3.1 Geologi
a) Batuan Alas
Batuan alas ini berumur pra - Tersier dan merupakan batuan dasar
dari batuan-batuan Tersier. Komposisinya terdiri dari beberapa batuan,
yaitu lava andesit, batugamping klastik dan konglomerat polimik.
b) Formasi Tanjung
c) Formasi Berai
d) Formasi Warukin
e) Formasi Dahor
1. Tensional, sinistral shear, dengan arah relatif barat laut- tenggara (NW
SE).
2. Transpesional, merupakan konvergen sehingga mengalami uplift, dan lalu
mengalami reaktifasi dan mengalami invert struktur yang tua, sehingga
menghasilkan wrenching, pensesaran, dan perlipatan.
Setting tektonik secara umum terjadi pada arah timur laut (NNE)
Cekungan Barito, dengan struktur yang intensif berarah sejajar barat daya
timur laut (SSW-NNE) membentuk struktur lipatan mengelilingi
pegunungan Meratus dan dipengaruhi oleh sesar naik dengan dip yang
curam. Adanya sesar wrench utama, menunjukkan adanya indikasi drag atau
sesar pada lipatan dan bekas sesar naik. Pada bagian barat dan selatan
Cekungan Barito umumnya sedikit dikontrol oleh tektonik sehingga tidak
menunjukkan bentuk deformasi struktur (Darman dan Sidi, 2000).
Dengan demikian struktur geologi regional secara umum yang
terdapat di Cekungan Barito adalah lipatan dan sesar yang terjadi pada
batuan Tersier. Lipatan pada umumnya berarah timurlaut barat daya. Sesar
yang terdapat di daerah ini berarah barat laut tenggara dan timur laut
barat daya. Sesar yang ada berupa sesar naik dan sesar geser.
Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari
endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan
oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara
strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas
selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batubara.
Proses Pembentukan batubara itu sendiri dimulai sejak zaman batubara
pertama (Carboniferous Period / Periode Pembentukan Karbon atau
Batubara), yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu.
Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan
tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai maturitas
organik. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batubara muda)
atau brown coal (batubara coklat) Ini adalah batubara dengan jenis
maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batubara jenis lainnya,
batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai
kecoklat-coklatan. Akibat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus
selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang secara
bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda
menjadi batubara sub-bitumen. Perubahan kimiawi dan fisika terus
berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam
dan membentuk bitumen atau antrasit. Dalam kondisi yang tepat,
peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit.
Tingkat perubahan yang dialami batu bara, dari gambut sampai
menjadi antrasit disebut sebagai pengarangan memiliki hubungan yang
penting dan hubungan tersebut disebut sebagai tingkat mutu batubara.
Batubara dengan mutu yang rendah, seperti batubara muda dan sub-bitumen
biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti
tanah. Batubara muda memilih tingkat kelembaban yang tinggi dan kandungan
karbon yang rendah, dan dengan demikian kandungan energinya rendah
Batubara dengan mutu yang lebih tinggi umumnya lebih keras dan
kuat dan seringkali berwarna hitam mengkilap seperti kaca. Batubara dengan
mutu yang lebih tinggi, memiliki kandungan karbon yang lebih banyak,
tingkat kelembaban yang lebih rendah dan menghasilkan energi yang lebih
banyak. Antrasit adalah batubara dengan mutu yang paling baik dan dengan
demikian memiliki kandungan karbon dan energi yang lebih tinggi serta
tingkat kelembaban yang lebih rendah. (seperti terlihat pada diagram
berikut).
Max
Depth From Depth To
Hole Id x v z Depth Lithology
(m) (m)
(m)
DHS01 310342 9579038 121 50 0 1,7 Soil
1,7 21,93 Clay Stone
21,93 27,5 Coal
27,5 50 Clay Stone
DHS02 310368 9578995 117,59 50 0 1,7 Soil
1,7 28,55 Clay Stone
28,55 39,3 Coal
39,3 50 Clay Stone
DHS03 310395 9578953 119,22 50 0 1,7 Soil
1,7 37,1 Clay Stone
37,1 43,66 Coal
43,66 50 Clay Stone
DHS04 310240 9578824 125,124 60 0 1,7 Soil
1,7 9 Clay Stone
9 12,3 Coal
12,3 57,5 Clay Stone
57,5 59,33 Coal
59,33 60 Clay Stone
DHS05 310213 9578866 130,471 50 0 1,7 Soil
1,7 16,75 Clay Stone
16,75 19,45 Coal
19,45 47,95 Clay Stone
47,95 49,99 Coal
49,99 50 Clay Stone
DHS06 310171 9578934 123,601 50 0 1,7 Soil
1,7 23,78 Clay Stone
23,78 27,17 Coal
27,17 50 Clay Stone
DHS07 310000 9578830 118,316 23,38 0 1,7 Soil
1,7 21,44 Clay Stone
21,44 23,88 Coal
23,88 23,38 Clay Stone
DHS08 310027 9678788 117,54 50 0 1,7 Soil
1,7 21,03 Clay Stone
21,03 23,99 Coal
23,99 33,83 Clay Stone
33,83 39,92 Coal
39,92 50 Clay Stone
DHS09 310145 9578976 120,5 18,55 0 1,7 Soil
1,7 14,05 Clay Stone
14,05 17,88 Coal
17,88 18,55 Clay Stone
3.2 Analisis Kualitas Batubara
Batubara merupakan bahan organik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
mati, dan terbentuk melalui proses yang sangat kompleks, membutuhkan waktu
yang sangat lama (puluhan hingga ratusan juta tahun), serta dipengaruhi oleh
berbagai faktor meliputi fisika, kimia, dan geologi.
Kualitas batubara merupakan faktor dasar dalam pengambilan keputusan
oleh pihak konsumen untuk memilih produk yang dihasilkan oleh produsen.
Untuk dapat mengetahui serta memperoleh data kualitas batubara yang dihasilkan
selama proses produksi perlu dilakukan kegiatan pengukuran kualitas batubara.
Penilaian kualitas batubara ditentukan oleh beberapa parameter yang terkandung
dalam batubara yang ditentukan dari sejumlah analisis di laboratorium.
Penilaian kualitas batubara ditentukan oleh beberapa parameter yang
terkandung dalam batubara yang ditentukan dari sejumlah analisis di
laboratorium, parameter kualitas batubara umumnya terdiri dari:
1. Calorivic Value atau nilai kalori yaitu jumlah panas yang dihasilkan
apabila batubara dibakar. Panas ini merupakan reaksi eksotermal yang
melibatkan senyawan hidrokarbon dan oksigen. Nilai kalor dibagi menjadi
dua, yaitu nilai kalori kotor dan nilai kalori bersih, Gross Calorific Value
(GCV) adalah nilai kalori kotor sebagai nilai kalor hasil dari pembakaran
batubara dengan semua air dihitung dalam keadaan wujud gas. Net
Calorific Value (NCV) adalah nilai kalori bersih hasil pembakaran
batubara dimana kalori yang dihasilkan merupakan nilai kalor. Harga nilai
kalori bersih ini dapat dicari setelah nilai kalori kotor batubara.
2. Total Sulfur atau kandungan sulfur digunakan untuk mengetahui
kandungan total belerang yang terdapat pada batubara dengan membakar
sampel batubara pada suhu tinggi (1.3500C) atau disebut High Temperatur
Method, yang dinyatakan dalam %, dan dasar pelaporan dalam kondisi
bebas air permukaan (adb).
3. Total Moisture atau kandungan air total adalah banyaknya air yang
terkandung dalam batubara sesuai dengan kondisi lapangan, sangat
dipengaruhi oleh ukuran butir batubara dan iklim daerah sekitar, yang
dinyatakan dalam % dan dasar pelaporan dari batubara dalam keadaan
insitu (Ar). Kandungan air bawaan merupakan kandungan air yang ada
pada batubara bersama dengan saat terbentuknya batubara tersebut.
Kandungan air bawaan berhubungan erat dengan nilai kalori, umumnya
bila kandungan air bawaan berkurang maka nilai kalori meningkat
demikian juga sebaliknya, yang dinyatakan dalam %, dasar pelaporan
dalam kondisi bebas air permukaan. Kandungan air bebas merupakan Air
yang berada dipermukaan batubara akibat pengaruh dari luar seperti cuaca
dan iklim. Tingginya kadar air akan menimbulkan masalah dalam proses
pemanfaatannya, terutama jika digunakan sebagai bahan bakar langsung.
Pada proses pembakaran, air bawaan akan mengurangi nilai kalor batubara
sehingga jumlah batubara yang diperlukan akan lebih besar. Kemudian gas
CO2 yang ditimbulkannya akan lebih besar pula. Gas CO2 yang tinggi
akan mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dengan timbulnya
efek rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global. Selain itu,
batubara peringkat rendah mempunyai kecenderungan untuk terjadinya
pembakaran spontan.
4. Ash content atau kandungan abu merupakan sisa-sisa zat anorganik
yang terkandung dalam batubara setelah dibakar. Kandungan abu tersebut
dapat dihasilkan dari pengotor bawaan dalam proses pembentukan
batubara maupun dari proses penambangan yang dinyatakan dalam %,
dasar pelaporan dalam kondisi bebas air permukaan.
Beberapa metode yang digunakan untuk menguji kualitas batubara sangat
beragam, diantaranya yaitu melakukan pengujian sampel di laboratorium. Dalam
uji laboratorium ini, kita dapat melakukan analisa proksimate untuk mengetahui
kandungan nilai kalori, total moisture, dan ash content pada batubara, dan analisa
ultimat untuk mengetahui kandungan total sulfur.
Langkah-langkah untuk menentukan analisa proksimite, yaitu :
a. Analisa total moisture, untuk analisa total moisture siapkan batubara yang
telah dipreparasi yang berukuran 13mm, kemudian timbang tray kosong
dan catat sebagai (m1), timbang 1kg batubara masukkan dalam tray dan
ratakan, catat sebagai (m2). Masukkan batubara yang sudah ditimbang ke
dalam drying oven pada temperature 400C selama 2,5-3 jam. Setelah itu
timbang batubara dan tray, catat sebagai (m3). Hitung kadar Free Moisture
dengan rumus :
23
%M= x 100%
21
Setelah didapat kadar FM lalu batubara dimasukkan ke dalam hammer
mill untuk mendapatkan ukuran 3mm. Kemudian timbang 10gr batubara
dengan cawan kosong setelah ditimbang masukkan ke dalam oven bersuhu
105oC selama 3 jam yang dialiri nitrogen yang berfungsi untuk mengikat
uap air agar batubara benar-benar kering. Setelah 3 jam kadar Moisture In
Air-Dry sample akan muncul pada layar komputer dengan sendirinya.
Kemudian hitung nilai Total Moisture dengan rumus :
TM = FM + M x (1 )
100
b. Analisa Ash content, batubara yang sudah mengalami proses
pengeringan diambil sampel dan ditimbangan sebanyak 1 gram untuk
dianalisis kadar abunya. Kemudian batubara yang sudah diambil dan
ditimbang tadi dimasukkan ke dalam alat seperti oven yaitu purnice. Suhu
awal untuk melakukan proses pembakaran yaitu 0 - 500C selama satu
jam, lalu satu jam kemudian suhu dinaikkan sampai 815C. Setelah selesai
pembakaran pada suhu 815C suhu diturunkan lagi ke suhu normal yaitu
500C. Pengujian ini dilakukan selama 120 menit. Batubara yang sudah
dibakar kemudian didinginkan dan ditimbang kembali untuk mengetahui
persentase kadar abunya.
c. Analisa calorivic value, untuk uji kalori siapkan batubara yang telah
ditimbang 1gr, kemudian pasang benang pada alat pengukur. Fungsi
benang adalah sebagai penghantar listrik (pembakar). Setelah benang
dipasang masukkan ke dalam alat Parr Calorimeter yang telah dipasang
aliran oksigen. Tunggu hingga 15 menit maka nilai kalori akan muncul
dengan sendirinya pada print hasil pengujian dengan satuan cal/gr. Sebagai
faktor koreksi, jika batubara tersebut memiliki kandungan sulfur tinggi
maka nilai kalori dikurangi dengan kadar sulfur yang telah dikalikan 22,47
dan dikurangi lagi dengan kadar asam nitrat.
d. Cara pengujian total sulfur timbang cawan kosong, kemudian pompa
oksigen dinaikkan sebesar 3,25 l/menit. Timbang batubara sebanyak
0,15gr tidak boleh lebih. Masukkan batubara ke dalam alat uji sulfur
LECO S144DR yang menggunakan infra red. Atur suhu sesuai dengan
furnace temperature dan set point temperature yaitu 1311,90C. Tunggu
beberapa menit,kemudian kadar sulfur akan muncul pada layar komputer
yang telah diatur secara otomatis.
3. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari sampling batubara di front dan stockpile dikelompokkan
berdasarkan jenis batubara dan parameternya, kemudian dihitung rata-ratanya dan
disajikan dalam bentuk tabel, dan grafik, sehingga dapat dilihat parameter
batubara yang ada di front dan stockpile dan berapa besar penyimpangan kualitas
yang terjadi pada batubara yang ada di front dan stockpile tersebut.
4. Kesimpulan
Setelah dilakukan analisa data dan observasi di lapangan didapat kesimpulan.