Anda di halaman 1dari 52

PRESENTASI KASUS

TB PARU DENGAN HIV

Oleh :
Andriana Wijaya
NPM 1102011027

Pembimbing :
dr. H. Edy Kurniawan, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


RSUD ARJAWINANGUN KAB. CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI- JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia. Pada tahun 1992, World Health Assosiation (WHO) telah mencanangkan
TB sebagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2011
adalah1:
Insidensi kasus : 8,7 juta (8.3- 9.0 juta)
Prevalensi kasus : 12 juta (10- 13 juta)
Kasus meninggal (HIV negatif) : <1 juta (0,84 - 1.1 juta )
Kasus meninggal (HIV positif) : 0,43 juta (0,40-0,46 juta); 0.38
juta (0.32-0.45 juta) pada 20092
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Dari
data hasil WHO tahun 2011, lima negara dengan insiden kasus terbanyak yaitu
India (2,0 -2.5 juta), China (0,9 -1.1 juta), Afrika Selatan (0.4-0.6 juta), Indonesia
(0,4 0,5 juta) dan Pakistan (0.3- 0.5 juta) 1. TB paru mencakup 80% dari
keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan
tuberkulosis ekstrapulmonar 2. Diperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia
pernah terinfeksi kuman M. Tuberculosis 3 .
Sedangkan masalah HIV/ AIDS sendiri adalah masalah besar yang
mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO
yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah ODHA (Orang dengan
HIV/AIDS) di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat
ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/ AIDS 4.
HIV dan TB merupakan kombinasi penyakit mematikan2. Seseorang yang
terinfeksi HIV akan menderita infeksi oportunistik selama perjalanan alamiah
penyakit. TB adalah salah satu infeksi oportunistik yang tersering pada kasus

2
infeksi HIV dan mungkin mendahului terjadinya perkembangan AIDS, tapi
seringnya keduanya terdiagnosis secara bersamaan5.
Pada akhir tahun 2011, sekitar 1,1 juta orang dari 8,7 yang terinfeksi TB di
seluruh dunia terdapat koinfeksi Dengan HIV. 79% yang mengalami koinfeksi di
Afrika Sub-sahara, sisanya berada di Asia Tenggara dan di Amerika Latin dan
Karibia 1. Kenaikan jumlah pasien TB akibat meningkatnya jumlah seropositif HIV
telah dilaporkan terjadi di berbagai negara, termasuk negara maju seperti Amerika
Serikat, demikian juga di negara-negara berkembang seperti Republik Tanzania,
Uganda,Ziare, dan juga Brunei. Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan
hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar
11.835 kasus (49%). Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di Indonesia
diperkirakan sekitar 3%; di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi termasuk
populasi di Lapas/Rutan angkanya diperkirakan lebih tinggi 6. Perlu diketahui
bahwa apabila seseorang dengan seropositif HIV terinfeksi kuman TB maka ia
mudah menjadi AIDS dibanding mereka yang seronegatif 7.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. TUBERKULOSIS
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex2. Tuberkulosis paru adalah
penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu
pneumonia yang disebabkan oleh M.tuberculosis 8.
B. Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh
Robert Koch pada tahun 1882 9. Mycobacterium tuberculosis adalah
kuman penyebab TB yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit
bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Koloninya yang kering
dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning tumbuh
secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH
optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk
memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya
pada pH 6,8 10.
M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah
mikobakterium yang paling banyak menimbulkan penyakit TB pada
manusia. Basil tersebut berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati
pada air mendidih (5 menit pada suhu 80 C dan 20 menit pada suhu
60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (sinar
matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu
kamar dan dalam ruangan yang lembab11.

4
C. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer disebit sebagai fokus Ghon.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian di mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan terlihat
peradangan pembuluh limfe menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut 12 :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali,
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus),
c. Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuatum
Salah satu contoh adalah epitutuberkulosis, yaitu
suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epitutuberkulosis 12.

5
2) Penyebaran secara bronkogen
Penyebaran secara bronkogen berlangsung baik di
paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau
tertelan 12.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Ada beberapa kuman
yang menetap sebagai persisten atau dormant,
sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan
akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan. Bila
tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti TB milier,
meningitis TB, Typhobacillosis landouzy. Penyebaran ini
juga dapat menimbulkan TB pada organ lain, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya12.
2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang persisten pada TB primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa
(tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder).
Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder terjadi karena
imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, peyakit maligna,
diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai dengan sarang
dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apical-posterior lobus
superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru
dan tidak ke nodus hiler paru. TB pasca primer juga dapat berasal dari
infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua 13.

6
Patogenesis dan manifestasi patologi TB paru merupakan
hasil respon imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen kuman TB12.

Perjalanan infeksi TB terjadi melalui 5 tahap.


Tahap 1: dimulai dari masuknya kuman TB ke alveoli. Kuman akan
difagositosis oleh makrofag alveolar dan umumnya dapat
dihancurkan. Bila daya bunuh makrofag rendah, kuman TB
akan berproliferasi dalam sitoplasma dan menyebabkan lisis
makrofag. Pada umumnya pada tahap ini tidak terjadi
pertumbuhan kuman.
Tahap 2: tahap simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam non-
activated macrophage yang gagal mendestruksi kuman TB
hingga makofag hancur dan kuman TB difagositosis oleh
makrofag lain yang masuk ke tempat radang karena faktor
kemotaksis komponen komplemen C5a dan monocyte
chemoatractant protein (MPC-1). Lama kelamaan makin
banyak makrofag dan kuman TB yang berkumpul di tempat
lesi.
Tahap 3: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman TB menetap karena
pertumbuhannya dihambat oleh respon imun tubuh terhadap
tuberculin-like antigen. Pada tahap ini, delayed type of
hypersensitivity (DTH) merupakan respon imun utama yang
mampu menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respon
ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi. Dalam solid
caseous center yang terbentuk, kuman ekstraseluler tidak
dapat tumbuh, dikelilingi non-activated makrofag dan partly
activated macrofag. Pertumbuhan kuman TB secara

7
logaritmik terhenti, namun respon imun DTH ini
menyebabkan perluasan caseous necrosis tapi tidak dapat
berkembang biak karena keadaan anoksia, penurunan pH dan
adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan dorman ini
metabolism kuman minimal sehingga tidak sensitif terhadap
terapi. Caseous necrosis ini merupakan reaksi DTH yang
berasal dari limfosit T, khususnya T sitotoksik (Tc), yang
melibatkan clotting factor, sitokin TNF-alfa, antigen reaktif,
nitrogen intermediate, kompleks antigen antibody,
komplemen dan produk-produk yang dilepaskan kuman yang
mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi aktif
menghasilkan molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM-1,
VCAM-1), MHC klas I dan II.
Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen
tuberkulin pada sel Tc sehingga menyebabkan jejas pada
endotel dan memicu kaskade koagulasi. Trombosis lokal
menyebabkan iskemia dan nekrosis dekat jaringan.
Tahap 4: respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang peran
utama dimana CMI akan mengaktifkan makrofag sehingga
mampu memfagositosis dan menghancurkan kuman.
Activated macrophage menyelimuti tepi caseous necrosis
untuk mencegah terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana
CMI lemah, kemampuan makrofag untuk menghancurkan
kuman hilang sehingga kuman dapat berkembang biak di
dalamnya dan seanjutnya akan dihancurkan oleh respon imun
DTH, sehingga caseous necrosis makin luas. Kuman TB yang
terlepas akan masuk ke dalam kelenjar limfe trakheobronkial
dan menyebar ke organ lain.

8
Tahap 5: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama
kalinya terjadi multiplikasi kuman TB ekstraseluler yang
dapat mencapai jumlah besar. Respon imun CMI sering tidak
mampu mengendalikannya.
Dengan progresivitas penyakit terjadi perlunakan caseous
necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus.
Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan respon
DTH terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag
tidak dapat hidup dan merupakan media pertumbuhan yang
baik bagi kuman. Kuman TB masuk ke dalam cabang-cabang
bronkus, menyebar ke bagian paru lain dan jaringan
sekitarnya 12.
D. Diagnosis
Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
baik dan pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan
melalui pemeriksaan kultur bakteriologi, pemeriksaan sputum BTA,
radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya2.
1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala lokal dan sistemik. Bila organ yang terkena adalah
paru maka gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai
organ yang terlibat) 2.
a. Gejala respiratori :
1) Batuk 2 minggu
2) Hemoptisis
3) Dyspneu
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam

9
2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam, anoreksia,
dan berat badan menurun.
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada
meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis
TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan 2.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung
dengan organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan
S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan antara lain suara napas bronchial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-anda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum2.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, LCS, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan
biopsi2.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan
ialah bila:

10
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila
1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif
BTA negatif 3 .
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan
mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD). Skala IUATLD:
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut
+++(3+)2.
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain
atas indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:

11
a. Fibrotik.
b. Kalsifikasi.
c. Schwarte atau penebalan pleura
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Analisis cairan pleura.
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan.
c. Pemeriksaan darah2.

Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru 3


E. Penatalaksanaan
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap
intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat
obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita

12
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian
besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
pada akhir pengobatan intensif 3.

Tabel 1 berikut menunjukkan jenis, sifat dan dosis OAT.

Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT3


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampisisn (
R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin
(S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakterostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Sedangkan kategori penggunaan OAT di Indonesia, adalah


sebagai berikut.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), diberikan untuk pasien dengan
kriteria:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 13
Berat Badan Tahap intensif Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama
tiap hari selama 56 hari 16 minggu
RHZE
(150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

13
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 13


Dosis per hari / kali
Jumlah
Tablet
Tahap Lama Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Isoniasid
PengobatanPengobatan Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ 300
@ 450 mgr @ 500 mgr @ 250 mgr obat
mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3), diberikan untuk pasien BTA


positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 3


Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan
RHZE(150/75/400/275) 3 kali seminggu
Berat RH (150/50)+
Badan E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari
Selama 20
minggu
2 tab 4KDT
30 37 + 500 mg 2 tab 2KDT + 2
2 tab 4KDT
kg Streptomisin tab Etambutol
inj

14
3 tab 4KDT
30 54 + 750 mg 3 tab 2KDT + 3
3 tab 4KDT
kg Streptomisin tab Etambutol
inj
+ 1000 mg
55 70
Streptomisin 4 tab 4KDT 4 tab Etambutol
kg
inj
5 tab 4KDT
1000 mg 5 tab 2 KDT + 5
71 kg 5 tab 4KDT
Streptomisin tab Etambutol
inj

II. HIV/ AIDS


A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus
dengan materi genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus
mempunyai kemampuan yang unik untuk mentransfer informasi
genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang
disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. Virus
ini menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+) sehingga
sistem imun penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan
keganasan 14.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV4.
B. Patogenesis

