HIV
Pedoman Diagnosis
dan Tatalaksana Infeksi
Sitomegalovirus pada HIV
PDPAI 2016
Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana
Infeksi Sitomegalovirus pada HIV
UPT
HIV
27 + V halaman
15 cm x 21 cm
Sekretariat: Unit Pelayanan Terpadu HIV Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
dr. Cipto Mangunkusumo, Gedung Unit Rawat Jalan Terpadu Lantai 4, Jl.
Diponegoro No. 71, Jakarta Pusat, 10430
ii
Tim Penyusun
iii
Kata Pengantar
masyarakat mencapai sekitar 70%. Biasanya paparan terjadi pada waktu kelahiran
, infeksi
CMV, namun infeksi juga dapat terjadi di saluran cerna, saluran napas, serta
susunan saraf pusat. Obat untuk infeksi CMV sudah tersedia di Indonesia baik
gansiklovir maupun valgansiklovir.
yang mengalami infeksi CMV harus mendapat terapi yang adekuat. Untuk itulah
yang biasanya dihadapi di klinik adalah penegakan diagnosis baik pada dewasa
mapun pada anak. Pemeriksaan PCR CMV dapat membantu, namun pemeriksaan
ini belum dapat diakses secara merata baik karena jumlah tempat pemeriksaan
yang terbatas maupun karena harga pemeriksaan yang masih mahal.
Pada penyusunan buku pedoman ini, PDPAI bekerja sama dengan Unit Pelayanan
Terpadu HIV RSCM yang terdiri atas berbagai disiplin ilmu dan berusaha agar
pedoman ini dapat digunakan tak hanya di kota besar namun juga bagi
kita dapat melakukan deteksi HIV pada keadaan kekebalan tubuh yang masih
baik, risiko infeksi CMV akan dapat dikurangi.
kan agar para pembaca dapat memberikan masukan yang terus-menerus. Buku
ini akan disediakan juga dalam bentuk online sehingga memungkinkan perubahan
iv
DAFTAR ISI
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi HIV masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia maupun di dunia.
Pada tahun 2014 diperkirakan terdapat 660.000 orang dengan infeksi HIV di
Indonesia dan Indonesia merupakan negara urutan ketiga terbanyak penderita
HIV di Asia Pasik setelah India dan Tiongkok. Pada keadaan imunitas yang
rendah akibat infeksi HIV dapat terjadi infeksi oportunistik yang umumnya tidak
terjadi pada orang sehat. Sitomegalovirus (Cytomegalovirus/CMV) merupakan
salah satu penyebab infeksi di berbagai sistem organ pada stadium AIDS yang
sebenarnya cukup sering terjadi, namun sering sulit terdiagnosis. Meskipun
demikian, insiden infeksi CMV telah jauh menurun setelah era highly active
antiretroviral therapy. Retinitis CMV merupakan yang paling sering ditemukan
dan paling mudah didiagnosis. Selama kurun waktu tahun 2006 hingga 2013
terdapat 138 pasien yang terdiagnosis retinitis CMV di RS dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun 2015 dari 150 kasus infeksi otak terkait
HIV di RS dr. Cipto Mangunkusumo, didapatkan 8 (5,3%) kasus yang
terkonrmasi ensefalitis CMV. Infeksi CMV di paru, saluran cerna, ataupun
organ lain lebih jarang ditemukan. Tabel 1 menampilkan data pemeriksaan PCR
CMV di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tabel 1. Pemeriksaan PCR CMV Laboratorium Virologi dan Biologi Molekuler Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Periode 2015 Periode Januari September 2016
Total sampel Hasil positif, Total sampel Hasil positif,
n (%) n (%)
Darah/serum 140 31 (22) 215 70 (33)
Urin 80 47 (59) 161 49 (30)
Cairan serebrospinal 94 19 (20) 91 25 (27)
Aquos / vitreous humor 32 7 (22) 7 3 (43)
Sputum 2 1 (50) 7 5 (71)
Bilasan bronkoalveolar (BAL) 7 4 (57) 40 23 (58)
Sumsum tulang 0 0 (0) 6 1 (17)
Total 355 109 528 176
1
Sitomegalovirus adalah virus dengan bentuk DNA rantai ganda dari famili
herpes virus. Virus ini dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya pada
keadaan imunosupresi yang sangat berat seperti pasien AIDS, neonatus, dan
resipien transplan. Pada kondisi AIDS, infeksi CMV umumnya terjadi jika hitung
sel limfosit T CD4 <50 sel/mm3. Infeksi yang terjadi dapat bersifat lokal (end
organ disease/EOD) ataupun diseminata pada pasien yang belum mendapatkan
terapi antiretroviral (ARV) ataupun pasien yang mengalami kegagalan terapi.
Umumnya CMV sudah menginfeksi ketika masih sehat. Kurang lebih setengah
dari orang dewasa di seluruh dunia seropositif terhadap CMV. Pada keadaan
imunodesiensi yang berat dapat terjadi reaktivasi infeksi laten ataupun
reinfeksi oleh galur yang baru. Faktor risiko lain untuk terjadinya EOD CMV
adalah riwayat infeksi oportunistik sebelumnya, viremia CMV dalam jumlah
tinggi, dan viral load HIV yang tinggi (>100.000 kopi/ml).
B. Patogenesis
Pada pasien dengan AIDS, terjadi penurunan fungsi imun yang progresif,
terutama imunitas selular. Akibatnya, CMV mengalami reaktivasi dan mulai
bereplikasi. CMV menginfeksi sel-sel dan mengakibatkan nekrosis jaringan dan
inamasi. Akan terjadi viremia CMV, penyebaran virus ke organ lain, dan diikuti
end organ disease. Dengan pemberian ARV akan terjadi perbaikan respons
imun terhadap CMV sehingga kadar CMV di darah akan sangat menurun. End
organ disease sangat dipengaruhi oleh replikasi CMV. Dengan menekan jumlah
virus CMV di bawah level tertentu, akan terjadi proteksi terhadap EOD.
