Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Psikosis merupakan gejala gangguan mental yang berat dimana seseorang kehilangan
kemampuan untuk mengenali realistis atau berhubungan dengan orang lain dan mereka
biasanya berprilaku dengan cara yang tidak tepat dan aneh. Psikosis muncul sebagai gejala
dari sejumlah gangguan mental, gangguan suasana hati dan lain sebagainya. bentuk gangguan
mental yang ditandai dengan adanya diorganisasi kognitif, diorientasi waktu, ruang, orang,
serta adanya gangguan dalam emosionalnya. Gejala psikosis yang dapat tejadi seperti ilusi,
delusi, halusinasi dan lain sebagainya. Penyakit ini cukup serius sehingga perlu penanganan
yang cepat, apabila penanganan tidak dilakukan pada saat yang tepat psikosis akan terjadi
dalam kurun waktu yang lama.

Gangguan mental organik didefinisikan sebagai gangguan yang memiliki dasar


organik yang patologi yang dapat diidentifikasikan seperti tumor otak, penyakit
cerebrovaskular, intosifikasi obat. Gangguan mental organik umumnya terdapat gangguan
fungsi kognitif, sensorium, persepsi, isi pikir, serta suasana perasaan dan emosi.

Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang
terjadi sewaktu-waktu secara mendadak dan sangat cepat. Secara klinis epilepsi merupakan
gangguan paroksismal dimana cetusan neuron neuron di korteks serebri mengakibatkan
serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau
emosional yang intermiten dan stereotipik. 1

1
BAB II

PEMBAHASAN

Definisi

Epilepsi merupakan kelianan serebral yang di tandai dengan faktor predisposisi


menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial dari kondisi ini. Epilepsi merupakan
manisfestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, namun dengan gejala
tunggal khas yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
neuron-neuron di otak secara berlebihan dan paroksismal.1
Epilepsi adalah salah satu gangguan susunan saraf pusat yang terjadi karena
pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan penuruan kesadaran,
perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku emosional yang intermiten dan
stereotipik. Keadaan ini yang mempengaruhi timbulnya perubahan perilaku pada
penderita epilepsi. Pada perubahan perilaku selama dan sesudah kejang, gangguan
epileptogenik yang melibatkan fungsi sering berlanjut sampai pada periode postictal
dan interictal. Kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi perhatian,
memori, kecepatan berpikir, dan bahasa sama seperti pada fungsi sosial dan perilaku.
Perubahan perilaku meliputi gangguan mood, depresi, ansietas, dan psikosis. 2
Pada pasien epilepsi terjadi kehilangan kesadaran, hal ini disebabkan karena
instabilitas dari neuron-neuron pada korteks. Sebelum terjadinya serangan epilepsi,
terdapat gejala aura, yaitu penderita merasa pusing, merasa tidak enak pada perut dan
punggungnya dalam beberapa detik. Penderita menjadi bingung dan merasakan
getaran-getaran dingin, sehingga dia tidak dapat mempersiapkan diri terhadap
serangan kejang. Lalu penderita mengalami aura-stupor, yaitu rasa seperti terbius dan
tidak berdaya, serta merasakan kelumpuhan atau kekakuan pada sebagian anggota
badannya. 2

2
Etiologi

Hampir setengah dari keseluruhan kasus epilepsi bersifat idiopatik yang tidak dapat
diketemukan adanya suatu lesi organik di otak. Penyebab utama terjadinya kejang dapat
terjadi oleh karena adanya gangguan metabolik seperti hipoglikemia, hipomagnesemmia,
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Atau dapat juga oleh karena adanya riwayat
trauma serebrovaskular, stroke, penyakit demielinisasi. Epilepsi juga dapat terjadi karena
adanya infeksi virus pada wanita hamil, seperti sifilis, toksoplasma virus rubella, virus
sitomegalo atau herpes simplek, dapat menimbulkan epilepsi. Disamping itu adanya infeksi
pada susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis. Konsumsi alkohol atau narkoba oleh
wanita hamil dapat merusak otak janin sehingga dapat menyebabkan epilepsi. Penggunaan
konsumsi alkohol secara tiba-tiba pada seorang alkoholik; penghentian secara tiba-tiba obat
tertentu seperti obat anti epilepsi; keracunan Karbon Monoksida (CO), timah atau air raksa;
injeksi heroin atau kokain, dapat pula menimbulkan epilepsi. 2

Terpaparnya seorang wanita hamil dengan sinar X atau sinar radioaktif lainnya,
terutama pada tiga bulan pertama kehamilan, dapat menyebabkan kerusakan otak. Trauma
yang menyebabkan cedera otak pada bayi selam proses persalinan maupun trauma kepala
yang dialami seseorang pada semua usia dapat menimbulkan epilepsi. 2