15
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran
yang memiliki reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+).
Glikoprotein envelope virus, yakni gp120 akan berikatan dengan
permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai
fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+.
Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse
transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan
(cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian bermigrasi ke dalam
nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV
integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu
provirus dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian
ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus. RNA genom
virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung
dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan
protein virus menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease.
Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh sebagian membran sel
yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion) kemudian
dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya,
monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel
dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit),
sel mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh15.
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama
respon imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga
mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi
dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan
aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan
sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja
makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-

16
helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan
gangguan pada sel-sel imun lainnya16.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar
dari 600 sampai 1200/ l darah. Segera setelah infeksi virus primer,
kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang
tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di
bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+
secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-
gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/l.
Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/l mengalami
imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan
infeksi oportunistik15.
C. Penularan HIV/ AIDS
Penularan AIDS terjadi melalui :
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi
lebih besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang
menyebabkan luka atau ulserasi pada alat kelamin. HIV telah diisolasi
dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi
yang terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan sperma.
Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan
melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa
(casual) dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan
serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan17.
D. Diagnosis

17
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) yang bereaksi terhadap antibodi dalam serum.
Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih
spesifik, yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes
ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau negatif-
palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV.
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain
untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha untuk
mengendalikan infeksi 15.
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk
menentukan prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai
berikut17.

Tabel 5. WHO clinical staging system for HIV infection and


related disease in adult (15 years or older) 17
Tahap 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati menyeluruh
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Tahap 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi
jamur di kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)

18
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal

Tahap 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan
terakhir
Tahap 4:
- HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau
lemah lesu dan demam > 1 bln)
- Pneumonisitis carina pneumonia
- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Kandidiasis
- Mikobakteriosis atipikal
- Lymphoma
- Kaposi sarcoma
- HIV encephalopati
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan

19
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan
terakhir

E. Terapi Anti Retrovirus (ART)


Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996,
mendorong suatu revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS.
Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah
tantangan dalam hal efek samping dan resistensi, obat ini secara
dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas
akibat HIV/AIDS16.
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit,
yang dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum.
Terdapat tiga jenis antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara
kerjanya, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini 15.

Tabel 6. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), golongan dan


dosis2
Golongan Obat Dosis
Nukleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor
(NsRTI)
Abakavir (ABC) 300mg 2x/hari atau 400mg 1x/hari

Didanosin (ddI) 250mg 1x/hari (bb<60kg)

Lamivudine (3TC) 150mg 2x/hari atau 300mg 1x/hari

20
Stavudin (d4T) 40mg 2x/hari (30mg 2x/hari bila
bb<60kg)
Zidovudin (ZDV) 300mg 2x/hari

Nukleotide Reverse
Transcriptase Inhibitor
(NRTI)
TDF 300mg 1x/hari

Non-NukleosideReverse
Transcriptase Inhibitor
(NNRTI)
Efavirenz (EFV) 600mg 1x/hari

Nevirapine (NVP) 200mg 1x/hari untuk 14 hari


kemudian 200mg 2x/hari
Protease Inhibitor (PI)
Indinavir/ritonavir 800mg/100mg 2x/hari
(IDV/r)

Lopinavir/ritonavir 400mg/100mg 2x/hari


(LPV/r)

Nelfinavir (NFV) 1250mg 2x/hari

Saquinavir/ritonavir 1000mg/ 100mg 2x/hari atau


(SQV/r) 1600mg/ 200mg 1x/hari

Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100mg, larutan oral


400mg/5ml

* Ritonavir dalam hal ini digunakan untuk booster/ memperkuat


Protease Inhibitor
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI): Menghambat
reverse transcriptase HIV, sehingga pertumbuhan rantai DNA dan
replikasi HIV terhenti. Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NNRTI): Menghambat transkripsi RNA HIV menjadi DNA. Protease
Inhibitor (PI): Menghambat protease HIV, yang mencegah
pematangan virus HIV.
Paduan Lini Pertama2

21
Yakni suatu kombinasi obat yang digunakan pasien yang
belum pernah mendapatkan ARV sebelumnya, umumnya lini pertama
yang diberikan terdiri dari 2 NRTI dan 1 NNRTI. Ada 4 paduan
Utama untuk lini pertama :
AZT-3TC-NVP
AZT-3TC-EFV
D4T-3TC-NVP
D4T-3TC-EFV
3TC selalu digunakan dan dimasukkan ke dalam 4 regimen
(selalu dicantumkan di tengah). Obat yang pertama adalah AZT atau
D4T (tidak boleh diberikan bersamaan). Obat yang terakhir NPV atau
EFV (tidak boleh diberikan bersamaan).

III. TUBERKULOSIS HIV (TB-HIV)


A. Hubungan TB dan HIV
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien
menjadi rentan terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya
adalah TB, pneumonia, infeksi jamur di kulit dan orofaring, serta
herpes zoster. Infeksi tersebut dapat terjadi pada berbagai tahap infeksi
HIV dan imunosupresi 17.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi
HIV/ AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko
paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB 3. Menurut
WHO, infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang memudahkan
terjadinya proses pada orang yang telah terinfeksi TB, meningkatkan
risiko TB laten menjadi TB aktif dan kekambuhan, menyulitkan

22
diagnosis, dan memperburuk stigma. TB juga meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV 7.
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada Gambar
2.

transmisi
transmisi
- Diagnosis tepat
dan cepat
- Pengobatan tepat
Jumlah kasus TB BTA + dan lengkap
Risiko menjadi TB bila
Faktor lingkungan: - Kondisi
dengan HIV:
- Ventilasi kesehatan
- 5-10% setiap
- Kepadatan mendukung
tahun
- Dalam ruangan
- > 30% lifetime
Faktor perilaku

