Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peningkatan angka harapan hidup menyebabkan jumlah penduduk
golongan lanjut usia (lansia) makin meningkat. Di tahun 2005, populasi
lansia (orang berusia lebih dari 60 tahun) di negara maju sebesar 20%
dibandingkan dengan populasi anak anak berusia kurang dari 15 tahun
(17%). Diperkirakan pada tahun 2050 populasi lansia menjadi dua kali
dibanding anak-anak, yaitu 33% dan 15%. Pada tahun 2005, populasi lansia
berusia lebih dari 80 tahun sekitar 1,3% di dunia dan diperkirakan
meningkat menjadi 4,4% pada tahun 2050. Saat ini Indonesia telah
memasuki era penduduk struktur lansia karena tahun 2009 jumlah penduduk
berusia di atas 60 tahun sekitar 7,18% (Hendry, I. 2013).
Lanjut usia merupakan proses alami yang tidak dapat dihindarkan,
proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologi, berlangsung secara
alamiah, terus menerus dan berkelanjutan yang dapat menyebabkan
perubahan anatomis, fisiologis, biokemis pada jaringan tubuh dan akhirnya
mempengaruhi fungsi, kemampuan badan dan jiwa (Costantinides. 2004).
Pada lansia kondisi fisik mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa perubahan yaitu perubahan pada sel dan bermacam-macam sistem
yang ada didalam tubuh diantaranya: persyarafan, pendengaran,
penglihatan, kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, genitourinaria,
endokrin dan kulit (Wolff. 2008).
Seiring bertambahnya usia, penuaan tidak dapat dihindarkan dan terjadi
perubahan keadaan fisik: selain itu para lansia mulai kehilangan pekerjaan,
kehilangan tujuan hidup, kehilangan teman, risiko terkena penyakit,
terisolasi dari lingkungan, dan kesepian. Hal tersebut dapat memicu
terjadinya gangguan mental. Depresi merupakan salah satu gangguan mental
yang banyak dijumpai pada lansia akibat proses penuaan. Berdasarkan data
di Canada, 5-10% lansia yang hidup dalam komunitas mengalami depresi,

1
sedangkan yang hidup dalam lingkungan institusi 30-40% mengalami
depresi dan cemas (Hendry, I. 2013).
Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood depresi
menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas sehari-hari,
dan dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri.5-7,9,11,13 Pada
lansia gejala depresi lebih banyak terjadi pada orang dengan penyakit
kronik, gangguan kognitif, dan disabilitas (Alexopoulos. G S. 2005 dalam
Hendry, I. 2013).
Kesulitan konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia depresi akan membaik
setelah depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat menyerupai
gangguan kognitif seperti demensia (Alexopoulos. G S. 2005 dalam Hendry,
I. 2013). Pada masa lanjut usia, seseorang akan mengalami perubahan dalam
segi fisik, kognitif, maupun dalam kehidupan psikososialnya (Papalia, et al,
2001; Ariyanti, 2009 dalam Hendry, I. 2013). Darnton-Hill (1995; Oye
Gureje, 2008 dalam Hendry, I. 2013) juga menekankan pentingnya harapan
hidup dan kualitas hidup bagi lanjut usia. Keempat domain dalam kualitas
hidup adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologi, hubungan sosial, dan
aspek lingkungan (WHOQOL Group; Jackie Brown, 2004 dalam Hendry, I.
2013). Empat domain kualitas hidup diidentifikasi sebagai suatu perilaku,
status keberadaan, kapasitas potensial, dan persepsi atau pengalaman
subjektif (WHOQOL Group, 1994 dalam Hendry, I. 2013) juga
menambahkan jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, akan
timbul masalah-masalah dalam kehidupan lanjut usia yang akan
menurunkan kualitas hidupnya. Atas dasar latar belakang diatas maka kami
akan melakukan Tugas Pengenalan Profesi yang berjudul Identifikasi
Masalah- Masalah Geriatri di Panti Jompo (Penurunan Fungsi Pendengaran
& Penglihatan, Fungsi Digestif dan Risiko Jatuh).

1.2 Rumusan Masalah?


Bagaimana Masalah- Masalah (Penurunan Fungsi Pendengaran &
Penglihatan, Fungsi Digestif dan Risiko Jatuh) pada Geriatri di Panti
Jompo?

2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi masalah- masalah (penurunan fungsi pendengaran &
penglihatan, fungsi digestif dan risiko jatuh) geriatri di panti jompo.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi masalah ( penurunan fungsi pendengaran) pada
geriatri di panti jompo.
2. Mengidentifikasi masalah ( penurunan fungsi penglihatan) pada
geriatri di panti jompo.
3. Mengidentifikasi masalah ( penurunan fungsi digestif) pada
geriatri di panti jompo.
4. Mengidentifikasi masalah ( risiko jatuh) pada geriatri di panti
jompo.

1.4 Manfaat penelitian


1. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup geriatri di panti jompo.
2. Menambah pengetahuan bagi mahasiswa menegenai masalah masalah-
masalah geriatri di panti jompo (penurunan fungsi pendengaran &
penglihatan, fungsi digestif dan risiko jatuh).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lansia


Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia
60 tahun ke atas. Secara global populasi lansia diprediksi terus mengalami
peningkatan. Populasi lansia di Indonesia diprediksi meningkat lebih tinggi
dari pada populasi lansia di dunia setelah tahun 2100 (Depkes, 2016).

2.2 Prevelensi Lansia


Perkembangan lansia di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya
cenderung meningkat, dengan semakin meningginya usia harapan hidup.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di
Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 persen dari
jumlah keseluruhan penduduk Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010
meningkat menjadi 23.992.553 jiwa (9,77 persen dari jumlah keseluruhan
penduduk Indonesia). Pada tahun 2020 diprediksi jumlah lansia mencapai
28.822.879 jiwa (11,34 persen dari jumlah keseluruhan penduduk
Indonesia) (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2012). Penduduk diseluruh
dunia dengan kelompok lanjut usia (lansia) yang berumur 60 tahun ke atas
mengalami pertumbuhan dengan cepat dibandingkan dengan kelompok usia
lainnya. Indonesia adalah salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara
yang memasuki era penduduk berstruktur tua karena jumlah penduduk yang
berusia di atas 60 tahun telah mencapai di atas 7 persen dari keseluruhan
penduduk. Peningkatan jumlah penduduk lansia ini disebabkan oleh
peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk yang akan
berpengaruh pada peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia
(Kemenkes RI, 2013).

4
2.3 Masalah Kesehatan Lansia
Menurut Depkes (2016) beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui
untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia adalah:
a. Jenis kelamin: lansia lebih banyak pada perempuan

Gambar 5. Persentase Penduduk Lansia menurut Jenis KelaminTahun 2015


Sumber: Kementerian Kesehatan RI, Profil Kesehatan Indonesia, 2015

Bila dilihat lansia berdasarkan jenis kelamin, penduduk lansia yang


paling banyak adalah perempuan, seperti tampak pada gambar di atas.
Hal ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah
perempuan.

b. Status perkawinan
Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda atau duda
akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun
psikologis. Pada gambar di bawah memperlihatkan persentase
penduduk lansia menurut status perkawinan. Sebagian besar lansia
berstatus kawin (60%) dan cerai mati (37%).

5
Gambar 6. Penduduk Lanjut Usia Menurut Status PerkawinanTahun 2015
Sumber : Badan Pusat Statistik RI, SUPAS 2015

Menurut jenis kelamin, pola status perkawinan penduduk lansia


laki-laki berbeda dengan perempuan. Lansia perempuan lebih banyak
yang berstatus cerai mati (56,04%), sedangkan lansia laki laki lebih
banyak yang berstatus kawin (82,84%). Hal ini disebabkan usia harapan
hidup perempuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia harapan
hidup laki-laki, sehingga persentase lansia perempuan yang berstatus
cerai mati lebih banyak dibandingkan dengan lansia laki-laki.
Sebaliknya lansia laki-laki yang bercerai umumnya segera kawin lagi.

c. Living arrangement
Misalnya keadaan pasangan, tinggal sendiri atau bersama istri, anak
atau keluarga lainnya. Angka Beban Tanggungan adalah angka yang
menyatakan perbandingan antara banyaknya orang yang tidak produktif
(umur <15 tahun dan > 65 tahun) dan banyaknya orang yang termasuk
umur produktif (umur 1564 tahun). Angka ini mencerminkan besarnya
beban ekonomi yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk
membiayai penduduk usia non produktif. Angka Beban Tanggungan
Indonesia sebesar 48,63% artinya setiap 100 orang penduduk yang
masih produktif akan menanggung 48 orang yang tidak produktif di

6
Indonesia. Angka Beban Tanggungan menurut provinsi,tertinggi ada di
Nusa Tenggara Timur (66,74%) dan terendah ada di DI Yogyakarta
(45,05%).

d. Kondisi kesehatan
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan
untuk mengukur derajat kesehatan penduduk. Angka kesakitan
tergolong sebagai indikator kesehatan negatif. Semakin rendah angka
kesakitan menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang semakin baik.
Angka kesakitan penduduk lansia tahun 2014 sebesar 25,05% artinya
bahwa dari setiap 100 orang lansia terdapat 25 orang di antaranya
mengalami sakit. Bila dilihat perkembangannya dari tahun 2005-2014,
derajat kesehatan penduduk lansia mengalami peningkatan yang ditandai
dengan menurunnya angka kesakitan pada lansia.
Keluhan kesehatan tidak selalu mengakibatkan terganggunya
aktivitas sehari-hari, namun terjadinya keluhan kesehatan dan jenis
keluhan yang dialami oleh penduduk dapat menggambarkan
tingkat/derajat kesehatan secara kasar. Lansia mengalami peningkatan
yang ditandai dengan menurunnya angka kesakitan pada lansia.
Dengan bertambahnya umur, fungsi fisiologis mengalami
penurunan akibat proses penuaan sehingga penyakit tidak menular
banyak muncul pada lanjut usia. Selain itu masalah degeneratif
menurunkan daya tahan tubuh sehingga rentan terkena infeksi penyakit
menular. Hasil Riskesdas 2013, penyakit terbanyak pada lanjut usia
adalah Penyakit Tidak Menular (PTM) antara lain hipertensi, artritis,
stroke, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Diabetes Mellitus
(DM).

e. Lanjut usia sehat berkualitas


Lanjut usia sehat berkualitas mengacu pada konsep active ageing
WHO yaitu proses penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial dan
mental sehingga dapat tetap sejahtera sepanjang hidup dan tetap

7
berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup sebagai
anggota masyarakat.

2.4 Penyakit Kronis pada Lansia


Seseorang yang telah lanjut usianya tentu mengalami berbagai
perubahan dalam dirinya menjelaskan bahwa proses menjadi tua atau
senencence ditandai dengan Kemunduran Fisiologis dan mental
disebabkan karena berkurangnya kemampuan adaptasi atau penyesuaian
diri terhadap diri sendiri, orang lain, masyarakat serta lingkungan.
Kemunduran Fisiologis dan mental pada seorang lanjut usia akan
menghambat berlangsungnya aktivitas kehidupan keseharian mereka.
Berkurangnya kemampuan fisik dan mental ini juga dapat mengakibatkan
ketidakmampuan dalam melaksanakan peranan hidup secara normal.
Keterbatasan kemampuan fisik merupakan hambatan bagi lanjut usia
untuk menikmati hari tua yang sehat dan tenang. Menurunnya fungsi alat
tubuh mengatasi gerak lanjut usia dan sering menimbulkan keluhan yang
sangat mengganggu sehingga pada akhirnya menurunkan produktivitas
lanjut usia Berikut adalah gejala-gejala dari Kemunduran Fisiologis yang
dialami oleh lanjut usia :
2.4.1 Menurunnya fungsi panca indera
2.4.1.1 Penglihatan
Perubahan penglihatan mempengaruhi pemenuhan aktivitas
sehari-hari. Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap
normal; dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan
untuk melakukan akomodasi, kontriksi pupil akibat penuaan dan
perubahan warna serta kekeruhan lensa mata (katarak).
2.4.1.2 Pendengaran
Penurunan pendengaran berupa perubahan dalam persepsi
pendengaran adanya suara berdenging ditelinga (tinnitus), nyeri
pada satu atau kedua telinga, perubahan kemampuan untuk
mendengar suara frekuensi tinggi, menarik diri, ansietas, respons
tidak sesuai dalam percakapan dan bukti- bukti klinis tentang

8
pendengaran.
A. Perubahan-Perubahan Pada Jaringan Dalam Bola Mata
Yang Menyertai Usia Lanjut
1. Perubahan Refraksi
Presbiopia Merupakan gangguan akomodasi pada usia
lanjut yang dapat terjadi akibat :
Kelemahan otot akomodasi
Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya
akibat sklerosis lensa.
Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia
lebih dari 40 tahun, akan memberikan keluhan berupa :
mata lelah, berair dan sering terasa pedas setelah
membaca
membaca selalu dijauhkan agar lebih jelas
sukar melihat dekat terutama pada malam hari atau
pada ruangan yang kurang terang (Wilardjo & Martono,
2015).
2. Perubahan Struktur Kelopak Mata
Entropion
Entropion merupakan suatu keadaan melipatnya
kelopak mata bagian tepi atau margo palpebra ke arah
dalam. Hal ini menyebabkan bulu mata tumbuh ke arah
dalam sehingga menggeser jaringan konjungtiva dan
kornea. Keadaan ini disebut trikiasis. Pada lanjut usia,
entropion diakibatkan oleh degenerasi jaringan kelopak
mata, disebut ENTROPION SENILIS.
Gejala dan tanda :
Mata merah
Berair
Rasa gatal

9
Hal ini disebabkan oleh karena iritasi dan abrasi
kornea. Bila berlanjut dapat menyebabkan ulcus
kornea.

Ektropion
Ektropion merupakan keadaan dimana tepi kelopak
mata membeber atau mengarah keluar sehingga bagian
dalam kelopak atau konjungtiva tarsal berhubungan
langsung dengan dunia luar. Hal ini menyebabkan mata
selalu berair karena air mata tidak dapat disalurkan ke
punctum lakrimalis inferior. Pada lanjut usia ektropion
disebabkan oleh relaksasi atau kelumpuhan otot
orbicularis okuli, disebut Ektropion Senilis.
Gajala dan tanda :
epifora
konjungtiva palpebra hiperemi dan hipertrofi
konjungtiva bulbi hiperemi
Blefaroptosis Akuisita
Kelainan ini terjadi karena aponeurosis m. levator
palpebra mengalami disinsersi dan terjadi penipisan
akibat bertambahnya usia. Meskipun terjadi perubahan
pada aponeurosis m. levator palpebra namun m.
levatornya sendiri relatif stabil sepanjang usia. Bila
blefaroptosis ini mengganggu penglihatan atau secara
kosmetik menjadi keluhan dapat diatasi dengan
tindakan operasi.
Dermatokalasis
Pada lanjut usia kulit palpebra mengalami atrofi dan
kehilangan elastisitasnya sehingga menimbulkan
kerutan dan lipatan-lipatan kulit yang berlebihan.
Keadaan ini biasanya diperberat dengan terjadinya
peregangan septum orbita dan migrasi lemak
preaponeurotik ke anterior. Keadaan ini bisa terjadi

10
pada palpebra superior maupun inferior dan disebut
sebagai dermatokalasis.
Merupakan suatu keadaan di mana kulit kelopak atas
maupun bawah menjadi longgar karena proses penuaan,
sehingga kelopak mata tampak menggantung.
Gejala dan tanda :
Kesulitan mengangkat palpebra superior
Rasa tidak enak di daerah preorbita akibat
penggunaan otot ocipitofrontalis dan otot
orbicularis occuli dalam mengatasi kesulitan
mengangkat palpebra.
Terbatasnya lapangan pandang superior
Keluhan kosmetik.

3. Perubahan Sistem Lakrimal


Kegagalan fungsi pompa pada sistem lakrimalis
disebabkan oleh karena kelemahan palpebra, eversi
punctum atau malposisi palpebra sehingga akan
menimbulkan epifora. Namun sumbatan sistem kanalis
lakrimalis yang sebenarnya atau dacryostenosis sering
juga dijumpai pada usia lanjut, dimana dikatakan bahwa
dacryostenosis akuisita tersebut lebih banyak dijumpa
pada wanita dibanding pria. Adapun patogenesis yang
pasti terjadinya sumbatan duktus nasolakrimalis masih
belum jelas, namun diduga oleh karena terjadi proses
jaringan mukosa dan berakibat terjadinya sumbatan.
Setelah usia 40 tahun khususnya wanita pasca menopause
sekresi basal kelenjar lakrimal secara progresif berkurang.
Sehingga seringkali pasien dengan sumbatan pada duktus
nasolakrimalis tak menunjukkan gejala epifora oleh karena
volume air matanya sedikit. Akan tetapi bilamana
sumbatan sistem lakrimalis tak nyata akan memberi

11
keluhan mata kering yaitu adanya rasa tidak enak seperti
terdapat benda asing atau seperti ada pasir, mata terasa
lelah dan keringbahkan kabur. Sedangkan gejala obyektif
yang didapatkan diantaranya konjungtiva bulbi kusam dan
menebal, kadang hiperemi, pada kornea terdapat erosi dan
filamen. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah
Schirmer, Rose Bengal, Tear film break up time
(Wilardjo & Martono, 2015).

4. Perubahan Kornea
Arcus Senilis
Merupakan manifestasi proses penuaan pada kornea
yang sering dijumpai. Keberadaan arcus senilis ini
tidak memberikan keluhan, hanya secara kosmetik
sering menjadi masalah. Kelainan ini berupa infiltrasi
bahan lemak yang berwarna keputihan, berbentuk
cincin di bagian tepi kornea. Mula-mula timbulnya di
bagian inferior kemudian diikuti bagian superior,
berlangsung meluas dan akhirnya membentuk cincin.

Etiologi arcus senilis diduga ada hubungannya dengan


peningkatan kolesterol dan Low Density Lipoprotein
(LDL). Bahan-bahan yang membentuk cincin tersebut
terdiri dari ester kolesterol, kolesterol dan gliserid.

Arcus senilis mulai dijumpai pada 60% individu usia


40 60 tahun dan terjadi pada hampir semua orang yang
berusia diatas 80 tahun dimana laki-laki lebih awal
timbulnya dibanding wanita.

Penurunan Sensitivitas Kornea


Dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan
sensitivitas kornea yang ditimbulkan oleh rangsangan
mekanis. Bagian sentral kornea lebih lama turunnya

12
dibandingkan bagian lainnya. Pengukuran CTT (Corneal
Touch Threshold ) pada orang sehat yang berbeda usianya
yaitu dengan merangsang kornea menggunakan benang
nylon microfilamen dengan berbagai ukuran panjang,
menunjukkan bahwa CTT masih tetap sama antara usia 7
10 tahun. Mulai awal dekade kelima CTT menjadi lebih
tinggi, secara bermakna dan semakin bertambah dengan
bertambahnya usia. Pada usia 80 tahun, hampir 2 kalinya
CTT usia 10 tahun. Penyebab dari penurunan sensitivitas
kornea kemungkinan disebabkan penebalan jaringan
fibrous kornea, penurunan kandungan air atau atrofi
serabut-serabut saraf.
Fragilitas kornea diukur dengan menentukan seberapa
besar tekanan yang diperlukan untuk mencapai ambang
kerusakan secara mekanis. Sampai usia 40 tahun fragilitas
kornea masih tetap sama. Berdasarkan pengalaman klinis
hal ini sejalan dengan peningkatan fragilitas kulit pada
usia yang makin lanjut.

5. Perubahan Produksi Aqueous Humor


Pada mata sehat dengan pemeriksaan fluorofotometer
diperkirakan produksi Aqueous Humor 2,4 0,06
L/menit. Beberapa faktor berpengaruh pada produksi
Aqueous Humor. Dengan pemeriksaan fluorofotometer
menunjukkan bahwa dengan bertambahnya usia terjadi
penurunan produksi Aqueous Humor 2% (0,06 L/menit)
tiap dekade. Penurunan ini tidak sebanyak yang
diperkirakan, oleh karena dengan bertambahnya usia
sebenarnya produksi Aqueous Humor lebih stabil
dibanding perubahan tekanan intra okuler atau volume
COA.

13
6. Perubahan Iris
Pada usia lanjut iris akan mengalami proses
degenerasi, menjadi kurang cemerlang dan mengalami
depigmentasi tampak ada bercak berwarna muda sampai
putih.
7. Perubahan Pupil
Pupil mengalami konstriksi, mula-mula berdiameter 3
mm, pada usia lanjut terjadi penurunan 1 mm dan refleks
cahaya langsung melemah.
8. Perubahan Lensa
Pada usia muda lensa tidak bernukleus, pada usia 20
tahun nukleus mulai terbentuk. Semakin bertambah umur
nukleus semakin membesar dan padat, sedangkan volume
lensa tetap, sehingga bagian korteks semakin menipis,
elastisitas jadi berkurang (membias sinar jadi lemah).
Lensa yang mula-mula bening transparan, menjadi tampak
keruh (Sklerosis).
9. Perubahan Badan Kaca ( Vitreous Humor )
Terjadi degenerasi, konsistensi lebih encer
(Synchisis), dapat menimbulkan keluhan Photopsia
(melihat kilatan cahaya saat ada perubahan posisi bola
mata).
10. Perubahan Retina
Terjadi degenerasi (Senile Degeneration).
Gambaran fundus mata mula-mula merah jingga
cemerlang, menjadi suram dan ada jalur-jalur berpigment
(Tygroid Appearance ) terkesan seperti kulit harimau.
Jumlah sel fotoreseptor berkurang sehingga adaptasi gelap
dan terang memanjang dan terjadi penyempitan lapangan
pandang (Wilardjo & Martono, 2015).

