Anda di halaman 1dari 40

Keperawatan Medikal Bedah (KMB) 1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN DENGAN GANGGUAN
COPD/PPOK

Oleh :
D IV Keperawatan Tingkat 2 Semester III
KELOMPOK 1

1) Putu Jana Yanti Putri (P07120214028)


2) Ni Nyoman Diah Vitri P. (P07120214029)
3) Ni Kadek Suliani (P07120214034)
4) Putu Lenny Omi Priyatni (P07120214035)
5) I Gusti Ayu Ari Dewi (P07120214037)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2015/2016
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah KMB 1 yang
berjudul Askep pada Pasien dengan Gangguan COPD/PPOK dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Dalam penyelesaian makalah ini ada beberapa
kesulitan yang penulis temukan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan dan
pengalaman penulis, yang menyangkut masalah teori dalam ilmu dokumentasi.
Untuk itu, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan anugrah-Nya kepada pihak


yang telah membantu penyelesaian makalah ini dan semoga makalah ini dapat
berguna untuk memberikan kontribusi dalam mata kuliah KMB 1. Di samping itu
penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu,segala kritik dan saran
yang bersifat konstruktif penulis terima dengan senang hati demi kesempurnaan
makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa saja, khususnya para mahasiswa
serta seluruh pembaca.

Om Shanti Shanti Shanti Om

Denpasar, 30 September 2015

Penulis

1|Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I - PENDAHULUAN

I. Latar Belakang 4
II. Rumusan Masalah 5
III. Tujuan 6
IV. Manfaat 6
V. Metode penulisan 6

BAB II PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR PENYAKIT PPOK/COPD


A. Pengertian penyakit COPD/PPOK 8
B. Etiologi penyakit COPD/PPOK 9
C. Epidemiologi 10
D. Faktor risiko 11
E. Klasifikasi 15
F. Tanda dan gejala penyakit COPD/PPOK 16
G. Pathway penyakit COPD/PPOK 20
H. Patofisiologi penyakit COPD/PPOK 21
I. Pemeriksaan diagnostik pada pasien COPD/PPOK 23
J. Penatalaksanaan medis pada pasien COPD/PPOK 24
K. Komplikasi 27
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN PPOK/COPD
A. Pengkajian 29
B. Diagnosa 31
C. Intervensi 32
D. Implementasi 36

2|Page
E. Evaluasi 36

BAB III - PENUTUP

I. Kesimpulan 40
II. Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

3|Page
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema,
dan asma. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan kondisi
ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan
aliran masuk dan keluar udara paruparu. Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian kelima terbesar di
Amerika Serikat. Penyakit ini menyerang lebih dari 25% populasi
dewasa.
Akhir-akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) semakin menarik untuk
dibicarakan oleh karena prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat.
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instansi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan dirumah sakit
dan 119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian,
PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker
dan penyakit serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit
ini mencapai 24 Miliyar per tahunnya. Worldhealth organization (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020prevalensi PPOK akan
meningkat . Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI
tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat keenam.
Merokok merupakan faktor resiko terpenting penyebab PPOK disamping
faktor risiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain-lainnya.
Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada
penderita laki-laki lanjut usia. Bronkhitis kronis ditandai oleh adanya
sekresi mukus bronkus yang berlebihan dan tampak dengan adanya batuk
produktif selama 3 bulan atau lebih, dan setidaknya berlangsung selama

4|Page
2 tahun berturut-turut, serta tidak disebabkan oleh penyakit lain yang
mungkin menyebabkan gejala tersebut.
Berdasarkan fenomena-fenomena yang penulis paparkan diatas,
baik dari gejala yang sering muncul, akibat dari masalah itu sendiri yang
akhirnya mengurangi produktifitas pasien. Untuk itu penulis dalam karya
tulis ini mengambil judul asuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruktif
Kronik.

II. RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
A. Apakah yang dimaksud dengan COPD/PPOK?
B. Apakah penyebab terjadinya COPD/PPOK?
C. Bagaimanakah perjalanan penyakit PPOK?
D. Apa sajakah faktor risiko penyakit PPOK?
E. Bagaimanakah klasifikasi penyakit PPOK?
F. Apa sajakah tanda dan gejala pasien yang menderita COPD/PPOK?
G. Bagaimanakah pathway penyakit COPD/PPOK?
H. Bagaimanakah perjalanan penyakit COPD/PPOK?
I. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien
COPD/PPOK?
J. Bagaimanakah penatalaksanaan medis pada pasien COPD/PPOK?
K. Apa sajakah komplikasi yang dapat terjadi pada pasien PPOK?
L. Bagaimana pengkajian yang dilakukan kepada pasien COPD/PPOK?
M. Apa sajakah diagnosa keperawatan penyakit COPD/PPOK?
N. Bagaimanakah rencana keperawatan untuk asuhan keperawatan
pasien dengan COPD/PPOK?
O. Bagaimakah implementasi keperawatan untuk pasien PPOK?
P. Bagaimanakah evaluasi keperawatan untuk pasien PPOK?

5|Page
III. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu mahasiswa mampu
memahami :
A. Pengertian penyakit COPD/PPOK
B. Etiologi penyakit COPD/PPOK
C. Epidemiologi
D. Faktor risiko
E. Klasifikasi
F. Tanda dan gejala penyakit COPD/PPOK
G. Pathway penyakit COPD/PPOK
H. Patofisiologi penyakit COPD/PPOK
I. Pemeriksaan diagnostik pada pasien COPD/PPOK
J. Penatalaksanaan medis pada pasien COPD/PPOK
K. Komplikasi

IV. MANFAAT PENULISAN


Manfaat penulisan makalah COPD/PPOK di sini yaitu untuk
memperluas wawasan pembaca mengenai penyakit COPD/PPOK beserta
hal-hal lain yang termasuk di dalamnya, selain itu makalah ini dapat
bermanfaat sebagai bahan acuan penulisan dasar asuhan keperawatan
pada pasien COPD/PPOK karena di dalamnya terdapat konsep dasar
asuhan keperawatan yang meliputi konsep dasar pengkajian, diagnosa,
dan rencana (intervensi) keperawatan.

V. METODE PENULISAN
Adapun metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini
adalah metode studi pustaka dimana kami membaca dan menganalisis
beberapa lietarature yang terkait dengan penyakit COPD/PPOK dan
menuliskannya ke dalam makalah ini. Selain itu, kami juga menunjang
analisis dengan menggunakan metode penelusuran IT untuk mencari

6|Page
beberapa bahan pada jurnal, karya tulis, dan makalah terkait penyakit
COPD/PPOK.

7|Page
BAB II
PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR PENYAKIT PPOK


A. PENGERTIAN PENYAKIT COPD/PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan
asma, yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat
aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang menimbulkan
obstruksi saluran napas, termasuk didalamnya ialah asma, bronkitis kronis.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan
gangguan fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang
disebabkan oleh adanya penyempitan saluran napas dan tidak banyak
mengalami perubahan dalam masa observasi beberapa waktu.
Penyakit paru obtruksi menahun (PPOK) adalah aliran udara mengalami
obstruksi yang kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan.
PPOK sesungguhnya merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama dan
bronkitis kronis, dimana keduanya menyebabkan perubahan pola pernafasan
(Reeves, 2001 : 41).
Penyakit Paru Obsruksi Kronik menurut Niluh G. Yasin (2003) adalah
kondisi obstruksi irevisibel progresif aliran udara dan ekspirasi biasanya
ditandai dengan kesulitan bernafas, batuk produktif, serta intolenransi
aktifitas.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Penyakit Paru
Obstruksi Kronik merupakan penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis
kronis, bronkietaksis dan emfisema, obstruksi tersebut bersifat progresif
disertai hiperaktif aktivitas bronkus.

8|Page
B. ETIOLOGI PENYAKIT COPD/PPOK
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut
Arief Mansjoer (2002) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi Udara
3. Paparan Debu, asap
4. Gas-gas kimiawi akibat kerja
5. Riwayat infeki saluran nafas
6. Bersifat genetik yakni definisi a-l anti tripsin
Sedangkan penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut
David Ovedoff (2002) yaitu : adanya kebiasaan merokok berat dan terkena
polusi udara dari bahan kimiawi akibat pekerjaan. Mungkin infeksi juga
berkaitan dengan virus hemophilus influenza dan strepto coccus pneumonia.
Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama menurut Neil F.
Gordan (2002) bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama
membangkitkan penderita penyakit PPOK, yaitu :
1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.
2. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita
3. Merokok
4. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak
dirasakan.
5. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus
8. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat penyakit paru
obstuksi kronik.
9. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walaupun tidak merokok.

9|Page
C. EPIDEMIOLOGI
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi
PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang
berumur18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP
prediksi, dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang
tahun2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab
penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan
sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6
menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata
sebesar 6,3%, dimanaHongkong dan Singapura dengan angka prevalensi
terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.

Tabel 1. Prevalensi PPOK Pada negara-negara miskin, 1990.

Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri,
hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa
10 | P a g e
PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari
penyebab kematian terbanyak di Indonesia.Tingkat morbiditas dan mortalitas
PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini di buktikan dengan
besarnya kejadian rawat inap, seperti diAmerika Serikat pada tahun 2000
terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan
pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian
sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000,
kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118pada wanita vs pria secara
berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per 100.000
populasi.

Tabel 2. Angka kematian pria per 100.000 populasi.

D. FAKTOR RISIKO
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten.
Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus
pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor
risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko
yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan
paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.

1. Genetik.

11 | P a g e
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling
besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi 1antitripsin, yang
merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi 1antitripsin adalah emfisema paru yang
dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang
akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi
genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang
terdapat pada kromosom 2q.

2. Paparan Partikel Inhalasi.


Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi
selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan
komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya
risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap
pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi
yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat
kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan
itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif,
bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers
itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOKmenjadi tinggi juga. Pada
perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna
pada orang muda yang bukan perokok.
Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika
ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi
perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak
untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama
menjadi meningkat.Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik
bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah
terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi.

12 | P a g e
PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya
sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka
menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa
mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok
justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan
derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang
ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang
sedang (7,1%, p<0,02).
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu
yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan
kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi
penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu
organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES III
didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita
PPOK terkait karena pekerjaan. American ThoracicSociety (ATS) sendiri
menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaanmemberikan gejala dan
kerusakan yang bermakna pada PPOK.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan,
kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan
menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita.
Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan
progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan
bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan
nitrogendioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran
nafaskecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada
fungsi paru.

3. Pertumbuhan dan perkembangan paru.


Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong
kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada
status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam

13 | P a g e
masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan
hubungan yang positif antara berat lahir danVEP1 pada masa dewasanya.

4. Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus
dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki
proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik.
Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan
menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi
respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang
kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK

5. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas
pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa
prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada
wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa
ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama,
dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih
rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini
dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang
merupakan perokok saat ini.

6. Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang
besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri
berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan
juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas
berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan

14 | P a g e
pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga
dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa
tua pada saat umur diatas 40 tahun

7. Status sosioekonomi dan nutrisi.


Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan
baik indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain
yang berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor
tersebut berhubungan erat dengan status sisioekonomi.

8. Komorbiditas (lebih dari satu penyakit terjadi secara bersamaan)


Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana
didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study
ofAirway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma
akanmengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.

E. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik
adalah sebagai berikut:
1. Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan
terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddart,
2002)

2. Emfisema paru
Emfisema paru merupakan suatu distensi abnormal ruang udara di luar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddart,
2002)

3. Asma
15 | P a g e
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana
trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
(Bruner & Suddart, 2002)

4. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronik yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi
bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran
pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang
berdilatasi dan pembesaran nodus limfe. (Bruner & Suddart, 2002)

F. TANDA DAN GEJALA PENYAKIT COPD/PPOK


1. Aktifitas dan Istirahat
Gejala :
Keletihan, kelelahan, malaise,
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit
bernafas
Ketidakmampian untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
Dispnea pasa saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan

Tanda :

Keletihan
Gelisah, insomnia
Kelemahan umum/kehilangan massa otot.
2. Sirkulasi
Gejala :
Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda :
Peningkatan tekanan darah
Peningkatan frekuensi jantung
Distensi vena leher
16 | P a g e
Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan
diameterAP dada)
Warna kulit/membrane mukosa : normal/abu-abu/sianosis; kuku
tabuh dan sianosis perifer
Pucat dapat menunjukkan anemia.

3. Integritas
Gejala :
Peningkatan factor resiko
Perubahan pola hidup
Tanda :
Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan dan cairan
Gejala :
Mual/muntah
Nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema) ketidakmampuan untuk
makankarena distress pernafasan
penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan meninjukkan edema (bronchitis)
Tanda :
Turgor kulit buruk
Edema dependen
Berkeringat
Penurunan berat badan, penurunan massa otot (emfisema)
Palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis)
5. Higiene
Gejala :
Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari

17 | P a g e
Tanda :
Kebersihan buruk, bau badan
6. Pernafasan
Gejala :
Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala
menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja; cuaca atau episode
berulangnya sulit nafas (asma); rasa dada tertekan, ketidakmampuan
untuk bernafas (asma) Batuk menetap dengan produksi sputum
setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau,
puith, atau kuning) dapat banyak sekali (bronchitis kronis)
Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada tahap
dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema)
Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan
pernafasan dalam jangka panjang (mis. Rokok sigaret) atau
debu/asap (mis.asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji)
Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-menerus.
Tanda :
Pernafasan : biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi memanjang
dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema)
Penggunaaan otot bantu pernafasan, mis. Meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
Dada: gerakan diafragma minimal.
Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema);
menyebar, lembut atau krekels lembab kasar (bronchitis); ronki,
mengi sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama
inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tidak adanya bunyi nafas
(asma)
Perkusi : Hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara dengan
emfisema); bunyi pekak pada area paru (mis. Konsolidasi, cairan,
mukosa)
18 | P a g e
Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abbu-abu
keseluruhan; warna merah (bronchitis kronis, biru mengembung).
Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink puffer karena
warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan
frekuensi pernafasan cepat.
Tabuh pada jari-jari (emfisema)
7. Keamanan
Gejala :
Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor lingkungan
Adanya/berulang infeksi
Kemerahan/berkeringat (asma)
8. Seksualitas
Gejala : penurunan libido
9. Interaksi Soaial
Gejala :
Hubungan ketergantungan Kurang sistem penndukung
Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang dekat
Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik
Tanda :
Ketidakmampuan untuk membuat//mempertahankan suara karena
distress pernafasan
Keterbatasan mobilitas fisik
Kelalaian hubungan dengan anggota kelurga lain.

19 | P a g e
G. PATHWAY PENYAKIT COPD/PPOK

Faktor
predisposisi

Edema, spasme bronkus,


peningkatan secret
bronkiolus

Obstruksi bronkiolus awal


fase ekspirasi
Bersihan
jalan napas
tidak efektif
Udara terperangkap
dalam alveolus

Suplai O2 jaringan PaO2 rendah Sesak napas,


rendah PaCO2 tinggi napas pendek

Gangguan
metabolisme Gangguan
jaringan pertukara
Hipoksemia
n gas
Metabolisme
anaerob
Insufisiensi/ga
Pola
Produksi ATP gal napas napas
Gagal menurun tidak
jantung
efektif
kanan
Defisit energi

Lelah, lemah Risiko


perubahan
nutrisi
Intoleransi kurang dari
aktivitas Kurang kebutuhan
Gangguan perawatan tubuh
pola tidur diri

20 | P a g e
H. PATOFISIOLOGI PENYAKIT COPD/PPOK
Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali
memberikan kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang
menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang
berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-
otot polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga menyebabkan
hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan
inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas
paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah
dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang
berhubungan dengan obstruksi jalan napas mengakibatkan hiperventilasi
(napas lambat dan dangkal) sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan
menyebabkan hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya
meningkat).Pada orang noirmal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan
yang menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran
pernapasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita COPD saluran
saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup.
Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding alveoli yang rusak,
akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari
kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi
perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke
alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Perjalanan klinis penderita PPOK terbentang mulai dari pink puffers
sampai blue bloaters adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan
produksi sputum yang berarti. Biasanya dispnea mulai timbul antara usia 30
sampai 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit lanjut, pasien
mungkin begitu kehbisan napas sehingga tidak dapat makan lagi dan tubuhnya
tampak kurus tak berotot. Pada perjalanan penyakit lebih lanjut, pink puffers
dapat berlanjut menjadi bronktis kronis sekunder. Dada pasien berbentuk tong,

21 | P a g e
diafragma terletak rendah dan bergerak tak lancar. Polisitemia dan sianosis
jarang ditemukan, sedangkan kor pulmonal (penyakit jantung akibat hipertensi
pulmonal dan penyakit paru) jarang ditemukan sebelum penyakit sampai pada
tahap terakhir. Gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi minimal,
sehingga dengan hiperventilasi penderita pink puffers biasanya dapat
mempertahankan gas-gas darah dalam batas normal sampai penyakit ini
mencapai tahap lanjut. Paru biasanya membesar sekali sehingga kapasitas
paru total dan volume residu sangat meningkat.
Pada keadaan PPOK ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue
bloaters (bronchitis tanpa bukti-bukti emfisema obstuktif yang jelas). Pasien
ini biasanya menderita batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi
pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak
gangguan fungsi. Akan tetapi, akhrnya timbul gejala dipsnea pada waktu
pasien melakukan kegiatan fisik. Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala
berkurangnya dorongan untuk bernapas; mengalami hipoventilasi dan menjadi
hipoksia dan hiperkapnia. Rasio ventilasi/perfusi juga tampak sangat
berkurang. Hipoksia yang kronik merangsang ginjal untuk memproduksi
eritrropoetin, yang akan merangsang peningkatan pembentukan sel-sel darah
merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar hemoglobin dapat
mencapai 20gram/ 100 ml atau lebih, dan sianosis mudah tampak karena Hb
dapat tereduksi mudah mencapai kadar 5 gram/100ml walaupun hanya
sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada dalam bentuk Hb tereduksi. Pasien-
pasien ini tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka tampak
sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh normal.
Kapasitas paru total normal dan diafrgma berada pada posisi normal.
Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonal atau akibat kegagalan
pernapasan.
Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia
20-30 tahun dengan batuk merokok, atau pagi disertai pembentukan
sedikit sputum mukoid. Infeksi pernapasan ringan cenderung berlangsung
lebih lama dari biasanya pada pasien-pasien ini. Meskipun mungkin terdapat

22 | P a g e
penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini tidak
diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu lama. Akhirnya, serangan
bronchitis akut makin sering timbul terutama pada musim dingin dan
kemampuan kerja pasien berkurang, sehingga waktu mencapai usia 50-60an
pasien mungkin harus berhenti bekerja. Pada pasien dengan tipe emfisema
tosa yang mencolok perjalanan klinis tampaknya tidak begitu lama yaitu tanpa
riwayat batuk produktif dan dalam beberapa tahun timbul dipsnea yang
membuat pasien menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia
dank or pulmonal prognosisnya buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa
tahun sesudah timbul penyakit. Gabungan gagal napas dan gagal jantung yang
dipercepat oleh pneumonia merupakan penyebab kematian yang lazim.

I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA PASIEN COPD/PPOK


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal
b. Corak paru yang bertambah

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:

a. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia


dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular
dan pink puffer
b. Corakan paru yang bertambah
2. Pemeriksaan faal paru (Spirometri)
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan
VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR

23 | P a g e
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small
airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan
alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin
sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun
polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P
pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio
R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB
inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui patogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap.

J. PENATALAKSANAAN MEDIS PADA PASIEN COPD/PPOK


Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi
ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.

24 | P a g e
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis
yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau
doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan
peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x
0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar

25 | P a g e
dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.

Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan


Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab
dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan
medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu,
mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan
mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi
yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai
relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena
diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses fundamental
dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua
adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid
memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak
menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral.
Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan
terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid
akan menjadi lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada
pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis
gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit.
Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena
perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat
pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk
mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan
pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator,
ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan.

26 | P a g e
Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene
respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan
dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu
mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin.
Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
c. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik,
drainase postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah
batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental.
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa.
Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus
mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan
utama dari pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak
mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi atau
lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya,
dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan
pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh
perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
d. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas
hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan
nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut
Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk
mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan
pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan
meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang
sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta
penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.

K. KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan

27 | P a g e
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada
tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.

3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya
dyspnea.

4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini
sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.

6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan
seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat.

28 | P a g e
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PPOK

A. PENGKAJIAN
Secara umum pengkajian dimulai dengan mengumpulkan data tentang:
1. Biodata Pasien
Biodata pasien setidaknya berisi tentang nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, dan pendidikan. Umur pasien dapat menunjukkan tahap
perkembangan pasien baik secara fisik maupun psikologis. Jenis
kelamin dan pekerjaan perlu dikaji untuk mengetahui hubungan dan
pengaruhnya terhadap terjadinya masalah atau penyakit, dan tingkat
pendidikan dapat berpengaruh terhadap pengetahuan klien tentang
masalah atau penyakitnya.

2. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan yang dikaji meliputi data saat ini dan masalah yang
lalu. Perawat mengkaji klien atau keluarga dan berfokus kepada
manifestasi klinik dari keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi
sekarang ini, riwayat kesehatan masa lalu, dan riwayat kesehatan
keluarga.
a. Keluhan Utama
Keluhan utama akan menentukan prioritas intervensi dan mengkaji
pengetahuan klien tentang kondidinya saat ini. Keluhan utama yang
biasa muncul pada klien PPOK adalah sesak nafas yang sudah
berlangsung lasa sampai bertahun-tahun, dan semakin berat setelah
beraktivitas. keluhan lainnya adalah batuk, dahak berwarna hijau,,
sesak semakin bertambah, dan badan lemah.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien dengan serangan PPOK dating mencari pertolongan terutama
dengan keluhan sesak nafas, kemudian diikuti dengan gejala-gejala
lain seperti wheezing, penggunaan otot bantu pernafasan, terjadi
penumpukan lender, dan sekresi yang sangat banyak sehingga
menyumbat jalan nafas.
29 | P a g e
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan
interaksi genetic dengan lingkungan. Misalnya pada orang yang
sering merokok, polusi udara dan paparan di tempat kerja.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tujuan menanyakan riwayat keluarga dan sosial pasien penyakit
paru-paru sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:
Penyakit infeksi tertentu khususnya tuberkolosis ditularkan
melalui satu orang ke orang lainnya. Manfaat menanyakan
riwayat kontak dengan orang terinfeksi akan dapat diketahui
sumber penularannya.
Kelainan alergi, seperti asma bronchial, menunjukkan suatu
predisposisi keturunan tertentu. Selain itu serangan asma
mungkin dicetuskan oleh konflik keluarga atau orang
terdekat.
Pasien bronchitis kronis mungkin bermukim di daerah yang
tingkat polusi udaranya tinggi. Namun polusi udara tidak
menimbulkan bronchitis kronis, melainkan hanya
memperburuk penyakit tersebut.

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik focus pada PPOK
a. Inspeksi
Pada klien denga PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu nafas
(sternokleidomastoid0. Pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat
klien mempunyai batuk dada barrel chest akibat udara yang
terperangkap, penipisan massa otot, bernafas dengan bibir yang
dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang tidak efektif. Pada tahap
lanjut, dispnea terjadi pada saat beraktifitas, bahkan pada
beraktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi.

30 | P a g e
Pengkajian produk produktif dengan sputum parulen
mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
b. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
c. Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor,
sedangkan diafragma mendatar/menurun.
d. Auskultasi
Sering didapatkan adanya suara nafas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga
dan infeksi bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektifberhubungan dengan napas pendek, mukus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas
3. Gangguan pertukaran gasberhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi perfusi
4. Intoleransi aktivitasberhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan oksigen
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhberhubungan dengan
dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan
anoreksia, mual muntah.
6. Kurang perawatan diriberhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan
oksigenasi.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

31 | P a g e
DIAGNOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan napas NOC : 1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas


tidak efektif b.d cairan/hari kecuali terdapat kor
v Respiratory status : Ventilation
bronkokontriksi, pulmonal.
peningkatan produksi v Respiratory status : Airway
2. Ajarkan dan berikan dorongan
sputum, batuk tidak patency
penggunaan teknik pernapasan
efektif,
v Aspiration Control diafragmatik dan batuk.
kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi Kriteria Hasil : 3. Bantu dalam pemberian
bronkopulmonal. tindakan nebuliser, inhaler dosis
v Mendemonstrasikan batuk
terukur
efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dyspneu 4. Lakukan drainage postural
(mampu mengeluarkan sputum, dengan perkusi dan vibrasi pada
mampu bernafas dengan mudah, pagi hari dan malam hari sesuai
tidak ada pursed lips) yang diharuskan.

v Menunjukkan jalan nafas yang 5. Instruksikan pasien untuk


paten (klien tidak merasa tercekik, menghindari iritan seperti asap
irama nafas, frekuensi pernafasan rokok, aerosol, suhu yang ekstrim,
dalam rentang normal, tidak ada dan asap.
suara nafas abnormal)
6. Ajarkan tentang tanda-tanda
v Mampu mengidentifikasikan dan dini infeksi yang harus dilaporkan
mencegah factor yang dapat pada dokter dengan segera:
menghambat jalan nafas peningkatan sputum, perubahan
warna sputum, kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek, rasa
sesak didada, keletihan.

7. Berikan antibiotik sesuai yang


diharuskan.

8. Berikan dorongan pada pasien


untuk melakukan imunisasi
terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.

2. Pola napas tidak NOC: 1. Ajarkan klien latihan


efektifberhubungan bernapas diafragmatik dan
v Respiratory status : Airway
dengan napas pendek, pernapasan bibir dirapatkan.
patency

32 | P a g e
mukus, bronkokontriksi v Vital sign Status 2. Berikan dorongan untuk
dan iritan jalan napas menyelingi aktivitas dengan periode
Kriteria Hasil :
istirahat.
v Mendemonstrasikan batuk
3. Biarkan pasien membuat
efektif dan suara nafas yang bersih,
keputusan tentang perawatannya
tidak ada sianosis dan dyspneu
berdasarkan tingkat toleransi pasien.
(mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan mudah, 4. Berikan dorongan
tidak ada pursed lips) penggunaan latihan otot-otot
pernapasan jika diharuskan.
v Menunjukkan jalan nafas yang
paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan
dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)

v Tanda Tanda vital dalam rentang


normal (tekanan darah (sistole
110-130mmHg dan diastole 70-
90mmHg), nad (60-100x/menit)i,
pernafasan (18-24x/menit))

3. Gangguan pertukaran v Respiratory status : Ventilation 1. Deteksi bronkospasme


gasberhubungan dengan saatauskultasi .
Kriteria Hasil :
ketidaksamaan ventilasi
2. Pantau klien terhadap dispnea
perfusi v Frkuensi nafas normal (16-
dan hipoksia.
24x/menit)
3. Berikan obat-obatan
v Itmia
bronkodialtor dan kortikosteroid
v Tidak terdapat disritmia dengan tepat dan waspada
kemungkinan efek sampingnya.
v Melaporkan penurunan dispnea
4. Berikan terapi aerosol sebelum
v Menunjukkan perbaikan dalam
waktu makan, untuk membantu
laju aliran ekspirasi
mengencerkan sekresi sehingga
ventilasi paru mengalami perbaikan.
5. Pantau pemberian oksigen

4. Intoleransi NOC : 1. Kaji respon individu terhadap


aktivitasberhubungan aktivitas; nadi, tekanan darah,
v Energy conservation
dengan pernapasan
ketidakseimbangan v Self Care : ADLs

33 | P a g e
antara suplai dengan Kriteria Hasil : 2. Ukur tanda-tanda vital segera
kebutuhan oksigen setelah aktivitas, istirahatkan klien
v Berpartisipasi dalam aktivitas
selama 3 menit kemudian ukur lagi
fisik tanpa disertai peningkatan
tanda-tanda vital.
tekanan darah, nadi dan RR
3. Dukung pasien dalam
v Mampu melakukan aktivitas
menegakkan latihan teratur dengan
sehari hari (ADLs) secara mandiri
menggunakan treadmill dan
exercycle, berjalan atau latihan
lainnya yang sesuai, seperti berjalan
perlahan.

4. Kaji tingkat fungsi pasien yang


terakhir dan kembangkan rencana
latihan berdasarkan pada status
fungsi dasar.

5. Sarankan konsultasi dengan


ahli terapi fisik untuk menentukan
program latihan spesifik terhadap
kemampuan pasien.

6. Sediakan oksigen sebagaiman


diperlukan sebelum dan selama
menjalankan aktivitas untuk
berjaga-jaga.

7. Tingkatkan aktivitas secara


bertahap; klien yang sedang atau
tirah baring lama mulai melakukan
rentang gerak sedikitnya 2 kali
sehari.

8. Tingkatkan toleransi terhadap


aktivitas dengan mendorong klien
melakukan aktivitas lebih lambat,
atau waktu yang lebih singkat,
dengan istirahat yang lebih banyak
atau dengan banyak bantuan.
9. Secara bertahap tingkatkan
toleransi latihan dengan
meningkatkan waktu diluar tempat

34 | P a g e
tidur sampai 15 menit tiap hari
sebanyak 3 kali sehari.

5. Perubahan nutrisi NOC : 1. Kaji kebiasaan diet, masukan


kurang dari kebutuhan makanan saat ini. Catat derajat
v Nutritional Status : food and
tubuhberhubungan kesulitan makan. Evaluasi berat
Fluid Intake
dengan dispnea, badan dan ukuran tubuh.
kelamahan, efek Kriteria Hasil :
2. Auskultasi bunyi usus
samping obat, produksi
v Adanya peningkatan berat
sputum dan anoreksia, 3. Berikan perawatan oral sering,
badan sesuai dengan tujuan
mual muntah. buang sekret.
v Berat badan ideal sesuai dengan
4. Dorong periode istirahat I jam
tinggi badan
sebelum dan sesudah makan.
v Mampu mengidentifikasi
5. Pesankan diet lunak, porsi
kebutuhan nutrisi
kecil sering, tidak perlu dikunyah
v Tidak ada tanda tanda malnutrisi lama.

Tidak terjadi penurunan berat 6. Hindari makanan yang


badan yang berarti diperkirakan dapat menghasilkan
gas.

7. Timbang berat badan tiap hari


sesuai indikasi.

6. Kurang perawatan NOC : 1. Ajarkan mengkoordinasikan


diriberhubungan dengan pernapasan diafragmatik dengan
v Self care : Activity of Daily
keletihan sekunder aktivitas seperti berjalan, mandi,
Living (ADLs)
akibat peningkatan membungkuk, atau menaiki tangga
upaya pernapasan dan Kriteria Hasil :
2. Dorong klien untuk mandi,
insufisiensi ventilasi
v Klien terbebas dari bau badan berpakaian, dan berjalan dalam
dan oksigenasi
jarak dekat, istirahat sesuai
v Menyatakan kenyamanan
kebutuhan untuk menghindari
terhadap kemampuan untuk
keletihan dan dispnea berlebihan.
melakukan ADLs
Bahas tindakan penghematan
v Dapat melakukan ADLS dengan energi.
bantuan
3. Ajarkan tentang postural
drainage bila memungkinkan.

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
35 | P a g e
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh
perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan
validasi; ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan
dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan
psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari
rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan
dan perawatan yang muncul pada pasien.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan,
dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus
dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam
rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang.

36 | P a g e
BAB III
PENUTUP

I. KESIMPULAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan
asma. Salah satu etiologi terjadinya PPOK adalah adanya kebiasaan merokok
berat dan terkena polusi udara dari bahan kimiawi akibat pekerjaan. Faktor-
faktor risiko ini dapat meningkatkan kemungkinan menderita PPOK yang ada
adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres
oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi,
nutrisi, dan komorbiditas.

II. SARAN

Terjadinya PPOK dapat dicegah dengan menghindari faktor faktor


etiologi, misalnya menghentikan kebiasaan merokok dan menggunakan alat
perlindungan diri sesuai degan standar jika bekerja di tempat yang memiliki
tingkat polusi udara yang tinggi.

37 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Brasher. 2011. Asuhan Keperawatan Pada pasien PPOK. (Online) available:


http://dokumen.tips/documents/askep-pada-pasien-ppok.html (Diakses pada
kamis,1oktober 2015 pukul 19.11 WITA)

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Pingitan.2014. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan PPOK :


http://gadiespingitan.blogspot.co.id/2014/08/asuhan-keperawatan-pada-
pasien-dengan.html (online) avaible. (Diakses pada Kamis, 1 Oktober 2015
pukul 18.40 WITA)

Price, Sylvia A. Dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit


Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.

Rahmawati, AF. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronis. (Online) available:


http://eprints.undip.ac.id/43734/3/BAB_2.pdf(Diakses pada Rabu, 30
September 2015 pukul 20.05 WITA)

Setia, M. 2011. Makalah PPOK. (Online) available:


repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23017/5/Chapter%20I.pdf(Diakse
s pada Selasa, 29 September 2015 pukul 20.05 WITA)

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Susanti, Dian. 2012. Tinjauan Pustaka COPD/PPOK. (Online) available:


http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-gdl-diansusant-6689-
1-bab1.pdf (Diakses pada Selasa, 29 September 2015 pukul 20.05 WITA)

38 | P a g e
Tarigan, AP. 2011. Tinjauan Pustaka PPOK. (Online) available :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22281/4/Chapter%20II.pdf
(Diakses pada Jumat, 2 Oktober 2015 pukul 13.00 WITA)

39 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai