Anda di halaman 1dari 117
After School Date By Phoebe ZA. Publisher LA After School Date Penulis : Phoebe Tata Bahasa : Phoebe Tata Letak : ZA Publisher Sampul : ZA Publisher Ditebitkan oleh : ZA PUBLISHER Jl Saphire Blok R1 no 11. Jati Sari, Jati Asih, Bekasi. Facebook : ZA Publisher Fans pages : ZA Publisher Email : zapublisher2 @gmail.com Whatsapp : 081382389500 Cetakan pertama, April 2017 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All right reserved Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau selucuh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis. e ——_ “Sangat tampan, ya?” Seorang laki-laki berusia mendekati 30-an berseru tepat di sebelah telinga Sachi sambil memandangi poster yang menutupi sebagian besar gedung supermarket megah di seberang jalan. Gambar seseorang yang bisa dibilang tidak asing baginya, bahkan mungkin semua warga masyarakat di negara ini. Tsuyoshi Hidaka, seorang artis yang sedang naik daun karena suaranya yang easy Uistening. Di usia mudanya T’suyoshi bahkan bisa menarik hati para penikmat musik senior dengan suaranya yang cocok menyanyikan lagu apa saja. Dan saat ini, Sachi hanya mampu memandangi poster itu dengan hati yang berbunga-bunga. Pemuda di poster itu, dengan senyumnya terasa begitu nyata. “Kau mengidolakannya?" Tanya laki-laki itu lagi. "Dia artis itu, kan? Semua anak seusiamu mengidolakannya.” “Hei, Paman!” Seru Sachi tiba-tiba dengan suara yang agak keras. “Kau mengganggu khayalanku saja.” “Kenapa? Aku salah? Memang sangat banyak yang mengidolakan pemuda itu. Semua gadis seusiamu _pasti menyukainya. Kenapa kau seperti orang bodoh memandangi posternya di pinggir jalan? Aku sering bertemu dengan remaja yang mengidolakan selebriti secara fanatik, tapi ini pertama kalinya kulihat yang sekonyol dirimu, fansnya yang lain akan lebih memilih untuk membeli albumnya, dan poster seperti ini bisa kau beli dan kau tempel di kamarmu. Aku melihatmu kemari hampir setiap hari dan setiap aku melihatmu, kau pasti selalu melakukan hal konyol seperti ini selama berjam-jam. Apa kau tidak sekolah?” “Paman, tadi kau bilang yang mengidolakannya sangat banyak, kan? Tapi hanya aku yang memandangi poster ini setiap hari. Itu artinya aku benar-benar menyukainya dengan setulus hati. Kenapa kau mematahkan hatiku dengan berkata seperti itu?” Bab1 / E “Tya... Iya. Terserahlah. Tadi aku tanya apa kau tidak sekolah? Kau tidak mau menjawab pertanyaanku yang itu?” Sachi memandang ke arah orang yang dipanggilnya paman itu dengan lebih lekat. “Untuk apa sekolah? Aku bisa mempelajari apa yang ingin kupelajari. Aku bisa cerdas dengan sendirinya, sekolah cuma akan jadi tempatku bermain. Tapi sekarang aku sedang bosan ke sekolah. Kau tau? Aku ini sangat jenius. Tidak sekolah bagiku bukan masalah.” Jawab Sachi panjang dan penuh semangat. “Kau sendiri tidak bekerja?” “Aku dipecat!” Keluhnya ringan diiringi sebuah senyum. “Dipecat dan kau tersenyum? Wah,” Sachi kehabisan kata- kata. Paman yang anch ini kelihatan sangat banyak uang. Kemeja yang dipakainya juga terlihat seperti barang bermerek. Tapi seharusnya itu bukanlah hal yang aneh. Mungkin pria itu memang bekerja di sebuah perkantoran elit sebelum dia sampai di sini, berdiri di sebelah Sachi dan mengatakan bahwa dirinya sudah dipecat dari pekerjaannya. “Sejak kapan kau menyukainya?” Laki-laki itu bertanya sambil memandangi poster itu juga. Ia memilih berdiri bersisian dalam jarak yang begitu dekat di sebelah Sachi, sesekali matanya memandangi wajah Sachi dari sisi samping meskipun sekilas. “Sejak pertama kali aku memandang wajahnya dalam hidupku. Dua bulan lalu? Dia bernyanyi di salah satu acara musik di sebuah stasiun TV, namanya Tsuyoshi Hidaka.” “Kalau begitu... Apa kau baca majalah hari ini? Kalau kau sangat menyukainya, cobalah untuk mendekatinya.” Laki-laki itu kemudian memberikan majalah yang dari tadi dipegangnya kepada Sachi. Sebuah majalah mahal dengan kualitas gambar dan kertas yang sangat baik. Sachi memandang laki-laki itu heran. Ia tahu, untuk membeli majalah itu dua edisi saja, mungkin dirinya harus menjual I-pod kesayangannya. "Paman, kau masih bisa membeli sebuah majalah mahal setelah dipecat?” katanya sambil membolak-balik halaman majalah mencari sesuatu yang berkaitan dengan Tsuyoshi Hidaka. Apapun itu, firasat Sachi mengatakan bahwa ini akan jadi hal yang menarik. “Dipecat berarti aku harus cari kerja. Aku hanya melihat- lihat lowongan di majalah. Majalah mahal seharusnya memuat tawaran pekerjaan yang berkelas kan?” Katanya sambil mendekat kepada Sachi untuk membantu mencari halaman yang sedang anak itu cari. Sachi terkejut setelah melihat sebuah artikel di majalah. Laki-laki yang di poster itu adalah ikon sebuah supermarket. Dan supermarket memberikan undian bagi fans untuk mendapatkan kesempatan mengikuti sebuah acara seminggu bersama artis idola setelah membeli sebuah produk kecantikan. Tentu saja bukan hanya itu, pemenang pun akan mendapat kontrak kencan selama tiga bulan sebagai kekasih virtual sang selebriti dalam reality show “Red Date? yang sering ditayangkan oleh stasiun TV. Acara ini sudah berlangsung satu periode, dan undian untuk periode kedua sudah dibuka sejak seminggu yang lalu. “Pergilah ke sana, belilah sebuah produk, ikut undian dan dekati dia.” Kata laki-laki itu dengan semangat yang kelihatan dibuat-buat. Sachi masih membaca artikel dengan cermat. Kesempatan yang baik, memang hanya berlangsung selama satu minggu. Tapi siapa tahu Sachi yang terpilih untuk acara kencan itu. Dia pasti akan senang sekali. T'api Sachi tidak punya banyak uang untuk membeli produk kosmetik mahal itu. Ia menutup majalah dengan lesu. Tapi tiba-tiba Sachi teringat pada laki-laki yang berada di sebelahnya. "Paman, pinjami aku wang." “Apa?” laki-laki itu terkejut dan sontak memandang Sachi dengan penuh tanya. “Berani sekali kau meminjam uang pada orang yang baru kau kenal.” “Bukannya kau sudah mengenalku lama? Kau melihatku setiap hari di depan poster ini kan? Kau sendiri yang bilang bahwa aku harus menemuinya bila aku benar menyukainya. Bagaimana bisa kau tidak mendukung kata-katamu sendiri.” “Uang itu untuk apa? Untuk beli produk mahal itu? Aku harus mengorbankan perutku selama seminggu untuk satu produk saja.” “Kalau begitu pinjami aku uang untuk satu produk. Aku berjanji akan menang. Aku juga akan segera membayar hutang. Kau bisa mencariku di depan poster ini setiap hari.” “Bagaimana bila kau tidak muncul? Mau menipuku?” “Paman. Bukankah sudah kubilang kalau uangnya akan kuganti. Jumlahnya juga tidak begitu besar. Harganya sama dengan biaya naik taksi dari sini ke Bandara kan?” Laki-laki itu tampak berpikir lama. Tentu saja tidak. Harga kosmetik itu lebih mahal. Anak ini kelihatannya tidak pernah naik taksi. Tapi kemudian segera membuka dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang kepada Sachi. Sachi menerimanya dengan suka hati. “Bocah, kau harus kembalikan uangku, baik kau terpilih ataupun tidak. Satu minggu dari sekarang. Jika tidak, uang itu akan berbunga, dan kau harus siap di kejar-kejar karena tak sanggup membayarnya.’ Laki-laki itu kemudian tersenyum dan pergi meninggalkan Sachi begitu saja. seek Sebuah compact powder sudah berada di tangannya dan dipeluknya dengan erat. Ia akan bersama Tsuyoshi Hidaka. Hanya dia yang boleh bersama Tsuyoshi Hidaka dalam acara itu. Hanya dirinya yang boleh menang. “Nona, aku mau ikut undian, bagaimana caranya mendaftar?” Tanya Sachi pada kasir outlet kosmetik setelah dirinya berkeliling melihat-lihat. Sachi meletakkan compact powder- nya di atas meja kasir lalu merogoh sakunya mencari-cari uang hasil berhutang tadi. “Silahkan isi formulir ini.” Kata perempuan itu kemudian. "Malam ini akan diadakan pengundiannya. Tiga orang terpilih akan mendapat kesempatan wawancara besok pagi. Dan yang terpilih hanya satu. Kau bisa saja jadi pendaftar yang terakhir.” Sachi mengangguk mengerti. Perhatiannya kembali kepada formulir dan berusaha mengisinya dengan seksama. Nama, alamat, dan nomor kontak menjadi perhatiannya bermenit-menit. Sepertinya alamat tidak begitu penting. Bila ada permintaan nomor kontak di formulir, tentu dia akan dihubungi lewat telepon. Jadi Sachi memutuskan tidak mengisi alamat pada formulir. “Yuri Tohishika,” kasir itu menyebutkan sebuah nama. Nama yang dituliskan Sachi di formulit. “Ya? Bagaimana kau tau namaku?” Sachi bertanya dengan ekspresi polos. “Aku melihat kau menulisnya.” Jawabnya sambil menunjuk formulir yang ada di hadapan Sachi. “Kau mengidolakan Tsuyoshi Hidaka juga?” “Kau tau dari mana?” Tanyanya. Tapi kemudian Sachi menggigit lidahnya sendiri. Tentu saja hanya orang yang mengidolakan Tsuyoshi yang mendaftar dalam undian ini. Wanita itu tersenyum melihat tingkah Sachi barusan. “Kalau kau menang dan berhasil menarik hatinya selama seminggu ini, kau bisa saja mengalahkan Aiko Misawa yang jadi pemenang pada undian minggu lalu. Kau tau sendiri kan? Gosipnya mereka sangat dekat. Tapi dia masih lebih tua dibadingkan dengan Tsuyoshi,” wanita ita berhenti sejenak bercerita tapi segera melanjutkan ocehannya dengan tanya. “Kau siswa sekolah menengah? Kau bisa jadi pendaftar termuda dalam undian ini.” “Jadi tidak ada siswa sekolah menengah yang mendaftar selain aku?” “Yuri-chan, boleh kupanggil begitu?” Sachi mengangguk meskipun merasa agak janggal. Dia tidak pernah dipanggil dengan nama lain selain Sachi. “Yuri-chan, ini kosmetik mahal. Yang mendaftar kebanyakan adalah gadis-gadis perguruan tinggi dan orang yang sudah bekerja. Gadis sebayamu hanya ada beberapa. Aku kasihan melihat Tsuyoshi bila harus berkencan dengan fans yang lebih tua. Jadi kau harus menang bagaimanapun caranya.” “Terimakasih,” katanya Sachi dengan wajah terharu yang dipaksakan. “Aku akan berusaha. Nanti akan kuajak dia bertemu denganmu. Kau juga sangat menyukainya kan?” “Kau ini mengatakan apa? Aku hanya suka lagunya.” “Kau begitu memperhatikannya, kau pasti juga sangat mengidolakannya.” Wanita itu tersenyum lagi lalu mengibaskan tangannya malu. "Kau tidak perlu begitu. Melihat kau menang dalam perlombaan itu saja aku sudah senang. Untuk menambah semangatmu kau boleh melihatnya di lantai dua. Dia ada di sana.” “Benarkah? Sedang apa?” Tanya Sachi dengan sangat berbinar-binar. “Mungkin berbelanja setelah bertemu dengan Presdir supermarket ini. Tsuyoshi Bersama Alice Kim dan dua orang bodyguard. Setelah melihatnya, kau harusnya lebih semangat untuk berjuang.” Sachi tersenyum. “Kau percaya bahwa aku jenius kan? Aku akan melakukan berbagai cara untuk menang. Kau percaya kan?” “Ya,” wanita itu tersenyum mengerti dan mengangguk dengan percaya diri. “Berusahalah agar dia mengingatmu.” Begitu sampai di lantai dua, Sachi harus berdesak-desakkan dengan orang lain untuk melihat Tsuyoshi Hidaka. Banyak sekali fans mengerubunginya seperti semut mengerubungi gula. Sachi harus berjuang hingga sampai ke barisan depan dan akhirnya harus berperang dengan lengan kekar para bodyguard yang menghalangi fans untuk mendekat. ‘T’suyoshi Hidaka sangat tampan dengan pakaian serba putih dilapisi jas biru. Fans semakin berdesakkan sehingga Sachi terdorong dan tanpa sengaja jatuh ke pelukan Tsuyoshi Hidaka. Waktu seakan berhenti bagi Sachi. Kena kau! Pikirnya. Dia berusaha berdiri kembali dan menunjuk Tsuyoshi dengan galak. “Hei. Tsuyoshi Hidaka. Kau menyentuhku?” Tsuyoshi Hidaka yang tengah = memperbaiki —_jasnya memandang Sachi yang berdiri di sampingnya dengan terkejut. “Apa?” “Kau menyentuhku kan?” “Kau yang menyentuhku. Semestinya aku yang berteriak.” Tsuyoshi menghadirkan ekspresi tidak suka dan tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini dalam hidupnya. “Bagaimana kau bisa berkata begitu pada seorang siswi sekolah. Aku tulus mengidolakanmu. Tapi kau berlaku seperti itu. Setelah ini kau mau apa? Memberikanku sejumlah uang untuk tutup mulut?” “Ah, aku bisa gila!” Serunya. “Kau punya saksi? Aku menyentuhmu? Tidak mungkin! Kau pikir kau siapa?” Tsuyoshi Hidaka membentak. Orang-orang berkumpul lebih banyak lagi ingin untuk menonton keributan itu. Tsuyoshi Hidaka mulai merasa terganggu dengan hiruk pikuk yang tercipta secara tiba-tiba. “Bawa aku pergi,” sambungnya dengan lebih tenang. Besok pagi dirinya pasti akan muncul di surat kabar dengan berita buruk ini. Ia harus mempersiapkan diti. “Hei? Kau mau kemana?” teriak Sachi begitu melihat Tsuyoshi menjauh. “Kau mau lari begitu saja?” Sachi tidak mendapat jawaban. Tsuyoshi berjalan dengan angkuhnya diiringi dua orang bodyguard, meninggalkan Sachi di tengah kerumunan orang-orang yang menonton. Beberapa menunjukkan simpatinya dan yang lain merasa kasihan dan ada juga yang membenci Sachi karena menuduh idola mereka. “Sudahlah, berhenti berteriak.” Seorang wanita berujar dengan sabar. “Kau tidak punya saksi, kenapa kau berkeras bahwa dia menyentuhmu? Bagaimana bila dia menuntut? Kau bisa dipenjara.” “Aku?” Sachi memasang wajah terkejutnya. “Kenapa aku? Aku di sini korban.” “Tapi apa kau bisa membuktikannya?” Wanita itu menjawab lagi. Ia sangat tahu bagaimana cara menghadapi anak seusia Sachi. Hal seperti ini pasti sering terjadi. Dia adalah manajer Tsuyoshi Hidaka. Alice Kim. Sachi sering melihatnya muncul di TV bersama pemuda itu. “Aku bisa bersaksi untuknya.” Seorang pria _menyahut membuat semua yang berada di tempat itu diam dan memandang ke arah suara. Pria itu