Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia buah dan dan sayur merupakan bahan pangan yang sangat

mudah didapatkan, bahkan disetiap daerah memiliki buah atau sayur sebagai ciri

khas untuk daerah tersebut, misalnya kota Malang merupakan daerah penghasil apel

dengan rasa yang spesifik yaitu rasa asam yang mendominasi, sehingga setiap apel

yang ditanam di Malang mempunyai nama Apel Malang. Buah dan sayur memiliki

peranan yang sangat besar bagi tubuh kita yaitu sebagai sumber vitamin dan mineral

yang diperlukan oleh tubuh yang berfungsi sebagai zat pengatur. Buah dan sayur

dengan beraneka jenis dan warna yang beranekaragam dapat saling melengkapi

kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh kita. Disamping itu, salah satu bahan

pangan yang banyak mengandung serat terdapat pada buah dan sayur. Serat

mempunyai peranan dalam proses pencernaan yang sangat penting. Serat

melancarkan pencernaan, bahkan pada mereka yang menderita kelebihan gizi, serat

dapat mencegah dan mengurangi resiko penyakit akibat kegemukan (Jahari dan

Sumarno, 2001).

Sekretaris Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Sri

Kuntarsih pada tanggal 14 Juni 2010 yang diliput oleh situs Republika Online,

menuturkan, tingkat konsumsi sayuran rakyat Indonesia termasuk yang paling rendah

di dunia. Rakyat Indonesia hanya mengonsumsi 35 kilogram sayuran per kapita per

tahun. Angka itu jauh lebih rendah dengan angka konsumsi sayuran yang dianjurkan

organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization/FAO),

Universitas Sumatera Utara


yaitu 75 kilogram per kapita per tahun. Rendahnya konsumsi sayuran masyarakat

mengakibatkan penyakit pencernaan dan sembelit yang bisa fatal bagi kesehatan

(Anonim, 2010).

Pada saat yang bersamaan Direktur Budidaya Tanaman Sayuran dan

Biofarmaka Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Yul H Bahar,

menambahkan, berdasarkan data terakhir yang dikeluarkan FAO, tingkat konsumsi

sayuran masyarakat Indonesia hanya lebih tinggi dari Thailand. Kita ada di angka 35

kilogram per kapita per tahun, sedangkan Thailand 30 kilogram per kapita per tahun.

Tingkat konsumsi sayuran masyarakat dunia secara berjenjang adalah Cina (270

kilogram per kapita per tahun), Singapura (120 kilogram per kapita per tahun),

Myanmar (80 kilogram per kapita per tahun), Vietnam (75 kilogram per kapita per

tahun), Filipina (55 kilogram per kapita per tahun), India (50 kilogram per kapita per

tahun), Malaysia (49 kilogram per kapita per tahun), Indonesia (35 kilogram per

kapita per tahun), dan Thailand (30 kilogram per kapita per tahun) (Anonim, 2010).

Rata-rata konsumsi serat rumah tangga per orang diberbagai regional di

Indonesia masih belum mencapai jumlah konsumsi serat yang dianjurkan. Rata-rata

konsumsi serat rumah tangga per orang per hari di daerah kota sebesar 9,9 gram dan

di daerah desa lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan daerah kota, yaitu sebesar

10,7 gram. Secara keseluruhan konsumsi rata-rata serat rumah tangga per orang per

hari di Indonesia sebesar 10,5 gram/orang/hari. Sedangkan jumlah kecukupan

konsumsi serat yang dianjurkan adalah 20-35 gram/orang/hari (Jahari dan Sumarno,

2001).

Universitas Sumatera Utara


RISKESDA (Riset Kesehatan Dasar) Provinsi Sumatera Utara pada tahun

2007 mengumpulkan data frekuensi dan porsi asupan buah dan sayur, dengan

mengukur jumlah hari dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Hasil

RISKESDA 2007 menunjukkan secara keseluruhan hanya 5,5% penduduk umur 10

tahun ke atas yang mengonsumsi buah dan sayur sesuai dengan anjuran WHO di

Sumatera Utara. Di Sumatera Utara secara keseluruhan kecukupan konsumsi buah

dan sayur masih sangat rendah seperti di kabupaten Nias Selatan (0,1%), Nias

(0,4%), Simalungun (0,8%), Tapanuli Tengah (0,9%) dan Kota Sibolga (0,8%).

Sedangkan kecukupan makanan buah dan sayur sudah tinggi (di atas 10 persen)

diantara yang lain adalah Kabupaten Dairi (15,9%) dan Kota Binjai (10,7%).

Sedangkan Kota Medan sendiri hanya 5,4% dari penduduk umur 10 tahun ke atas

yang mengonsumsi buah dan sayur sesuai dengan yang dianjurkan WHO.

Pemerintah menargetkan pada tahun 2014 mendatang, konsumsi beras

masyarakat akan semakin menurun yang dipaparkan oleh Dr.Iskandar Adi Nuhung

(Staf ahli menteri bidang Teknologi Kementrian Pertanian) pada tanggal 12 Maret

2010 yang diliput oleh Jawa Pos Group di Jakarta. Konsumsi pangan masyarakat

diharapkan berupa makanan tambahan dari hasil pertanian lainnya seperti buah dan

sayuran. Kementerian Pertanian berusaha menurunkan konsumsi beras dari sekitar

130 kg per kapita per tahun, menjadi di bawah 100 kg per kapita per tahun di tahun

2014. Target penurunan ini diharapkan akan mendorong konsumsi hasil pertanian

seperti sayur dan buah-buahan, (Anonim, 2010).

Tanggal 5 Agustus 2010 Koran Jakarta memuat tulisan dari Purwiyatno

Hariyadi, Peneliti makanan dari Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian

Universitas Sumatera Utara


Bogor (IPB), mengatakan jalan untuk mengatasi stres oksidatif adalah dengan

mengonsumsi makanan yang mengandung banyak zat antioksidan. Buah dan sayur

merupakan pangan yang didalamnya mengandung banyak vitamin dan mineral yang

dibutuhkan tubuh untuk menghindari proses oksidasi oleh radikal bebas, dan

sebaiknya memakan buah yang berwarna dan beranekaragam jenisnya karena dengan

berwarna dan beranekaragam tentu mengandung pigmen-pigmen berisi vitamin yang

bersifat antioksidan dan saling melengkapi zat gizi yang dibutuhkan dan menutupi

kekurangan-kekurangan zat gizi lainnya (Anonim, 2010).

Secara umum anak-anak Indonesia lebih sulit mengonsumsi buah dan sayur

dibandingkan dengan anak-anak negara maju. Mereka selalu menghindari menu

makanan yang justru dianggap sangat penting bagi tubuh yaitu sayur-sayuran, karena

itu pendidikan dan penyuluhan gizi penting sekali peranannya dalam usaha

memperbaiki gizi masyarakat, khususnya perbaikan gizi bayi dan anak-anak balita

(Winarno, 1987).

Menyuruh anak makan sayur mungkin menjadi hal yang sulit bagi

kebanyakan ibu di Indonesia. Keadaan ini berbeda dengan di negara maju, sejak

kecil anak-anak telah mendapat pendidikan gizi secara teratur. Melalui pelajaran di

kelas dan program makan siang di sekolah (school lunch), anak-anak dididik supaya

memahami dan mempraktikkan pedoman gizi seimbang. Dengan pedoman itu,

hampir setiap hari mereka diingatkan agar menyukai beragam jenis makanan,

terutama jenis sayuran dan buah-buahan (Nuryati, 2010).

Hasil pertemuan antara FAO, UNESCO dan WHO menganjurkan agar

pendidikan gizi diberikan segera setelah anak masuk sekolah dasar, dan dilanjutkan

Universitas Sumatera Utara


disekolah-sekolah lanjutannya. Waktu anak masuk sekolah, mereka telah memiliki

kebiasaan makan tertentu. Apabila kebiasaan makan tersebut belum sesuai dengan

yang seharusnya, maka harus segera dilakukan upaya perbaikan agar jangan sampai

berkelanjutan. Ditingkat sekolah dasar, program sebaiknya ditunjukan agar anak

dapat memilih dan menikmati beragam makanan yang mengandung zat-zat gizi yang

diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak secara baik dan sehat

(Suhardjo, 2003).

Sampai saat ini di Indonesia ada empat masalah gizi utama dalam tumbuh

kembang anak yaitu kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi (AGB) (bahkan

WHO (2004) mengungkapkan anak sekolah yang menderita anemia gizi besi

sebanyak 40% dan diperkirakan prevalensi anemia untuk anak sekolah di negara

berkembang sebanyak 53% dan negara maju sebanyak 9%), kurang vitamin A

(KVA) dan gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Zat gizi mikro merupakan

zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah sedikit, namun esensial untuk

tubuh, zat gizi mikro terdapat pada pangan hewani dan nabati, karena harga pangan

hewani yang relative lebih mahal dibandingkan dengan pangan nabati maka lebih

baik masyarakat diajak untuk lebih mengonsumsi pangan nabati yang berupa buah-

buahan dan sayuran yang mengandung banyak mineral. Kekurangan salah satu zat

ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dan dampaknya tidak

akan dapat diperbaiki pada tahapan kehidupan selanjutnya (Harahap, 2004).

Masalah gizi lain yang juga menjadi masalah pada usia sekolah adalah

adanya gangguan pertumbuhan. Anak usia sekolah juga mengalami GAKY,

walaupun prevalensinya telah menurun secara berarti. Pada tahun 1980, prevalensi

Universitas Sumatera Utara


GAKY pada anak usia sekolah yang diukur dengan pembesaran kelenjar gondok

(Total Goiter Rate /TGR ) adalah 30%. Angka ini menurun menjadi 27,9% pada

tahun 1990, dan menjadi 11,1% pada tahun 2003 (Rencana Aksi Nasional Pangan

dan Gizi 2006-2010, 2010).

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti didapatkan

bahwa siswa yang bersekolah di SD Negeri 064975 bersifat heterogen baik dari segi

suku dan agamanya. Disekitar lingkungan sekolah banyak dijual makanan yang tidak

sehat baik dari hygiennya maupun keamanan jajanan tersebut. Jajanan yang tersedia

di sekitar sekolah pun dapat merusak selera makan dari anak-anak tersebut, karena

didominasi dengan rasa asin yang berasal dari MSG (Mono Sodium Glutamat), rasa

manis yang berasal dari pemanis buatan dan sebagainya.

Untuk mencegah agar para generasi bangsa tidak salah asupan gizi dan

berpengaruh terhadap proses belajar mengajar salah satu usaha yang dapat dilakukan

adalah dengan memberikan penyuluhan dengan menggunakan metode ceramah

dilengkapi dengan poster tentang buah dan sayuran. Penyuluhan dilakukan agar

sasaran dapat berpartisipasi aktif dan memberikan umpan balik terhadap materi

penyuluhan. Metode ceramah dapat dipakai pada sasaran dengan pendidikan rendah

maupun tinggi.

Universitas Sumatera Utara


1.2. Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruh penyuluhan konsumsi buah dan sayuran terhadap

pengetahuan dan sikap siswa SD Negeri 064975 Kecamatan Medan Denai Kota

Medan Tahun 2010.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh penyuluhan konsumsi buah dan sayuran

terhadap pengetahuan dan sikap siswa SD Negeri 064975 Kecamatan Medan Denai

Kota Medan Tahun 2010.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengetahuan siswa sebelum mendapatkan penyuluhan

tentang konsumsi buah dan sayur.

2. Untuk mengetahui pengetahuan siswa sesudah mendapatkan penyuluhan

tentang konsumsi buah dan sayur.

3. Untuk mengetahui sikap siswa sebelum mendapatkan penyuluhan tentang

konsumsi buah dan sayur.

4. Untuk mengetahui sikap siswa sesudah mendapatkan penyuluhan tentang

konsumsi buah dan sayur.

5. Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan siswa sebelum dan sesudah

mendapatkan penyuluhan tentang konsumsi buah dan sayur .

6. Untuk mengetahui perbedaan sikap siswa sebelum mendapatkan penyuluhan

dan sesudah mendapatkan penyuluhan tentang konsumsi buah dan sayur.

Universitas Sumatera Utara


1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada pihak penentu atau pembuat kebijakan

perbaikan gizi anak sekolah sebagai bagian dari upaya perbaikan mutu anak

didik ditingkat daerah maupun tingkat nasional dengan memperhatikan

pentingnya penyuluhan gizi di sekolah.

2. Sebagai bahan masukan kepada pihak petugas kesehatan di Puskesmas

khususnya bidang gizi agar lebih memperhatikan pentingnya penyuluhan gizi

di sekolah.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai