Anda di halaman 1dari 58

PAJAK PENGHASILAN (PPH) PASAL 4 AYAT (2)

PROGRAM DIPLOMA III KHUSUS AKUNTANSI


KELAS 3-8 KELOMPOK III

ADITYA RAHMAWAN 1302171212


AUFARRAMDHANI HILMAN BARLIAN 1302171259
CALAMMEDIAN YANUAR 1302171267
ICHWAN AHMAD FADHILAH 1302171345
IVANI AYU M AHARDIKA 1302171357
JEFRI KURNIA PUTRA 1302171362
MAHAJI SURYOYUDANTO 1302171385
MUHAMMAD MUIN TANZIL 1302171414
P ANJI ROMADHONA 1302171436
YUDHA PRAKOSO 1302171499

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN


2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa selalu memberikan
berkat sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini. Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya
penulisan paper ini hingga bisa tersusun dengan baik.

Paper ini disusun berdasarkan referensi yang diperoleh dari beberapa literasi dari
buku maupun media elektronik serta dari peraturan perundangan-undangan yang
berlaku saat ini. Dengan adanya paper ini penulis berharap dapat memberikan
informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4
ayat 2. Setelah memahami mengenai PPh Pasal 4 ayat 2 diharapkan pembaca juga
dapat melakukan perhitungan kasus-kasus terkait pengenaan PPh Pasal 4 ayat 2.

Akhirnya, kami menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
perbaikan penerbitan paper selanjutnya di masa mendatang.

Jakarta, 15 Oktober 2017

Tim Penulis

i|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


INFOGRAFIS
PPh PASAL 4 AYAT (2)
WP DN dan BUT = 20%
Bunga deposito dan
tabungan serta diskonto SBI
WP LN -= 20% atau sesuai
tarif P3B

Bunga Diskonto/Obligasi dan 0%, 0,1%, 5%, 15%, 20%, dan


surat berharga negara sesuai tarif P3B

Bunga Simpanan s/d Rp


Bunga Simpanan yang 240.000/bln = 0%
dibayarkan oleh Koperasi
kepada Anggota koperasi
Orang Pribadi Bunga Simpanan s/d Rp
240.000/bln = 0%

Hadiah Undian 25 % Bruto Hadian Undian

Bukan Saham Pendiri = 0,1%


x transaksi
Transaksi Saham
Saham Pendiri= lebih 0.5%
(nilai saham) dari bukan
saham pendiri

YA Persewaan Tanah dan/atau


10 % jumlah bruto nilai sewa
Bangunan
Objek

Non Penghasilan dari Pengalihan


1 % rumah sederhana/susun
Hak atas Tanah dan/atau
dan 5% lainnya
Bangunan

Dengan kualifikasi = kecil 2%,


selainnya 3%
Pelaksana

Tanpa Kualifikasi (4%)

Usaha Jasa Konstruksi


PPh Pasal 4 ayat 2

Dengan Kualifikasi (4%)


(PPh Final)

Perencana

Tanpa Kualifikasi (6%)


Dividen yang diterima yg
10% Dividen yang diterima
diterima WP OP DN

Penghasilan dari Usaha yang


Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto T
ertentu

Bank di Indonesia, Bank Indonesia, Penyelenggara Undian, Pemberi/Penerima


Pemotong Pengalihan Hak, Penyewa, Yang Menyewakan, Pengguna Jasa,Penyedia Jasa, Penerbit
obligasi, Perusahaan Efek, Koperasi, dan Penerbit SPN

Subjek
Badan Usaha Tetap

Dipotong WP DN

WP OP

WP LN

ii | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .. i
INFOGRAFIS .. Ii
DAFTAR ISI Iii
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang ... 1
I.2. Rumusan Masalah . 2
I.3. Tujuan Penulisan ... 3
I.4. Dasar Hukum . 3
i.5. Penjelasan Istilah .. 5
BAB II PEMBAHASAN .. 8
II.1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2).... 8
II.1.1. Pengertian Pajak 8
II.1.2. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)... 8
II.1.3 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2.. 8
II.2. Objek Pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2. 8
II.2.1. Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto SBI . 9
II.2.2. Bunga Obligasi 12
II.2.3. Hadiah Undian dan Penghargaan 14
II.2.4. Usaha Jasa Konstruksi .. 16
II.2.5. Persewaan Tanah dan/atau Bangunan .. 19
II.2.6. Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan . 21
II.2.7. Transaksi Penjualan Saham . 25
II.2.8. Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu 28
II.2.9. Bunga Simpanan yang Dibayarkan Koperasi kepada Anggota
Koperasi Orang Pribadi 31
II.2.10. Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri . 33
II.3. Kewajiban Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) . 35
II.4. Bukti Potong ... 38
II.5. Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat (2) 40

iii | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
II.5.1. Perhitungan PPh atas Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto
SBI ................... 40
II.5.2. Perhitungan PPh atas Bunga Obligasi dan Bunga Simpanan
Koperasi 42
II.5.3. Pajak atas Hadiah Undian dan Penghargaan . 45
II.5.4. Pajak atas Usaha Jasa Konstruksi 45
II.5.5. Pajak atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan 46
II.5.6. Pajak atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ... 47
II.5.7. Perhitungan PPh atas Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya .... 48
II.5.8. Pajak atas Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu 48
II.5.9. Perhitungan PPh atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri .. 50
BAB III 51
III.1. Kesimpulan . 51
DAFTAR PUSTAKA .. 52

iv | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pajak saat ini merupakan sumber penerimaan negara terbesar. Pajak


digunakan untuk membiayai belanja negara, pembangunan infrastruktur, peningkatan
fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebegitu
pentingnya fungsi pajak bagi negara hingga mengharuskan setiap Warga Negara
Indonesia wajib membayar pajak. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1 ayat 1).

Berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi


Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota.

Pajak Pusat secara garis besar terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Pajak Penghasilan (PPh)


PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang
dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal baik dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam
bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa
keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
2. Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi,

1|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa
adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-undang PPN. Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang
Kena Pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM.
3. Bea Materai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti
surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan
efek, yang memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertentu sesuai
dengan ketentuan.

Pada paper ini, pembahasan akan difokuskan pada pemahaman mengenai


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2. PPh Pasal 4 ayat 2 ini adalah pajak yang
dikenakan berkaitan dengan pembayaran atas penyerahan barang yang dipungut oleh
bendahara Pemerintah baik pemerintah Pusat, Daerah serta instansi dan lembaga
negara lainnya. Serta lingkup dari PPh Pasal 4 ayat 2 adalah kegiatan di bidang impor
yang dipungut oleh Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Lingkup PPh
21 yang terakhir adalah pemungutan pajak yang dikenakan terhadap pembelian
barang dengan kategori atau kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat
mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya seperti kapal pesiar, rumah
yang sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, dan kendaraan
sangat mewah.

I.2. Rumusan Masalah

Dalam paper ini pembahasan yang akan diulas adalah penjelasan mengenai
beberapa masalah terkait dengan PPh Pasal 4 ayat 2. Adapun pokok-pokok masalah
yang akan menjadi isi paper ini adalah mengenai :

1. Apa pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2?

2. Siapa Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2?

3. Siapa dan apa saja subjek pajak serta objek pajak PPh Pasal 4 ayat 2?

4. Apa saja yang dikecualikan dari PPh Pasal 4 ayat 2?

5. Bagaimana variasi tarif serta bagaimana penghitungan Pajak Pengasilan


(PPh) Pasal 4 ayat 2?

2|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


I.3. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan paper ini adalah setelah mengetahui
pengertian serta ruang lingkup dari PPh Pasal 4 ayat 2, pemotong PPh Pasal 4 ayat 2,
hak dan kewajiban pemotong PPh Pasal 4 ayat 2, yang termasuk wajib pajak dan
bukan wajib pajak PPh Pasal 4 ayat 2, yang termasuk objek pajak dan bukan objek
pajak PPh Pasal 4 ayat 2, ketentuan tarif dan dasar pengenaan PPh Pasal 4 ayat 2
secara komprehensif mengenai hal-hal tersebut adalah agar pembaca dapat
melakukan perhitungan secara benar terkait kasus-kasus PPh Pasal 4 ayat 2.
Sehingga dalam dalam hal ini hak-hak negara dapat ditunaikan dengan baik sehingga
tercapainya keadilan dan kesejahtaraan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.

I.4. Dasar Hukum

A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang


Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893)

B. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang


Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

C. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas


Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penhasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

D. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan atas


Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi Kepada Anggota Koperasi
Orang Pribadi

E. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas


Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

3|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


F. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2013 Tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.

G. Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 Tentang Perubahan Peraturan


Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

H. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas


Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan.

I. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Perubahan


atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tatacara
Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi Menteri Keuangan.

J. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara


Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga
Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi Kepada Anggota Koperasi Pribadi.

K. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.010/2016 Tentang Perubahan


Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 Tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bungan Deposito dan Tabungan serta
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

L. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 Tentang Perubahan


Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 Tentang Pelaksanaan
Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari
Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

M. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996 tentang


Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai
Pemotong PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

4|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


N. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./ 2002 tentang Tata
Cara Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan Pajak Penghasilan dari
Persewaan Tanah dan atau Bangunan.

I.5. Penjelasan Istilah

1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-


Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam mata
uang rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan
pada atau diterbitkan oleh bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/ atau berdasarkan prinsip syariah.
4. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu
lebih dari 12 (dua belas) bulan.
5. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang
Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
6. Yang dimaksud dengan "Obligasi dengan kupon" adalah yang dikenal dengan
istilah interest bearing debt securities.
7. Yang dimaksud dengan "masa kepemilikan" adalah yang dikenal dengan
istilah holding period.
8. Yang dimaksud dengan "bunga berjalan" adalah yang dikenal dengan istilah
accrued interest.
9. Yang dimaksud dengan "obligasi tanpa bunga" adalah yang dikenal dengan
istilah non-interest bearing debt securities.
10. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan
Obligasi Negara.

5|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


11. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah Surat
Utang Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
12. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian.
13. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang
diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
14. Hadiah sehubungan dengan kegiatan adalah hadiah dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan kegiatan yang dilakukan
oleh penerima hadiah.
15. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi
dalam kegiatan tertentu.
16. Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
17. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan
18. arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing
beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik
lain.
19. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi
yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan
bangunan fisik lain.
20. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi
yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di
dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi
layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan
pembangunan (engineering, procurement, and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).

6|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


21. Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi,
yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
22. Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap
yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
23. Penyedia Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap,
yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai
perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun
sub-subnya.
24. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak
jasa konstruksi secara keseluruhan.
25. Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran
atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir
atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

7|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


BAB II

PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2)
II.1.1. Pengertian Pajak
Pajak menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara
yang terhutang oleh orang atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya dalam kemakmuran rakyat.

II.1.2. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)


Salah satu jenis pajak penyumbang pendapatan Negara Indonesia adalah
Pajak Penghasilan. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) seperti yang tercantum
dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

II.1.3. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2) atau disebut juga PPh
final adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi
atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya
bersifat final. Istilah final berarti bahwa tidak dapat dikreditkan dengan Pajak
Penghasilan terutang dan pemotongan pajaknya hanya sekali dalam sebuah masa
pajak dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak
yang tepat waktu dan pertimbangan lainnya.

Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 ini berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilannya.

II.2. Objek PPh Final

Berikut adalah objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2:

8|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


II.2.1. Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto SBI

a. Pengertian

Deposito adalah salah satu model simpanan di bank yang menjadi primadona
karena suku bunganya tinggi. Penghasilan dari bunga deposito tersebut akan
dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final. Peraturan yang
terkait dengan pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 atas penghasilan berupa
bunga deposito/bunga tabungan/diskonto SBI adalah:

Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan


Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.010/2016

Sesuai dengan dasar hukum di atas, deposito yang dimaksud adalah deposito
dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk deposito berjangka, sertifikat
deposito dan deposit on call, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing yang
ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank.

Sementara, definisi dari tabungan yaitu simpanan pada bank dengan nama
apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu
yang ditetapkan oleh masing-masing bank.

b. Tarif

Dasar pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan
serta diskonto SBI. Adalah sebagai berikut :

a. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) yang
dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan ditempatkan di dalam
negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai PPh yang bersifat final dengan
tarif sebagai berikut:

o Tarif 10% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu satu
bulan;

9|PAJAK PENGHASILAN (PPh ) PASAL 4 AYAT 2


o Tarif 7,5% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu tiga
bulan;

o Tarif 2,5% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu enam
bulan; dan

o Tarif 0% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu lebih
dari enam bulan.

b. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber
dari DHE dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia
dikenai PPh yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:

o Tarif 7,5% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu satu
bulan;

o Tarif 5% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu tiga
bulan;

o Tarif 0% dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu enam
bulan atau lebih.

Tarif PPh atas bunga deposito, tabungan, dan diskonto SBI diatur dalam PP
No. 131 Tahun 2000. Besarnya tarif PPh yang bersifat final yang dipotong adalah 20%
dari jumlah bruto, sebagaimana ditunjukkan dalam bagan di bawah ini:

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di


bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak
menghambat perekonomian kedua Negara

c. Pemotong, Penyetoran, dan Pelaporan

Terdapat beberapa pihak yang diperbolehkan sebagai pemotong PPh Pasal 4


ayat 2 yakni Bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, Ccbang

10 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
bank luar negeri yang berada di Indonesia, dan dana pensiun yang telah disahkan
Menteri Keuangan dan bank yang menjual kembali SBI kepada pihak yang bukan
dana pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan
bank wajib memotong PPh atas diskonto SBI tersebut.

Batas waktu penyetoran PPh Terutang yaitu tanggal 10 bulan berikutnya untuk
masa pajak yang bersangkutan dan pelaporan tanggal 20 bulan berikutnya untuk
masa pajak yang bersangkutan. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir
pelaporan pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur
nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

d. Pengecualian

Dikecualikan dari Pemotongan PPh :

Jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp


7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan
jumlah yang dipecahpecah.
Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang Bank luar negeri di Indonesia.
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 Undang-undang 11 tahun 1992
tentang Dana Pensiun, diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas
(SKB), yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat dana
pensiun terdaftar.
Bunga tabungan pada Bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka
pemilikan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana; kavling
siap bangun untuk Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana
atau Rumah Susun Sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.

11 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
II.2.2. Bunga Obligasi

a. Pengertian

Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara yang berjangka waktu lebih
dari 12 bulan. Sementara, bunga obligasi adalah imbalan yang diterima pemegang
obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2009 sebagaimana


telah diubah terakhir dengan PP Nomor 100 Tahun 2013, atas penghasilan yang
diterima dan/atau diperoleh wajib pajak berupa bunga obligasi dikenai pemotongan
pajak penghasilan yang bersifat final.

Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan koperasi yang


didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi akan dikenakan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final. Dasar hukum atas aturan
tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009.

b. Tarif

Berikut adalah tarif terhadap bunga obligasi dan bunga simpanan koperasi
menurut PP Nomor 100 Tahun 2013 :

Bunga dari obligasi dengan kupon Jika penerima obligasi adalah:

WPDN/BUT : 15%
Diskonto dari obligasi dengan kupon
WPLN: 20% atau sesuai
Diskonto dari obligasi tanpa bunga dengan Tax Treaty

Bunga dan/atau diskonto dari


5% untuk tahun 2014 2020
obligasi yang diterima atau diperoleh wajib
10% untuk tahun 2021 dan
pajak reksadana yang terdaftar pada
seterusnya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Dalam Pasal 4 PMK Nomor 07/PMK.11/2012 dijelaskan bahwa terdapat dua


kondisi atas penjualan obligasi secara langsung tanpa perantara kepada pihak selain
pemotong, yaitu:

12 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Jika ada pencatatan mutasi kepemilikan obligasi, maka Kustodian atau sub-
registry (selaku pihak yang mencatat mutasi hak kepemilikan obligasi) wajib
melakukan pemotongan dengan cara memungut PPh yang bersifat final yang
terutang dari penjual obligasi sebelum mutasi hak kepemilikan dilakukan.

Jika penjualan obligasi hanya atas unjuk (tidak memerlukan pencatatan mutasi
hak kepemilikan obligasi), maka penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang
ditunjuk sebagai agen pembayaran melakukan pemotongan pada saat jatuh
tempo bunga, dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh sejak tanggal
jatuh tempo bunga berakhir dan saat jatuh tempo obligasi, dihitung berdasarkan
masa kepemilikan penuh sejak tanggal penerbitan perdana obligasi.

c. Pemotong, Penyetoran, dan Pelaporan

Pihak yang telah ditetapkan untuk melakukan pemotongan pajak atas bunga
obligasi yaitu:

Penerbit obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk;


Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau
pembeli; dan
Perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku
pembeli obligasi langsung tanpa melalui perantara, atas bunga dan/atau
diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh penjual obligasi pada saat
transaksi.

d. Pengecualian

Bunga obligasi dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 apabila


diterima oleh wajib pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan dan wajib pajak bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

13 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
II.2.3. Hadiah Undian dan Penghargaan

a. Pengertian

Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian. Berbeda dengan hadiah perlombaan. Adapun, pengertian
dari hadiah atau penghargaan perlombaan adalah imbalan yang diberikan melalui
suatu perlombaan atau yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan
tertentu (dengan usaha yang relevan).

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak


Penghasilan atas Hadiah Undian menyebutkan bahwa atas penghasilan berupa
hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun akan dipotong atau dipungut
pajak penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final.

Untuk memberikan kepastian hukum dan kelancaran pelaksanaan pengenaan


pajak penghasilan atas hadiah dan penghargaan, Direktur Jenderal
Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2015
tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah dan Penghargaan.

b. Tarif

Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2015 tentang


Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah dan Penghargaan, penghasilan berupa
hadiah dari undian dipotong PPh Pasal 4 ayat 2 dengan tarif pajak sebesar 25% dari
jumlah bruto hadiah dan bersifat final.

c. Pemotong, Penyetoran, dan Pelaporan

Pihak yang wajib melakukan pemotongan PPh adalah penyelenggara undian


atau pemberi hadiah baik dalam bentuk orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi
(termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha
yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi. Artinya,
kewajiban membayar PPh atas pajak undian ditanggung oleh pemenang, namun
dipotong oleh penyelenggara undian.

PPh atas hadiah dan penghargaan terutang pada akhir bulan saat dilakukannya
pembayaran atau diserahkannya hadiah tergantung peristiwa yang terjadi lebih
dahulu. Adapun, PPh dipotong oleh penyelenggara (hadiah dan penghargaan)

14 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
dilakukan sebelum hadiah atau penghargaan diserahkan kepada yang penerima
hadiah atau penghargaan.

Penyelenggara wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan PPh atas


hadiah atau undian, ke dalam 3 rangkap, yaitu:

Lembar ke-1 untuk Penerima Hadiah (wajib pajak);


Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP); dan
Lembar ke-3 untuk Penyelenggara/ Pemotong.

Penyelenggara undian atau penghargaan wajib untuk:

Menyetor PPh yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran


Pajak (SSP) ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya Pajak (secara
kolektif);
Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak
atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan tempat
Pemotong terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah
dibayarkannya atau diserahkannya hadiah undian tersebut.

Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan pajak bertepatan
dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau
pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

d. Pengecualian

Pemotongan PPh sebagaimana dijelaskan di atas tidak berlaku untuk hadiah


langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua
pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh
konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.

15 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
II.2.4. Usaha Jasa Konstruksi

a. Pengertian

Usaha jasa konstruksi merupakan objek pajak yang dikenakan Pajak


Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final. Dalam kegiatan usaha jasa
konstruksi, kontraktor atau pengusaha jasa konstruksi menjadi subjek pajak.

Hal ini berlaku terhadap jasa konstruksi yang sudah memiliki sertifikasi dan
kualifikasi sebagai profesional dalam bidang konstruksi sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nomor 11
Tahun 2006. Jika jasa konstruksi tersebut belum memiliki kualifikasi dan sertifikasi,
maka diatur dalam aturan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.

Payung hukum yang mengatur tentang pajak atas usaha jasa konstruksi
tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana
telah diubah dengan PP Nomor 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut PP 51/2008 stdd PP
40/2009).

Sebelum membahas lebih dalam tentang bagaimana perpajakan yang terjadi


dalam usaha jasa konstruksi, akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa pengertian
yang berkaitan dengan jasa konstruksi, sebagai berikut:

Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan


konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan konstruksi.
Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-
masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain.
Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa
konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen
perencanaan bangunan fisik lain.

16 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa
konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan
suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain,
termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan
fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan
pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa
konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal
pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
Termasuk di dalam kelompok jasa ini adalah jasa penilai.
Nilai Kontrak Jasa Konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam suatu
kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan.

Berdasarkan pengertian di atas, usaha jasa konstruksi dibagi menjadi tiga


kelompok yaitu jasa perencanaan konstruksi, jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa
pengawasan konstruksi.

b. Tarif

Usaha jasa konstruksi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu jasa perencanaan
konstruksi, jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa pengawasan konstruksi. Besar tarif
pajak untuk usaha jasa konstruksi diatur dalam Pasal 3 PP 51/2008 stdd PP 40/2009.
Besarannya sebagai berikut :

Bentuk Usaha Klasifikasi Usaha Tarif

2% dari penerimaan pembayaran


Kecil
tidak termasuk PPN
Pelaksanaan Konstruksi
3% dari penerimaan pembayaran
Menengah dan Besar
tidak termasuk PPN

Perencanaan dan Kecil, Menengah dan 4% dari penerimaan pembayaran

17 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Bentuk Usaha Klasifikasi Usaha Tarif

Pengawasan Besar tidak termasuk PPN

Khusus untuk jasa pelaksanaan konstruksi, kualifikasi usaha itu bahkan dibagi
ke dalam tiga kelompok yakni: kecil, menengah dan besar. Menurut Peraturan LPJK
Nomor 11 Tahun 2006 pengelompokkan tersebut didasarkan pada apa yang disebut
grade yaitu tingkat kemampuan atau kompetensi dari si kontraktor, seperti tampak
pada tabel berikut:

Kualifikasi Kelompok Grade Kompetensi Peruntukan

Pengusaha
Kecil K3 1 Rp0 - Rp100 Juta perorangan dan
badan usaha

Pengusaha
Kecil K2 2 Rp100 Juta Rp300 Juta perorangan dan
badan usaha

Pengusaha
Kecil K1 3 Rp300 Juta Rp600 Juta perorangan dan
badan usaha

Pengusaha
Kecil 4 Rp600 Juta Rp1 Miliar perorangan dan
badan usaha

Menengah M 5 Rp1 Miliar Rp10 Miliar Badan usaha

Besar B2 6 Rp1 Miliar Rp25 Miliar Badan usaha

Badan usaha
Besar B1 7 Rp1 Miliar tidak dibatasi
(termasuk asing)

18 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
c. Pemotong, Penyetoran, dan Pelaporan

Pajak penghasilan dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran, dalam
hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak. Apabila pengguna jasa adalah badan
pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau wajib pajak
orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, maka akan
dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran uang muka dan termin.

