Anda di halaman 1dari 6

Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan secara
terus menerus untuk mendorong terjadinya perubahan yang positif bagi kualitas kehidupan
masyarakat. Tjokroamidjojo (1993) mendefinisikan pembangunan adalah upaya suatu
masyarakat bangsa yang merupakan suatu perubahan sosial yang besar dalam berbagai bidang
kehidupan ke arah masyarakat yang lebih maju dan baik, sesuai dengan pandangan masyarakat
bangsa itu. Selain itu Todaro dalam Bryant dan White (1982) juga mengemukakan bahwa
pembangunan adalah proses multidemensi yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam
struktur sosial, sikap-sikap rakyat dan lembaga-lembaga nasional dan juga akselerasi
pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan absolut.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pembangunan merupakan proses
perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan secara sengaja atas suatu masyarakat atau
sistem sosial yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sehingga terciptanya
suatu keadaan atau dinamika yang lebih baik.

Peran serta masyarakat dalam pembangunan sangat diperlukan karena masyarakat


merupakan objek sekaligus subjek pembangunan. Inkeles dan Smith dalam So-Suwarsono
(1991) juga mengkaji tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting dalam
penopang pembangunan. Menurut mereka pembangunan bukan sekedar masalah pemasokan
modal dan teknologi saja, tetapi di butuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana
material tersebut supaya menjadi produktif. Untuk itu, dibutuhkan apa yang disebut oleh inkeles
sebagai manusia modern. kedua tokoh itu mencoba memberikan ciri-ciri dari manusia yang
dimaksud, yang antara lain meliputi keterbukaan terhadap terhadap pengalaman dan ide baru,
berorientasi pada masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, serta
percaya bahwa manusia bisa menguasai alam.

Terkait dengan pentingnya peran masyarakat dalam proses pembangunan tersebut maka
berkembanglah konsep pembangunan dengan pendekatan yang bersifat bottom up yang
senantiasa mengedepankan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui proses-proses
pemberdayaan masyarakat. Dalam Permendagri no 7 tahun 2007 disebutkan bahwa
pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan
masyarakat untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Secara etimologi pemberdayaan berasal dari kata berdaya yang berarti
kekuatan, berkemampuan, bertenaga (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998:189). Suharto
(2005) memberi definisi mengenai pemberdayaan yaitu pemberdayaan adalah sebuah proses dan
tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada
keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang
berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam memenuhi
kebutuahan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial.

Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek
dari dirinya sendiri, proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan kemampuan
kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan
bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
Oleh sebab itu dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan adanya kepedulian yang diwujudkan
dalam kemitraan dan kebersamaan antara pihak yang sudah maju dengan pihak yang belum
berkembang yang merupakan kelompok atau lapisan masyarakat yang masih tertinggal.

Rubin dalam Sumaryadi (2005: 94-96) mengemukakan beberapa prinsip dasar dari konsep
pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:

1. Pemberdayaan masyarakat selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam


perencanaan maupun pelaksanaan yang dilakukan.
2. Dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, kegiatan pelatihan merupakan
unsur yang tidak bisa dipisahkan dari usaha pembangunan fisik.
3. Dalam implementasinya, usaha pemberdayaan harus dapat memaksimalkan sumber daya,
khususnya dalam hal pembiayaan baik yang berasal dari pemerintah, swasta maupun
sumber-sumber lainnya.
4. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus dapat berfungsi sebagai penghubung antara
kepentingan pemerintah yang bersifat makro dengan kepentingan masyarakat yang
bersifat mikro.

Selain hal tersebut diatas, Sumaryadi (2005) juga menjelaskan beberapa factor yang berpengaruh
terhadap pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam suatu komunitas masyarakat diantaranya
sebagai berikut:

1. Kesediaan suatu komunitas untuk menerima pemberdayaan bergantung pada situasi yang
dihadapinya.
2. Adanya batas pemberdayaan, terutama terkait dengan siklus pemberdayaan yang
membutuhkan waktu relatif lama dimana pada sisi yang lain kemampuan dan motivasi
setiap orang berbeda-beda.
3. Adanya kepercayaan dari para pemimpin komunitas untuk mengembangkan
pemberdayaan dan mengubah persepsi mereka tentang anggota komunitasnya.
4. Pemberdayaan membutuhkan dukungan sumber daya yang besar, baik dari segi
pembiayaan maupun waktu

Program pemberdayaan masyarakat yang dirancang untuk menanggulangi kemiskinan dan


ketidakberdayaan merupakan bagian dari upaya mempercepat proses perubahan kondisi sosial-
ekonomi masyarakat yang masih tertinggal. Sutiyono (2009) dalam penelitiannya yang berjudul
Pemberdayaan Masyarakat Desa Dalam Pelaksanaan Program Desa Wisata Di Daerah Istimewa
Yogyakarta, mengkaji tentang pemberdayaan masyarakat desa dalam pelaksanaan program desa
wisata di wilayah pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa : (1) Pemberdayaan masyarakat desa melibatkan seluruh warga masyarakat,
(2) Upaya konkrit untuk meningkatkan daya dukung adalah memajukan potensi utama desa dan
potensi masyarakat desa, dan (3) Pemberdayaan masyarakat desa memeberikan kontribusi
peningkatan kesejahteraan ekonomi. Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam
penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengindentifikasi Program Bina Desa
yang merupakan program pemberdayaan di Desa Bogak yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Gambar : Pemberdayaan Masyarakat

Respon
Dalam pemberdayaan di suatu komunitas masyarakat, harus disadari bahwa setiap masyarakat
berbeda-beda. Mereka memiliki karakteristik budaya, geografi, sosial, politik, dan demografi
yang unik, sehingga pengalaman pemberdayaan di suatu komunitas masyarakat belum tentu
dapat berjalan di masyarakat yang lain, Respon dalam hal ini dapat digunakan sebagai suatu
indikator untuk mengetahui apakah adanya program pemberdayaan disuatu komunitas
masyarakat benar-benar dibutuhkan, diterima, serta dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut.

Respon berasal dari kata response, yang berarti balasan atau tanggapan (reaction). Dalam
Poewadarminta (1993: 83) respon adalah reaksi baik positif maupun negatif yang diberikan oleh
masyarakat. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa respon akan timbul ketika seorang atau
sekelompok orang terlebih dahulu merasakan kehadiran suatu objek dan dilaksanakan, kemudian
menginterpretasikan objek yang dirasakan tadi. Berarti dalam hal ini respon pada dasarnya
adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan manusia.

Azwar (1988) menyebutkan bahwa respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk dan
mendukung atau menolak. Apabila respon positif maka orang yang bersangkutan cenderung
untuk mendukung objek tersebut, sedangkan respon negatif cenderung untuk menolak objek
tersebut. Selain itu, Azwar (1988) juga mengatakan bahwa individu manusia berperan serta
sebagai pengendali antara stimulus dan respon, sehingga yang menentukan bentuk respon
individu terhadap stimulus adalah stimulus dan faktor individu itu sendiri. Sependapat dengan
hal tersebut, Cruthefield dalam sarwono (1991) juga menyebutkan bahwa terdapat dua jenis yang
mempengaruhi respon, yaitu:

Variabel struktural, yaitu faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik yang berupa
objek atau fenomena tertentu.
Variabel fungsional, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri pengamat, misalnya
kebutuhan suasana hati, pengalaman masa lalu.
Respon masyarakat dalam penelitian ini merupakan tanggapan masyarakat terhadap program
pemberdayaan masyarakat berbasis potensi alam lokal di Desa Bogak . Apakah masyarakat
merespon program tersebut secara positif atau negatif. Masyarakat yang merespon secara positif
yaitu masyarakat yang cenderung mendukung program pemberdayaan masyarakat dengan
berpatisipasi aktif dalam kegiatan program tersebut, sedangkan masyarakat yang merespon
secara negatif yaitu masyarakat yang tidak mendukung atau menerima adanya program
pemberdayaan masyarakat dengan tidak berpatisipasi dalam kegiatan program tersebut.

Partisipasi
Dalam pemberdayaan masyarakat biasanya juga tidak lepas dari konsep Partisipasi, karena
unsur utama dari pemberdayaan masyarakat itu sendiri adalah keterlibatan atau keikutsertaan
masyarakat. Partisipasi berasal dari bahasa inggris yaitu participation, artinya mengambil bagian.
Dalam kamus sosiologi, partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang didalam kelompok sosial
untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri
(Mardikanto 2010). Partisipasi juga diartikan sebagai keikutsertaan seseorang secara sukarela
tanpa dipaksa. Sebagaimana yang dijelaskan Sastropoetro (1988) dalam Lugiarti (2004) bahwa
partisipasi adalah keterlibatan secara spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap
kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan.

Menurut Wibisana (1989) yang dikutip oleh Mardikanto (2010), partisipasi masyarakat
sering diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan dan kebersamaan anggota masyarakat dalam
suatu kegiatan tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak dari gagasan,
perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanan program. Menurutnya, partisipasi secara langsung
berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga dalam kegiatan yang
dilaksanakan. Sedangkan partisipasi tidak langsung berupa keuangan, pemikiran dan material
yang diperlukan. Keterlibatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung tersebut
sudah dapat dianggap sebagai suatu peran serta masyarakat dalam berpartisipasi. Slamet dalam
Mardikanto (2010), menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, sangat ditentukan tiga unsur pokok yaitu adanya kesempatan yang
diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi, adanya kemauan masyarakat untuk
berpartisipasi, dan adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Sementara itu,
Jayadinata (1999) menyebutkan terdapat dua macam partisipasi masyarakat yaitu partisipasi
vertical dan partisipasi horizontal. Pada partisipasi vertikal masyarakat diberi lebih banyak
kesempatan untuk menyumbangkan pendapatnya. Sehingga terjadi interaksi dengan cara dari
bawah ke atas (bottom up). Pada partisipasi horizontal masyarakat berinteraksi secara horizontal
dalam hal berinteraksi dengan berbagai kelompok lain, mengambil pengalaman dari kelompok
lain, serta mempengaruhi agar persentase partisipasi masyarakat menjadi lebih besar.

Partisipasi masyarakat adalah hal yang sangat penting di dalam keseluruhan proses
pemberdayaan. Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan selayaknya mencakup
keseluruhan proses mulai dari awal sampai tahap akhir. Cohen dan Uphoff (1977) dalam Girsang
(2011) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap pengambilan keputusan atau perencanaan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan


masyarakat dalam rapat-rapat.
2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam pemberdayaan, sebab inti
dari pemberdayaan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk
sumbangan materi, dan bentuk keterlibatan sebagai anggota.
3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi
masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Semakin besar manfaat
program yang dirasakan, berarti program tersebut berhasil mengenai sasaran.
4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap
sebagai umpan balik yang dapat memberi masukkan demi perbaikan pelaksanaan proyek
selanjutnya.

Konsep partisipasi tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk mengindentifikasi partisipasi
masyarakat dalam kegiatan program pemberdayaan masyarakat di Desa Bogak . Dalam
penelitian ini partisipasi yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat di Desa Bogak dalam
kegiatan program pemberdayaan yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap
evaluasi program tersebut. Penelitian yang terkait dengan partisipasi masyarakat terhadap
program pemberdayaan pernah dilakukan oleh Angga Harahap pada tahun 2010 yang merupakan
hasil skripsinya yang berjudul Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Nasional (PNPM) Mandiri Perdesaan (Studi Deskriftif di Kelurahan Aek Simotung,
Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut diketahui bahwa
partisipasi masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Perdesaan baik pada tahap sosialisasi dan perencanaan maupun tahap pelaksanaan hingga
pengawasannya cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari keikutsertaan dan peran aktif
masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan. Namun tidak semua masyarakat
berpartisipasi, hal ini karena ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap pelaku kegiatan di
perdesaan.

Selain itu ada juga penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yoni Yulianti pada tahun 2012 yang
berjudul Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Di Kota Solok. Penelitian tersebut mengkaji bentuk
dan tingkat partisipasi masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam kegiatan PNPM Mandiri
Perkotaan di Kota Solok. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam
program tersebut diberikan dalam bentuk tenaga dan sumbangan pikiran berupa usulan, saran
maupun kritik. Namun tingkat partisipasi masyarakat tersebut termasuk kategori rendah.

Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah
pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya
pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2004). Masyarakat yang hidup dipermukiman
pesisir memiliki karakteristik secara sosial ekonomis sangat terkait dengan sumber
perekonomian dari wilayah laut. Demikian pula jenis mata pencaharian yang memanfaatkan
sumber daya alam atau jasa-jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir seperti nelayan, petani
ikan, dan pemilik atau pekerja industri maritim. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
Nikijuluw (2001) bahwa yang dimaksud masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang tinggal
di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada
pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir; mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan,
pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor
sarana produksi perikanan.

Masyarakat pesisir yang di dominasi oleh usaha perikanan pada umumnya masih berada pada
garis kemiskinan, mereka tidak mempunyai pilihan mata pencaharian, memiliki tingkat
pendidikan yang rendah, tidak mengetahui dan menyadari kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan (Lewaherilla, 2002). Menurut Nikijuluw (2001) kemiskinan sebagai indikator
ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan oleh tiga hal pokok, yaitu kemiskinan
struktural, superstruktural, dan kultural.

1. Kemiskinan struktural adalah struktur sosial-ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif


atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan
teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan, khususnya sumberdaya alam.
2. Kemiskinan superstruktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel
kebijakan makro yang tidak atau kurang berpihak pada pembangunan masyarakat
nelayan.
3. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel yang melekat,
inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu yang menyebabkan individu yang bersangkutan
sulit keluar dari kemiskinan karena faktor tersebut tidak disadari atau tidak diketahui oleh
individu yang bersangkutan. Panayotou (1982) dalam Nikijuluw (2001) menekankan
bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasan hidup yang diperoleh dari hasil
menangkap ikan dibandingkan kegiatan yang hanya berorientasi pada peningkatan
pendapatan. Hal seperti ini mengakibatkan mereka sulit untuk melakukan perubahan
karena mereka sudah merasa nyaman dengan kehidupan seperti itu.

Konsep masyarakat pesisir digunakan dalam penelitian ini karena yang menjadi objek atau
sorotan dalam penelitian adalah respon masyarakat pesisir, dimana telah diketahui bahwa
karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat lainnya. Mereka memiliki ciri khas
atau kebudayaan tertentu yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakatnya termasuk pada
respon masyarakatnya.

Anda mungkin juga menyukai