Pada keadaan imunitas yang sangat rendah, infeksi CMV dapat juga tidak
bergejala. Setelah pasien mendapat ARV dan mengalami perbaikan fungsi
imun, barulah muncul manifestasi klinis infeksi CMV (IRIS unmasking). Dapat
2
juga terjadi eksaserbasi atau rekurensi manifestasi CMV yang sudah diketahui
atau sudah diterapi sebelumnya akibat respons imun yang telah membaik
pasca dimulainya ARV (paradoksikal).
C. Patologi
Sel yang terinfeksi CMV akan berukuran dua sampai empat kali lebih besar dari
pada sel sekitarnya dan sering mengandung inklusi intranuklear yang teletak
eksentrik dan dikelilingi halo, menghasilkan gambaran mata burung hantu
(owls eye). Sel CMV dapat ditemukan di kelenjar liur, paru, hati, ginjal, usus
halus, pankreas, adrenal, dan sistem saraf pusat.
3
BAB II
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
A. Korioretinitis
Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit korioretinitis CMV adalah proses nekrosis yang dapat
menghancurkan seluruh retina dalam 3-6 bulan. Biasanya, mata yang terkena
unilateral, namun jika tidak diobati terdapat 50% risiko menjadi bilateral.
Gejala yang timbul pada korioretinitis CMV adalah sebagai berikut:
a. Berkurangnya tajam penglihatan
Pada awal penyakit, biasanya tidak ada gangguan tajam penglihatan. Tajam
penglihatan akan berkurang jika (1) lesi menyebar mengenai makula atau
diskus optikus, (2) terjadi ablasio retina akibat multiple full thickness retinal
breaks, (3) immune recovery uveitis (IRU) yang terjadi akibat IRIS.
b. Floaters, kilatan cahaya
Jika terdapat traksi vitreus pada retina, dapat timbul gejala seperti oaters
atau kilatan cahaya (fotopsia). Adanya oaters dapat menandakan (1)
proses infeksi, di mana terdapat leukosit pada vitreous, atau (2) ablasio
retina.
c. Skotomata
Pasien mungkin mengalami gangguan lapang pandang (skotomata) jika
terdapat lesi retina di dekat fovea dan/atau diskus optikus.
Diagnosis
Diagnosis korioretinitis CMV ditegakkan melalui:
a. Anamnesis, dengan adanya gejala okular seperti tertera di atas.
b. Oftalmoskopi indirek dengan pupil terdilatasi yang dilakukan oleh dokter
mata terlatih merupakan baku emas diagnosis korioretinitis CMV.
Karakteristik retinitis CMV (CMVR) pada oftalmoskopi indirek adalah
nekrosis retina berkonfulens yang mengenai seluruh lapisan disertai
perdarahan. Menurut Kanski, manifestasi CMVR pada oftalmoskopi dapat
dibedakan menjadi:
4
Retinitis indolen, dimulai dari perifer dan berprogresi secara lambat.
Terdapat opasikasi granular, terkadang dapat ditemukan perdarahan
pungtata, namun tidak terdapat vaskulitis.
Retinitis fulminan, ditandai dengan adanya vitritis, vaskulitis dan
opasikasi retina, perdarahan, dapat melibatkan nervus optikus dan
mungkin terdapat ablasio retina.
c. Foto fundus. Kamera fundus digunakan untuk menangkap gambar digital
dari beberapa bidang retina untuk diinterpretasikan adanya patologi.
d. Penilaian fungsi retina, yaitu pengukuran ambang batas diskriminasi
kromatik dan sensitivitas kontras akromatik yang berkurang pada CMVR.
e. Laboratorium
CMV PCR. Viremia CMV merupakan prediktor perkembangan infeksi
CMV termasuk retinitis.
CMV antigenemia, memiliki sensitivitas 96% dan spesisitas 90% dalam
mendeteksi CMVR.
CMV urin. Pada pasien dengan CD4 50 sel/uL, jika terdeteksi CMV pada
urin maka terdapat risiko 7 kali lebih tinggi terkena CMVR.
5
Esofagitis
Keluhan yang dapat timbul pada pasien dengan esofagitis CMV di antaranya
disfagia sedang-berat, odinofagia, atau nyeri substernal. Manifestasi lainnya
adalah demam, mual, muntah, diare, nyeri epigastrik yang memberat dengan
duduk, berdiri, atau berjalan. Gejala yang lebih jarang adalah perdarahan
gastrointestinal, biasanya tidak masif. Pasien mungkin mengalami nyeri berat
dinding dada kanan akibat reeks viserosomatik esofagus.
Diagnosis
a. Endoskopi
Pada endoskopi atas, ditemukan ulkus soliter berukuran besar. Pada esofagus
bawah, lesi dapat konuens, sementara pada esofagus tengah, atas, dan laring
lesi lebih patchy dan supersial. Ulkus cenderung linear dan longitudinal atau
serpiginosa, terkadang ditutupi oleh plak keputihan, dapat berkoalesens
menjadi giant ulcers.