Sementara itu, apabila pengguna jasa bukan merupakan pemotong PPh, maka
kontraktor selaku pemberi jasa dan penerima penghasilan wajib menyetorkan sendiri
PPh Final yang terutang tersebut. Saat terutangnya adalah pada saat pembayaran.

Pembayaran PPh Final usaha jasa konstruksi dilakukan paling lambat pada
tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh oleh pengguna jasa atau
tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran oleh pemberi jasa.

Sementara, pelaporan PPh Final bagi pengguna dan pemberi jasa harus
dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh
atau bulan diterimanya pembayaran atas jasa konstruksi.

d. Pengecualian

Hal ini berlaku terhadap jasa konstruksi yang sudah memiliki sertifikasi dan
kualifikasi sebagai profesional dalam bidang konstruksi sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nomor 11
Tahun 2006. Jika jasa konstruksi tersebut belum memiliki kualifikasi dan sertifikasi,
maka diatur dalam aturan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.

II.2.5. Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

a. Pengertian

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen,
kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan
industri, terutang Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final.

19 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
b. Tarif

Besaran tarif yang dikenakan atas penghasilan tersebut adalah 10% dari jumlah
bruto nilai persewaan, baik yang menyewakan wajib pajak orang pribadi maupun wajib
pajak badan.

Definisi dari jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang
dibayarkan oleh penyewa dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah
dan/atau bangunan termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas
lainnya, dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun
yang disatukan.

c. Pemotong, Penyetoran, dan Pelaporan

Pemotong PPh Pasal 4 ayat 2 atas penghasilan yang diterima dari persewaan
tanah dan/atau bangunan adalah sebagai berikut:

Apabila penyewa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), kerjasama operasi, perwakilian
perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak, maka PPh yang terutang wajib dipotong oleh penyewa. Kemudian,
penyewa wajib memberikan bukti potong kepada yang menyewakan atau yang
menerima penghasilan. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan subjek
pajak penghasilan selain yang disebutkan di atas, maka PPh yang terutang wajib
dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.

Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan terutang


pada saat pembayaran atau terutangnya sewa tergantung peristiwa mana lebih dahulu
terjadi. Dalam hal PPh terutang harus dilunasi melalui pemotongan oleh penyewa,
maka penyetoran dapat dilakukan ke bank persepsi dan Kantor Pos selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya
sewa dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

Untuk pelaporan pemotongan dan penyetorannya dilakukan ke Kantor


Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP) selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan

20 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
pembayaran atau terutangnya sewa dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4
ayat (2).

Dalam hal PPh terutang harus disetor sendiri oleh yang menyewakan, maka
yang menyewakan wajib menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor
Pos selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

II.2.6. Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

a. Penjelasan

Penghasilan yang diterima dari transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan merupakan objek pajak penghasilan (PPh)
Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final. Definisi dari pengalihan atas tanah dan/atau
bangunan dibagi sebagai berikut :

1. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,


penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain
selain Pemerintah;

2. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain yang
disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus;

3. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain


kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
yang memerlukan persyaratan khusus.

Yang dimaksud dengan pembangunan untuk kepentingan umum yang


memerlukan persyaratan khusus adalah pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah di atas tanah yang pembebasannya dilakukan oleh pemerintah
yang lokasinya tidak dapat dipindahkan ke tempat lain.
Misalnya untuk kepentingan seperti: jalan umum, saluran pembuangan air,
waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan
laut/ sungai, bandar udara, fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul

21 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
penanggulangan banjir, lahar dan bencana lainnya, serta tempat pembuangan
sampah dan fasilitas TNI.
Namun, atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sesuai definisi
tersebut dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final.

Dengan demikian, atas segala kegiatan yang menyebabkan berpindahnya hak


atas tanah dan/atau bangunan dari satu pihak ke pihak lain akan dikenakan pajak
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).

b. Tarif

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 tentang Pajak


Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan,
dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta
Perubahannya, tarif PPh final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
adalah sebagai berikut:

0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah,


badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau
badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;

1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh wajib
pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau
bangunan; atau

2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

c. Pemungut, Penyetoran, dan Pelaporan

Berikut adalah pemungut PPh atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan :

22 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
1. Untuk Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain
selain Pemerintah;
Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar sendiri PPh
yang terutang dengan menggunakan SSP ke bank persepsi atau Kantor Pos
dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditanda tangani oleh
pejabat yang berwenang.
Maksud pejabat yang berwenang adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akta
Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Saat terutang adalah saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk usaha pokok wajib
pajak adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Sementara untuk
usaha pokok wajib pajak yang bukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan adalah sebelum akta, keputusan, kesepakatan atau risalah lelang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Pada saat membayar PPh atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
ini, di SSP wajib dicantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dari Orang Pribadi atau badan yang bersangkutan.
Wajib pajak orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran sendiri
PPh ini wajib menyampaikan SPT Masa paling lama tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan atau diterimanya pembayaran.
2. Untuk penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain
yang disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan,
termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan
persyaratan khusus ;
Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini dipungut PPh oleh
bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyetujui tukar-menukar.

23 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Bendaharawan atau pejabat wajib menyetor PPh yang telah dipungut ke bank
persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum melakukan pembayaran kepada
orang pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar-
menukar dilaksanakan.
Saat terutang adalah sebelum pembayaran atau sebelum tukar/menukar
dilaksanakan.
Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan SSP atas nama orang
pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-
menukar. Penyampaian SPT Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya
setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau
diterimanya pembayaran.
d. Pengecualian

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh Final atas


penghasilan dari pengalihan ha katas tanah dan/atau bangunan adalah:

1. Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang


melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan denga jumlah
bruto pengalihan kurang dari Rp60 juta dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah;
2. Orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
3. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
kepada badan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
4. Pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;

24 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
5. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
dalam rangka penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha yang telah
ditetapkan Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
6. Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa
bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah,
bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik Negara berupa tanah
dan/atau bangunan; atau
7. Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.

II.2.7. Transaksi Penjualan Saham


a. Pengertian
Objek PPh yang bersifat final adalah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursaefek.
1) Bukan Saham Pendiri
2) Saham Pendiri
Pengertian Pendiri adalah Orang Pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam
Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana (initial
public offering) menjadi efektif.
Termasuk dalam pengertian pendiri adalah Orang Pribadi atau badan yang
menerima pengalihan saham dari pendiri karena:
a) warisan
b) hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat 3 huruf a angka 2 UU No. 7
Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 10
Tahun 1994;
c) cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan
tersebut.
Pengertian saham pendiri adalah :
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang
dikeluarkan setelah penawaran umum perdana (initial public offering);
b. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.

25 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Tidak termasuk dalam pengertian saham pendiri adalah:
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam
bentuk saham;
b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (initial
public offering) yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih
dahulu (right issue), waran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya;
c. saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana
Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari
transaksi penjualan saham di bursa adalah:
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/ 1997.

b. Tarif
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan sebesar
0,1 % dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham;
b. Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan dan bersifat final
sebesar 0,5% dari nilai saham;
Besarnya nilai saham pendiri adalah:
a. nilai saham pada saat penutupan bursa di akhirtahun 1996, apabila saham telah
diperdagangkan di bursa efek dalam tahun 1996 atau sebelumnya;
b. nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana (initial public
offering), apabila saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek pada atau
setelah 1 Januari 1997.

0,1 % x Nilai transaksi penjualan


saham
PPh Pasal 4 ayat (2) atas Transaksi
tambahan 0,5% x nilai saham
Penjualan Saham di Bursa Efek
perusahaan pada saat penutupan bursa
di akhir tahun 1996; atau

26 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
tambahan 0,5% x nilai saham pada
saat penawaran umum perdana dalam
hal saham perusahaan diperdagangkan
di bursa efek setelah 1 Januari 1997

c. Pemotong
a. Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan dengan cara pemotongan oleh
penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan
transaksi penjualan saham.
b. Tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% dikenakan terhadap pemilik saham
pendiri. Penyetoran tambahan Pajak Penghasilan dilakukan oleh emiten atas
nama pemilik saham pendiri ke bank persepsi atau Kantor Pos Giro selambat-
lambatnya:
6 bulan setelah setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
1997 (tanggal 29 Mei 1997); apabila saham perusahaan telah diperdagangkan
di bursa efek sebelum tanggal tersebut;
1 bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa efek, apabila saham
perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada saat atau setelah
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 ditetapkan (tanggal 29 Mei 1997)
c. Tambahan Pajak Penghasilan tidak boleh diperhitungkan sebagai biaya emiten
d. Pengecualian
Tidak termasuk objek pajak adalah Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara
nilai pasar saham dan nilai nominal saham.
e. Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan
a. Penyelenggara bursa efek wajib memungut Pajak Penghasilan yang terutang
untuk setiap transaksi penjualan saham.
b. Penyelenggara bursa efek wajib menyetor seluruh pajak yang dipungut sekali
sebulan kepada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak
c. Penyelenggara bursa efek wajib menyampaikan laporan pemungutan dan
penyetoran Pajak Penghasilan kepada Direktur Jenderal Pajak

27 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
d. Tetapi apabila melihat PMK no. 80/PMK.03/2010 untuk objek PPh pasal 4 (2),
saat pembayaran adalah paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan untuk
pelaporan adalah paling lama tanggal 15 bulan berikutnya.

II.2.8. Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
a. Pengertian
1. Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
2. Subjek PPh yang bersifat final adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib
Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan
dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
3. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha
dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan:
Dalam hal WP baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama sebelum PP
Nomor 46 Tahun 2013 berlaku, dasar Peredaran Bruto adalah akumulasi
peredaran bruto dari bulan berdiri s.d. bulan sebelum PP Nomor 46 Tahun
2013 berlaku, yang disetahunkan.
Dalam hal WP baru terdaftar setelah PP Nomor 46 Tahun 2013 berlaku, dasar
peredaran bruto adalah peredaran bruto bulan pertama disetahunkan.
4. Penentuan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) adalah berdasarkan peredaran bruto dari usaha
seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
1. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; meliputi:
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri atas
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan
aktuaris;
pemain music, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
perawan/peragawati, pemain drama, dan penari;

28 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
olahragawan
pebasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
pengarang, peneliti, dan penerjemah
agen iklan
pengawas atau pengelola proyek
perantara
petugas penjaja barang dagangan
agen asuransi dan
distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
3. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
tersendiri; dan
4. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh atas penghasilan dari usaha yang
diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah:
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013; Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013;
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013.

b. Tarif
1. Tarif PPh yang bersifat final atas penghasilan Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu adalah 1% (satu persen) dikalikan dengan dasar
pengenaan pajak berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap
tempat kegiatan usaha.
2. PPh Terutang= 1% x jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat
kegiatan usaha.
3. Pengenaan PPh didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 tahun dan
tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan
4.

29 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Jika Peredaran bruto kumulatif WP pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp
4,8 miliar dalam suatu tahun pajak, WP tetap dikenai tarif PPh final 1%
sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan
Jika Peredaran bruto WP telah melebihi jumlah Rp 4,8 miliar dalam suatu
tahun pajak, penghasilan yang diterima atau diperoleh WP pada Tahun Pajak
berikutnya dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan UU PPh.
c. Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pembebasan
1. Penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final ke kantor pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atau sarana administrasi lain yang disamakan yang telah mendapat validasi
dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh final ini wajib menyampaikan
SPT Masa PPh paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.
3. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
dikenakanPPh final ini yang berdasarkan ketentuan UU PPh dan peraturan
pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang
tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan
PPh oleh pihak lain.
4. Pembebasan ini diberikan melalui Surat Keterangan bebas (SKB)
5. Pembebasan PPh yang bersifat final dapat diberikan kepada Wajib Pajak dari
pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final dengan syarat:
1) Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan;
2) Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib
Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan
Surat Keterangan Bebas;
3) Menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak yang
menyatakan bahwa peredaran usaha yang diterima atau diperoleh termasuk
dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai
lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan

30 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang
terdaftar;
4) menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat
Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi
Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya;
5) ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan oleh bukan
Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus

d. Pengecualian
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan yang dikenai PPh
yang bersifat final:
1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya:
Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik
yang menetap maupun tidak menetap; dan
Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukan bagi tempat usaha atau berjualan
2. Wajib Pajak badan:
Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

II.2.9. Bunga Simpanan yang Dibayarkan Koperasi kepada Anggota Koperasi


Orang Pribadi
a. Penjelasan
1. Objek PPh yang bersifat final adalah bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi.
Penghasilan berupa bunga simpanan adalah imbalan berupa bunga simpanan
yang diterima anggota koperasi pribadi dari dana yang disimpan anggota
koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi
anggota.
2. Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima
anggota koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha.

31 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi adalah:
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/ 2010

b. Tarif
Besarnya tarif pemotongan PPh yang bersifat final adalah:
0% (nol persen) untuk bunga simpanan sampai dengan
Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh
ribu rupiah) per bulan.
10% (sepuluh persen) untuk bunga simpanan lebih dari
Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh
ribu rupiah) per bulan.

c. Pemotong Pajak
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi
orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam {asal 1 pada saat pembayaran.
d. Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan
1. Pajak Penghasilan yang telah dipotong koperasi tersebut wajib disetor ke Kas
Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menkeu, paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
2. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak.
3. Koperasi wajib melakukan pelaporan tentang pemotongan dan penyetoran
Pajak Penghasilan dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari setelah masa
pajak berakhir.
4. Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja

32 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
berikutnya. Pelaporan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).

Saat Terutang : Pada saat pembayaran


Saat Penyetoran : Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
Saat Pelaporan : Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya

II.2.10. Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri
a. Penjelasan
PPh Final atas Dividen yang diterima Orang Pribadi
a. Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Orang Pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar
10% dari jumlah bruto dan bersifat final.
b. Dividen sebagaimana dimaksud adalah dividen, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh atas dividen yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah:
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/ 2010;
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2012.

b. Tarif
Tarif PPh yang bersifat final adalah 10% dari jumlah bruto dividen yang diterima.
PPh atas Dividen yang Diterima atau 10% dari jumlah bruto dividen yang
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi diterima
Dalam Negeri

c. Pemotong
1. Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa dividen dipotong oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.

33 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
2. Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat
(2) kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang dipotong Pajak
Penghasilan setiap melakukan pemotongan

d. Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan


1. Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
wajib memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat
(2) kepada WP orang pribadi dalam negeri yang dipotong Pajak Penghasilan
setiap melakukan pemotongan.
2. Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
wajib menyetor PPh dimaksud ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau bank
yang ditunjuk Menkeu, dengan tanggal jatuh tempo penyetoran paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal
tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Penyetoran PPh tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak.
3. Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen
wajib menyampaikan laporan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tentang pemotongan dan
penyetoran PPh dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir. Dalam hal batas akhir penyampaian laporan bertepatan dengan hari
libur termasuk Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya. Penyampaian laporan dilakukan dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).

Saat Terutang : Pada saat pembayaran


Saat Penyetoran : Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
Saat Pelaporan : Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya

34 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
II.3. Kewajiban Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2)

Setiap Wajib Pajak Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), baik itu berupa Wajib Pajak
Badan, maupun Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri tertentu yang ditunjuk
sebagai Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) wajib melaporkan pemotongannya
menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2). Bentuk dan ukuran serta ketentuan
yang terkait SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) sudah ditetapkan sesuai dengan contoh
yang terdapat di dalam Lampiran PER-53/PJ/2009 Tentang Bentuk Formulir SPT
Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2), SPT Masa PPh Pasal 15, Pasal 22,
Pasal 23 dan/ atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan atau Pemungutannya.

Untuk menghindari terkena sanksi administrasi berupa denda keterlambatan


pelaporan, Pemotong Pajak harus memperhatikan batas waktu pelaporan SPT Masa
PPh Pasal 4 ayat (2), yakni paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah
terutangnya Pasal 4 ayat (2).

Kelengkapan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) juga harus diperhatikan, karena
ketika Wajib Pajak Pemotong lupa atau tidak teliti untuk membubuhkan tanda tangan
dan melampirkan dokumen yang diperlukan, akan berakibat SPT tersebut dianggap
tidak disampaikan. Pemotong Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) selain dapat memilih cara
penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) secara langsung, melalui pos, mereka
juga dapat menggunakan cara lain.Cara lain yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak dalam menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) selain melalui jasa
ekspedisi/ kurir adalah melalui e-filling.

Terhadap SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini, wajib pajak diwajibkan untuk:

1. Mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas;


2. Mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, Angka
Arab, satuan mata uang Rupiah;
3. Menandatangani serta menyampaikannya ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar
atau dikukuhkan ata tempat lain yang ditetapkan oleh Ditjen Pajak.

Setelah Pemotong Pajak menyetorkan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2)
yang telah dipotongnya, Pemotong Pajak wajib melaporkannya ke KPP tempatnya
terdaftar. Sarana pelaporan yang dipergunakan adalah Surat Pemberitahuan Masa

35 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
PPh Pasal 4 ayat (2) Final dan dilengkapi dengan Bukti Potongnya. Batas waktu
penyampaian SPT nya adalah tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak. Jika
tanggal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau
hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur
nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan umum yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah.

Contoh:
Untuk masa pajak Agustus 2014, batas akhir pelaporan SPT Masa PPh Final 4
ayat (2) jatuh pada 20 September 2014. Karena tanggal 20 September 2014 jatuh
pada hari Sabtu, maka batas pelaporannya jatuh di hari Senin tanggal 22
September 2014.

36 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Contoh SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)

37 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Daftar Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat (2)

II.4. Bukti Potong

Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi, penghasilan berupa hadiah undian, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan, penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura, penghasilan
dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan, dan
penghasilan tertentu lainnya. yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

38 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Pemerintah. Pemotong Pajak wajib menerbitkan dan memberikan Bukti Pemotongan
Pajak terhadap Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh penghasilan tertentu
yang merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2). Bentuk Bukti Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) berbeda-beda tergantung jenis Penghasilannya
antara lain:

1. Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Hadiah Undian
2. Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Bunga Deposito/Tabungan,
Diskonto SBI, Jasa Giro
3. Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Penghasilan Dari Penjualan
Saham Yang Diperdagangkan Di Bursa Efek
4. Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Penghasilan Dari
Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan
5. Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Penghasilan
Dari Usaha Jasa Konstruksi
6. Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Bunga Dan/Atau Diskonto
Obligasi Dan Surat Berharga Negara (SBN)
7. Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Bunga Simpanan Yang
Dibayarkan Oleh Koperasi Kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi
8. Bukti Pemungutan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Penghasilan Dari Transaksi
Derivatif Berupa Kontrak Berjangka Yang Diperdagangkan Di Bursa
9. Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) Atas Dividen Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

39 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Contoh Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat (2)

40 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
II.5. Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat (2)

II.5.1. Perhitungan PPh atas Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto SBI

II.5.1.1. Bunga Deposito

1. Bayu Pradana menyimpan uang di Bank TBC dalam bentuk deposito sebesar
Rp100.000.000 dengan tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito tersebut, Bayu
Pradana menerima bunga setiap bulan sebesar Rp1.000.000. Berapa besaran pajak
yang harus dibayarkan atas bunga deposito Bayu Pradana?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong Bank TBC adalah 20% x Rp1.000.000 = Rp200.000

Pajak deposito per tahun = Rp200.000 x 12 bulan = Rp2.400.000

2. Rako menyimpan uang di Bank Sendiri Berani dalam bentuk deposito sebesar
Rp7.000.000 dengan tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito tersebut, Rako
merima bunga setiap bulan sebesar Rp70.000. Berapa besaran pajak yang harus
dibayarkan atas bunga deposito Rako?

Jawab:

Atas bunga Rp70.000 tidak dipotong PPh Pasal 4 (2) karena nilai deposito kurang dari
Rp7.500.000.

II.5.1.2. Tabungan

Norry memiliki tabungan di Bank Mandiri dengan saldo rata-rata bulan Juni
2017 adalah Rp450.000.000. Bunga yang diberikan oleh Bank Mandiri adalah 9% per
tahun. Bunga yang diterima Norry pada bulan Juni 2017 adalah Rp3.375.000.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut ?

Jawab:

41 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Bank Mandiri pada Juni 2017 adalah 20% x
Rp3.375.000 = Rp675.000. Pajak tabungan per tahun = Rp675.000 x 12 bulan =
Rp8.100.000.

II.5.1.3. Diskonto SBI

Dana Pensiun Solusi Abadi yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari Bank Indonesia dengan
nominal Rp1.000.000.000 dengan memperoleh diskonto sebesar Rp20.000.000. Pada
tanggal 1 April 2017, Dana Pensiun Solusi Abadi menjual SBI tersebut kepada PT
Rakyat Jelata dengan harga Rp980.000.000 dan dibayarkan pada saat yang sama.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi tersebut ?

Jawab:

Besarnya diskonto SBI yang diperoleh PT Rakyat Jelata adalah Rp1.000.000.000


Rp980.000.000 = Rp20.000.000.

