Oleh :
D IV Keperawatan Tingkat 2 Semester III
KELOMPOK 1
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah KMB 1 yang
berjudul Askep pada Pasien dengan Gangguan COPD/PPOK dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Dalam penyelesaian makalah ini ada beberapa
kesulitan yang penulis temukan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan dan
pengalaman penulis, yang menyangkut masalah teori dalam ilmu dokumentasi.
Untuk itu, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa saja, khususnya para mahasiswa
serta seluruh pembaca.
Penulis
1|Page
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I - PENDAHULUAN
I. Latar Belakang 4
II. Rumusan Masalah 5
III. Tujuan 6
IV. Manfaat 6
V. Metode penulisan 6
BAB II PEMBAHASAN
2|Page
E. Evaluasi 36
I. Kesimpulan 40
II. Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 41
3|Page
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema,
dan asma. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan kondisi
ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan
aliran masuk dan keluar udara paruparu. Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian kelima terbesar di
Amerika Serikat. Penyakit ini menyerang lebih dari 25% populasi
dewasa.
Akhir-akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) semakin menarik untuk
dibicarakan oleh karena prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat.
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instansi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan dirumah sakit
dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian,
PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker
dan penyakit serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit
ini mencapai 24 Miliyar per tahunnya. Worldhealth organization (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020prevalensi PPOK akan
meningkat . Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI
tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat keenam.
Merokok merupakan faktor resiko terpenting penyebab PPOK disamping
faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya.
Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada
penderita laki-laki lanjut usia. Bronkhitis kronis ditandai oleh adanya
sekresi mukus bronkus yang berlebihan dan tampak dengan adanya batuk
produktif selama 3 bulan atau lebih, dan setidaknya berlangsung selama
4|Page
2 tahun berturut-turut, serta tidak disebabkan oleh penyakit lain yang
mungkin menyebabkan gejala tersebut.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang penulis paparkan diatas,
baik dari gejala yang sering muncul, akibat dari masalah itu sendiri yang
akhirnya mengurangi produktifitas pasien. Untuk itu penulis dalam karya
tulis ini mengambil judul asuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik.
5|Page
III. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu mahasiswa mampu
memahami :
A. Pengertian penyakit COPD/PPOK
B. Etiologi penyakit COPD/PPOK
C. Epidemiologi
D. Faktor risiko
E. Klasifikasi
F. Tanda dan gejala penyakit COPD/PPOK
G. Pathway penyakit COPD/PPOK
H. Patofisiologi penyakit COPD/PPOK
I. Pemeriksaan diagnostik pada pasien COPD/PPOK
J. Penatalaksanaan medis pada pasien COPD/PPOK
K. Komplikasi
V. METODE PENULISAN
Adapun metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini
adalah metode studi pustaka dimana kami membaca dan menganalisis
beberapa lietarature yang terkait dengan penyakit COPD/PPOK dan
menuliskannya ke dalam makalah ini. Selain itu, kami juga menunjang
analisis dengan menggunakan metode penelusuran IT untuk mencari
6|Page
beberapa bahan pada jurnal, karya tulis, dan makalah terkait penyakit
COPD/PPOK.
7|Page
BAB II
PEMBAHASAN
8|Page
B. ETIOLOGI PENYAKIT COPD/PPOK
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut
Arief Mansjoer (2002) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi Udara
3. Paparan Debu, asap
4. Gas-gas kimiawi akibat kerja
5. Riwayat infeki saluran nafas
6. Bersifat genetik yakni definisi a-l anti tripsin
Sedangkan penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut
David Ovedoff (2002) yaitu : adanya kebiasaan merokok berat dan terkena
polusi udara dari bahan kimiawi akibat pekerjaan. Mungkin infeksi juga
berkaitan dengan virus hemophilus influenza dan strepto coccus pneumonia.
Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama menurut Neil F.
Gordan (2002) bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama
membangkitkan penderita penyakit PPOK, yaitu :
1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.
2. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita
3. Merokok
4. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak
dirasakan.
5. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus
8. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat penyakit paru
obstuksi kronik.
9. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walaupun tidak merokok.
9|Page
C. EPIDEMIOLOGI
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi
PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang
berumur18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP
prediksi, dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang
tahun2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab
penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan
sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6
menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata
sebesar 6,3%, dimanaHongkong dan Singapura dengan angka prevalensi
terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri,
hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa
10 | P a g e
PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari
penyebab kematian terbanyak di Indonesia.Tingkat morbiditas dan mortalitas
PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini di buktikan dengan
besarnya kejadian rawat inap, seperti diAmerika Serikat pada tahun 2000
terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan
pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian
sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000,
kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118pada wanita vs pria secara
berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per 100.000
populasi.
D. FAKTOR RISIKO
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten.
Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus
pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor
risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko
yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan
paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.
1. Genetik.
11 | P a g e
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling
besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi 1antitripsin, yang
merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi 1antitripsin adalah emfisema paru yang
dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang
akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi
genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang
terdapat pada kromosom 2q.
12 | P a g e
PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya
sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka
menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa
mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok
justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan
derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang
ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang
sedang (7,1%, p<0,02).
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu
yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan
kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi
penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu
organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III
didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita
PPOK terkait karena pekerjaan. American ThoracicSociety (ATS) sendiri
menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaanmemberikan gejala dan
kerusakan yang bermakna pada PPOK.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan,
kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan
menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita.
Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan
progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan
bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan
nitrogendioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran
nafaskecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada
fungsi paru.
13 | P a g e
masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan
hubungan yang positif antara berat lahir danVEP1 pada masa dewasanya.
4. Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus
dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki
proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik.
Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan
menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi
respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang
kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK
5. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas
pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa
prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada
wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa
ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama,
dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih
rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini
dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang
merupakan perokok saat ini.
6. Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang
besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri
berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan
juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas
berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan
14 | P a g e
pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga
dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa
tua pada saat umur diatas 40 tahun
E. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik
adalah sebagai berikut:
1. Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan
terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddart,
2002)
2. Emfisema paru
Emfisema paru merupakan suatu distensi abnormal ruang udara di luar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddart,
2002)
3. Asma
15 | P a g e
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana
trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
(Bruner & Suddart, 2002)
4. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronik yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi
bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran
pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang
berdilatasi dan pembesaran nodus limfe. (Bruner & Suddart, 2002)
Tanda :
Keletihan
Gelisah, insomnia
Kelemahan umum/kehilangan massa otot.
2. Sirkulasi
Gejala :
Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda :
Peningkatan tekanan darah
Peningkatan frekuensi jantung
Distensi vena leher
16 | P a g e
Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan
diameterAP dada)
Warna kulit/membrane mukosa : normal/abu-abu/sianosis; kuku
tabuh dan sianosis perifer
Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas
Gejala :
Peningkatan factor resiko
Perubahan pola hidup
Tanda :
Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan dan cairan
Gejala :
Mual/muntah
Nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema) ketidakmampuan untuk
makankarena distress pernafasan
penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan meninjukkan edema (bronchitis)
Tanda :
Turgor kulit buruk
Edema dependen
Berkeringat
Penurunan berat badan, penurunan massa otot (emfisema)
Palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis)
5. Higiene
Gejala :
Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari
17 | P a g e
Tanda :
Kebersihan buruk, bau badan
6. Pernafasan
Gejala :
Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja; cuaca atau episode
berulangnya sulit nafas (asma); rasa dada tertekan, ketidakmampuan
untuk bernafas (asma) Batuk menetap dengan produksi sputum
setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau,
puith, atau kuning) dapat banyak sekali (bronchitis kronis)
Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada tahap
dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema)
Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan
pernafasan dalam jangka panjang (mis. Rokok sigaret) atau
debu/asap (mis.asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji)
Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-menerus.
Tanda :
Pernafasan : biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi memanjang
dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema)
Penggunaaan otot bantu pernafasan, mis. Meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
Dada: gerakan diafragma minimal.
Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema);
menyebar, lembut atau krekels lembab kasar (bronchitis); ronki,
mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama
inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tidak adanya bunyi nafas
(asma)
Perkusi : Hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara dengan
emfisema); bunyi pekak pada area paru (mis. Konsolidasi, cairan,
mukosa)
18 | P a g e
Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abbu-abu
keseluruhan; warna merah (bronchitis kronis, biru mengembung).
Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink puffer karena
warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan
frekuensi pernafasan cepat.
Tabuh pada jari-jari (emfisema)
7. Keamanan
Gejala :
Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor lingkungan
Adanya/berulang infeksi
Kemerahan/berkeringat (asma)
8. Seksualitas
Gejala : penurunan libido
9. Interaksi Soaial
Gejala :
Hubungan ketergantungan Kurang sistem penndukung
Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang dekat
Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik
Tanda :
Ketidakmampuan untuk membuat//mempertahankan suara karena
distress pernafasan
Keterbatasan mobilitas fisik
Kelalaian hubungan dengan anggota kelurga lain.
19 | P a g e
G. PATHWAY PENYAKIT COPD/PPOK
Faktor
predisposisi
Gangguan
metabolisme Gangguan
jaringan pertukara
Hipoksemia
n gas
Metabolisme
anaerob
Insufisiensi/ga
Pola
Produksi ATP gal napas napas
Gagal menurun tidak
jantung
efektif
kanan
Defisit energi
20 | P a g e
H. PATOFISIOLOGI PENYAKIT COPD/PPOK
Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali
memberikan kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang
menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang
berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-
otot polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga menyebabkan
hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan
inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas
paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah
dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang
berhubungan dengan obstruksi jalan napas mengakibatkan hiperventilasi
(napas lambat dan dangkal) sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan
menyebabkan hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya
meningkat).Pada orang noirmal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan
yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran
pernapasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita COPD saluran
saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup.
Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding alveoli yang rusak,
akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari
kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi
perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke
alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Perjalanan klinis penderita PPOK terbentang mulai dari pink puffers
sampai blue bloaters adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan
produksi sputum yang berarti. Biasanya dispnea mulai timbul antara usia 30
sampai 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit lanjut, pasien
mungkin begitu kehbisan napas sehingga tidak dapat makan lagi dan tubuhnya
tampak kurus tak berotot. Pada perjalanan penyakit lebih lanjut, pink puffers
dapat berlanjut menjadi bronktis kronis sekunder. Dada pasien berbentuk tong,
21 | P a g e
diafragma terletak rendah dan bergerak tak lancar. Polisitemia dan sianosis
jarang ditemukan, sedangkan kor pulmonal (penyakit jantung akibat hipertensi
pulmonal dan penyakit paru) jarang ditemukan sebelum penyakit sampai pada
tahap terakhir. Gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi minimal,
sehingga dengan hiperventilasi penderita pink puffers biasanya dapat
mempertahankan gas-gas darah dalam batas normal sampai penyakit ini
mencapai tahap lanjut. Paru biasanya membesar sekali sehingga kapasitas
paru total dan volume residu sangat meningkat.
Pada keadaan PPOK ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue
bloaters (bronchitis tanpa bukti-bukti emfisema obstuktif yang jelas). Pasien
ini biasanya menderita batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi
pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak
gangguan fungsi. Akan tetapi, akhrnya timbul gejala dipsnea pada waktu
pasien melakukan kegiatan fisik. Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala
berkurangnya dorongan untuk bernapas; mengalami hipoventilasi dan menjadi
hipoksia dan hiperkapnia. Rasio ventilasi/perfusi juga tampak sangat
berkurang. Hipoksia yang kronik merangsang ginjal untuk memproduksi
eritrropoetin, yang akan merangsang peningkatan pembentukan sel-sel darah
merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar hemoglobin dapat
mencapai 20gram/ 100 ml atau lebih, dan sianosis mudah tampak karena Hb
dapat tereduksi mudah mencapai kadar 5 gram/100ml walaupun hanya
sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada dalam bentuk Hb tereduksi. Pasien-
pasien ini tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka tampak
sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh normal.
Kapasitas paru total normal dan diafrgma berada pada posisi normal.
Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonal atau akibat kegagalan
pernapasan.
Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia
20-30 tahun dengan batuk merokok, atau pagi disertai pembentukan
sedikit sputum mukoid. Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung
lebih lama dari biasanya pada pasien-pasien ini. Meskipun mungkin terdapat
22 | P a g e
penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak
diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu lama. Akhirnya, serangan
bronchitis akut makin sering timbul terutama pada musim dingin dan
kemampuan kerja pasien berkurang, sehingga waktu mencapai usia 50-60an
pasien mungkin harus berhenti bekerja. Pada pasien dengan tipe emfisema
tosa yang mencolok perjalanan klinis tampaknya tidak begitu lama yaitu tanpa
riwayat batuk produktif dan dalam beberapa tahun timbul dipsnea yang
membuat pasien menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia
dank or pulmonal prognosisnya buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa
tahun sesudah timbul penyakit. Gabungan gagal napas dan gagal jantung yang
dipercepat oleh pneumonia merupakan penyebab kematian yang lazim.
23 | P a g e
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small
airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan
alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin
sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun
polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P
pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio
R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB
inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui patogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap.
24 | P a g e
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis
yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau
doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x
0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar
25 | P a g e
dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
26 | P a g e
Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene
respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan
dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu
mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin.
Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
c. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik,
drainase postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah
batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental.
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa.
Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus
mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan
utama dari pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak
mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi atau
lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya,
dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan
pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh
perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
d. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas
hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan
nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut
Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk
mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan
pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan
meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang
sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta
penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.
K. KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
27 | P a g e
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada
tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya
dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan
seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat.
28 | P a g e
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PPOK
A. PENGKAJIAN
Secara umum pengkajian dimulai dengan mengumpulkan data tentang:
1. Biodata Pasien
Biodata pasien setidaknya berisi tentang nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, dan pendidikan. Umur pasien dapat menunjukkan tahap
perkembangan pasien baik secara fisik maupun psikologis. Jenis
kelamin dan pekerjaan perlu dikaji untuk mengetahui hubungan dan
pengaruhnya terhadap terjadinya masalah atau penyakit, dan tingkat
pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan klien tentang
masalah atau penyakitnya.
2. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan yang dikaji meliputi data saat ini dan masalah yang
lalu. Perawat mengkaji klien atau keluarga dan berfokus kepada
manifestasi klinik dari keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi
sekarang ini, riwayat kesehatan masa lalu, dan riwayat kesehatan
keluarga.
a. Keluhan Utama
Keluhan utama akan menentukan prioritas intervensi dan mengkaji
pengetahuan klien tentang kondidinya saat ini. Keluhan utama yang
biasa muncul pada klien PPOK adalah sesak nafas yang sudah
berlangsung lasa sampai bertahun-tahun, dan semakin berat setelah
beraktivitas. keluhan lainnya adalah batuk, dahak berwarna hijau,,
sesak semakin bertambah, dan badan lemah.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien dengan serangan PPOK dating mencari pertolongan terutama
dengan keluhan sesak nafas, kemudian diikuti dengan gejala-gejala
lain seperti wheezing, penggunaan otot bantu pernafasan, terjadi
penumpukan lender, dan sekresi yang sangat banyak sehingga
menyumbat jalan nafas.
29 | P a g e
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan
interaksi genetic dengan lingkungan. Misalnya pada orang yang
sering merokok, polusi udara dan paparan di tempat kerja.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tujuan menanyakan riwayat keluarga dan sosial pasien penyakit
paru-paru sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:
Penyakit infeksi tertentu khususnya tuberkolosis ditularkan
melalui satu orang ke orang lainnya. Manfaat menanyakan
riwayat kontak dengan orang terinfeksi akan dapat diketahui
sumber penularannya.
Kelainan alergi, seperti asma bronchial, menunjukkan suatu
predisposisi keturunan tertentu. Selain itu serangan asma
mungkin dicetuskan oleh konflik keluarga atau orang
terdekat.
Pasien bronchitis kronis mungkin bermukim di daerah yang
tingkat polusi udaranya tinggi. Namun polusi udara tidak
menimbulkan bronchitis kronis, melainkan hanya
memperburuk penyakit tersebut.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik focus pada PPOK
a. Inspeksi
Pada klien denga PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu nafas
(sternokleidomastoid0. Pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat
klien mempunyai batuk dada barrel chest akibat udara yang
terperangkap, penipisan massa otot, bernafas dengan bibir yang
dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang tidak efektif. Pada tahap
lanjut, dispnea terjadi pada saat beraktifitas, bahkan pada
beraktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi.
30 | P a g e
Pengkajian produk produktif dengan sputum parulen
mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
b. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
c. Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor,
sedangkan diafragma mendatar/menurun.
d. Auskultasi
Sering didapatkan adanya suara nafas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga
dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektifberhubungan dengan napas pendek, mukus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas
3. Gangguan pertukaran gasberhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi perfusi
4. Intoleransi aktivitasberhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan oksigen
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhberhubungan dengan
dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan
anoreksia, mual muntah.
6. Kurang perawatan diriberhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan
oksigenasi.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
31 | P a g e
DIAGNOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN
32 | P a g e
mukus, bronkokontriksi v Vital sign Status 2. Berikan dorongan untuk
dan iritan jalan napas menyelingi aktivitas dengan periode
Kriteria Hasil :
istirahat.
v Mendemonstrasikan batuk
3. Biarkan pasien membuat
efektif dan suara nafas yang bersih,
keputusan tentang perawatannya
tidak ada sianosis dan dyspneu
berdasarkan tingkat toleransi pasien.
(mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan mudah, 4. Berikan dorongan
tidak ada pursed lips) penggunaan latihan otot-otot
pernapasan jika diharuskan.
v Menunjukkan jalan nafas yang
paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan
dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
33 | P a g e
antara suplai dengan Kriteria Hasil : 2. Ukur tanda-tanda vital segera
kebutuhan oksigen setelah aktivitas, istirahatkan klien
v Berpartisipasi dalam aktivitas
selama 3 menit kemudian ukur lagi
fisik tanpa disertai peningkatan
tanda-tanda vital.
tekanan darah, nadi dan RR
3. Dukung pasien dalam
v Mampu melakukan aktivitas
menegakkan latihan teratur dengan
sehari hari (ADLs) secara mandiri
menggunakan treadmill dan
exercycle, berjalan atau latihan
lainnya yang sesuai, seperti berjalan
perlahan.
34 | P a g e
tidur sampai 15 menit tiap hari
sebanyak 3 kali sehari.
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
35 | P a g e
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh
perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
validasi; ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan
dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan
psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari
rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan
dan perawatan yang muncul pada pasien.
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan,
dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus
dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam
rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang.
36 | P a g e
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan
asma. Salah satu etiologi terjadinya PPOK adalah adanya kebiasaan merokok
berat dan terkena polusi udara dari bahan kimiawi akibat pekerjaan. Faktor-
faktor risiko ini dapat meningkatkan kemungkinan menderita PPOK yang ada
adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres
oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi,
nutrisi, dan komorbiditas.
II. SARAN
37 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
38 | P a g e
Tarigan, AP. 2011. Tinjauan Pustaka PPOK. (Online) available :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22281/4/Chapter%20II.pdf
(Diakses pada Jumat, 2 Oktober 2015 pukul 13.00 WITA)
39 | P a g e