Pada endoskopi bawah, kolitis CMV sering kali sulit dibedakan dengan kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn. Gambaran yang umum dijumpai adalah mukosa
kolon eritematosa dengan edema dan perdarahan subepitelial. Dapat juga
ditemukan mikroerosi, ulkus dalam, dan lesi pseudotumor. Beberapa studi
menemukan karakteristik endoskopi lain, yaitu ulkus longitudinal, berukuran
besar, iregular, dan punched-out. Pada 1/3 pasien dengan AIDS, kolitis dapat
terbatas pada kolon proksimal.
b. Biopsi
Sediaan untuk biopsi harus diambil dari dasar ulkus agar memberikan hasil
yang akurat karena CMV menginfeksi broblas submukosa dan endotel
vaskular.
- Histologi dengan pewarnaan Hematoxylin&Eosin (HE), menunjukkan sel
sitomegalik yang berukuran 2-4 kali lebih besar dibandingkan sel normal,
dengan gambaran owls eye, yaitu inklusi intranuklear basolik eksentrik
dikelilingi oleh halo. Spesisitas dari metode ini sangat tinggi (92-100%),
namun sensitivitas rendah (10-87%) sehingga dibutuhkan banyak sampel
dan ahli patologi terlatih. Selain itu, dapat dijumpai agregat makrofag yang
terletak pada area perivaskular dan jaringan granulasi.
Baku emas untuk diagnosis CMV esofagitis dan kolitis adalah pemeriksaan
histologi dengan pewarnaan imunohistokimia menggunakan antibodi anti-
6
CMV. Metode ini memiliki sensi vitas yang lebih nggi dibandingkan HE (78-
93%).
- Assay amplikasi PCR DNA ataupun kultur dari mukosa kolon atau esofagus
dak cukup untuk menegakkan diagnosis tanpa adanya perubahan
histopatologi.
C. Ensefali s
Ensefali s CMV merupakan manifestasi klinis yang mbul akibat infeksi CMV
terhadap sistem saraf. Penyakit ini muncul seiring dengan progresivitas klinis
infeksi HIV, di mana terjadi reak vasi infeksi laten CMV, menimbulkan viremia
dan berakhir sebagai end-organ disease. Insidens end-organ disease jauh lebih
nggi pada pasien dengan CD4 < 50 sel/L.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang mbul dari ensefali s CMV adalah penurunan ataupun
gangguan kesadaran yang bersifat akut dan berprogresi dengan cepat. Demam
dan sakit kepala juga dapat ditemukan. Sakit kepala dirasakan semakin
memberat dan berlangsung selama 1 2 minggu. Gejala dapat berat disertai
kejang, sebaliknya dapat terjadi penurunan status mental yang lebih lambat
7
Pada 40% kasus dapat ditemukan adanya gambaran atro dan dilatasi
ventrikel. Namun, gambaran ini tidak spesik untuk ensefalitis CMV, dan
pada sebagian kasus dapat memberikan gambaran radiologi yang normal.
D. Pneumonitis
Angka kejadian pneumonitis CMV relatif lebih rendah dibandingkan dengan
infeksi CMV pada organ tubuh lain. Pneumonitis CMV biasanya ditemukan
ko-infeksi dengan Pneumocystis. Studi yang dilakukan oleh Miles, et al.
dengan melakukan pemeriksaan dari specimen bilasan bronkoalveolar (BAL)
menunjukkan bahwa CMV ditemukan pada 51,6% pasien HIV (79/120). Sementara
itu, dari 65 pasien dengan pneumonia Pneumocystis carinii (PCP), 40 diantaranya
juga ditemukan CMV. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan adanya hubungan
antara deteksi CMV dengan hipoksemia, radiogra toraks yang abnormal atau
peningkatan mortalitas.
Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul antara lain batuk nonproduktif, sesak napas, dan demam.
Jika pneumonia yang terjadi berat, dapat menimbulkan hemoptisis dan
8
hipoksemia. Gejala-gejala ini biasanya bertahan dalam 2 4 minggu. Selain itu
dapat ditemukan pula penurunan nafsu makan, kelelahan dan malaise serta
keringat malam berlebih. Pemeriksaan sik paru dapat menunjukkan keadaan
normal atau ditemukan ronki atau bukti efusi pleura.
Diagnosis
a. Foto toraks dapat menunjukkan adanya inltrat pada paru atau gambaran
efusi pleura, namun dapat juga menunjukkan gambaran normal.
b. Jika gambaran foto toraks menunjukkan keadaan normal atau tidak spesik,
pemeriksaan CT-Scan paru dapat dilakukan. Pemeriksaan dengan high
resolution CT-Scan dinilai lebih baik. Pada pasien HIV/AIDS, gambaran
pneumonia CMV biasanya menunjukkan adanya konsolidasi yang konuens,
terutama di lobus bagian bawah dan perihiler serta adanya nodul pulmonar
berukuran milier 3 cm dengan distribusi bilateral simetris. Gambaran
ground glass opacity berupa inltrat opak di alveolus dan intersisial juga
sering ditemukan. Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah bronkiektasis
dan efusi pleura. Namun, pemeriksaan radiologi ini akan sulit membedakan
antara pneumonia akibat bakteri atau virus.
c. Pemeriksaan sitologi dari bahan BAL atau biopsi transbronkial akan menampak
kan gambaran Owls eyes yang sesuai dengan karakteristik infeksi CMV.
d. Tidak ada patogen lain yang lebih mungkin menyebabkan pneumonitis.
Menegakkan diagnosis pneumonitis CMV pada pasien HIV cukup sulit karena
gambaran klinis dan radiogranya mirip dengan pneumonia yang disebabkan
oleh patogen infeksi oportunistik lainnya pada HIV. Selain itu, pemeriksaan
kultur virus juga dapat menunjukkan hasil positif walaupun tidak ada
perubahan histologi.
9
Tabel 2. Infeksi Sitomegalovirus di Organ lain yang Pernah Dilaporkan
No Lokasi infeksi Klinis Diagnosis
1 Hepar Penurunan nafsu makan, badan PCR CMV dari darah dan IgG
lemas, ikterik dan CMV positif
hepatosplenomegali ringan Histopatologi dari biopsi hati
Peningkatan bilirubin total, menunjukkan gambaran
bilirubin direk, enzim granuloma non-nekrotik multipel
transaminase, dan gamma glutamil dengan badan inkusi
transpeptidase intranukleus
Pemeriksaan untuk hepatitis A, B
maupun C negatif
2 Sinus Riwayat sinusitis kronik dengan Histopatologi dari mukosa di
CMV retinitis sinus terdapat gambaran giant
cell dengan badan inklusi
3 Pankreas Nyeri epigastrik dan hipogastrik, RT-PCR dan IgG CMV positif
penurunan berat badan, mual,
demam dan diare
Peningkatan enzim amilase dan
lipase
Pembesaran pankreas dengan
dilatasi duktus Wirsung pada USG
dan CT-Scan
4 Sumsum tulang Sesuai dengan haemophagocytic Aspirasi sumsum tulang
syndrome (demam, anemia, menunjukkan adanya badan
trombositopenia, peningkatan inklusi CMV
feritin, splenomegali)
5 Kelenjar air liur Nodul persisten dan nyeri Imunohistokimia dari kelenjar air
nonspesik di wajah liur positif
6 Kandung kemih Nyeri suprapubik, disuria Biopsi dalam menunjukkan
Kultur urin ditemukan E. coli, inkulsi intranuklear, terkadang
enterococcus, salmonella, namun intrasitoplasma dengan
tidak ditemukan gambaran owls eye
BNO-IVP normal
Sistoskopi: mukus kemerahan,
edematosa, tidak berulserasi (tidak
menunjukkan etiologi khusus)
7 Ovarium Tidak ada Biopsi (pewarnaan H & E)
ditemukan badan inklusi d
8 Otot Gejala klinis myositis Peningkatan kreatinin
fosfokinase (CPK)
Serologi CMV ( ELISA IgM CMV)
10
Tabel 2. Infeksi Sitomegalovirus di Organ lain yang Pernah Dilaporkan (Sambungan)
No Lokasi infeksi Klinis Diagnosis
9 Kulit Erupsi kulit generalisata berupa Imunohistokimia CMV : sel
papul merah kecoklatan dengan endotelial berukuran besar
ekskoriasi dengan inklusi viral
Tidak ada lesi mukosa atau intranuklear
genital
10 Kelenjar Demam persisten Autopsi menunjukkan nekrosis
Adrenal Sedimen urin: proteinuria (>150 hemoragik pada kelenjar
mg/24 jam), hematuria adrenal dengan inklusi CMV
mikroskopik, sel urotelial dengan nuklear.
nukleus membesar berisi inklusi
eosinolik
CMV terisolasi dari urin
11
transmisi vertikal lebih besar pada bayi yang lahir dari ibu HIV yang terinfeksi
CMV. Ibu HIV yang terinfeksi CMV umumnya memberikan gejala seperti
mononucleosis like syndrome, miokarditis, pneumonitis, hepatitis, retinitis,
gastroenteritis and meningoensefalitis.
Anak HIV memiliki risiko yang lebih tinggi terinfeksi CMV pada masa kanak-
kanak awal dibandingkan anak bukan HIV terutama pada 12 bulan awal
kehidupan sampai usia 4 tahun. Pada era sebelum adanya antiretroviral (ARV),
angka infeksi CMV lebih tinggi. Sebagai contoh pada era pre-ARV, kejadian
retinitis CMV adalah 0,5 per 100 anak per tahun, sedangkan pada era pasca
ARV, angka ini menurun dibawah 0,5 per 100 anak per tahun. Angka infeksi
CMV bervariasi dipengaruhi oleh nilai CD4. Sebanyak 60% anak AIDS memiliki
shedding virus CMV di urin. Anak HIV yang terinfeksi CMV simtomatik memiliki
angka viruria yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang asimtomatik. Angka
infeksi CMV simtomatik lebih tinggi pada bayi yang terinfeksi HIV.
Gambaran Klinis
Gejala klinis infeksi CMV kongenital meliputi kecil masa kehamilan, ptekie,
jaundice, hepatosplenomegali, korioretinitis, mikrosefali, kalsikasi intrakranial
dan gangguan pendengaran. Mortalitas infeksi CMV simtomatik dapat
mencapai 30%. Sedangkan, untuk bayi-bayi yang hidup, sekitar 10-15% akan
mengalami komplikasi jangka panjang seperti tuli, retardasi mental,
korioretinis, dan gangguan belajar.
Jika anak HIV terinfeksi CMV, pada umumnya progresivitas infeksi HIV menjadi
AIDS lebih cepat (RR 2,6 (IK 95%: 1,1-6,0) dan mortalitasnya pun menjadi lebih
tinggi. Sebanyak 36% anak ko-infeksi HIV-CMV mengalami gejala sistem saraf
pusat (SSP). Retinitis CMV umumnya asimtomatik dan ditemukan biasanya
pada pemeriksaan rutin. Angka retinitis CMV lebih tinggi pada anak dengan
CD4 <100 walaupun nilai prediksi CD4 ini kurang pada bayi.
12
Tabel 3. Manifestasi Klinis Infeksi Sitomegalovirus Kongenital, Peri- dan Post-natal,
Imunokompromais
CMV kongenital Infeksi Peri dan post natal Pasien
Imunokompromais
Saat lahir, 90 % Bayi cukup bulan : kebanyakan Infeksi bisa berat dan
asimtomatik asimtomatik mengancam nyawa :
Demam Demam
Petekie
Hepatosplenomegali Malaise
Kuning saat lahir
Pneumonitis ringan Lekopenia
Hepatosplenomegali
Jumlah lekosit abnormal Hepatitis
Manifestasi klinis
Petekie rash
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) Pneumonitis
Kecil Masa Kehamilan yang abnormal Kolitis
(KMK)
Prematur atau BBLR : infeksi bisa Miokarditis
Trombositopenia berat dan mengancam nyawa : Retinitis
Mikrosefal
Sepsis like syndrome Ensefalitis atau
Kalsikasi intrakranial
Hepatosplenomegali ensefalopati
Polimikrogiria
Ventrikulomegali Pneumonitis
Sensory Hearing Loss Jumlah lekosit abnormal
Korioretinitis LFG yang abnormal
Kejang
Penyakit CMV pada target organ ditemukan pada paru, hati, gastrointestinal,
pankreas, ginjal, sinus, dan SSP. Pada anak dengan penyakit ekstraokular,
umumnya gejala tidak spesik seperti demam, berat badan sulit naik,
keterlambatan perkembangan, dengan abnormalitas laboratorium seperti
anemia, trombositopenia, dan peningkatan LDH. Manifestasi gastrointestinal
meliputi kolitis (gejala yang paling sering), ulkus pada mulut dan esofagus,
hepatitis, kolangiopati ascending atau gastritis. Odinofagia merupakan
manifestasi yang paling sering pada esofagitis CMV. Sedangkan pada kolitis
CMV sering ditemukan hematoskezia dan nyeri perut. Hasil sigmoidoskopi
biasanya nonspesik. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada kasus yang
berat.
Diagnosis penyakit ko-infeksi CMV-HIV pada paru umumnya sulit. Biasanya
dapat ditemukan bersamaan dengan PCP. Pneumonia CMV merupakan proses
interstisial yang bermanifestasi sebagai sesak yang berlangsung lambat, batuk
kering tidak produktif dan pemeriksaan auskultasi umumnya normal.
Pemeriksaan histologi penting untuk menentukan infeksi aktif.
13
Manifestasi SSP meliputi ensefalopati subakut, myelitis, poliradikulopati (jarang
pada anak). Pemeriksaan cairan serebrospinal tidak spesik bisa menunjukan
gambaran normal atau leukositosis dengan predominansi polimorfonuklear,
peningkatan protein, dan penurunan glukosa.
14
Pada infeksi CMV pada imunokompromais direkomendasikan untuk
mengambil sampel dari darah, karena sampel dari urin dapat menjadi rancu
dengan shedding yang umumnya terjadi tanpa gejala.
3. Pemeriksaan kultur
Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan baku emas akan tetapi
ketersediannya terbatas dan belum tersedia secara komersial.
4. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk mendeteksi penyakit CMV
invasif. Gambaran yang dapat ditemukan adalah inklusi CMV atau
imunohistokimia. Rekomendasi pemeriksaan CMV pada infeksi kongenital
dan didapat dapat dilihat pada tabel 4 dan 5.
15
Anak terinfeksi HIV dengan imunosupresi berat yang mempunyai gejala
seperti yang tercantum pada tabel 3, diduga kuat terinfeksi CMV
setelah infeksi oportunistik lain disingkirkan. Apabila terdapat
gambaran retinitis CMV yang khas, maka diagnosis infeksi
CMV dapat langsung ditegakkan
16
BAB III
PENCEGAHAN DAN TATA LAKSANA
A. Pencegahan
CMV ditularkan melalui semen, sekret vagina, saliva, dan darah. Kewaspadaan
universal harus dilakukan jika akan kontak terhadap media penularan tersebut.
Pencegahan terbaik untuk CMV EOD adalah memberikan ARV untuk
mempertahankan CD4 di atas 100 sel/mm3. Pasien juga perlu diedukasi untuk
mengenal dini tanda dan gejala penyakit, terutama gejala retinitis seperti
oaters dan penurunan ketajaman penglihatan. Tidak ada pencegahan primer
untuk infeksi CMV pada orang dewasa. Berikut adalah rekomendasi
pencegahan infeksi CMV pada anak.