Epidemiologi

Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien baru
terdiagnosis per 10.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsi
adalah 2 per 100.000 kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang atau jika terjadi
cedera akibat kecelakaan atau trauma. Data dari WHO menyebutkan bahwa dari banyak studi
menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk, sedangkan angka
insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti
tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang
berpenduduk berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih
mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta.1,2

Penilitian epidemiologi tentang insiden dan prevalensi terjadinya psikopatologi


diantara serangan kejang masih sedikit. Namun penilitian yang ada memperlihatkan bahwa
terdapat peningkatan prevalensi problem psikiatri di antara pasine-pasien epilepsi
dibandingkan pada pasien tanpa epilepsi.2

3
Klasifikasi

Kejang tonic klonik, serangan ini merupakan yang paling berat. Sewaktu terjadi
serangan kesadaran hilang dan penderita mengalami kejang-kejang. Nafasnya terhenti,
mulutnya bergetar, dan rahangnya terkatup kuat. Lengan dan kaki terlentang kaku dan
kejang-kejang, serta tangannya mengepal. Kemudian penderita terjatuh. Mungkin juga
penderita merasa sakit, lalu menangis dan mengerang-erang, kemudian jatuh pingsan,
tidak ingat sesuatupun juga. Mukanya menjadi kelam, lalu jadi pucat. Saat serangan
terjadi, penderita dapat kehilangan kontrol diri, sehingga dapat kencing atau buang air
besar yang tak terkendali, atau menggigit lidahnya.3

Dengan masuknya oksigen dalam paruparu, kejang dan kekakuannya menurun. Tangan
dan kaki tetap bergerak-gerak tapi mulutnya berbui. Setelah sadar, penderita mengalami
kebingungan dan keletihan, dan dapat tertidur. Saat terjaga, penderita mungkin tidak
ingat kejadian saat terjadi serangan, meski lidahnya sakit atau mengompol. Penderita
yang mengalami kekejangan tesebut memiliki resiko mendapatkan kecelakaan,seperti
melikai diri sendiri, menggigit lidahnya hingga putus, atau tenggelam, terluka, atau
terbakar.3

Absences (Petit Mal) Biasanya penderita tidak kehilangan kesadarannya. Ia berhenti


sebentar, memandang kosong ke depan atau ke lantai, lalu berjalan kembali. Seringkali
terdapat gerakan-gerakan pada kening dan alis, atau gerak ritmis pada kelopak mata, dekat
telinga, bibir dan hidung. Barang yang sedang dipegannya, dapat terjatuh. Petit mal ini
banyak dialami oleh perempuan, terutama mereka yang sedang mengalami periode sekitar
pubertas. Elektroensefalogerafi ( EEG) menghasilkan pola karakteristik aktivitas paku dan
gelombang (spike and wave) tiga kali perdetik. Pada keadaan yang jarang, epilepsi petitmal
dengan onset dewasa dapat ditandai oleh episode psikotik atau delirium yang tiba-tiba dan
rekuren yang tampak dan menghilang secara tiba-tiba gejala dapat disertai dengan riwayat
terjatuh atau pingsan. 3

Kejang parsial diklasifikasikan sebagai sederhana tanpa perubahan kesadaran atau


kompleks dengan perubahan kesadaran Sedikit lebih banyak dari setengah semua pasien
dengan kejang parsial mengalami kejang parsial kompleks; istilah lain yang digunakan untuk
kejang parsial kompleks adalah epilepsi lobus temporalis, kejang psikomotor, dan epilepsi
3
limbik tetapi istilah tersebut bukan merupakan penjelasan situasi klinis yang akurat.

4
Secara umum penggolongan gangguan prilaku yang di temukan pada pasien epilepsi menjadi
preiktal, iktal, dan interiktal.4

1. Preiktal
Pada preiktal aura pada epilepsi parsial kompleks adalah termasuk sensasi
otonomik seperti rasa penuh di perut, kemerahan, dan perubahan pada pernafasan, dan
sensai kognitif seprti deja vu, jamais vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti
mimpi. Keadaan afektif dirasakan rasa takut, panik, depresi, dan elasi.4
2. Iktal
Perilaku singkat, kacau, dan tanpa hambatan menandai kejadian iktal. Gejala

kognitif meliputi amnesia untuk waktu selama kejang dan periode penyelesaian

delirium setelah kejang. Fokus kejang dapat ditemukan di EEG dalam 25 sampai 50%

dari semua pasien dengan epilepsi parsial kompleks. Penggunaan elektroda sementara

sphenoidal atau anterior dan kurang tidur EEG dapat meningkatkan kemungkinan

menemukan suatu kelainan EEG. EEG yang normal Multiple sering diperoleh untuk

pasien dengan epilepsi parsial kompleks, sehingga pada EEG normal tidak dapat

digunakan untuk mengecualikan diagnosis epilepsi parsial kompleks. 4


3. Interiktal
a. Gangguan Kepribadian
Kelainan psikiatri yang paling sering dilaporkan pada pasien dengan
epilepsi adalah gangguan kepribadian, dan ini sangat mungkin terjadi pada
pasien dengan epilepsi lobus temporal. Gambaran yang paling umum adalah
perubahan perilaku seksual. Sindrom dalam bentuk lengkap relatif jarang
terjadi, bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks asal lobus
temporal. Banyak pasien tidak terpengaruh oleh gangguan kepribadian, yang
lainnya menderita berbagai gangguan yang berbeda mencolok dari sindrom
klasik. 4
Gejala viskositas kepribadian biasanya paling nyata dalam percakapan
pasien, yang kemungkinan akan menjadi lambat, serius, membosankan,
bertele-tele, terlalu penuh dengan rincian yang tidak penting, dan sering
mendalam. Pendengar dapat tumbuh bosan tapi tidak dapat menemukan cara
sopan dan sukses untuk melepaskan diri dari percakapan. Kecenderungan
berbicara, sering tercermin dalam tulisan pasien, menghasilkan gejala yang

5
dikenal sebagai hypergraphia, yang beberapa dokter mempertimbangkan
hampir patognomonik untuk epilepsi parsial kompleks. 4
Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh
hypersexuality; penyimpangan dalam minat seksual, seperti fetisisme dan
transvestisme, dan, paling sering, hyposexuality. Hyposexuality ini ditandai
baik oleh kurangnya minat dalam hal-hal seksual dan dengan gairah seksual
berkurang. Beberapa pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum
pubertas mungkin gagal untuk mencapai tingkat normal minat seksual setelah
pubertas, meskipun karakteristik ini mungkin tidak mengganggu pasien. Untuk
pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks setelah pubertas, perubahan
minat seksual mungkin mengganggu dan mengkhawatirkan. 4
b. Gejala psikotik
Psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal. Skizofrenia-
seperti episode interiktal dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, terutama
mereka yang berasal lobus temporal. Diperkirakan 10 persen dari semua
pasien dengan epilepsi parsial kompleks memiliki gejala psikotik. Faktor
risiko termasuk gejala jenis kelamin wanita, kidal, timbulnya kejang selama
masa pubertas, dan lesi sisi kiri. 4
Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi adalah variabel. Secara klasik,
gejala psikotik muncul pada pasien yang memiliki epilepsi untuk waktu yang
lama, dan timbulnya gejala psikotik didahului oleh perkembangan perubahan
kepribadian terkait dengan aktivitas otak epilepsi. Gejala yang paling
karakteristik dari psikosis adalah halusinasi dan delusi paranoid. Pasien
biasanya tetap hangat dan tepat dalam mempengaruhi, berbeda dengan
kelainan mempengaruhi sering terlihat pada pasien dengan skizofrenia.
Gejala-gejala gangguan berpikir pada pasien dengan epilepsi psikotik paling
sering yang melibatkan konseptualisasi dan sifat terperinci, bukan gejala
skizofrenia klasik memblokir dan kelonggaran. 4
c. Gejala Gangguan suasana hati
Gejala gangguan mood, seperti depresi dan mania, dipandang kurang
sering pada epilepsi daripada seperti skizofrenia gejala. Gejala-gejala
gangguan mood yang memang terjadi cenderung episodik dan muncul paling
sering ketika fokus epilepsi mempengaruhi lobus temporal dari belahan otak
dominan. Pentingnya gejala gangguan mood dapat dibuktikan oleh
peningkatan kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi. 4

6
Patofsiologi

Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang


bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate merupakan
sub unit dari reseptor nikotinik begitu juga halnya dengan voltage-gate berupa kanal natrium
dan kalium. Peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan
bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron.5
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik
akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja
reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter
seperti GABA yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin, asetilkholin
yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggung jawab terhadap memori dan proses
belajar. Timbulnya serangan kejang adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara
asetilkolin yanng merupakan neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan
depolarisasi, yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Sedang GABA
menimbulkan hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan eksitabilitas dan menekan
timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang mengganggu metabolisme otak seperti penyakit
metabolik, racun, beberapa obat dan putus obat, dapat menimbulkan pengaruh yang sama. 5

Penatalaksanaan

Obat-obat antiepilepsi lebih dikenal sebagai obat antikonvuksan. Walupun memiliki


efek anti kejang juga diduga memiliki aktivitas sebagai psikotropik. Carabamazepin dan
valproat memiliki kemampuan antimanik dan mood stabilizer. Mekanisme kerja obat
antikonvulsan terbagi menjadi 2 mekanisme penting, yaitu mencegah timbulnya letupan
depolarisasi eksesif pada neuron epilepton di dalam fokus epilepsi dan mencegah terjadinya
letupan depolarisasi pada neuron yang normal akibat pegaruh fokus epilepsi. Mekanisme
kerja lain sampai saat ini belum banyak diketauhi secara jelasnya hanya dikatakan bahwa
berbagai obat antikonvulsan diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi otak
terutama mempengarui inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja sebagai
antikonvulsan.5

Dalam pengobatan pasien epilepsi dengan gangguan psikiatri hal pertama yang perlu
dilakukan adalah mengatasi epilepsinya dengan obat antikonvulsan sepeti carbamazepin,

7
asam valporoat, gabapentin dan lamotigine. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah obat
antipsikotik yang menurunkan ambang kejang. Hal ketiga perlu disadari adanay potensi
terjadinya interaksi anatara antikonvulsan dan antipsikotik. Biasanya antikonvulsan
meningkatkan metabolisme antipsikotik dengan akibat penurunan efek terapinya. Sebaliknya
penghentian antikonvulsan dapat mencetuskan peningkatan pada konnsentrasi antipsikotik. 5

Carbamazepin dan Asam valproik mungkin membantu dalam mengendalikan gejala


iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka adalah obat antipsikotik tipikal.
Carbamazepin efektif untuk epilepsi parsial terutama epilepsi parsial kompleks, epilepsi
umum tonik-klonik, maupun kombinasi kedua jenis epilepsi ini. Mekanisme kerja
carbamazepin ini adalah inhibisi kanal Na dan inhibisi Ca. Untuk enghindari efek samping,
pemberian perlu di titrasi untuk mencapai kadar terapeutik. Pada pasien dewasa dimulai
dengan dosis 100-200 mg atau 2dd 100 mg kemudian 3-7 hari di tingkatkan menjadi 2dd 200
mg. Asam valproat sangat efektif untuk abses, dan epilepsi umum primer. Efek toksis sedian
ini adalah gangguan saluran pencernaan dan efek sedasi.5

Prognosis

Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis baik bila kejang dapat
dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak mengalami gangguan psikiatri
dan hanya terjadi bila megalami kejang yang tidak terkontrol dalan jangka panjang. Untuk
masalah perilaku, obat anti konvulsan atau operasi mungkin dapat mengatasi beberapa gejala
seperti agresi, tetapi nungkin tidak dapat mencegah munculnya gejala lain seperti psikosis
dan perilaku suicidal. 2

BAB III

Penutup

Kesimpulan

8
Ganguan mental organik merupakan gangguan-gangguan yang dikaitkan dengan
disfungsi otak secara temporer atau permanen. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf
pusat yang terjadi karena pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan
penuruan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku emosional yang
intermiten dan stereotipik. Pada epilepsi dapat timbul perubahan perilaku, perubahan perilaku
dapat terjadi selama dan sesudah kejang. Gangguan mental organik merupakan gangguan
pada mental yang disebabkan oleh adanya gangguan atau penyakit pada fisik. Umumnya
disebabkan oleh adanya gangguan pada otak serta fungsi jaringan-jaringan otak. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya tau rusaknya fungsi-fungsi kognitif, yaitu antara lain daya
ingat, daya pikir daya konsentrasi dan perhatian; juga dapat mempengaruhi emosi.

Biasanya pada epilepsi dengan perubahan prilaku terjadi pada episode postictal dan
intertical. Epilepsi juga dapat terjadi kerusakan fungsi kognitif secara umum mempengaruhi
perhatian, memmori, kecepatan berpikir dan bahasa sama seperti pada fungsi sosial dan
perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood, depresi, ansietas dan psikosis. Epilesi
terjadi karena terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan
listrik. Timbulnya serangan kejang adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara
asetilkolin yanng merupakan neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan
depolarisasi, yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Pengobatak pada gangguan
psikosis dengan epilepsi adalah dengan memberikan antikonvulsan kemudian di imbangi
dengan pemberian antipsikotik.

Daftar Pustaka

1. Ginsberg L. Lecture notes neurology.Edisi 8. Jakarta: Erlangga; 2007.h. 79.


2. Kusumarawdhani AAAA. Gangguan mental organik lainnya. Dalam: Elvira SD,
Hadisukanti G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Jakarta: FKUI; 2013.h. 110-115.
9
3. Ropper Allan H.,MD, Brown Robert H., MD. Epilepsy and Other Seizure Disorders:
Adams and Victors Prinsiples of Neurology. 8 th edition . New York: The McGraw-
Hill Companies; 2005.h. 271-313.
4. Kaplan & sadock. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2010.h. 75.
5. Dewanto G, Riyanto B. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta: EGC; 2009.h. 74-5.

10

Anda mungkin juga menyukai