menyeruak dari tengah kerumunan sambil memakan es krim yang berada di tangan kananya. “Aku melihat Tsuyoshi Hidaka menyentuhnya.” “Aku juga.” Wanita yang di sebelahnya ikut-ikutan buka suara. Wanita yang ditemui Sachi di outlet kosmetik. Dan lelaki itu? Pria yang meminjaminya uang. Sachi bernapas lega. Dirinya sangat beruntung. “Kau?” Alice Kim berseru saat melihat bahwa wanita yang mau bersaksi mengenakan seragam pegawai. Tentu saja wanita itu bisa terkena ancaman pemecatan. Bukankah seharusnya dia menjaga nama baik supermarket ini? Tindakan jujurnya sangat membahayakan bagi dirinya. “Saya Victoria, pegawai di lantai tiga. Anda ingin saya bersaksi di sini sekarang juga?” “Tidak... Tidak.” Alice Kim berujar sambil mengibaskan tangannya. "Ikut aku ke ruangan Direktur saja.” eR Kenji Hidaka berdiri memandangi gelap malam dari jendela lantai dua rumahnya. Hari ini dirinya merasa sial sekali. Harus bertemu dengan anak kecil yang membuat masalah. Sejak kapan ia merasa tertarik dengan anak kecil seperti gadis itu sehingga merasa perlu untuk menyentuh tubuhnya? Mengesalkan sekali saat ulasan kejadian beberapa jam tadi terbayang di benaknya. Kabar itu tentu tak akan berarti apa-apa. Bukankah tidak ada bukti sama sekali bahwa ia melakukan itu? Ia mengembuskan napasnya berat. Yang terpenting sekarang adalah membungkam anak itu. Meskipun tidak bisa dihindari bahwa kejadian seperti itu tentu akan tersebar dengan cepat. Mengapa harus terjadi di tempat seramai itu? Dia memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Dengan langkah berat, ia meraih ponselnya yang berada di atas ranjang. “Moshi-moshi”” Serunya lemah. Ia sangat mengantuk, tapi entah kenapa tidak bisa tidur sama sekali. "Nuna’, bagaimana? Sudah selesai?” “Sepertinya kita akan sulit menghadapi anak itu. Dia punya saksi.” Alice Kim menjawab dari seberang sana. “Tapi bisa saja mereka adalah orang yang dikenalnya kan? Mereka bisa saja bekerja sama untuk merusak nama baikku.” “Awalnya aku juga berpikir begitu. Tapi kurasa bukan. Bagaimana bisa Yoshiki Hidaka mengenalnya?” “Apa? Yoshiki? Kakakku?” “Dia bersaksi untuk anak itu. Dan yang satunya lagi adalah pegawai supermarket.” ' Halo (salam yang umum digunakan untuk menjawab telepon di Jepang) 2 Kakak, panggilan oleh pria untuk wanita yang lebih tua 10 “Ada apa dengan Yoshiki? Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?” Keluhnya. Bagaimana bisa kakaknya ikut campur dengan urusannya. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana mungkin Yoshiki bisa berada di supermarket sedangkan dirinya sangat tahu bahwa Yoshiki bukanlah orang yang suka jalan-jalan. “Datanglah kemari, temui Kakakmu dan bertanya sendiri. Aku harus mengurus masalah ini dengan Direktur.” Dan telepon segera ditutup. Kenji meraih kembali jas birunya dengan perasaan kesal dan beranjak pergi menuju supermarket. Sudah tengah malam dan dirinya sangat ingin beristirahat. Apa yang harus dia lakukan untuk menghadapi anak imi? Yang pasti saat ini ia harus bertransformasi kembali, Kenji Hidaka menjelma menjadi Tsuyoshi dalam sekejap. eK “Yoshiki, apa yang kaulakukan? Kenapa kau tidak membela aku?” Ken Hidaka bertanya kesal pada kakaknya. Yoshiki segera membekap mulut Kenji dengan telapak tangan lalu menariknya keluar dari ruangan direktur. Sekilas mata Ken melihat gadis itu berbaring di atas sofa. Hatinya semakin kesal. Bagaimana bisa anak itu tidur di saat seperti ini. Seperti itukah orang yang dilecehkan? Orang lain bisa menangis semalaman bila hal seperti itu benar-benar terjadi. “Kau lihat di sana?” Tsuyoshi Hidaka atau Kenji Hidaka menunjuk ke arah ruangan direktur. “Dia bisa tidur senyenyak itu di saat seperti ini? Dan kau membelanya?” “Aku memang melihatmu menyentuhnyal” Yoshiki memperlihatkannya sebuah foto di ponsel. Foto saat dirinya nyaris jatuh diantara desakkan penggemar, foto saat gadis itu ada dalam pelukannya. "Kau lihat? Tangan kirimu menyentuh pinggulnya.” Kenji terkejut. Kapan itu terjadi? Dirinya bahkan sama sekali tidak menyadari. "Dari mana kau dapat foto ini?” “Aku yang memotret.” “Setidaknya kau bisa diam dan menyembunyikannya. Kau sama sekali tak mau melindungiku?” Suara Kenji mulai mengeras lagi. 11 “Aku seorang Pengacara. Apa aku harus membela yang salahP Aku melihat kejadiannya dan harus mengatakan kebenarannya. Sudahlah, kau mengalah saja. Ikuti tuntutannya untuk membayar kesalahanmu. Atau nama baikmu akan lebih buruk setelah muncul dengan komentar tajam di surat kabar.” “Memangnya dia menuntut apa?” suara Kenji sedikit lebih melunak. Walau bagaimanapun dirinya tidak mungkin bisa marah kepada kakaknya, Yoshiki Hidaka sudah menjadi kakak yang baik baginya. “Dia ingin menang dalam undian seminggu bersamamu.” “Satu kali saja aku sudah sial bertemu dengannya, kemudian harus berkali-kali? Apa tindakan seperti itu aman? Lalu bagaimana aku bisa memintanya kepada Direktur? Apa tidak ada jalan lain? Siapa anak itu sebenarnya? Makhluk asing dari mana? Ingin menjajah hidupkur” Yoshiki berusaha menyembunyikan senyumnya mendengar serentetan pertanyaan muncul secara spontan dari mulut Kenji. Kenji memang selalu bersikap seperti ini seolah-olah dalam hidupnya hanya berisi hal-hal yang mengesalkan baginya. "Kau punya manajer yang hebat. Alice Kim-s7 pasti bisa berkompromi dengan Direktur. Mengenai siapa anak itu juga sedang kuselidiki. Aku sudah mendapat laporan dari outlet bahwa dia juga mengikuti undian, namanya Yuri Tohishika, itu yang dia tulis dalam formulir. Nama palsu.” “Nama palsu? Anak itu pasti penipu.” “Ya, menipu untuk berlindung dari kejaran orangtuanya. Namanya Sachi Fujisawa. Ayahnya seorang pengusaha besar di Jepang. Kau tau? VIP di supermarket ini, salah satu pemegang saham terbesar. Tapi Ayahnya sudah meninggal dan semuanya beralih ke tangan Ibunya yang seorang Desainer yang berasal dari Prancis. Tadi pagi dirinya diketahui lari dari rumah. Aku sudah menelepon Ibunya dan Ibunya segera kemari.” Kenji memandang kakaknya tak percaya. Apa yang Yoshiki pikirkan? Ingin memberi tahu ibu gadis itu bahwa dia telah melecehkan anaknya? Ibu-ibu bahkan bisa lebih kejam daripada wartawan. Berita itu akan segera menyebar begitu si ibu buka mulut. “Kau katakan bahwa anaknya sudah kuperlakukan buruk?” Yoshiki lagi-lagi menyembunyikan senyumnya. “Jawab pertanyaankul” “Tentu saja tidak!” Yoshiki berkata sambil melotot. “Aku katakan padanya bahwa anaknya menggunakan identitas palsu untuk mendaftar di acara supermarket ini. Itu diketahui saat ia tidak mau memberikan kartu identitasnya.” Kenji Hidaka bernapas lega. Dari jauh Alice Kim memanggilnya dan melambaikan tangan. Wajahnya tampak sangat lelah. “Nuna, kau dati mana?” Kenji bertanya pada Alice Kim, matanya berharap manajernya itu dapat memberikan jawaban yang memuaskan untuknya agar dirinya bisa tidur nyenyak Bie ini. “Aku dari rumah Direktur. Aku sudah membicarakannya. Maaf Tsuyoshi, aku tidak minta izin dulu padamu. Direktur memutuskan untuk mengabulkan permintaan gadis itu, dan memenangkan dia dalam undian. Tapi kau boleh tenang, keputusan ini belum final. Kau bisa saja memilh Aiko Misawa pada final nanti sehingga kau tidak perlu menghabiskan waktu tiga bulan dengan orang yang tidak kau suka.” Kenji hanya bisa menghela napas berat. Ia sudah menduganya meskipun tidak benar-benar siap. Setelah ini dia hanya bisa beristirahat menenangkan diri sebelum gadis itu resmi menguntitnya selama seminggu dimulai dari besok sore. Dia yakin menjalani hari-hari seperti itu pasti sangat tidak mudah. Ia akan membuat gadis itu jera mendekat kepadanya. “Ya, aku maafkan.” Jawabnya setelah menguap sckali. Ia benar-benar mengantuk. "Nya, ayo kita pulang!” seek Sachi melangkahkan kakinya perlahan sambil mengucek matanya. Ja terbangun mendengar ribut-ribut di luar. Konsentrasinya belum lagi kembali untuk menyimak siapa yang ribut di luar. Ia membuka pintu dan mengintip. Ada Tsuyoshi Hidaka di sana. Sempurna sekali seperti biasa. “Nuna, ayo kita pulang.” 13 Suara Tsuyoshi Hidaka sayup-sayup terdengar. Lalu ia beranjak pergi diikuti oleh manajernya. Sachi memandang Yoshiki yang berdiri sendirian memandangi kepergian kedua orang itu. Dengan segera ia berlari mendekati pria yang dikenalnya tadi pagi. “Paman, kau kenapa? Apa kau bertengkar dengan dia? Dia memarahimu karena membelaku? Apa dia mengancam akan melakukan hal yang buruk kepadamu?” Yoshiki mengalihkan pandanganya kepada Sachi. "Berapa umurmu?” “Oh? 18 tahun.” “Kau nekad sekali melakukan hal seperti itu! Bagaimana bila tidak ada aku dan gadis penjaga outlet kosmetik itu? Berani sekali kau menuduhnya menggerayangimu. Kau tau itu tidak disengaja, kan?” “Siapa bilang? Dia memang menyentuhku.” Sachi menjawab di iringi senyum nakal. “Paman, kau mengikutiku? Bagaimana bisa kau ada di saat seperti itu? Jelas-jelas kulihat kau pergi ke arah yang berbeda tadi.” “Ya, aku mengikutimu. Aku ingin tau kau tinggal dimana. Kau punya hutang padaku kan? Kosmetik mahal itu, dimana sekarang?” Sachi memegang kepalanya. Ia lupa. Mungkin compact powder yang dibelinya sudah terjatuh entah dimana. “Hei! Sachi Fujisawa. Kau bisa melupakan benda itu? Kau pasti melupakannya. Kau tau aku memberikan uang makanku selama seminggu kepadamu? Bagaimana jika aku tidak segera mendapat pekerjaan? Aku bisa kelaparan.” “Paman, kau tau namaku?” Yoshiki mengangguk setelah melihat wajah terkejut Sachi, Yoshiki memang sengaja menyebutkan nama Sachi Fujisawa, bukan Yuri Tohishika seperti yang Sachi tulis di dalam formulir. “Mereka memberi tau namamu kepadaku. Mereka menyelidikimu. Tentu saja mereka harus melakukan itu. Kau sudah menuduh artis mereka menggerayangimu. Kudengar mereka bahkan menelepon Tbumu untuk segera menjemputmu.” “Tbu? Apa yang harus kulakukan?” “Kenapa kau lari dari rumah?” Sachi menelan ludahnya untuk menenangkan diri. "Aku cuma ingin bermain seharian. Dan seperti Cinderella, aku akan pulang sebelum tengah malam. Tapi ini sudah lewat tengah malam. Aku tidak akan pulang!” “Cinderella?” Tanya Yoshiki heran, tapi kemudian dia tertawa. Walau bagamanapun Sachi memang masih anak-anak. “Aku harus pergi sebelum Ibuku datang.” Sambung Sachi lagi dan berbalik. Tapi sebelum dirinya sempat beranjak, Sachi harus mendapati Yoshiki menarik lengannya. Sachi hanya bisa memandang Yoshiki dengan ekspresi tak menyangka. “Paman, apa kau ingin kutuduh menggerayangiku juga?” “Apa kau tak ingin mendengar kabar gembira?” “Tbuku akan segera datang." “Kalau begitu ikut aku.” Yoshiki masih mencengkeram lengan Sachi erat. Ia membawa gadis itu keluar dari supermarket menuju sebuah apartemen yang tidak seberapa jauh dari tempat itu. Wajah apartemen lima lantai segera tampak jelas dan mereka segera memasukinya. “Kabar gembira apa?” Tanya Sachi penasaran. Pertanyaan ini sudah ditanyakannya berulang kali sepanjang jalan tadi. Yoshiki agak terengah-engah, walau bagaimanapun dirinya tetap tidak bisa menyaingi tenaga Sachi yang sedikitpun tidak tampak kelelahan. “Kaulah pemenang di acara itu.” Sachi tersenyum. “Aku sudah tau!” “Sudah tau? Berarti bukan kabar terbaru untukmu. Kau sudah merencanakannya?” “ya, aku merencanakannya, aku berencana menarik lengannya kuat-kuat dan membuatnya marah-marah di supermarket. Membuatnya mengingatku. Tapi kesempatan seperti tadi datang tiba-tiba, aku manfaatkan saja.” “Kau sangat licik, dari mana kau belajar semua ini?” “Aku sudah bilang kan? Aku ini jenius, aku bisa mempelajari apa saja. Kejahatan sekalipun. Aku bisa menciptakan modus pembunuhan yang tidak akan diketahui oleh siapapun.” “Ya, kudengar orang jenius sering memikirkan hal yang mengerikan seperti itu. Apa kau akan membunuh Tsuyoshi Hidaka? Menyeramkan sekali kau!” 15 “Tentu saja. Karena mereka membuat aku kehilangan kesempatan mengikuti acara itu. Mereka sudah memanggil Ibuku. Aku akan ketahuan kalau ikut.” Yoshiki tersenyum. "Tentu saja tidak akan ketahuan. Mereka hanya melaporkan bahwa kau menggunakan identitas palsu kepada Ibumu. Ibumu tentu tidak akan mencarimu ke sana lagi. Tentu ibumu berpikir bahwa mereka akan memberi tau Tbumu kalau kau datang ke supermarket. Lagi pula Ibumu tidak akan sempat menonton TV kan? Kudengar dia orang sangat sibuk, bekerja bersama para model cantik sambil mengurusi galeri seninya. Belum lagi mengurusi harta peninggalan Ayahmu. Dia juga orang yang terlalu cerdas untuk sekedar membaca majalah gosip.” “Lalu, apa orang-orang di supermarket akan menghubungi Tbuku?” Tentu saja tidak. Karena yang menghubungi ibunya bukan orang-orang di supermarket. Tetapi pengacara Yoshiki Hidaka. Namun Yoshiki tidak menjawab apa apa. Dia hanya tersenyum. Ia sudah membereskan semuanya. Bahkan ibu Sachi tidak akan datang ke supermarket malam ini untuk menjemput puterinya, sama sekali tidak. Tent saja tidak, karena ibumu tau kau bersamaku. Dan dia berjanji merahasiakanya. Batin Yoshiki. “Paman, kita akan kemana? Akan pergi merayakanya? Kita akan minum sojn??” “Sojue” Yoshiki mendelik. "Kau pikir ini Korea? Kau ingin minum soja?” “Kenapa? Aku pandai minum arak. Di Korea aku sering melakukannya bersama teman-temanku. Aku bisa menghabiskan lebih dari lima botol.” “Kau pernah ke Korea?” Sachi mengangguk dengan penuh semangat. “Aku selalu mengikuti Ibuku kemanapun dia pergi. Ibuku kan perancang terkenal.” Jawaban Sachi terdengar seperti menyombongkan diri. “Apa kau tidak lelah? Kau sudah bermain seharian bukan?” Yoshiki menyerang dengan telak. Ia tahu Sachi lelah. Wajahnya bahkan sangat pucat, ia tidur sangat sebentar sekali di ruangan 3 Arak khas Korea 16 direktur tadi. Anak sepertinya tentu tidak terbiasa menjalani hari tanpa istirahat yang cukup. “Kita sudah sampai.” Yoshiki berseru. Mereka berhenti di depan sebuah pintu apartemen di lantai 4, sepertinya sebuah apartemen yang disewa dengan murah. Mungkin hanya ada satu kamar tidur dan sebuah kamar mandi di sini. “Tni apartemen siapa? Punyamu?” Pertanyaan Sachi tak di jawab. Yoshiki menelepon seseorang. Kemudian samar-samar terdengar suara orang mengucapkan halo dari dalam apartemen. “Hei, Kim Yoon Hee. Kami sudah datang." Katanya, kemudian menutup telepon. Lalu pintu rumah itu terbuka. Seseorang yang dikenal Sachi keluar dari pintu itu dengan piamanya. Wanita itu terlihat agak kusut dengan mata yang sangat mengantuk. Sesekali dia mengucek matanya dan memandang ke arah Sachi. “Alice Kim? Kim Yoon Hee? Jadi itu namamu?” Wanita itu tersenyum. “Aku bersekolah di Eropa. Tentu aku punya nama lain. Malam ini kau tidur di sini, menjelang kepindahanmu ke rumah Tsuyoshi Hidaka di Fukuoka besok!” Sachi memandang Yoshiki. “Aku akan keluar kota bersamanya? tinggal di rumahnya di Fukuoka?” “Kenapa? Kau jangan berpikir macam-macam.” Yoshiki Hidaka mendorong kepala Sachi. Ia bisa menebak apa yang Sachi pikirkan. "Kau tidak akan mendapat kesempatan itu. Ada Alice Kim di sana. Dan kau tau Tsuyoshi Hidaka punya pacar yang sangat cantik yang akan mengunjunginya sewaktu-waktu.” Sachi menggosok kepalanya dan bersungut-sungut. "Kalian saling kenal?” Alice Kim mengangguk. "Tentu saja, dia” wanita itu memandang Yoshiki meminta persetujuan untuk mengatakan hubungannya dengan Yoshiki sebenarnya, bahwa Yoshiki adalah kakak dari Tsuyoshi Hidaka, artis yang sekarang sedang di manajerinya. Tapi Yoshiki menggeleng halus. “Dia teman sekolahku di sekolah menengah." Akhirnya Alice Kim mengarang cerita tanpa sengaja. “Ah, pantas kau terkejut sekali waktu dia mengatakan akan bersaksi untukku.” 17 “Sachi-sst, kau panggil aku omni mulai sekarang.” “Onni? Seharusnya aku bisa menebak bahwa kau orang Korea. Aku suka Korea.” Alice Kim tampak menyukai Sachi. Dia memandangi Sachi yang selalu bersemangat dengan diiringi senyum. “Masuklah dulu. Aku masih ada urusan di luar.” Alice Kim menarik tangan Yoshiki mengajaknya pergi. Sachi masuk terlebih dahulu, mengambil handuk untuk mandi. Ia yakin Alice Kim memperbolehkannya menggunakan handuk di kamar mandi. Ia ingin beristirahat dan mengumpulkan banyak tenaga untuk besok sore. “Kau sangat menyukai anak itu?” Tanya Alice Kim pada Yoshiki setelah mereka menjauh dari rumah. Yoshiki Hidaka lagi-lagi tersenyum. Ia sangat banyak tersenyum hari ini. "Kau bisa bertahankan untuk ini?” “Aku bisa. Bukankah aku pernah bilang akan membantumu?” Jawabnya sambil berbisik. "Jawab pertanyaanku. Kau sangat menyukai anak itu?” “Dia membuatku tersenyum.” “Apa dia sudah tau kau siapa?” Yoshiki menggeleng. "Aku tak akan memberi tahu bila dia tidak bertanya. Bagaimana? Dia tidak punya pakaian.” “Sudah kusiapkan beberapa piama untuknya. Dia sangat lucu. Kau sangat menyukainya. Bisa membuat aku cemburu.” “Hei, Kim Yoon Hee. Dia bisa membuatku tersenyum. Dia pasti juga bisa membuat Kenji Hidaka bahagia.” “Kenji Hidaka = akan kewalahan. = Aku_ bisa membayangkannya.” Alice Kim memandang ke langit yang hanya diisi beberapa bintang. Beruntung sekali bisa melihat bintang malam ini. "Kapan kau akan menceritakan padaku tentang hubunganmu dengan anak itu. Dia siapa? Mengapa kau selalu mengawasinya semenjak kedatangannya kemari? Dia bukan anakmu kan?” Yoshiki tertawa. "Anakku? Mungkinkah? Umurku baru 27 tahun, dan aku memiliki anak berusia 18 tahun? Kau pikir di usia berapa aku menikah?” Bab 2 —=_- @ s s ~ »' @® doo Kim terkejut melihat sebuah kotak yang berukuran sama seperti kotak pembungkus TV berukuran 21 inch. Untuk Sachi Fujisawa. Yoshiki Hidaka membawa masuk kotak itu dan meletakkannya di dekat meja makan. Meja makan sudah penuh dengan menu sarapan yang terlihat berlebihan. “Dari mana kau dapatkan kotak itu?” Alice Kim bertanya. “Lobi, dipaketkan ke sini.” Jawab Yoshiki sambil meraih sumpit dan mulai makan. Wajahnya sangat pucat. Ia bahkan tidak tidur semalaman. “Paman, kenapa pagi-pagi kau ada di sini?” Suara Sachi terdengar keras begitu dirinya keluar dari kamar mandi. Wajahnya kelihatan segar dengan pipi kemerah-merahan. Sachi mengenakan piama panda membuatnya terlihat seperti bayi. “Hei, Yoon Hee. Kau belikan dia pakaian seperti ini?” Yoshiki memandang Sachi sambil menahan tawa. “Kenapa?” Tanya Sachi dengan wajah kecewanya, ia merasa ditertawakan. “Piama ini bagus. Aku menggunakan piama seperti ini di rumah.” “Ah, iya. Aku lupa kalau kau masih bocah!” “Kau sedang apa di sini?” Sachi mengulangi pertanyaanya. “Sarapan!” Jawab Yoshiki. “Aku yang mengundangnya untuk sarapan bersama.” Alice Kim mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Saat di ambang pintu kamar mandi dirinya sempat menunjuk kotak yang berada di samping meja makan sambil berkata kepada Sachi. "Paket untukmu.” Dengan agak bingung Sachi mendekati kotak tersebut. Ia membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya. Pakaian dan beberapa obat dan vitamin. Sebuah surat yang menyertai kotak itu dibuka dan dibacanya. Wajahnya berubah menjadi sangat tenang. 19 “Dari siapa?” Yoshiki bertanya. Penasaran. “Tbu. Dia tau darimana aku ada di sini?” “Apa katanya?” “Dia minta aku pulang setelah seminggu. Dia membiarkan aku bermain-main seminggu. Tapi hanya seminggu dan setelah itu aku harus kembali ke rumah.” Yoshiki Hidaka mendekat. Ia ikut memeriksa isi kotak yang belum dikeluarkan oleh Sachi. Sebuah dompet menarik Hatt Yoshiki untuk membukanya. Ada beberapa kartu kredit dan sebuah foto di sana. Foto yang membuat Yoshiki tertegun lama. “Kau mana boleh membuka dompet orang tanpa ijin.” Sachi merampas dompet itu dari tangan Yoshiki, membuat pria itu tersentak dari lamunanya. “Wah kau punya banyak kartu kredit. Kalau begitu kau bisa bayar hutangmu segera kepadaku. Kau lihat kan, gara-gara uangku kau pakai untuk undian itu, aku harus mengemis makanan kepada Yoon Hee.” “Nanti pasti kubayar. Aku akan bayar dengan uang hasil keringatku sendiri.” Jawab Sachi, suaranya tidak sesemangat biasa. Sepertinya Yoshiki sudah menyentuh barang miliknya yang paling berharga. “Eh, foto di dompetmu, foto siapa? Aku seperti mengenal wajahnya.” Sachi menjawab dengan malu-malu.”Ni-Chan‘ku.” aotok “Sachi-ssé, ini kamarmu. Kau akan tinggal di kamar ini selama seminggu.” Alice Kim memberitahunya begitu ia sampai di rumah milik Tsuyoshi Hidaka. Rumah yang cukup megah. Ini rumahnya sendiri. Sachi pernah melihatnya di TV. Bukankah ayah Tsuyoshi Hidaka adalah orang kaya. Rumah ini tidak terlalu besar untuk ukuran orang sekaya ayahnya. Tapi cukup nyaman dan asri. Tenang sekali. Sachi bisa melihat keluar jendela kamar yang akan dihuninya. Bukan jendela. Mungkin lebih tepat dikatakan sebagai pintu kaca, ia bisa melihat ada sebuah balkon di balik pintu kaca itu. Ini lantai dua. Tentu saja. 4 Kakak laki-laki dalam bahasa Jepang (Asal kata; Onni-Chan) 20 “Kau bisa tinggal di sini dengan baik kan? Beristirahatlah.” Alice Kim melihat jam tangannya. “Sudah jam tidur anak sekolah,” katanya tersenyum. “Ttu, Onni." Panggilnya ragu. "T'suyoshi-san, dia di mana?” “Kau tidak dapat bertemu denganya malam ini. Dia sedang di Seoul, sekarang istirahatlah. Hari ini tidak akan dihitung ke dalam hadiahnya. Besok pagi baru acaranya dimulai. Mungkin agak sedikit risih saat hidupmu harus diikuti kamera selama seminggu. Tapi tidak akan menyita seluruh waktu. Hanya beberapa jam saja dalam sehari.” "Siapa saja yang tinggal di sini?” “Aku. Dan Kakak laki-laki Tsuyoshi Hidaka.” “Dia punya Kakak laki-laki?” “Tentu saja, kau pikir ini rumah siapa? Ini rumah Kakaknya. Orangnya sangat baik. Kau akan sering berinteraksi dengan keluarganya juga.” “Keluarga?” Sachi terihat bingung. Ia tidak menyangka bahwa hadiah ini benar-benar meluas, semula Sachi pikir dirinya akan tinggal berdua saja bersama Tsuyoshi. “Sachi-chan, kenapa bingung? Kau fansnya kan? Kau tentu tau bahwa mereka tidak punya orangtua lagi Hanya tinggal Tsuyoshi dan Kakaknya. Tidurlah, jangan sampai wajahmu layu. Besok untuk pertama kalinya kau akan disorot oleh kamera.” Alice Kim melangkah keluar kamar. Ia sangat lelah, meskipun hari ini dirinya tidak mengikuti kegiatan Tsuyoshi sama sekali seperti yang biasa dilakukanya. Ia ingin berendam dalam bathinb yang penuh dengan air hangat. Pasti nyaman sekali. “Oni? panggil Sachi lagi. Alice Kim menghela napas panjang. Ia sedikit mengeluh. Tapi berusaha menghadapi Sachi setenang mungkin. "Ada apa?” “Selamat malam.” Alice Kim tersenyum lalu meninggalkannya. Sachi berkeliling. Ia menyentuh dinding kamar berwarna hijau itu. Manis sekali. Ini kamar siapa? Sebelum dirinya di sini, siapa yang tidur di sini? Ia meletakkan tas pakaiannya di dalam lemari. Kemudian duduk di atas tempat tidur. Ia tidak merasa perlu ganti baju lagi karena Sachi sudah mengenakan piama pandanya sejak dari apartemen Alice Kim di Osaka. Dan sekarang Sachi berada di 21 Fukuoka. Rumah ini ada di dekat pantai, ia bisa mencium bau laut yang menenangkan. Ingatanya tiba-tiba kembali ke kenangan masa alu. Pantai. “Ni-chan, aku sangat dekat dengan pantai.” Sachi berbicara sendiri. Pelan. Tangannya meraih dompet yang ada di kantong piamanya. Kemudian memandangi foto yang ada di dalamnya. Fotonya bersama ibu dan kakak laki-lakinya. Tiba-tiba otaknya melayang kepada Yoshiki. Kenapa ia merindukannya? eR Ketika membuka mata pagi ini, Sachi tertegun sejenak sebelum ia menyadari bahwa ia berada di rumah Tsuyoshi Hidaka. Secepatnya ia bangkit dan duduk bersila di atas tempat tidur. Ia memandang berkeliling. Pintu? Di sana itu pintu apa? Sachi bangkit dan mendekat lalu membuka pintu itu perlahan. Kamar mandi. Sayangnya ia belum ingin mandi. Dirinya masih ngantuk. Sachi kembali ketempat tidur dan berbaring lagi. Meskipun dalam keadaan terpejam, kepalanya mengingat-ingat kejadian kemarin. Saat ia berteriak kepada Tsuyoshi Hidaka di supermarket. “Ah, aku jenius sekali." Katanya sambil tersenyum. “Kau, licik.” Sebuah suara mengagetkannya. Suara yang muncul dari seorang pria yang berdiri di balkon kamarnya dengan jendela terbuka. Ia membawa secangkir kopi dengan aroma hangat. Tsuyoshi Hidaka menyeruput kopinya dengan nikmat. Mata Sachi nyalang terbuka. Tsuyoshi Hidaka di kamarnya? Bagaimana bisa dirinya masuk. Bukankah tadi malam pintu sudah dikunci. Lalu kenapa tadi Sachi tidak memperhatikannya. “Kau tidur seperti babi. Wah, bisa-bisanya kau tidur nyenyak setelah apa yang kau lakukan padakul” T'suyoshi Hidaka berkata dengan nada sinis. "Kau, cepat mandi dan ganti piamamu itu. Sebelum bertemu kamera kau harus latihan dulu.” Pemuda itu keluar dari kamar tamunya. Sachi dengan perasaan aneh mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Dalam hatinya ia bertindak sedikit waspada kalau-kalau Tsuyoshi Hidaka bisa muncul di kamar mandi. Tapi kemudian ia tertawa 22 sendiri. Ah, mengapa ia selalu memikirkan hal seperti ini? Sachi hanya butuh waktu lima belas menit untuk keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan di lantai bawah. Ia melihat Tsuyoshi Hidaka di sana, sedang menikmati kopi paginya bersama seorang wanita. Aiko Misawa, wanita itu digosipkan sedang menjalin hubungan spesial dengan Tsuyoshi Hidaka. Diam-diam Sachi mengagumi kecantikannya. “Anyeoung,” serunya sambil melambaikan tangan. Tanpa di suruh lagi, Sachi mengambil posisi di meja makan dan meraih selembar roti bakar yang ada di atas piring. “Kau punya minyak zaitun? Ibuku selalu menyiapkan minyak zaitun untukku.” “Sungguh tidak sopan. Siapa suruh kau mengganggu sarapanku?” Tsuyoshi berkata dengan nada tajam. Ia sedikit kesal Sachi tidak memperhatikannya. Aiko Misawa tertawa melihat ekspresi T’suyoshi. "Kau Sachi Fujisawa? Kau bertindak seperti di rumahmu _ sendiri! Pertahankan!” Ia lalu berdiri hendak pergi. “Nee-char’. Sudah mau pulang?” Sachi menatap Aiko Misawa polos. Aiko Misawa merasa bahwa anak itu sedang bermanja kepadanya. Ia menyukai Sachi. “Ya, aku sudah semalaman di sini. "Ia tersenyum lagi. Lalu mendekat ke Tsuyoshi, mencium pipi kirinya dan pergi menuju pintu. Alice Kim Kemudian datang bergantian dengan kepergian Aiko Misawa, mereka mungkin bertemu saat masuk. Ia berlaku sama seperti Sachi, menyapa kemudian mengambil posisi diantara Tsuyoshi dan Sachi. “Sachi. Kau akan diliput siang nanti, dan mungkin kau akan ditanyai beberapa pertanyaan.” Alice Kim mengupas sebuah apel dan menampung kulit-kulitnya di dalam sebuah mangkok plastik di atas meja. “Biar kutanya dulu. Kenapa kau suka pada Tsuyoshi Hidaka.” Alice Kim bertanya sambil memandang Sachi penasaran. Pertanyaan yang ditanyakan itu mungkin saja nanti bisa di tanyakan pada saat wawancara. 5 Apa kabar dalam bahasa korea © Panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa jepang (Asal kata; Onee- Chan) 23 “Karena namanya ‘Tsuyoshi Hidaka.” Jawab Sachi diplomatis. Tsuyoshi Hidaka mengangkat mangkok plastik yang berisi kupasan kulit apel dan kemudian memukul kepala Sachi kuat. Ia mendesis kesal. “Kau menyukaiku karena namaku? Kenapa kau tidak bilang karena aku pandai, aku tampan, banyak sebab lain kan?” “Aku memang menyukaimu karena namamu Tsuyoshi Hidaka. Apa harus berbohong?” “Apa harapanmu pada Tsuyoshi Hidaka?” Alice Kim bertanya lagi. “Aku ingin dia mengajakku ke pantai.” “Aku tidak suka pantai.” Tsuyoshi lagi-lagi berkata dengan ekspresi tidak sukanya. “Kalau begitu kenapa kau beli rumah di dekat pantai?” “Ini bukan rumahku. Bukankah sudah diberitahu oleh Nana?” Geesz, giliran Sachi yang mendesis. "Ovni, pantai dekat dengan rumah ini kan?” Tanyanya kemudian pada Alice Kim. “Bisa dilihat dari jendela?” Ia berjalan ke jendela dan menghela napas berat. Tidak terlihat apa-apa dari jendela. Mungkin karena itulah Alice Kim merasa tidak perlu menjawab pertanyaannya. Tapi Sachi masih bisa merasakan bahwa aroma laut sangat akrab di sini. Sangat terasa. "Oh? Paman? Sedang apa dia di sini?” Sachi berujar kaget setelah melihat orang yang di kenalnya berada di luar sana melalui jendela. Lalu tanpa permisi gadis itu segera berlari keluar rumah. Menghampiri Yoshiki Hidaka yang berjalan santai di halaman. Tsuyoshi Hidaka mendekat ke jendela, dan melihat betapa akrabnya mereka. “Ah, Nwna, mereka sebenarnya punya hubungan apa?” Katanya. “Yoshiki lebih suka membelanya daripada membela aku! Padahal anak itu bukan Adiknya. Adiknya adalah aku!” Alice Kim hanya mengangkat bahu dan tersenyum. ae 24 “Paman, sedang apa kau di sini? Kau mengikutiku sampai di sini?” “Ya, begitu. Anggap saja begitu. Kau kan belum bayar hutangmu. Aku akan terus mengejarmu. Kau harus ingat itu.” Yoshiki Hidaka kemudian menyodorkan sebuah buket bunga ester kepada Sachi. "Congratulation Sachi tertengun mendapat buket bunga. Ia sangat menyukai bunga Ester. “Sachi. Saat ulang tahunmu nanti, kau mau hadiah apa?” Seorang anak Berusia 14 tabun bertanya kepada gadis kecil yang berbaring di pangkuanya. Mereka duduk di depan sebuah rnangan rumah sakit terkemuka dimana ibu mereka sedang terbaring lemah di dalam sana. “Ni-chan,ningin memberikanku hadiah?” Tanyanya bahagia. “Berikan aku bunga ester saja.” “Kau suka pada bunga ester? Sejak. kapan?” “Sejak ibn bilang balwa ia sangat suka pada bunga itu. Bunga yang sangat cantik, Ni-chan, kan pernah melihatnya kan?” Anak muda itu mengangguk. “Akan aku belikan bunga itu untukenn, nanti di hari ulang tabunnu, kamarmu akan penuh dengan bunga itu!” “Tsuyoshi, ayo kita pulang!” Sebuah suara yang berasal dari mulut seorang laki-laki yang tidak Sachi kenal membuatnya kehilangan kakaknya hanya dengan satu lambaian, Tsuyoshi meninggalkannya lagi dan pergi bersama laki-laki itu. “Kenapa? Kau terharu kubelikan bunga?” Yoshiki Hidaka membuyarkan lamunan Sachi. "Atau kau tidak suka bunganyaP” Sachi menggeleng. "Kau bilang kau tidak punya uang makan. Tapi kau masih bisa membeli buket bunga." Ujarnya pura- pura kesal. “Kau berbohong. Siapa kau sebenarnya? Kau terlihat seperti orang yang banyak uang, tapi mengejar anak kecil sepertiku hanya karena hutang yang tidak seberapa.” “Aku? Aku ini Ayahmul” Yoshiki Hidaka berkata berlagak serius. “Ayahku sudah tidak ada di dunia ini. Tidak mungkin kau reinkarnasinya kan? Kau masih sangat muda untuk jadi Ayahku.” Yoshiki Hidaka memegang kepala Sachi yang ditutupi piamanya. Lalu memandang Sachi dari kepala sampai kaki. “Coba kita tebak apa yang kau pakai, kali ini piama ayam?” Yoshiki 25 mengerutkan keningnya melihat piama yang dikenakan Sachi. Sachi tampak seperti badut dengan figur ayam hari ini. Ia masih terlihat lucu. Yoshiki Hidaka memuji ide penciptaan piama seperti ini. Ide membuat piama ala badut dengan figur binatang benar- benar cocok untuk gadis itu. “Bagus kan?” Sachi tersenyum sambil menggerak-gerakan pinggulnya. Ekor piamanya tampak mengibas-ngibas perlahan. “Ini piama favoritku. Ibu mengirimnya bersama barang-barang yang kemarin.” “Semua pakaianmu seperti ini?” Yoshiki Hidaka teringat saat ia bertemu gadis itu di seberang jalan gedung supermarket mewah tempo hari. Sachi juga mengenakan piama seperti ini, kangguru. Apa ibunya yang melakukan ini? Tapi ibunya benar- benar tahu bagaimana membuat Sachi menjadi anak yang dapat di kasihi banyak orang. “Yoshiki!” T’suyoshi Hidaka melambaikan tangan dari balkon kamarnya, tepat di sebelah kamar Sachi. Pantas saja tadi pagi pemuda itu bisa tiba-tiba berada di kamarnya. Balkon kedua kamar itu tampak sangat intim. Mudah sekali untuk dilewati dengan satu lompatan tanpa harus menjalankan usaha yang berarti. "Ni-Chan, kau sudah pulang?” “Ni-Chan?” Sachi memandang Yoshiki Hidaka penuh selidik. Yoshiki balas melambaikan tangan. Ia tahu Sachi akan terkejut hari ini. Memang hari ini adalah hari dimana ia ingin mengejutkan Sachi. “Né-vhan, menjauh darinya. Kau bisa tertular penyakit ganas!!!” Teriak Tsuyoshi Hidaka lagi dengan senyum mengejek. 26 Bab 3 « S» —=_— Py Pencana seperti apa ini, Kenji harus menghadapi anak ini, anak yang baru sehari ini di rumahnya sudah sangat mengganggunya. Anak itu berani masuk ke kamarnya dan mengobrak-abrik tugas kuliahnya. Dan sekarang, ia duduk di atas ranjang Kenji sambil bersila dan memandangi laptop miliknya. Apa anak itu? Benar-benar makluk asing yang mengesalkan. Bagaimana bisa dia membuka password laptopnya. “Aku ini jenius!” Katanya. Dan dia sudah mengatakan itu lebih dari tiga kali selama berada di kamar Kenji. “Jenius? Kau tau? Aku takut berada di dalam ruangan yang sama dengan wanita?” “Ah? Seru Sachi seolah-olah ia ingat pada sesuatu. "Tentang kabar bahwa kau gay? Aku ingat. Kukira benar. Tapi bukankah semalam kau bersama wanita cantik itu di sini? Berita itu pasti salah. Wartawan juga anch. Mana mungkin bisa mereka mengatakan bahwa kau gay sedangkan beberapa minggu yang lalu kau bersama Aiko Misawa.” Kenji mendesis. Anak itu sedang memikirkan apa? Ia mengatakan bahwa Kenji semalaman bersama Aiko Misawa di ruangan ini tanpa ekspresi apapun. Dan dia memanggil Aiko Misawa dengan sebutan Nee-Chan padahal mereka baru bertemu untuk pertama kali? Benarkah kau sangat menyukaiku? Melihat ekspresi yang seperti ini aku tidak yakin. Bagaimana bisa Nuna mengatakan hal bodoh seperti, bocah ini sangat menyukaiku, Pikir Kenji. “Kau bilang kau sangat jenius. Kalau begitu kerjakan tugas kuliahku. Kalau kau bisa akan kuberikan hadiah!” Sachi tampak berpikir untuk menerima tawaran Kenji barusan. Jelas ia sedang memanfaatkan situasi. Sachi sangat mengerti dengan hal seperti ini, Kenji sedang memanfaatkannya. 27 “Ah, sudahlah. Aku tau kau tidak bisa. Kau hanya pura- pura terlihat jenius!” Kenji tampak kecewa. Padahal ia sudah berharap banyak kepada Sachi. Bukankah dia siswa sekolah internasional? Sekolah asrama yang menyeramkan itu. Bukankah hanya anak dengan kemampuan luar biasa saja yang bisa berada di sana? Melihat ekspresi kecewa Kenji membuat Sachi menyembunyikan senyuman. “Kau serius? Kau benar-benar sangat kecewa, kau sangat membutuhkan bantuanku?” Bisiknya. “Apa? Kau mengatakan sesuatu?” “Kalau aku bisa, kau akan memberiku hadiah apa? Aku ingin hadiah istimewa.” “Boneka? Kalung? Syal? Pakaian?” “Ajak aku ke pantai. Aku sangat ingin ke pantai.” “Baik, ke pantai tidak sulit. Kerjakan dalam waktu tiga hari. Bisa kan? Tiga hari dari sekarang kau boleh tunggu aku. Begitu pulang kerja, kau akan ku ajak ke pantai.” Sachi tersenyum. Ia mendapatkan kembali kakaknya yang telah hilang. Kenji Hidaka. se “Dia berjanji mengajakku ke pantai. Karena itu aku harus mengerjakan ini. Kau kan punya banyak buku. Mungkin buku- bukumu bisa membantuku mengerjakan tugasnya. Dia kan di jurusan yang sama denganmu.” Sachi memandang Yoshiki penuh harap. “Kau dimanfaatkannya, tau?” “Aku tau!” Jawab Sachi ringan, membuat Yoshiki tersenyum. “Berapa banyak lagi yang harus kau kerjakan?” “Sedikit lagi, finishing, siang ini akan kuberikan padanya. Ia akan mengajakku pergi ke pantai sepulang kerja.” Yoshiki memandang kosong ke arah Sachi untuk beberapa lama. Ini awal yang dimulai olehnya. Sachi dan ‘’suyoshi sebaiknya bersatu. Bukankah itu yang diinginkannya? Tapi mengapa tiba-tiba dia merasa tidak ikhlas. “Paman, kau kenapa?” 28 Yoshiki terbangun dari lamunannya dan segera menepis telapak tangan Sachi yang ada di depan wajahnya. “Sudah, bawa kemaril” Yoshiki mengerjakan semua yang dia bisa sebaik mungkin. Tapi Sachi memang terlihat cerdas saat beberapa kali ide cemerlangnya membantu Yoshiki untuk mengerjakan tugas dengan lebih mudah. Hingga tiba-tiba, suara sorak gembira Sachi mengagetkannya karena mendengar suara mobil Tsuyoshi yang kelihatannya baru saja pulang kerja. “Paman, sudah selesai kan?” Yoshiki tidak bisa menjawab apa-apa karena Sachi segera menghilang setelah mengambil laptop yang berada di hadapanya. Ta penasaran dengan apa yang akan terjadi, bagaimana reaksi Tsuyoshi begitu melihat Sachi berhasil menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Yoshiki berdiri dari meja tulisnya dan berjalan keluar kamar. Tapi dirinya segera berhenti saat melihat Sachi mematung dan memandangi Tsuyoshi yang datang bersama Aiko. “Ini, sudah kukerjakan!” Sachi menyodorkan laptop milik Tsuyoshi kepada pemiliknya dengan tidak bersemangat. Tsuyoshi meraihnya dengan perasaan tidak enak, terlihat jelas dari perilaku gelisahnya yang berusaha untuk tidak memandang Sachi. “Maaf, ke pantainya kita tunda saja. Aku sedang ada urusan!” “Tapi kau sudah janji. Aku harus ke pantai hari ini juga!” Yoshiki memandangi adiknya yang mematung dan tidak memberi balasan apa-apa terhadap ucapan Sachi. Tidak biasanya. “Pergi denganku saja!” “ya, pergi dengan Yoshiki saja!” Tsuyoshi menatap Yoshiki seolah ingin mengungkapkan terimakasih yang sebesar- besarnya. Yoshiki tersenyum. Dia tahu apa yang sudah terjadi pada Aiko dan Tsuyoshi. Tapi dia tidak pernah ingin ikut campur. Tsuyoshi sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. “Nanti kau bawakan aku kerang ya?” Tsuyoshi tampak berusaha tersenyum saat mengatakan permintaannya kepada Sachi. 29 ae “Kau suka?” Yoshiki mengembangkan tangannya. Ia menikmati hembusan angin dengan seluruh perasaannya. Matanya terpejam penuh ketenangan. Sudah sore seperti ini Sachi tahu, Yoshiki mengajaknya ke pantai untuk menggantikan Tsuyoshi. Tsuyoshi sama sekali tidak menepati janjinya pada Sachi karena Aiko tiba-tiba datang. Sachi tahu, Tsuyoshi sudah terpikat pada Aiko semenjak Aiko terpilih untuk menjalani hal yang sama seperti yang tengah dijalani Sachi sekarang. Tapi Sachi masih terngiang dengan pandangan T'suyoshi yang penuh kesedihan. Sebenarnya dia kenapa? Tanya Sachi dalam Hati. Dia memandangi kerang berwarna putih yang berada dalam genggamanya. “Aku suka pada angin. Angin membuatku merasa bebas.” Yoshiki melanjutkan ucapannya. Sachi tiba-tiba tersadar dari lamunannya. Yoshiki mengingatkannya pada _ seseorang. Seseorang yang hingga kini menjadi alasannya mendekati Tsuyoshi Hidaka. “Bebas?” “Tya, bebas. Aku merasa seperti terbang, meskipun pada kenyataannya aku tidak bisa terbang.” “Ni-chanl?” Sachi berujar pelan. Pandangan matanya kosong menatap punggung Yoshiki. Yoshiki berhenti. Ia mematung mendengar Sachi memanggilnya Ni-chan. Matanya terasa panas. Benarkah Sachi sudah tahu siapa dia? Ia berbalik dan memandang Sachi yang tiba- tiba saja berurai air mata, Yoshiki sama sekali tidak menduga bahwa Sachi bisa membasahi pipinya sendiri dalam waktu yang sangat singkat. Sejak kapan anak itu menangis. Yoshiki bahkan tidak pernah mendengar isakannya. “Kau, memanggilku?” Tanya Yoshiki, masih terkesima. Sachi mendadak tersenyum dan menghapus air matanya. "Bolehkan aku memanggilmu Nié-chan?” “Aku? Kenapa?” “Karena kau mirip seseorang!” aotok 30 Sachi sudah bersusah payah mencari kerang. Bukankah Tsuyoshi Hidaka meminta kerang-kerang itu kepadanya. Ia sangat bahagia bisa mendapatkannya. Tsuyoshi Hidaka yang tadi siang terlihat sangat sedih. Dan dia ingin menghiburnya. Ia menggedor kamar Tsuyoshi Hidaka dengan semangat. Untuk beberapa waktu tidak ada yang menyahut. Tapi kemudian suara Tsuyoshi Hidaka terdengar. “Tunggu sebentar.” Sachi dengan setia menunggu hingga pintu kamar terbuka. "Ini Kerangnya.” Ia menyodorkan sebuah kerang yang dibawanya dalam genggaman tangannya. “Kau bilang ingin melihat kerang- kerang ini kan? Kerang ini bisa menghiburmu. Makanya aku mengumpulkannya.” “Ini sudah malam. Harusnya kau tidur. Bukan menggangguku.” Tsuyoshi memijat dahinya. Suaranya cukup tegas meskipun berbisik. Dia sedang marah. Tiba-tiba Sachi merasa tersakiti. Bukan masalah yang besar baginya bila Tsuyoshi marah padanya. Tapi kali ini, dirinya tidak bisa menerima tanpa tahu sebabnya. Mungkin karena dirinya menyukai Tsuyoshi Hidaka. Dia tahu itu. “Aku cuma mau menghiburmu saja.” “Sudah, terima saja. Jangan menolak pemberian orang.” Suara dari dalam kamar terdengar seperti membela Sachi. Sachi melongok ingin melihat siapa yang ada di dalam dan Tsuyoshi tdak menghalanginya. "Aiko Nee -vchan?” Sachi mendesis. Ia beralih memandang Tsuyoshi kecewa. Ternyata Aiko masih di sini, di dalam kamar Tsuyoshi hingga tengah malam Tsuyoshi sedikit kewalahan saat di pandangnya Sachi yang meletakkan kerang di depan pintu kamarnya. Gadis itu tanpa permisi turun menelusuri tangga meninggalkannya. Sachi tidak kembali ke kamarnya. “kau pikir dia cemburu?” Aiko bertanya kepadanya setengah geli. Ekspresi wajah yang sangat mengejek yang memancing rasa tidak suka Tsuyoshi terhadapnya. “Tentu saja. Bukankah kau tau dia menyukaiku.” “Kau menyukainya?” “Tidak.” 31

Anda mungkin juga menyukai