17
Tabel 6. Rekomendasi Dosis Pencegahan Infeksi Sitomegalovirus pada Anak
(Sambungan)
Indikasi Pilihan Utama Alternatif Keterangan
Prolaksis Gansiklovir 5 mg/KgBB Sidofovir 5 Pemberian prolaksis sekunder
sekunder tiap 24 jam, IV mg/KgBB/dosis diindikasikan pada:
Untuk anak dengan usia tiap minggu, IV. Anak dengan riwayat CMV
lebih tua yang dapat Harus diberikan diseminata seperti retinitis,
menerima dosis dewasa, bersama penyakit neurologis, atau
dapat diberikan dengan penyakit saluran cerna
valgansiklovir tablet 900 probenesid dan dengan relaps
mg per oral, tiap 24 jam, hidrasi
Kriteria untuk menghentikan
diberikan bersama intravena
pemberian prolaksis sekunder
makanan (Bila seluruh kriteria terpenuhi):
Untuk anak berusia 4 Telah menerima ARV komplit
bulan-16 tahun, cairan selama 6 bulan
valgansiklovir oral 50
Konsultasi dengan dokter ahli
mg/ml dengan dosis (mg)
mata
= 7 x Luas permukaan
Anak <6 tahun dengan
tubuh x Klirens kreatinin
CD4>15% selama >6 bulan
(150 ml/menit/1.73 m2),
berturut-turut
tiap 24 jam, diberikan
Untuk retinintis, diperlukan
bersama makanan (dosis
pemantauan oleh dokter ahli
maksimal 900 mg/hari)
mata secara berkala untuk
Foskarnet 90-120
deteksi dini adanya relaps
mg/KgBB tiap 24 jam IV
atau immune restoration
uveitis
B. Tata Laksana
1. Retinitis CMV
Terapi awal dilanjutkan terapi pemeliharaan:
- Untuk lesi yang mengancam penglihatan (dalam 1500 mikron dari fovea)
Pilihan utama:
Injeksi gansiklovir intravitreus (2 mg/injeksi) 2 kali/minggu selama 2 minggu
selanjutnya 1 kali/minggu hingga lesi tenang atau CD4 >100 sel/l
Valgansiklovir 900 mg per oral dua kali sehari selama 14-21 hari,
kemudian 900 mg sekali sehari
18
Alternatif:
Injeksi intravitreus seperti di atas, dan satu terapi sistemik:
- Gansiklovir 5 mg/kg IV setiap 12 jam selama 14-21 hari, kemudian 5
mg/kg iv setiap hari
- Gansiklovir 5 mg/kg IV setiap 12 jam selama 14-21 hari, kemudian
valgansiklovir 900 mg per oral setiap hari
- Foskarnet 60 mg/kg IV setiap 8 jam atau 90 m/kg IV setiap 12 jam
selama 14-21 hari, kemudian 90-120 mg/kg IV setiap 24 jam
- Sidofovir 5 mg/kg/minggu IV selama 2 minggu, kemudian 5 mg/kg
selang seminggu, disertai hidrasi dengan salin sebelum dan sesudah
terapi dan probenesid 2 g per oral 3 jam sebeum pemberian Sidofovir
diikuti 1 g per oral sesudahnya, dan 1 g per oral 8 jam sesudah
pemberian Sidofovir (total probenesid 4 g). Catatan: Jangan diberikan
pada pasien alergi sulfa
Untuk lesi perifer
- Berikan satu terapi sistemik di atas selama 3-6 bulan pertama sampai
terjadi perbaikan imunitas pasca-ARV.
Immune recovery uveitis
- Obati semua lesi retinitis CMV sampai ada perbaikan imunitas agar
meminimalkan ukuran lesi.
Penghentian terapi pemeliharaan jika:
Pengobatan CMV selama setidaknya 3-6 bulan dan lesi telah inaktif dan
hitung CD4 > 100 sel/mm3 selama 3-6 bulan setelah pemberian ARV.
Setelah penghentian terapi, follow up pemeriksaan oftalmologi rutin
(misalnya setiap 3 bulan) dianjurkan tetap dilakukan untuk deteksi dini
relaps immune recovery uveitis, dan selanjutnya secara periodik setelah
perbaikan imun menetap. Terapi pemeliharaan diberikan kembali jika hitung
CD4 <100 sel/mm3.
19
Terapi alternatif:
Valgansiklovir oral dapat digunakan jika gejala tidak berat dan
mengganggu absorbsi oral
Foskarnet 60 mg/kg IV setiap 8 jam atau 90 mg/kg IV setiap 12 jam pada
pasien yang mengalami toksisitas ataupun resistensi gansiklovir.
Terapi CMV diberikan selama 21-42 hari atau sampai tanda dan gejala
menghilang. Tidak diperlukan terapi pemeliharaan.
4. Ensefalitis CMV
Pengobatan harus diberikan segera.
Gansiklovir 5 mg/kg IV setiap 12 jam selama 14-21 hari
Terapi pemeliharaan:
Terapi terpilih: Valgansiklovir 900 mg per oral 2 kali/hari
Terapi alternatif:
- Gansiklovir 5 mg/kg/hari IV
- Foskarnet 90-120 mg/kg/hari IV
- Kombinasi valgansiklovir 900 mg per oral 2 kali/hari dan foskarnet 90
mg/kg/hari IV
Terapi pemeliharaan biasanya diberikan selama 3-6 minggu jika terjadi
perbaikan imunitas. Penghentian terapi pemeliharaan jika hitung CD4 > 100
sel/mm3 selama 3-6 bulan setelah pemberian ARV. Yang terpenting adalah
optimalkan ARV untuk mencapai perbaikan imun dan supresi virus. Bila
supresi imunitas berlangsung lama, dianjurkan memberi terapi
pemeliharaan jangka panjang.
20
C. Tata Laksana Infeksi Sitomegalovirus pada Anak HIV
Antivirus utama yang digunakan pada infeksi CMV adalah Gansiklovir dan
Valgansiklovir. Valgansiklovir merupakan prodrug dari gansiklovir, diabsorbsi
dengan baik di saluran cerna dan tersedia dalam bentuk oral dan intravena.
Valgansiklovir dapat digunakan untuk transisi pasca pemberian Gansiklovir atau
untuk prolaksis. Antivirus lain seperti Foskarnet dan Sidofovir digunakan pada
pengobatan penyakit CMV yang refrakter atau resisten terhadap gansiklovir
atau terjadi toksisitas saat diberikan obat ini.
21
dewasa yang intoleran sebagai terapi lanjutan
dengan terapi lainnya. pada dewasa dan anak-
Dosis infuksi pada anak dengan penyakit
dewasa ialah 5 sistemik, retinitis,
mg/Kg/kali tiap minggu infeksi SSP, atau
selama 2 minggu, penyakit
dilanjutkan terapi gastrointestinal
supresi kronik. Dosis
pada anak belum
tersedia
Penyakit CMV Gansiklovir 5 +
pada SSP mg/Kg/kali tiap 12
jam, IV selama 21 hari
ditambah foskarnet
60 mg/Kg/kali tiap 8
jam, IV, dilanjutkan
hingga perbaikan
klinis
22
Tabel 8. Dosis Penyesuaian Gansiklovir pada Gangguan Ginjal
Kreatinin serum (mg/dl) Dosis (mg/KgBB) Interval (jam)
<1,4 5 12
1,4-2,54 2,5 12
2,55-4,5 2,5 24
>4,5 1,25 24
Cara pemberian:
o Vial berisi serbuk gansiklovir dilarutkan dengan 10 ml aqua pro injeksi,
menjadi larutan gansiklovir dengan konsentrasi 50 mg/ml
o Keluarkan volume dosis yang dibutuhkan dari larutan (sesuai berat
badan pasien)
o Masukkan ke dalam 100 ml cairan infus (NaCl 0,9%, dekstrose 5%,
atau ringer laktat)
o Infus diberikan selama minimal 1 jam
o Dosis selanjutnya diberikan 12 jam kemudian
o Larutan harus segera digunakan dalam waktu 24 jam setelah
dilarutkan
Perhatian:
o Hindari pemberian dosis cepat karena akan meningkatkan toksisitas
gansiklovir
o Hindari pemberian intramuskular atau subkutan karena larutan
gansiklovir bersifat basa (pH 11), dapat mengakibatkan iritasi jaringan
berat
o Gansiklovir tidak boleh diberikan pada pasien dengan jumlah neutrofil
di bawah 500 sel/l
o Pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/l berisiko
mengalami trombositopenia berat
Interaksi obat:
o Probenesid dan obat lain yang menghambat sekresi tubulus ginjal
mungkin dapat mengurangi clearance gansiklovir melalui ginjal dan
meningkatkan waktu paruh plasmanya.
o Zidovudin, dapat menyebabkan neutropenia berat
o Imipenem-cilastatin dapat menyebabkan generalized seizure
23
o Dapsone, pentamidin, usitosin, vinkristin, vinblastin, adriamisin,
amfoterisin, trimetoprim/sulfa, atau analog nukleosid mungkin dapat
menyebabkan toksisitas tambahan
Efek samping:
o Netropenia (25-60%)
o Absolute neutrophil count (ANC) <1000/L stop antivirus sementara.
Dapat diberikan hematopoietic growth factors. Monitor ANC 2-3 kali
seminggu, begitu ANC > 1000/L, terapi dimulai kembali. Jika ANC
tidak kembali normal, digunakan antivirus alternatif yaitu Foskarnet
atau Sidovor
o Trombositopenia (6%), trombosit dapat mencapai <50.000 sel/L
o Gangguan fungsi hati, hentikan pemberian jika transaminase naik >
250 IU/L tanpa adanya sebab yang lain
o Gangguan fungsi ginjal
o Ekstravasasi infus perifer
Pada pasien yang sedang mendapat terapi, lakukan pemeriksaan darah
lengkap, elektrolit serum, dan fungsi ginjal dua kali seminggu selama fase
induksi dan setidaknya sekali seminggu selama terapi pemeliharaan.
2. Valgansiklovir
Valgansiklovir adalah prodrug dari gansiklovir. Setelah dikonsumsi secara
oral maka akan diubah oleh esterase di dinding usus dan hati sehingga
menjadi gansiklovir.
Sediaan: 1 tablet salut lm mengandung valgansiklovir 450 mg. Tablet
tidak boleh dipecah/dirusak karena bersifat teratogenik
Farmakokinetik:
o Bioavailabilitas oral ~ 60%
o Tereliminasi sebagai valgansiklovir di urin, waktu paruh sekitar 4 jam
Indikasi:
o Terapi induksi dan pemeliharaan untuk CMV retinitis pada pasien
AIDS
o Terapi pencegahan terhadap penyakit CMV pada pasien dengan CMV
(-) yang menerima transplantasi organ dari donor CMV (+)
Kontraindikasi:
o Pada pasien yang hipersensitif terhadap valgansiklovir, gansiklovir,
asiklovir, and valasiklovir
24
o Valgansiklovir tidak boleh diberikan pada anak-anak
o Valgansiklovir tidak boleh diberikan pada pasien dengan:
Jumlah neutrol kurang dari 500 sel/L
Jumlah trombosit kurang dari 25.000 sel/L
Hemoglobin kurang dari 8 g/dL
Dosis dan pemberian:
o Pada pasien AIDS
Terapi induksi: 900 mg (2 tablet 450 mg) 2 kali/hari selama 21 hari
Terapi pemeliharaan: 900 mg (2 tablet 450 mg) sekali/hari
o Pada pasien transplantasi:
900 mg (2 tablet 450 mg)/hari, 10-100 hari setelah transplantasi
Efek samping :
o Paling sering muncul: neutropenia (20%), anemia, diare
o Gangguan fungsi hati, hentikan pemberian jika transaminase naik >
250 IU/L tanpa adanya sebab yang lain
o Efek samping lain: infeksi, anoreksia, depresi, ansietas, sakit kepala,
insomnia, ablasi retina, diare , mual muntah, gangguan fungsi hati,
dermatitis, pruritus
F. Evaluasi Lanjutan
Pada infeksi CMV pada anak HIV, pemeriksaan viral load awal diperlukan untuk
menentukan penyakit CMV dan memonitor terapi. Nilai cut o untuk
menyatakan infeksi berkisar antara 2000-5000 kopi/mL, namun secara umum
cut o yang digunakan adalah di atas 5000 kopi/mL. Semua pasien dengan
jumlah virus >20.000 kopi/mL menderita penyakit CMV yang simtomatik.
Pemeriksaan oftalmoskopi indirek serial dilakukan 2 minggu setelah memulai
terapi dan setiap bulan sesudahnya selama pasien masih mendapat terapi anti-
CMV. Tujuannya adalah mengevaluasi efektivitas pengobatan dan mendeteksi
komplikasi akibat CMV, obat anti-CMV, dan IRIS.
Pemberian Sidofovir dapat menyebabkan nefrotoksisitas, neutropenia, uveitis,
dan hipotoni. Pemeriksaan fungsi ginjal berserta urin lengkap harus dilakuan
sebelum setiap dosis obat. Obat tidak boleh diberikan jika terdapat disfungsi
ginjal atau proteinuria yang bermakna. Lakukan pemeriksaan oftamologi
periodik untuk memonitor efek samping uveitis atau hipotoni.
25
Daftar Pustaka
1. Imran D, Estiasari R, Karuniawati A, Timan IS, Mulyadi R, Yunus RE, dkk. Clinical presentation,
etiology, and outcome of Central Nervous System Infections in RSCM. Dipresentasikan pada 1st
Annual International Conference and Exhibition Indonesian Medical Education and Research Institute
(ICE on IMERI), November 2016
2. Allen CM, AL-Jahdali HH, Irion KL, Al Ghanem S, Gouda A, Khan AN. Imaging lung manifestations of
HIV/AIDS. Ann Thorac Med 2010;5(4):201-216. doi:10.4103/1817-1737.69106.
3. Barbaro G. Cardiovascular manifestation of HIV infection. Circulation 2002;106:1420-5.
4. Crothers K, Morris A, Huang L. Pulmonary complications of HIV infection. Dalam: Broaddus VC, Mason
RJ, Ernst JD, et al, editor. Murray and Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. Edisi ke-6.
Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2016.
5. Data Hub and UNAIDS Indonesia. Indonesia country poster 2015. Tersedia dari:
http://www.aidsdatahub.org/sites/default/les/country_review/Indonesia-country-poster-2015-
nal.pdf. Diakses 5 Okt 2016.
6. Gerna G, Parea M, Percivalle E, dkk. Human cytomegalovirus viraemia in HIV-1 seropositive patients
at various clinical stages of infection. AIDS 1990;4:1027-31.
7. Guibert G, Warszawski J, Le Chenadec J, dkk. Decreased risk of congenital cytomegalovirus infection
in children born to HIV-1infected mothers in the era of highly active antiretroviral therapy. Clin Infect
Dis 2009;48:1516-25.
8. Huang L, Crothers KA. HIV-associated opportunistic pneumonia. Respirology 2009;14(4):474-485
9. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. HIV in Asia and the Pacic: UNAIDS report 2013.
Tersedia dari: http://www.unaids.org/sites/default/les/media_asset/2013_HIV-Asia-Pacic_en_2.pdf.
Diakses 5 Okt 2016.
10. Kanj SS, Sharara AI, Clavien P-A, Hamilton JD. Cytomegalovirus infection following liver
transplantation: review of the literature. Clin Infect Dis 1996;22(3):537-49.
11. OSullivan CE, Drew WL, McMuller DJ, dkk. Decrease of cytomegalovirus replication in human
immunodeciency virus infected-patients after treatment with highly active antiretroviral therapy. J
Infect Dis 1999;180:847-9.
12. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents. Guidelines for the
prevention and treatment of opportunistic infections on HIV-infected adults and adolescents:
recommendations from the Centers for Disease Control and Prevention , the National Institute of
Health, and the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America. Tersedia dari:
https://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/Adult_OI.pdf. Diakses 5 Okt 2016.
13. Patel NC, Caicedo RA. Esophageal infections: an update. Curr Opin Pediatr 2015; 27(5):642-8.
14. Pathai S, Lawn SD, Gilbert C. Cytomegalovirus retinitis associated with HIV in resource-constrained
settings: systematic screening and case detection. Int Health 2012;4:86-94.
15. Pulakhandam U, Dincsoy HP. Cytomegalovirus adrenalitis and adrenal insuciency in AIDS. Am J Clin
Pathol 1990;93(5):651-6.
16. Sharma S, Holdaway I. Cytomegalovirus (CMV) adrenalitis leading to adrenal insuciency in a patient
with AIDS, disguised by concomitant corticosteroid administration: a case report. Int J Case Reports in
Medicine 2015;2015. DOI: 10.5171/2015. 588556
17. Tokman S, Huang L. Evaluation of respiratory disease. Clin Chest Med 2013;34(2):191-204.
doi:10.1016/j.ccm.2013.02.005
18. Zheng X, Zhang G. Imaging pulmonary infectious diseases in immunocompromised patients. Radiol
Infect Dis 2014;1(1):37-41.
19. Kanski JJ, Bowling B, editor. Clinical Opthalmology: A Systematic Approach. Edisi ke-7. Amerika
Serikat: Elsevier; 2011.
26
Lampiran I. Algoritma Tatalaksana Infeksi Sitomegalovirus pada Anak dengan Infeksi HIV
Apakah neonatus memiliki salah satu gejala di bawah ini?
Dan/atau
Gangguan imunologi primer
Ya Tidak
Ya
Apakah klinis toksisitas Ulang gansiklovir IV sesuai
mengalami perbaikan? dosis sebelumnya
Bagaimana respons bayi
terhadap pemberian terapi
Tidak
Tidak Ya
Tes resistensi CMV
Terapi sebagai kasus resisten gansiklovir:
o Stop gansiklovir Lanjutkan terapi antiviral IV hingga 6 Ganti terapi antiviral menjadi
o Mulai pemberian foskarnet 60 mg/kg IV/8 minggu, lalu transisi ke valgansiklovir valgansiklovir oral dengan dosis 16
jam oral dengan dosis 16 mg/kg/12 jam mg/kg/12 jam
Evaluasi gangguan sistem imun yang mendasari
27