakni pembersihan luka dan
penggunaan terapi antimikroba.

H. NEKROSIS AKIBAT INFEKSI JARINGAN


Infeksi jaringan subkutaneus, fascia, otot sering terjadi pada pasien tapi lebih sering
pada pasien imunokompromise dan pada pasien diabetes. Jika udara tergambar
pada jaringan , gangrene kutaneus atau adanya bula, atau infeksi yan cepat, nekrosis
jaringan harus dapat dipertimbangkan. Kondisi ini memerlukan dbredement yang
cepat dan terapi anti mikroba spectrum luas terapi inferik non adekuat dapat
diberikan fancomisin dan a beta lactam aau beta lactase inhibitor , karbapenen dan
fluloklinolol , atau aminogliserida dan klindamisin

I. Imunokompromise atau pasien Neutropeni


Pada sumber spesifik, hasil kultur yang tertahan , terapi antimikroba spectrum luas
diindikasikan pada pasien Imunokompromise atau pasien Neutropeni dengan
demam. Monoterapi dapat efektif tapi kombinasi terapi diindikasikan pada pasien
dengan penyakit yang berat. Untuk mengihindari emergensi dan resisten
sefalosporin generasi 3 dapat digunakan sebagai terapi jika pseudomonas spp ,
acinobacter spp, enterobacter spp, citrobacter spp diemukan.
Usualn regimen antimikroba yang dapat digunakan :
Sefalosporin generasi 3 atau 4 (ceftazidin atau cefeprime
pada P Aeroginosa) dengan Aminoglikosid atau
flurokuinolon
Carbapenem
Piperasilin- tazobactam
Tambahan vancomysisn jika bakteri gram positif ditemukan
Untuk menggunakan Growth factor white cell (koloni granulosit-faktor stimulasi, koloni granulasi
makrofag/stimulasi factor) dapat memperbaiki dengan memperpendek durasi neutropenia.
Stimulant progenitor sel dapat menjadi target pada pasien dengan antisipasi neutropenia 5 sampai
7 hari dan resiko tinggi infeksi berat.

J. Antibiotik yang dihubungkan dengan Colitis

Antibiotic berhubungan diare dan colitis hasil dari infeksi C difficile dan komplikasi
rangkaian tatalaksana dari beberapa pasien. Antimikroba kebanyakan termasuk
clindamisis, penisilin, sefalosporin dan kuinolon terhadap infeksi memberikan
gambaran berhubungan dengan antimikroba lainnya. Pasien tidak memerlukan terapi
antimicrobial untuk memperbaiki kondisinya.

C difficile merupakan salah satu pathogen nasokomial yang menjadi transmisi silang
pada area yang berdekatan. Diagnosis biasanya sudah diidentifikasi pada toxin C
difficile dan deteksi aktivitas sitotoksin pada kultur jaringan. Tatalaksana dimulai
dengan diskontinutatum terapi antimikroba dengan maksud (jika mungkin) dan awal
dari terapi antimikroba spesifik yang melawan C difficile jika gejalanya sedang, berat
atau persisten. Regimen yang lebih disukai adala metronidazole oral 250-500 mg 3
kali sehari selama 10 hari. Vancomysisn 125 500 mg empat kali sehari selama 10 hari
, juga efektif tapi ini digunakan sedikit untuk mengurani resisten organisme. Pada
pasien yang tidak bisa menggunakan oral, vacomisin intraluminal dengan atau tanpa
intravena, metronidazole direkomendasikan. Colitis fulminant tidak respon untuk
pengukuran atau proseif dengan megacolon toxic yang mungkin dilakukan coloctomi
total.

Fidaxomicin merupakan kelas utama , antibiotic macrocylic spectrum sedang, yang


membasmi C difficile dengan gangguan minimal dari flora normal intestinal.
Pendekatan dengan US food dan Drug Admnistration untuk tatalaksanan dan dan
pencegahan berulang C difficile pada anak usia < 16 tahun dan dipertimbangkan juga
pengguanaan pada dewasa.
K. Penyakit Fungal
Infeksi yang mengancam yang berkaitan dengan fungi mungkin berbeda untuk
diagnosis dari pmeriksaan fisik atau kultur ruitn. Candida albikans adalah
organisme etiologi yang umum penyebab penyakit pasien. Spesie non albican
candida dan jenis fungi lainnya meningkat beberapa tahun ini, infeksi jamur
dipertimbangkan berdasarakan geografik lokasi dan factor predisposis sepeti HIV,
malignansi , neutrophenia, penggunaan steroid yang lama, terapi antimikroba
spectrum luas, nutrisi parenteral, luak bakar berat atau transplantasi organ atau
pemasanan kateter sentra vena vascular.
Polynens (Amphotericin B dan amphotericin B preparat lipid) memiliki bnyak
kegunaan untuk agen infeksi fungal yang serius. Agen yang lebih baru
(caspofungin, voriconazol) memperlihatkan perbandingan atau hasil klinis utama
dengan polynen lain. Semua formulasi lipid memiliki nefrotoxic yang rendah dan
efikasi melawan Candida sama dengan Amphtericin B. Fluconazole tetap aktif
melawan banyak spsies Candida dan Cryptococcus, dan Itraconazole digunakan
untuk beberapa infeksi jamur. Kedua agen tersebut penting pada profilaksis primer
atau sekunder. Agen baru seperti Voriconazole, posaconazole, dan caspofungin,
memiliki aktivitas peralawanan Candida yang resisten dan beberapa infeksi jamur
yang resisten dengan regimen lain. Studi terbaru menunjukkan peran pada
pengobatan demam nutropenic dan infeksi fungi pada pasien imunokompromise.

L. TERAPI LAIN
Dalam penambahan terapi antimikroba , intervensi bedah harus dipertimbangkan
pada pasien dengan infeksi yang mengancam hidup. Adanya abses harus dillakukan
drainase, dan cedera atau iskemik organ harus diperbaiki atau diangkat. Kateter
vascular mungkin jadi sumber infeksi yang harus dilepaskan. Konsultasi
pembedahan awal sebaiknya dilakukan ketika abdomen yang menjadi sumber
infeksi pada pasien yang sakit kritis.
M. Healthcare Associated Infection Control (HAI)
Estimasi data terbaru menyatakan satu dari 10 sampai 20 (5-10%) pasien rumah
sakit mengalami hubungan Antara infeksi dan perawatan setiap tahun. HAI
berhubungan dengan lebih dari 10.00 kematian di US. Banyak penelitian
menunjukkan peningkatan HAI pada pasien yang meningkat lama, dan tingkat
mortalitas dan morbiditas. Pedoman tidak selalu sama dengan seorang individu
diantara pasien lain dan tidak termasuk tatalaksana fisik yang sesuai dengan situasi
dan kondisi pasien.

RESUME

Demam merupakan manifestasi sistemik yang sering dengan pasien yang


dicurigai infeksi
Sebaiknya, pendekatan kultur dilakukan sebelum pemberian antibiotic pada
pasien dengan suspek infeksi
Seleksi pemberian antimikroba empiric disesuaikan dengan suspek pathogen,
lokasi tempat infeksi, hasil kultur gram dari specimen pada lokasi infeksi,
penilaian resistensi antimikroba dan kondisi komorbid
Ketika mencurigai meningitis bacterial, terapi antimikroba diberikan sesegera
mungkin tanpa menunggu hasil pungsi lumbal
Organisme yang paling sering didapat pada komunitas dan pneumonia yang
mengancam hidup adal Streptococcus pneumonia
Organisme gram negative yang resisten dan Staphylococcus merupakan
penyebab terbanyak pada pasien rumah sakit atau pengguna alat ventilasi
mekanik.
Terapi antimikroba bakterisidal, merupakan agen konstentrasi tinggi
antimikroba, menggambarkan resistensi mikroba dan terapi jangka panjang
merupakan terapi dengan infeksi endocarditis.
Dugaan infeksi intraabdominal memerlukan tindakan pembedahan
Infeksi jaringan yang nekrosis diperlukan debridement dan terapi antimikroba
spectrum luas.
Pada sumber infeksi yang tidak spesifik dan hasil kultur yang lama, terapi
antimicrobial diindikasikan pada imunokompromise atau pasien neutropenic
dengan demam.
Infeksi fungal sebaiknya dipertimbangkan factor predisposisnya, seperti pada
malignansi, neutropenia, terapi antimikroba spectrum luas , nutrisi parenteral,
luka bakar berat, atau transpalantasi organ, atau jika kateter vena sentral
vaskuler terpasang.

Anda mungkin juga menyukai