Anda di halaman 1dari 9

Pollycarpus Budihari Priyanto

mantan petinggi TNI Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono

1. Peristiwa Munir

Munir Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 dan meninggal di
dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun. Beliau
keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah
Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi
orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang
menjadi korban penculikan Tim Mawar dan Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu
menjadi alasan pencopotan Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim
Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Kota Batu.
Istrinya Munir, Suciawati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah
agar mengungkap kasus pembunuhan ini.
Munir Said Thalib, akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas
Utrecht, Belanda pukul 21.30 WIB. Melalui pengeras suara, seluruh penumpang pesawat
Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam dipersilakan petugas
bendara naik ke pesawat.
Rombongan orang kulit putih bergegas, banyak dari mereka adalah warga Negara
Belanda. Saat akan memasuki pintu pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto,
Pilot Garuda yang biasa disebut Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew,
yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka
bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir
sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang.
Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K.
Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. Polly selanjutnya
naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang
bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal landas, Polly diperselakan oleh purser
Brahmanie untuk duduk di kelas premium karena banyak yang kosong di kelompok termahal
itu. Purser adalah pimpinan kabin yang bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh
penumpang termasuk perpindahan tempat duduk mereka. Lelaki berseragam pilot kemeja
putih dan celana biru dongker itu pun duduk.
Ada dua cerita tentang perpindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah
Brahmanie dan Polly. Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie
bersaksi, Saat sedang di depan toilet bisnis, saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu,
Saudara Polly, sambil memegang boarding pass warna hijau, bertanya Mbak nomor 40G di
mana? Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya tanpa menyebutkan nama temannya.
Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman Saudara Polly. Lalu,
saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu saya
salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran
saya karena banyak tempat duduk yang kosong.Sementara itu,dalam wawancara di Lembaga
Permasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita, Saya ketemu Munir di pintu pesawat
Garuda Indonesia, di bandara Jakarta. Dia tanya di pintu bisnis, Tempat duduk ini di mana?
Saya bilang, Wah, bapak ini duduknya yang mana saya tidak hafal. Kemudian, itu kan
antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilakan duluan. Saya sebagai kru
lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Setelah itu, karena
saya mau masuk ke ruang bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada
Munir, Saya duduk di bisnis, kalau bapak mau di sini, ya Bapak nanya dulu sama pimpinan
kabin, kalu diizinkan, ya silakan, bila tidak ya mohon maaf. Bahasa saya seperti itu. Sudah,
itu saja. Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan
welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus
apel. Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan
sauna towel (handuk panas), yang bisa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan
surat kabar kepada penumpang yang ingin membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti
sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala
keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot
Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas dan mendarat
secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block off dan block on. Block off
adalah waktu yang menunjukkan saat ganjal roda pesawat di bandara dilepas dan pesawat
mulai bergerak untuk terbang. Block on digunakan sebagai penanda waktu kedatangan
pesawat di bandara tujuan, yaitu saat ganjal roda pesawat dipasang.
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari menawarkan beberapa pilihan
makanan dalam kemasan yang masih panas di atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi
goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan
daripada welcome drink. Pilihannya adalah minuman beralkohol (wiski, gin, wine, white
whine, dan bir), soft drink, jus apel serta jus jeruk. Buavita, jus apel serta jus jeruk Buavita,
jus tomat, susu putih Ultra, air mineral Aqua, teh, dan kopi. Munir kembali memilih jus jeruk.
Setelah mengarungi langit Pulau Jawa, Sumatera, dan laut di sekitarnya selama 1 jam 38
menit, pesawatr GA 974 mendarat di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu
setempat. Zona waktu Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi
penumpang waktu untuk jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45
menit.
Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun lebih cepat mencapai Coffe Bean
dibanding jika keluar dari pintu ekonomi. Usai singgah di kedai itu, dia kembali menuju ke
pesawat melalui gerbang D. Di perjalanan menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-
laki. Anda Pak Munir, ya? Iya Pak. Saya dr.Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita.
Pak Munir ngapain ke Belanda? Saya mau belajar. Mau nge-chargesatu tahun. Di
mana? Utrecht. Wah Indonesia kehilangan, dong. Anda kan orang penting? komentar
dr. Tarmizi. Ya ini perlu untuk saya, Pak. timpal Munir sambil tersenyum. Anda kan
pernah nulis tentang Aceh. Bagaimana sih, bisa beres nggak tuh? tanya dokterlagi, sambil
keduanya berjalan. Ah, itu tergantung niat, kok. Maksudnya? Kalau niatnya
membereskan, tiga bulan juga beres. Kemudian, dokter kelahiran Sumatera Barat itu
mengeluarkan dompet dan memberi Munir kartu namanya sambil berkata, Kapan-kapan,
bila perlu, silakan menghubungi saya. Munir menerima kartu nama dr. Tarmizi Hakim, lalu
keduanya berpisah. Si dokter masuk ke kelas bisnis, Munir menuju pintu bagian belakang
pesawat dan duduk di kursi 40G kelas ekonomi, sebagaimana tercantum di boarding passnya.
Karena Polly hanya sampai Singapura, Munir pun kembali ke tempat duduk aslinya untuk
penerbangan Singapura-Amsterdam. Total waktu transit di Changi (antara block on dan block
off) adalah 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian bahan
bakar, penggantian seluruh awak kokpit dan kabin, sertapenambahan penumpang dari
Singapura.
Pesawat tinggal landas dari Changi pukul 01.53 waktu setempat. Penerbangan menuju
Schipol ini dipimpin oleh Kapten Pantun Matondang, dengan purser Madjib Nasution sebagai
penanggung jawab pelayanan penumpang. Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia
mengecek persiapan penumpang untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia
dipanggil oleh Munir yang meminta obar promag. Pramugari bernama lengkap Tia Dewi
Ambara itu meminta Munir menunggu sebentar karena pesawat akan tinggal landas dan
seluruh awak kabin harus duduk di tempat masing-masing. Kira-kira 15 menit kemudian,
setelah pesawat di ketinggian aman, Tia mulai membagikan selimut dan earphone,
dilanjutkan dengan makanan pengantar tidur. Saat Tia sampai di 40G, lelaki berkaus abu-abu
dan bercelana jins hitam itu sedang tidur. Tia membangunkannya dan bertanya, Apa Bapak
sudah dapat obat dari teman saya? Belum. Maaf kami tidak punya obat. Tia lalu
menawarkan makanan, yang ditolak oleh Munir. Namun, lelaki ini meminta teh hangat. Tia
pun menyajikan teh panas yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli. Munir menerima
uluran minuman itu, lengkap dengan gula 1 sachet. Ketika Tia melanjutkan melayani
penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju toilet. Ini kali pertama Munir pergi ke
toilet, sekitar 30 menit setelah tinggal landas.
Tiga jam sudah pesawat besar itu terbang dan sedang berada di langit India saat Munir
semakin sering pergi ke toilet. Ketika berjalan di gang kabin yang hanya diterangi oleh lampu
baca, dia berpapasan dengan pramugara Bondan Hernawa. Dia mengeluhkan sakit perut dan
muntaber kepada Bondan, serta memintanya memanggilkan dr. Tarmizi yang duduk di kelas
bisnis. Munir juga memberinya kartu nama dokter itu. Sesuai prosedur untuk situasi semacam
ini, Bondan pun melapor kepada purser Madjib Nasution yang berada di Purser Station.
Bang, ini Pak Munir penumpang kita sakit. Buang-buang air, muntah-muntah. Ini ada
kawannya, dokter, tapi saya tidak tahu duduk di mana. Tolong carikan tempat duduknya,
ujar Bondan sambil menyerahkan kartu nama dr. Tarmizi. Madjib mencari penumpang atas
nama dr. Tarmizi Hakim di Passenger Manifest dan menemukannya di kursi nomor 1J.
Belum sempat dia beranjak, Munir sudah berada di depan Purser Station. Sambil memegangi
perut, Munir berkata, Saya sudah buang-buang air, pakai muntah juga. Mungkin maag saya
kambuh. Seharusnya tadi tidak minum jeruk waktu dari Jakarta-Singapura. Munir pun
melanjutkan perjalanannya ke toilet. Madjib dan Bondan lalu mendatangi 1J dan mendapati
dr. Tarmizi sedang tidur di 1K, kursi sebelah kanannya yang karena dekat jendela dan dia
dapati kosong, lalu dia duduki. Dokter, Dokter...., Madjib berusaha membangunkan.
Keduanya mengulanginya beberapa kali dengan suara lebih keras, tapi tidur dokter bedah itu
tetap tak terusik. Madjib kembali berjumpa Munir di gang dan memintanya membangunkan
dr. Tarmizi sendiri, sementara Bondan pergi ke pantry untuk melaksanakan tugas
terjadwalnya. Akhirnya dr. Tarmizi bangun. Munir menjelaskan kondisi tubuhnya yang saat
itu tampak sangat lemah dan berkata, Saya sudah muntah dan buang air besar enam kali
sejak terbang dari Singapura. dr. Tarmizi mengusulkan kepada Madjib supaya Munir pindah
tempat duduk ke nomor 4 karena tempat itu kosong dan dekat dengannya. Munir pun duduk
di kursi 4D. Dr. Tarmizi mengambil posisi di samping kirinya. Pak Munir makan apa saja
dua hari terakhir ini? tanya dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular itu. Munir hanya
diam, mungkin akibat nyeri perutnya. Pertanyaan itu disambut oleh Madjib, Pak Munir tadi
sempat minum air jeruk, padahal Pak Munir tidak kuat minum jeruk karena punya maag.
Munir tetap diam, tidak berkomentar. Kalau maag tidak begini, kata si dokter, yang lalu
bertanya kepada Munir, Anda makan apa? Biasa saja. Kemarin? Biasa saja.
Kemarinnya lagi? Biasa saja. Dokter itu melakukan pemeriksaan secara umum dengan
membuka baju pasiennya. Dia lalu mendapati nadi di pergelangan tangan Munir lemah.
Dokter berpendapat Munir menunjukkan gejala kekurangan cairan akibat muntaber.
Munir kembali lagi ke toilet, diikuti dokter, pramugara, dan pramugari. Setelah
muntah dan buang air, dia pulang ke kursi 4D, sambil terus batuk-batuk berat. Dr. Tarmizi
meminta seorang pramugari mengambilkan Doctors Emergency Kit yang dimiliki pesawat
terbang. Kotak itu dalam keadaan tersegel. Setelah melihat isinya, dia berpendapat obat yang
tersedia sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir. Dr. Tarmizi memerlukan infus, tapi
tidak ada. Tidak ada obat khusus untuk sakit perut mulas, juga obat muntaberbiasa. Si dokter
pun mengambil obat dari tasnya sendiri. Dia memberi Munir obat diare New Diatabs serta
obat mual dan perih kembung Zantacs dan promag. Dua tablet untuk yang pertama dan
masing-masing satu tablet untuk dua terakhir. Dr. Tarmizi lalu meminta seorang pramugari
membuatkan teh manis dengan sedikit tambahan garam di dalamnya. Namun, lima menit
setelah meminum teh hangat itu, Munir kembali ke toilet. Munir rampung setelah lima menit
dan membuka pintu. Dr. Tarmizi lalu membimbing Munir berjalan menyusuri gang sambil
berkomentar kepada Purser Madjib, Mengapa infus saja tidak ada, padahal perjalanan sejauh
ini? Di kotak obat pesawat terdapat cairan Primperam, obat antimual dan muntah, yang
kemudian disuntikkan dr. Tarmizi ke tubuh Munir sejumlah 5 ml (dosis 1 ampul). Injeksi di
bahu kiri ini cukup berpengaruh karena Munir kemudian tidur.
Penderitaannya reda selama 2-3 jam.
Munir bangun dan kembali masuk ke toilet. Dia cukup lama berada di dalamnya, kira-
kira 10 menit, dan pintunya pun tidak tertutup dengan sempurna. Madjib memberanikan diri
melongok lewat celah yang ada dan mengetuk pintu, tapi tidak ada respons dari orang yang
sedang menderita di dalam sana. Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38
tahun itu sedang bersandar lemas di dinding toilet. Purser Madjib langsung memanggil dokter
yang selama setengah jam terakhir paling tahu kondisi penumpangnya itu. Dr. Tarmizi
mengajak Madjib dan pramugara Asep Rohman mengangkat Munir kembali ke kursi 4D.
Setelah didudukkan di kursi, Munir menjalani pemeriksaan oleh dr. Tarmizi, dalam gelapnya
kabin pesawat yang hanya diterangi lampu baca. Kegelapan ini keadaan yang tak bisa mereka
atasi sebab demikianlah aturan penerbangan. Pertama pergelangan tangan, lalu perut. Saat
perutnya diketuk oleh si dokter, Munir mengeluh, Aduh, sakit, sambil memegang perut
bagian atas. Madjib menyarankannya untuk beristighfar, disambut Munir dengan
menyebutnya, Astaghfirullah Haladzim La Ilaha Illa Llah, sambil tetap memegangi perut.
Pramugari Titik Murwati yang berada di dekat situ berinisiatif memberi balsem gosok,
tindakan yang dia harap bisa membantu meredakan derita penumpangnya. Atas persetujuan
dr. Tarmizi, Titik menggosok perut Munir dengan balsem yang bisa memberikan rasa hangat.
Munir berkata dia ingin istirahat karena capek. Dr. Tarmizi membuka kotak obat lagi dan
mengambil obat suntik Diazepam. Kali ini, dokter menyuntikkan 5 mg di bahu kanan, juga
dengan bantuan purser Madjib. Jarak antara kedua suntikan sekitar 4-5 jam. Sesudah suntikan
obat penenang itu, Munir masih merasakan mulas di perut. Lima belas menit berlalu dan
Munir ke toilet lagi, ditemani dokter, purser, serta pramugari. Di dalamnya, Munir muntah,
diikuti buang air. Kembali ke tempat duduk, Munir berkata dirinya ingin tidur telentang.
Purser dan seorang anak buahnya membentangkan sebuah selimut sebagai alas di lantai
depan kursi 4D-E dan sebuah bantal di atasnya. Dia pun berbaring di sana, dengan dua
selimut lagi diletakkan di atas tubuhnya agar hangat. Dr. Tarmizi berkata kepada awak kabin
itu supaya Munir dijaga, dan bahwa dirinya ingin istirahat karena besok kerja dia akan
melakukan operasi jantung di rumah sakit di Swole, sambil minta dibangunkan bila terjadi
apa-apa dengan Munir. Juga, dia berpesan agar mereka memastikan dokter dari Amsterdam
yang besok masuk ke pesawat membawa infus. Setelahnya, si dokter kembali ke kursi di 1K
dan tidur. Munir kembali bisa tidur, tapi sering berubah posisi, dan posisi itu selalu miring,
tidak pernah telentang atau tengkurap. Madjib terus setia menjaga Munir sampai sekitar 3 jam
sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, saat awak kabin menyiapkan makan pagi
penumpang. Madjib berjalan ke tempat duduk dr, Tarmizi dan bertanya apakah perlu dirinya
membangunkan Munir untuk sarapan, yang dijawab dengan anjuran untuk membiarkan
Munir tetap istirahat. Madjib pun melakukan tugas rutinnya mengawasi lingkungan pesawat.
Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ketika
sarapan masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala, Madjib kembali melangkahkan
kaki mengunjungi tempat tidur Munir. Di depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir
dalam posisi miring menghadap kursi, milutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan
telapak tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan mendapati rasa dingin. Madjib
yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter memegang pergelangan tangan Munir
sambil enepuk-nepuk punggung. Dia berulang-ulang berujar, Pak Munir... Pak Munir...,
Akhirnya, memandang purser Madjib, dr. Tarmizi berkata pelan, Purser, Pak Munir
meninggal... Kok secepat ini, ya... Kalau cuma muntaber, manusia bisa tahan tiga hari.
Purser Madjib meminta Bondan dan Asep membantunya mengangkat tubuh kaku Munir ke
tempat yang lebih baik: Lantai depan kursi 4J-K. Munir berbaring di atas dua lembar selimut,
kedua matanya dipejamkan oleh Bondan. Tubuhnya ditutupi selimut.
Bondan dan Asep membaca surat Yaasin di depan jenazah Munir Said Thalib, empat
puluh ribu kaki di atas tanah Rumania.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Insitut
Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga
dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir,
meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin
menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun
hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus,
seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin
mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Sutiarso menyatakan bahwa sebelum
pembunuhan, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah agen intelijen
senior tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke
publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (Purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat
Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat
bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah
padanya. Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat
kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas
kini tengah diperiksa.
2. Pihak yang terkait
Pollycarpus Budihari Priyanto
Mayjen (Purn) Muchdi Pr
3. Perkembangan Kasus Munir