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Dana Pensiun Solusi Abadi adalah 20% x
Rp20.000.000 = Rp4.000.000

II.5.2. Perhitungan PPh atas Bunga Obligasi dan Bunga Simpanan Koperasi

II.5.2.1. Bunga Obligasi

Pada tanggal 1 Juli 2011, PT Jogja Army (emiten) menerbitkan obligasi dengan
kupon (interest bearing bond) dengan nilai nominal Rp10.000.000 per lembar. Jangka
waktu Obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2016). Bunga tetap sebesar 16%
per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember. Penerbitan
perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

PT Cayaha Bantul (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar


Obligasi dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) dengan harga Rp9.000.000
per lembar. Berapa besaran pajak yang harus dibayarkan atas bunga obligasi
tersebut?

Jawab:

42 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
PPh Pasal 4 ayat 2 yang harus dipotong oleh PT Jogja Army pada saat jatuh tempo
bunga tanggal 31 Desember 2011 adalah sebagai berikut:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000) x 10 lembar = Rp8.000.000


PPh Pasal 4 ayat 2 = 15% x Rp8.000.000 = Rp1.200.000

Apabila dalam contoh di atas investor atau pembeli obligasi adalah wajib pajak
reksadana maka penghitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga yang diperoleh pada
saat jatuh tempo tanggal 31 Desember 2011 adalah sebagai berikut:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000) x 10 lembar = Rp8.000.000


PPh Pasal 4 ayat 2 = 5% x Rp8.000.000 = Rp400.000

II.5.2.2. Simpanan Koperasi

Koperasi Mandiri Sejahtera membagikan bunga simpanan koperasi kepada


anggotanya setiap bulan yang dibayarkan setiap tanggal 25, anggota koperasi yang
memperoleh bunga simpanan antara lain Rahmawati dan Koperasi Usaha Sukses
(bukan merupakan koperasi simpan pinjam). Berdasarkan data yang ada Rahmawati
mendapatkan bunga simpanan sebagai berikut:

Januari 2016 Rp350.000

Februari 2016 Rp200.000

Maret 2016 Rp500.000

April 2016 Rp240.000

Mei 2016 Rp250.000

Juni 2016 Rp300.000

Sedangkan Koperasi Usaha Sukses mendapatkan bunga simpanan sebagai berikut:

Januari 2016 Rp1.000.000

43 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Februari 2016 Rp600.000

Maret 2016 Rp1.300.000

April 2016 Rp650.000

Mei 2016 Rp700.000

Juni 2016 Rp850.000

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga
simpanan tersebut?

Jawab:

Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga simpanan koperasi yang dibayarkan kepada
orang pribadi adalah sebagai berikut:

0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000 per


bulan; atau
10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih
dari Rp240.000 per bulan.

Penghitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga simpanan koperasi yang diperoleh
Rahmawati adalah:

Januari 2016 10% x Rp350.000 = Rp35.000

Februari 2016 0% x Rp200.000 = Rp0

Maret 2016 10% x Rp500.000 = Rp50.000

April 2016 0% x Rp240.000 = Rp0

Mei 2016 10% x Rp250.000 = Rp25.000

Juni 2016 10% x Rp300.000 = Rp30.000

44 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Sedangkan atas penghasilan yang diterima oleh Koperasi Usaha Sukses dari
pembagian bunga simpanan koperasi tersebut tidak termasuk yang dikenai PPh
yang bersifat final, tetapi termasuk dalam pengertian bunga yang wajib dipotong PPh
Pasal 23.

II.5.3. Pajak atas Hadiah Undian dan Penghargaan

PT Satu Nusa menyelenggarakan penarikan hadiah undian atas kupon-kupon


yang telah dikirimkan oleh para pelanggannya, dengan hadiah senilai Rp100.000.000.
Dalam penarikan undian tersebut nama Bonita muncul sebagai pemenang hadiah
undian. Bagaimana penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 atas hadiah
undian yang harus dipotong oleh PT Satu Nusa?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT Satu Nusa adalah 25% x Rp100.000.000 =
Rp25.000.000.

II.5.4. Pajak atas Usaha Jasa Konstruksi

PT Pembangunan Inti Abadi merupakan perusahaan yang mempunyai Sertifikat


Badan Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) sebagai Badan Usaha Jasa Pelaksanaan
Konstruksi Bidang Sipil Sub Bidang Bangunan bangunan non perumahan lainnya
dengan kualifikasi besar gred 6 (Jadi perusahaan tersebut sudah memiliki sertifikat).

PT Pembangunan Inti Abadi pada tahun 2013 ditunjuk oleh CV Lukito selaku pemilik
Rumah Sakit Sentosa untuk membangun gedung baru yang akan digunakan sebagai
unit kesehatan ibu dan anak dengan nilai kontrak sebesar Rp25.000.000.000 tidak
termasukoPPN.

PT Pembangunan Inti Abadi menerima uang muka kontrak pada saat dimulai
pembangunan yaitu pada tanggal 15 Juli 2013 sebesar Rp5.000.000.000. Termin
pembayaran akan dilakukan sesuai dengan tingkat penyelesaian, yaitu:

45 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Termin pertama sebesar Rp5.000.000.000 setelah pekerjaan selesai 25%;
Termin kedua sebesar Rp5.000.000.000 setelah pekerjaan selesai 50%;
Termin ketiga sebesar Rp5.000.000.000 setelah pekerjaan selesai 75%;

Sisa Rp5.000.000.000 akan dibayarkan setelah pekerjaan dan masa


pemeliharaan selesai. Pembangunan Rumah Sakit Sentosa harus diselesaikan oleh
PT Pembangunan Inti Abadi paling lama tanggal 31 Desember 2015 dengan masa
pemeliharaanoselamao6obulan.

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh yang dilakukan oleh CV


Lukito terkait pembayaran uang muka kontrak dan termin pertama apabila dilakukan
pada tanggal 31 Desember 2013?

Jawab:

Pembayaran uang muka kontrak:


Besarnya pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi adalah 3% x Rp5.000.000.000 = Rp150.000.000.

Pembayaran termin pertama:


Besarnya pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi adalah 3% x Rp5.000.000.000 = Rp150.000.000.

II.5.5. Pajak atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Bani menyewa rumah milik Damas Wibowo selama 5 tahun dari tahun
Desember 2011 sampai dengan Desember 2015 sebesar Rp350.000.000 yang
dibayar pada awal sewa. Atas pembayaran sewa tersebut Damas Wibowo telah
membayar Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 atas penghasilan berupa sewa
tanah dan/atau bangunan sebesar Rp35.000.000.

Dalam perjanjian dimasukkan syarat bahwa Bani dapat menyewakan kembali


rumah yang disewanya tersebut kepada orang lain meskipun tanggungjawabnya tetap
beradaodioBani.

Pada bulan Juli 2013 Bani, tanpa membatalkan sewa dengan Damas Wibowo,

46 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
menyewakan rumah tersebut kepada adik kandungnya Bambang yang berprofesi
sebagai pedagang kue sampai dengan Desember 2015 sebesar Rp110.000.000,00
yang dibayar pada tanggal 3 Juli 2013.

Bagaimanakah kewajiban PPh Pasal 4 ayat 2 terkait transaksi sewa antara Bani dan
Bambang?

Jawab:

Mengingat Bambang bukan merupakan pemotong pajak, maka Bani wajib


menyetorkan sendiri PPh yang terutang tersebut ke KPP tempat dia terdaftar.
Besarnya PPh Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final yang wajib disetorkan adalah :

10% x Rp110.000.000 = Rp11.000.000.

II.5.6. Pajak atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Pada tanggal 12 Agustus 2015, Dandung membeli 1 unit rumah dari developer PT
Griya Persada seharga Rp800.000.000 secara tunai. Antara PT Griya Persada dengan
Dandung belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) karena sertifikat
rumah tersebut masih dalam proses pemecahan sehingga dilakukan terlebih dahulu
dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara PT Griya Persada sebagai
penjual dan Dandung sebagai pembeli. Sertifikat rumah tersebut masih atas nama PT
Griya Persada. Sebelum dilakukan AJB antara PT Griya Persada dengan Dandung,
rumah tersebut oleh Dandung dijual kepada Thomas DW, sehingga akibat transaksi
tersebut nama penjual dan pembeli yang tercantum dalam PPJB rumah tersebut
menjadi PT Griya Persada sebagai penjual dan Thomas DW sebagai pembeli.

Bagaimana penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 atas


pengalihan rumah tersebut?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT Griya Persada dalam kasus ini yaitu
sebesar 2,5% x Rp800.000.000 =Rp20.000.000.

47 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
II.5.7. Perhitungan PPh atas Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya

Amanda May menjual 1000 lembar saham dengan harga Rp3.000 per lembar.
Berapa pajak yang harus dikenakan atas transaksi penjualan saham tersebut?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 atas penjualan saham adalah 0,1% x Rp3.000 x 1000 = Rp3.000.

II.5.8. Pajak atas Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

CV YNWA adalah perusahaan yang mempunyai kegiatan usaha dalam bidang


Penjualan Alat dan Mesin Pertanian. Peredaran Bruto CV YNWA dalam Tahun Pajak
2014 sebesar Rp4.750.000.000. Adapun Peredaran Bruto CV YNWA dalam Tahun
Pajak 2015 sebesar Rp5.455.532.000 dengan rincian sebagai berikut :

Bulan Peredaran Bruto (Rp)

Januari 2015 435.652.000

Februari 2015 468.560.000

Maret 2015 449.870.000

April 2015 435.800.000

Mei 2015 475.600.000

Juni 2015 468.750.000

Juli 2015 495.000.000

Agustus 2015 436.520.000

September 2015 435.200.000

Oktober 2015 463.500.000

November 2015 412.560.000

Desember 2015 478.520.000

Bagaimana penghitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas penghasilan dari usaha yang
diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu?

48 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Jawab:

Karena Peredaran Bruto CV YNWA dalam Tahun Pajak 2014 sebesar


Rp4.750.000.000.000 atau tidak melebihi Rp4.800.000.000, maka Perhitungan PPh
Badan untuk tahun pajak 2015 adalah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013.

Sehingga Pajak Penghasilan yang harus disetor CV YNWA untuk Tahun Pajak 2015
sebagai berikut:

Bulan Peredaran Bruto Tarif Pajak PPh Pasal 4 ayat 2

Januari 435.652.000 1% 4.356.520

Februari 468.560.000 1% 4.685.600

Maret 449.870.000 1% 4.498.700

April 435.800.000 1% 4.358.000

Mei 475.600.000 1% 4.756.000

Juni 468.750.000 1% 4.687.500

Juli 495.000.000 1% 4.950.000

Agustus 436.520.000 1% 4.365.200

September 435.200.000 1% 4.352.000

Oktober 463.500.000 1% 4.635.000

November 412.560.000 1% 4.125.600

Desember 478.520.000 1% 4.785.200

Jumlah 5.455.532.000 1% 54.555.320

49 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
II.5.9. Perhitungan PPh atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri

Arul Andriyanto, merupakan pemegang saham PT Delta Porong Utama dengan


kepemilikan sebesar 95%. Sedangkan sisa saham PT Delta Porong Utama sebesar
5% dimiliki oleh Nella Edward. Jumlah saham PT Delta Porong Utama adalah sebesar
1.000.000 lembar saham. PT Delta Porong Utama akan melakukan pembagian
dividen interim tahun buku 2013 dengan mekanisme sebagai berikut:

dividen interim akan didistribusikan pada tanggal 16 September 2013


berdasarkan komposisi pemegang saham pada tanggal 1 Agustus 2013;
komposisi pemegang saham PT Delta Porong Utama pada tanggal 1 Agustus
2013 adalah 95% dimiliki oleh Arul Andriyanto dan 5% dimiliki oleh Betty
Edward;
dividen interim yang akan dibagikan adalah sebesar Rp50,00 per lembar
saham.

Bagaimana kewajiban pemotongan dan pemungutan PPh atas transaksi pembagian


dividen interim tersebut?
Jawab
Atas pembagian dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dipotong PPh Pasal 4
ayat (2) sebesar 10% dari jumlah bruto oleh pihak yang membayarkan.

Besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) yang wajib dipotong oleh PT Delta Porong Utama
adalah:
atas dividen interim yang diterima atau diperoleh Arul Andriyanto:
10% x {(95% x 1.000.000) x Rp50,00} = Rp4.750.000,00

atas dividen interim yang diterima atau diperoleh Betty Edward:


10% x {(5% x 1.000.000) x Rp50,00} = Rp250.000,00

Kewajiban PT Delta Porong Utama sebagai pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

1. melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas dividen sebesar


Rp4.750.000,00 dan Rp250.000,00 serta memberikan Bukti Pemotongan PPh
Pasal 4 ayat (2) kepada Arul Andriyanto dan Betty Edward;
2. melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat tanggal 10
September 2013;
3. melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Agustus 2013 paling lambat
tanggal 20 September 2013.

50 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
BAB III

PENUTUP

III. 1. Kesimpulan

PPh Pasal 4 ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2) atau disebut juga PPh
final adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi
atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya
bersifat final. Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 ini berbeda-beda untuk setiap jenis
penghasilannya.

PPh Pasal 4 ayat 2 adalah pajak atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, penghasilan tertentu
lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bertindak
sebagai pemotong adalah koperasi, penyelenggara kegiatan, otoritas bursa, dan
bendaharawan. Pihak yang dipotong antara lain, penerima bunga deposito dan
tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, penerima hadiah
undian, penjual saham dan sekuritas lainnya, dan pemilik properti berupa tanah
dan/atau bangunan.

51 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2008. (2008, September 23).


Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. (2007, Juli 17). Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomot 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Perubahan atas Peraturan


Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penhasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan atas Bunga
Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi Kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan


Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari
Usaha Jasa Konstruksi.

Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2013 Tentang Perubahan Peraturan


Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
Berupa Bunga Obligasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 Tentang Perubahan Peraturan


Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito
dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas


Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, dan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan.

52 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tatacara Pemotongan,
Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha Jasa Konstruksi Menteri Keuangan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara


Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan
yang Dibayarkan oleh Koperasi Kepada Anggota Koperasi Pribadi.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.010/2016 Tentang Perubahan Atas


Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 Tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan atas Bungan Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 Tentang Perubahan


Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 Tentang Pelaksanaan
Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Persewaan
Tanah dan/atau Bangunan.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996 tentang Penunjukan


Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong PPh atas
Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./ 2002 tentang Tata Cara
Pemotongan dan Pembayaran, serta Pelaporan Pajak Penghasilan dari Persewaan
Tanah dan atau Bangunan.

53 | P A J A K P E N G H A S I L A N ( P P h ) P A S A L 4 A Y A T 2

Anda mungkin juga menyukai