HIV (+) SEMBUH

TERPAJAN INFEKS
I TB MATI

10%
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak - Keterlambatan diagnosis
- Malnutrisi dan pengobatan
- Penyakit DM, - Tatalaksana tak memadai
imunosupresan - Kondisi kesehatan

Gambar 2. Faktor Risiko Kejadian TB3

B. Patogenesis
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M.
tuberculosis, organisme disajikan kepada makrofag melalui ingesti
dimana setelah diproses, antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel
CD4 mengeluarkan limfokin yang meningkatkan kapasitas makrofag
untuk menelan dan membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar

23
orang terjadi infeksi dan TB tidak berkembang, meski sejumlah basil
tetap dorman tubuh. Hanya 10% dari kasus yang berkembang menjadi
TB klinis, segera setelah infeksi primer atau bertahun-tahun kemudian
sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan
pada fungsi dari sel T dan makrofag5.
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah
dengan adanya kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit,
membentuk ciri infeksi HIV. Disfungsi ini pada odha (orang dengan
HIV dan AIDS) sebagai predisposisi terjadinya infeksi TB baik primer
maupun reaktivasi. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi
HIV meningkatkan risiko reaktivasi laten TB dan juga risiko penyakit
progresif dari infeksi baru5.
C. Diagnosis
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan
gambaran klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal
ini disebabkan karena rendahnya reaksi imunologik penderita AIDS.
Seperti diketahui manifestasi klinis TB sebenarnya merupakan reaksi
imunologik terhadap Mycobacterium tuberculosis7. Banyak ditemukan
diagnosis TB pada pasien HIV berbeda dengan diagnosis TB pada
umumnya, dimana gejala TB pada pasien HIV tidaklah spesifik. TB
ekstra paru lebih sering ditemukan pada pasien dengan HIV
dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila ditemukan TB
ekstraparu harus dipikirkan kemungkinan adanya HIV. Tb ekstraparu
yang sering ditemukan adalah limfadenopati pada leher, abdomen atau
aksila; efusi pleura; efusi pericardial; efusi peritoneal; meningitis dan
Tb mediastinum. Deteksi dini HIV pada pasien TB juga harus
dilaksanakan dengan baik dan telah diatur dalam International
Standards for Tuberculosis Care (ISTC) yaitu : Uji HIV dan

24
konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita
atau yang diduga menderita TB 18.
Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami
penurunan baik dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan
peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis.
Dengan demikian, kemampuan sistem imunitas menurun dalam
mencegah pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri tersebut17.
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis
pada pasien TB dengan HIV18:
i. Gambaran klinis TB paru, gambaran klinis TB paru secara umum
diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan TB pada
pasien HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB
dengan HIV demam dan penurunan berat badan merupakan gejala
yang penting.
ii. Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV
secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering ditemuakan
BTA negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur BTA. Pemeriksaan
biakan sputum merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB paru.
Pada ODHA dengan gejala klinis TB paru yang hasil pemeriksaan
mikroskopik dahak BTA nya negatif, pemeriksaan biakan dahak
sangat dianjurkan karena hal ini dapat membantu diagnosis TB paru.
Selain itu, pemeriksaan biakan dan resistensi juga dilakukan untuk
mengetahui adanya MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah
satu faktor risiko MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana
pasien TB-HIV, akhir-akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB
secara tepat yakni kultur resistensi BTA dengan Genexpert, namun
alat tersebut belum ada disetiap layanan kesehatan, hanya ada pada
sentral layana yang direkomendasi.

25
iii. Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi
maupun bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB
terdapat di apeks, namun pada TB-HIV bukan diapeks terutama pada
HIV lanjut. Pada HIV yang masih awal gambaran foto thoraks dapat
sama pada gambaran foto thoraks pada umunya, namun pada HIV
lanjut gambaran foto thoraks sangat tidak spesifik. Pada pasien TB-
HIV tidak jarang ditemukan gambaran TB milier.
iv. Pemeriksaan Tes Mantoux. Pemeriksaan tes mantoux dapat membantu
pada suspek TB dengan BTA negatif dan foto thoraks yang tidak khas
dan gambaran klinis yang kurang menunjang. Pada pasien suspek TB
pada umumnya, tes mantoux dinyatakan positif apabila diameter >=
10mm, namun pada pasien dengan HIV positif diameter > 5 mm sudah
dapat dinyatakan positif.
v. Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai pada
odha karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB dengan
HIV negatif. Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat kompleks dan
sulit terutama di daerah dengan fasilitas yang terbatas. Berdasarkan
ISTC, diagnosis TB ekstraparu dapat dilakukan dengan mengambil
lesi dan pemeriksaan patologi untuk menemukan BTA dari jaringan
apabila memungkinkan. Namun, apabila lesi sulit didapat, diagnosis
TB ekstraparu dapat ditegakkan dengan dugaan klinis yang
menunjang. Adanya TB ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda
bahwa penyakitnya sudah lanjut.
vi. Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.
Pemberian antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu
diagnosis TB paru tidak direkomendasikan lagi karena dapat
menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan konsekuensi pengobatan
juga terlambat sehingga meningkatkan risiko kematian. Penggunaan
antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB dengan

26
HIV positif harus dihindari sebab golongan antibiotik ini respons
terhadap mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan
gejala sementara. Disamping itu dikhawatirkan timbulnya resistensi,
sementara antibiotic golongan kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini
kedua. Alur pendiagnosisan TB paru pada ODHA yang berobat jalan,
secara ringkas digambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA yang berobat jalan18


Keterangan:
a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda- tanda
berikut: frekuensi pernapasan 30 kali/menit, demam > 390 C, denyut
nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa >
1% atau prevalensi HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB
yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes

27
HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya
maka tidak lagi dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak
diketahui (misalnya pasien menolak utk diperiksa) tetapi gejala klinis
mendukung kecurigaan HIV positif.
d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA
Negatif = bila 3 sediaan hasilnya negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan
CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan
secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan
dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones) untuk
mengatasi typical & atypical bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga
Pneumonia Pneumocystis jiroveci
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.
Tabel 7 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil sputum
dan radiologi antara pasien infeksi HIV dengan TB paru tahap awal
dan tahap lanjut 2,17.

Tabel 7. Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal (dini) dan
lanjut 2,17
Tahap Infeksi HIV
Gambaran TB Paru Awal Akhir
(CD4>200/mm3) (CD4<200/mm3)
Gambaran klinis Biasanya Biasanya menyerupai

28
menyerupai TB paru TB paru post-primer
primer
Hasil sputum BTA Biasanya positif Biasanya negatif
Gambaran Biasanya terdapat Biasanya terdapat
radiologis kavitas, Reaktivasi infiltrat tanpa kavitas,
TB, kavitas di Tipikal primer TB
puncak milier/ interstitial
Tb ekstraparu Jarang Umum/ banyak

Mikobaterimia Tidak ada Ada

Tuberculin Positif Negatif

Adenopati hilus/ Tidak ada Ada


mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada

D. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS
sama dengan pengobatan tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan
pasien dengan koinfeksi TB-HIV lebih sulit daripada TB pada pasien
tanpa HIV. Pasien TB-HIV memiliki sistem imunitas yang rendah dan
sering ditemukan adanya infeksi hepatitis dan lainnya, maka saat
pengobatan sering timbul efek samping dan interaksi obat sehingga
memperburuk kondisi pasien serta obat-obat harus dihentikan atau
dikurangi dosisnya. Kondisi tersebut menyebabkan pengobatan
menjadi lebih panjang serta kepatuhan pasien sering terganggu18.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa
jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang
tepat2. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah adalah dengan

29
mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (Antiretroviral)
dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan standar WHO3.

Pengobatan OAT pada TB-HIV2:


- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya
karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik
sekali pakai yang steril.
- Desensitasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon
untuk pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat,
juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien
HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan
derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima sub
optimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum.

Interaksi obat TB dengan ARV2:


- Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT.
- Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan
nukleotida, kecuali Didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1
jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
- Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan
nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan
bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan
kadar nelfinavir sampai 82%.

30
- Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan
pemberian ARV dalam 8 minggu tanpa mempertimbangkan kadar
CD4.
- Pertimbangan pemberian ARV segera setelah diagnosis TB ialah
bahwa angka kematian pada pasien TB-HIV terjadi umumnya pada 2
bulan pertama pada pemberian OAT. Meskipun demikian pemberian
secara bersamaan membuat pasien menelan obat dalam jumlah yang
banyak sehingga dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek
samping, interaksi obat dan Immune Reconstitution Inflamatory
Syndrome (IRIS); Sindrome Pemulihan Kekebalan (SPK) atau
dikenal dengan Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome atau
IRIS adalah fenomena imunologi berupa perburukan klinis serta
timbulnya gejala infeksi oportunistik akibat pemulihan imun yang
berlebihan pada saat ODHA mengalami penurunan jumlah virus HIV
setelah pemberian ARV, contoh tersering dari manifestasi IRIS
adalah herpes zoster atau TB yang terjadi.
- Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol
dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.

WHO menetapkan pentingnya strategi sebelum pemberian ART,


strategi ini dinamakan Three Is yakni 18:
1) Intensified Tuberculosis Case Finding, yaitu mendeteksi secara
aktif kemungkinan adanya infeksi TB pada pasien HIV.
2) Isoniazid Preventive Therapy, yaitu memberikan INH pada pasien
HIV(+) dengan TB (-)untuk pencegahan infeksi TB (di Indonesia
belum diimplementasikan)
3) Infection Control, yaitu mengontrol dan mengendalikan infeksi TB
di Fasyankes /Fasilitas pelayanan kesehatan

31
Standar Untuk Penanganan TB Dengan Infeksi HIV (International
Standard For Tuberculosis Care )2
Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua
pasien yang menderita atau yang diduga menderita TB. Pemeriksaan
ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien
di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi
umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan
HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Karena
terdapat hubungan yang erat antara TB dan infeksi HIV, pada daerah
dengan prevalensi HIV yang tinggi pendekatan yang terintegrasi
direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua
infeksi.

Standar 15
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya
dievaluasi untuk menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV
diberikan selama pengobatan TB. Perencanaan yang tepat untuk
mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang
memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan TB
tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga seharusnya diberi
kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan
seksama, tidak menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi
TB laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan. (belum diterapkan di
indonesia, walaupun Indonesia adalah negara endemik TB)

32
Paduan OAT pada pasien koinfeksi TB-HIV18:
Semua pasien (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum
pernah diobati harus diberi paduan OAT lini pertama yang disepakati
secara internasional dan termasuk dalam ISTC.
Fase awal : 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB
Fase lanjutan : 4 bulan INH dan RIF, atau 6 bulan INH
dan EMB
* pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan
tidak direkomendasikan untuk pasien TB-HIV karena mudah terjadi
kegagalan pengobatan atau kambuh.

Paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB

Tabel 8. Terapi Antiretroviral pada ODHA dengan koinfeksi TB2


Obat ARV lini Paduan Pengobatan Pilihan obat ARV
Pertama/Kedua ARV pada waktu TB
didiagnosis
Lini pertama 2NRTI+EFV Teruskan dengan 2
NRTI+EFV
2NRTI+NVP Ganti dengan
2NRTI+EFV atau
ganti dengan
2NRTI+LPV/r
Lini kedua 2NRTI+PI Ganti atau teruskan
(bila sementara
menggunakan)
paduan mengandung
LPV/r

33
Pilihan NRTI sama untuk semua orang dengan HIV/AIDS

Pilihan NNRTI :

EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kadar EFV dalam


darah akan menurun bila ada rifampisin. Dosis EFV
600mg/hari

Kadar NVP menurun jika ada rifampisin. Namun dianjurkan


penggunaan NVP dengan dosis standar. Tapi karena ditakutkan
efek hepatotoksis, paduan berisi NVP hanya digunakan bila
tidak ada alternatif, terutama pada perempuan dengan OAT
mengandung rifampisin, dengan hitung CD4 >250/mm3 yang
perlu mulai ART.

Prinsip tatalaksana koinfeksi TB-HIV, berdasarkan rekomendasi


dalam guidelines WHO18.
1. Pemberian terapi ARV pada semua pasien HIV dengan TB
aktif tanpa melihat nilai CD4.
2. OAT diberikan terlebih dahulu, diiukuti dengan pemberian
terapi ARV sesegera mungkin (dalam 2-8 minggu pemberian
OAT)
3. Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang
direkomendasikan dalam pemberian terapi ARV pada pasien
dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan karena
mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan
dibandingkan Nevirapin.

Mengingat terkadang sulit mendiagnosis TB pada HIV, terapi


empiris sebaiknya diinisiasi pada HIV dimana dicurigai TB sampai
semua hasil pemeriksaan TB (sputum, kultur, dan pemeriksaan lain)
lengkap. Setelah didiagnosis atau dicurigai TB aktif, OAT harus

34
diberikan segera. Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)
direkomendasikan pada semua pasien TB-HIV. Semua pasien yang
mendapat INH harus mendapatkan suplementasi piridoksin/vitamin B6
25-50 mg/kgBB/hari untuk mencegah neuropati perifer 18.

Tatalaksana TB Ekstra Paru pada pasien HIV 18


I. Secara Umum
- Pasien Tb ekstraparu regimen 6-9 bulan direkomendasikan.
- Untuk TB pada Sistem saraf pusat (tuberkuloma atau
meningitis) dan TB tulang dan sendi direkomendasikan 9-14
bulan terapi.
II. TB pada Otak
- Untuk meningitis TB diberikan 2RHZE/7-12RH dan
dexamethason untuk mengurangi inflamasi di otak (tidak untuk
HIV positif).
- Indikasi pemberian kortikosteroid untuk meningitis TB :
peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri, defisit
neurologis fokal, hidrosefalus, infark dan adanya meningitis
basalis.
- Bila terdapat putus obat diberikan OAT kategori 2 yakni
2RHZES/7-12RH lalu nilai respon secara klinis

Penanganan Kegagalan Terapi 18


Rekomendasi terapi TB yang resisten terhadap OAT pada
pasien HIV sama dengan pasien tanpa HIV

Efek Samping, Interaksi Obat dan Penanganannya 2


Tanda Gejala Penanganan

35
Anoreksia, mual dan Telan obat setelah makan. Jika paduan
nyeri perut obat ART mengandung AZT, jelaskan
kepada pasien bahwa ini biasanya akan
hilang sendiri. Atasi keluhan ini
simtomatis. Tablet INH dapat diberikan
malam sebelum tidur.
Nyeri sendi Beri analgetik, misalnya aspirin atau
parasetamol.
Rasa kesemutan Efek ini oleh karena INH diberi bersama
ddI atau D4T. Berikan tambahan
vitamin B6 (piridoksin) 100mg/hari.
Jika tidak berhasil, gunakan amitriptilin
atau dirujuk.
Kencing warna Jelaskan karena pengaruh obat dan tidak
kemerahan berbahaya.
Sakit kepala Beri analgetik, periksa tanda meningitis.
Bila terdapat pengobatan ZDV atau EFV
jelaskan bahwa hal ini biasa terjadi dan
akan hilang, jika >2 mg, rujuk.
Diare Beri oralit dan tatalaksana untuk diare,
yakinkan kalau karena obat, akan
membaik dalam bbrp minggu.
Kelelahan Pikirkan anemia, terutama oleh karena
ZDV. Periksa HB, kelelahan biasa
terjadi 4-6 minggu setelah penggunaan
ZDV, jika > 4-6 minggu dirujuk.
Tegang, mimpi buruk Mungkin disebabkan oleh EFV, lakukan
konseling dan dukungan, dapat hilang <

36
3 minggu. Rujuk pasien apabila ada
gangguan mood atau psikosis, masa sulit
awal atasi dengan amitriptilin pada
malam hari.
Kuku Yakinkan pasien sebagai akibat
kebiruan/kehitaman pengobatan ZDV.
Perubahan dalam Diskusikan dengan pasien, sebagai efek
distribusi lemak samping D4T.
Gatal atau kemerahan Jika menyeluruh atau mengelupas, stop
pada kulit obat TB dan ART, rujuk pasien. Jika
dalam pengobatan NVP periksa dan
teliti : apakah lesinya kering
(kemungkinan alergi) atau basah
(kemungkinan steven Johnson syndrome
), minta pendapat ahli.
Gangguan Hentikan streptomisin, rujuk ke unit
pendengaran atau DOTS.
keseimbangan
Ikterus Lakukan pemeriksaan fungsi hati,
hentikan OAT dan ART, minta pendapat
ahli.
Ikterus dan nyeri perut Hentikan OAT dan ART, periksa fungsi
hati, nyeri perut dapat dikarenakan
pankreatitis yang disebabkan oleh ddI
atau D4T.
Muntah berulang Periksa penyebab muntah, lakukan
pemeriksaan fungsi hati, jika terjadi
hepatotoksik hentikan OAT dan ART,

37
rujuk pasien.
Penglihatan berkurang Hentikan EMB, minta pendapat
ahli/rujuk.
Demam Periksa penyebab demam dapat
disebabkan oleh efek samping obat,
infeksi oportunistik, infeksi baru atau
IRIS, beri parasetamol dan minta
pendapat ahli.
Pucat,anemia Ukur kadar HB singkirkan infeksi
oportunistik, pasien dirujuk dan stop
ZDV/diganti D4T.
Batuk atau kesulitan Kemungkinan IRIS atau infeksi
bernafas oportunistik, minta pendapat ahli.
Limfadenopati Kemungkinan IRIS atau infeksi
oportunistik, minta pendapat ahli.

38
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. S
Usia : 20 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : Pegawai
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Kalideres
MRS tanggal : 28-09-17

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : sesak 2 minggu SMRS
Keluhan Tambahan: Batuk (+), demam (+)
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Arjawinangun pada tanggal 28 September 2017
pada pukul 15.00 dengan keluhan sesak sejak 2 minggu. Menurut pasien, sesak
yang dirasa terus menerus dan semakin berat. Sesak sampai menganggu aktifitas

39
sehari-hari. Sesak yang dirasa tidak membaik dengan perubahan posisi. Selain
sesak pasien juga mengeluh batuk. Batuk darah (-), keringat malam (-). Pasien
mengeluh sariawan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga merasa pusing, nyeri ulu
hati, mual dan muntah lebih dari 5 kali. Muntah setiap habis makan atau minum.
Muntah berupa makanan yang baru saja dimakanan oleh pasien. Pasien merasa
semakin hari badannya semakin lemas. Nafsu makan pasien juga berkurang dan
berat badan pasien semakin lama semakin berkurang. Pasien mengalami
penurunan berat badan 10 kg dalam waktu 2 bulan. BAB (+) 2 kali sehari, BAK
(+) normal, nyeri (-), anyang-anyangan (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), penyakit hati kronis (-
) asthma (-), keganasan (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien dengan keluhan seperti yang pasien
rasakan.
Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), asthma (-), keganasan
(-), TBC ( - ).
Riwayat Pengobatan
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien tinggal di rumah bersama keluarga.
Pasien menggunakan asuransi BPJS
Kesan ekonomi : menengah kebawah

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang

40
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/90 mmHg.
Nadi : 132 kali per menit,
Pernafasan : 36 kali per menit,
Suhu : 38oC.
SpO2 : 99%

Status Lokalis
Kepala :
- Ekspresi wajah : normal.
- Bentuk dan ukuran : normal.
- Rambut : hitam dan tidak mudah rontok.
- Udema (-).
- Malar rash (-).
- Hiperpigmentasi (-).
- Nyeri tekan kepala (-).
Mata :
- Alis : normal.
- Exopthalmus (-/-).
- Ptosis (-/-).
- Nystagmus (-/-).
- Strabismus (-/-).
- Udema palpebra (-/-).
- Konjungtiva: anemia (-/-), hiperemis (-/-).
- Sclera: icterus (-/-), hyperemia (-/-), pterygium (-/-).
- Pupil : isokor, bulat, miosis (-/-), midriasis (-/-).

41
- Kornea : normal.
- Lensa : normal, katarak (-/-).
- Pergerakan bola mata ke segala arah : normal
Telinga :
- Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan.
- Lubang telinga : normal, secret (-/-).
- Nyeri tekan (-/-).
- Peradangan pada telinga (-)
- Pendengaran : normal.
Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-/-).
- Napas cuping hidung (-/-).
- Perdarahan (-/-), secret (-/-).
- Penciuman normal.

Mulut :
- Simetris.
- Bibir : sianosis (-).
- Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
- Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan
di pinggir (-), lidah kotor (-).
- Gigi : caries (-)
- Mukosa : normal.
- Faring dan laring : tidak dapat dievaluasi.
Leher :
- Simetris (-).
- Kaku kuduk (-).
- Pemb.KGB (-).

42
- Trakea : di tengah.
- JVP : R+2 cm.
- Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-).
- Pembesaran thyroid (-).
Thorax
Pulmo :
Inspeksi :
- Bentuk: simetris.
- Ukuran: normal, barrel chest (-)
- Pergerakan dinding dada : simetris.
- Permukaan dada : petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-),
massa (-), sikatrik (-) hiperpigmentasi (-).
- Fossa supraclavicula dan fossa infraclavicula : cekungan simetris
- Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (-), otot
intercosta(-).
Palpasi :
- Pergerakan dinding dada : simetris
- Fremitus taktil :
a. Lobus superior : D/S sama
b. Lobus medius dan lingua: D/S sama
c. Lobus inferior : D/S sama
- Nyeri tekan (-), edema (-), krepitasi (-).
Perkusi :
- Sonor (-/-).
- Nyeri ketok (-).
- Batas paru hepar : ICS 6 LMC
Auskultasi :
- Suara napas vesikuler (+/+).

43
- Suara tambahan rhonki (+/-).
- Suara tambahan wheezing (+/+).
Cor :
Inspeksi: Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis teraba ICS V linea midklavikula sinistra, thriil (-).
Perkusi : - batas kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra
batas kiri jantung : ICS V linea midclavicula sinistra

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi :

- Bentuk : distensi (-),


- Umbilicus : masuk merata.
- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (-), sianosis (-), vena kolateral (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), luka bekas operasi (-),
hiperpigmentasi (-).
Auskultasi :
- Bising usus (+) normal.
- Metallic sound (-).
- Bising aorta (-).
Palpasi :
- Turgor : normal.
- Tonus : normal.
- Nyeri tekan (-) epigastrium
- Hepar/lien/renal tidak teraba.
Perkusi :
- Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
- Nyeri ketok CVA: -/-

44
Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-
- Infus terpasang +/-
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-

IV. RESUME
Pasien 20 tahun datang ke IGD RSUD Arjawinangun dengan keluhan utama sesak
selama 2 minggu sebelum masuk RS. Keluhan disertai batuk tanpa dahak, dan
demam. Pasien merasa semakin hari badannya semakin lemas. Nafsu makan pasien
juga berkurang dan berat badan pasien semakin lama semakin berkurang. Pasien
mengalami penurunan berat badan 10 kg dalam waktu 2 bulan.
Pemeriksaan Fisik didapatkan. Kesadaran : komposmentis, Tekanan darah :
120/90 mmHg, pada perkusi terdapat suara sonor di seluruh lapang paru. Pada
auskultasi ditemukan suara nafas tambahan seperti wheezing dan rhonki

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

45
Hasil pemeriksaan Darah Lengkap 28/9/17 :
Parameter Hasil Nilai normal
Hemoglobin 6,3 13-18
Hematokrit 19,9 39,0-54,0
Leukosit 4660 4000 11000
Trombosit 290000 150000 - 450000
Eritrosit 2,94 4,4 6,0
Eosinofil 1,5 0-3
Basofil 0,8 0-1
Segmen 92,5 50 - 70
Limfosit 25 20 40
Monosit 2,1 2-8

Imunologi
HIV AB (Antibody) 22,94 < 0,25

Pemeriksaan Radiologi

46
Foto asimetris dan kurang inspirasi
Cor tidak membesar, sinus kanan tumpul, sinus kiri dan diafragma normal
Pulmo: Hili kabur, corakan paru bertambah, tampak bayangan noduler halus tersebar
merata pada kedua lapang paru
Kesan : TB paru aktif tipe milliary dengan suspek efusi pleura kanan dan
encapsulated pleural effusion kanan

47
Pemeriksaan EKG

V. DIAGNOSIS KERJA

Tuberkulosis Paru

HIV/AIDS

VI. PENATALAKSANAAN
Usulan Terapi
Medikamentosa:

IVFD RL 20 tpm
O2 8-10 Lpm
Inj. Ranitidin 2x1
Ambroxol 3x30 mg
Transfusi PRC

Non Medikamentosa:
1. Tirah baring.

48
2. Pasien dan keluarga diberi edukasi mengenai penyakit yang diderita
pasien dan penatalaksanaannya serta pencegahannya.

Rencana Monitoring :
Evaluasi kesadaran, tanda vital, keluhan.

VII. PROGNOSA
Quo Ad Vitam : Dubia
Quo Ad functionam : Dubia
Quo Ad sanationam : Dubia

DATE SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANING


28/9/17 Tidak ada keluhan TD : 120/90 -
P : 132x/menit IVFD RL 30
R : 36x/menit tpm
S : 38OC O2 3-4 Lpm
Mata : Ca(-/-), Si(-/-) Inj. Ranitidin
Leher : T.A.K 2x1 amp
Pulmo : VBS kanan = Ambroxol 3x30
kiri, RH (+/+), WH (+/+) mg PO
COR : BJ 1-2 reg, GL(-), Transfusi PRC
Mur (-)
Abdo:nyeri tekan
epigastrium (-) ,
undulasi(+), shifting
dullness(+), pitting
edema(-), ketok CVA (-)
Ekstremitas : Akral

49
hangat,

50
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012: epidemiology, strategy,


financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva, Switzerland: WHO; 2012.
2. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.
3. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes
RI; 2011.
4. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
5. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001; 2 (4): 256-
9.
6. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-HIV
Pengendalian Tuberkulosis 20112014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011.
7. Hudoyo, A. dkk. Diagnosis TB-Paru pada Pasien dengan HIV/ AIDS. 2008; JTI 4(2):
1-5.
8. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
9. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya Medika;
2002.
10. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik.
Jakarta: Dian Rakyat; 2006.
11. Alsagaff, H. Abdul M. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009.
12. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press; 2010
13. Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI; 2009.
14. Simbolon, E. Pola Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara; 2011. Diakses dari:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21448.
15. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi
Didapat (AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245.
16. Murtiastutik, D. AIDS. Dalam: Barakbah, J. (eds). Buku Ajar Infeksi Menular Seksual.
Ed.2. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.p. 211-220.
17. WHO. TB/ HIV: A Clinical Manual; 2004. Diakses dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.

51
18. Syam, A.F. dkk. Tatalaksana HIV/AIDS : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran.
Jakarta: Kemenkes RI Konsorsium Upaya Kesehatan; 2011.

52

Anda mungkin juga menyukai