Kasus pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib masih
menyisakan sejumlah kejanggalan dan pertanyaan.

Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, sejak 12 tahun Munir dibunuh, hingga saat ini belum
terungkap mengenai siapa pelaku intelektual kasus tersebut.

Menurut Araf, proses investigasi dan hukum kasus Munir seharusnya tidak berhenti pada
sosok Pollycarpus.
Dia mengungkapkan, hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk
pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan adanya dugaan keterlibatan
oknum Badan Intelijen Negara yang menjabat saat itu.

Araf meyakini pembunuhan Munir dilatarbelakangi unsur politik yang melibatkan unsur
negara.

"Hanya Pollycarpus yang pernah dihukum. Sedangkan Kasus Munir terkait politik, anggota
TPF bilang pelaku tidak tunggal," ujar Araf, di kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Selasa
(6/9/2016).

"Ada dugaan okbum BIN saat itu terlibat. Kasus Munir belum tuntas," kata dia.

Araf pun mendesak mendesak agar Presiden Joko Widodo membuka hasil temuan TPF kasus
Munir dan menindaklanjuti hasil penyelidikan tersebut.

Hasil penyelidikan TPF, kata Araf, sejatinya bisa menjadi awal untuk membuka kembali dan
mengungkap dalang pembunuh Munir.

Araf menuturkan, hasil temuan itu sangat penting karena mengindikasikan adanya sejumlah
kejanggalan sekaligus dugaan kuat bahwa pembunuhan itu melibatkan pelaku intelektual
dalam institusi intelijen negara.

"Kami mendesak Presiden Joko Widodo membuka hasil temuan TPF kasus Munir untuk
menelusuri siapa auktor intelektual sebenarnya," kata Araf.

Selain itu, Imparsial juga mendesak Presiden Jokowi membentuk tim independen baru dalam
upaya mengusut secara tuntas kasus pembunuhan Munir.

Sebab, Araf melihat saat ini aparat penegak hukum tidak bisa diandalkan untuk
menyelesaikan kasus tersebut.

"Di tengah dugaan adanya keterlibatan intelijen dan aparat penegak hukum tidak bisa
dipercaya serta diandalkan, maka Presiden harus membentuk tim independen baru," ucapnya.

Lemahnya komitmen pemerintah

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, kasus
pembunuhan Munir yang terus berlarut dan tidak kunjung tuntas selama 12 tahun
menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia.

Padahal saat masa kampanye Pilpres, Presiden Jokowi pernah berjanji akan mengusut kasus-
kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus pembunuhan Munir dan hilangnya seniman Wiji
Thukul.

Menurut dia, upaya mengungkap kasus ini secara tuntas dan mengadili dalangnya bukan
hanya akan menunjukkan keseriusan pemerintah. Namun, ini juga menjadi tolok ukur bagi
Indonesia sebagai negara demokrasi yang melindungi HAM.
"Pengusutan kasus pembunuhan Munir masih mandek. Auktor intelektual masih belum
diadili," kata Gufron.

"Jokowi harus mendorong penuntasan kasus HAM dan dia harus mengingat janji soal
penuntasan kasus HAM," tuturnya.

Munir dibunuh dengan racun yang dimasukkan ke dalam makanannya dalam penerbangan
dari Jakarta ke Amsterdam dengan pesawat Garuda Indonesia GA 974 pada 7 September
2004.

Dalam pengadilan kasus itu, mantan pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, divonis
penjara selama 14 tahun. Pollycarpus telah bebas bersyarat seusai menjalani masa hukuman 8
tahun.

Jika hasil temuan TPF kasus Munir menunjukkan adanya keterlibatan pelaku intelektual
dalam institusi intelijen negara, lalu siapa pembunuh Munir sesungguhnya? Selama 12 tahun,
misteri iu memang belum terjawab.

Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2016/09/07/06593031/selama.12.tahun.auktor.intelektual.pe
mbunuhan.munir.belum.terungkap

Anda mungkin juga menyukai