14
2.4.1.3 Perabaan
Menurunnya fungsi peraba menyebabkan lanjut usia tidak
sensitive terhadap sentuhan.
2.4.1.4 Pengecapan
Penurunan fungsi pengecap pada lidah menyebabkan
kepekaan terhadap rasa menurun dengan akibat berkurangnya nafsu
makan dan bertambahnya kecenderungan lanjut usia untuk
menambah bumbu seperti garam, gula, dan lain-lain pada
makananya.
2.4.1.5 Penciuman
Penurunan fungsi penciuman mengurangi pula nafsu dan
selera makan para lanjut usia.

2.4.2 Meningkatnya tulang keropos (osteoporosis)


Tulang keropos dapat mengakibatkan patah tulang spontan yang
sering terjadi pada tulang belakang (mengakibatkan bungkuk), leher
tulang paha atau pangkal paha (menyebabkan penderita terbaring di
tempat tidur terasa nyeri pada setiap gerakan tungkai yang
bersangkutan). Semuanya berakibat penderita menjadi sangat
terbatas mobilisasinya (sulit gerak). Hal ini berakibat menurunnya
tingkat kemandirian penderita dan menjadikannya beban bagi
keluarga dan masyarakat.

2.4.3 Menurunnya fungsi sistem pencernaan


A. Gigi
Gigi yang rusak, tanggal atau lepas sangat mempengaruhi proses
pelumatan makanan diakibatkan oleh terganggunya fungsi
pengunyah. Pembuatan dan pemakaian gigi palsu (prothesa)
dalam hal ini sangatlah penting.
B. Air ludah
Mulai berkurang produksinya. Hal ini berakibat mulut kering
dan berdampak kesulitan menelan makanan.

15
C. Lambung
Menurun fungsinya, berakibat menurunnya proses pencernaan
makanan. Hal ini terasa sebagai rasa penuh, bahkan kemudian
menjadi rasa kembung akibat pembentukan dan penumpukan
gas yang berlebihan yangberasal dari hasil proses pembusukan
oleh kuman yang ada di saluran pencernaan. Sering kali lanjut
usia mempergunakan obat-obatan penghilang rasa nyeri atau
obat anti reumatik tidak jarang berakibat samping gangguan
fungsi lambung. Kebiasaan merokok juga dapat mengganggu
fungsi lambung di samping pembuluh darah dan jantung.
D. Usus
Peristaltik atau gerakan usus yang semakin menurun dengan
menyebabkan semakin lambatnya makanan bergerak melalui
system pencernaan. Keluhan yang sering ditemui selain sebah,
penuh, juga sembelit (sukar buang air).
E. Hati (liver)
Menurunnya fungsi hati berakibat menurunnya toleransi
terhadap obat, jamu, makanan (berlemak, kolestorol tinggi,
berpengawet, penyedap makanan, zat warna, dan lain-lain), serta
minuman beralkohol. Menurunan fungsi hati ini dapat dirasakan
dengan gejala mudah lelah, intoleransi terhadap lemak, perut
bengkak, kulit dan mata kuning. Pada tahap akhir dapat timbul
muntah darah dan gangguan kesadaran. (Stanley, 2006).

2.4.4 Resiko jatuh pada lansia


A. Pengertian Risiko Jatuh
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor
berperan didalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia
tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot
ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope dan dizzines, serta
faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata,
tersandung benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya

16
kurang terang dan sebagainya (Martono, 2015).
Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan
berdasarkan North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA), yang didefinisikan sebagai peningkatan kemungkinan
terjadinya jatuh yang dapat menyebabkan cedera fisik (Wilkinson,
2005). Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak
sengaja tergeletak di lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah,
hal tersebut tidak termasuk orang yang sengaja berpindah posisi
ketika tidur (WHO, 2007).

B. Faktor yang Mempengaruhi Risiko Jatuh


Risiko jatuh dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri
seseorang, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal
dari luar diri orang tersebut misalnya dari lingkungan sekitar.
1). Faktor Intrinsik
a. Usia
Usia mempengaruhi risiko jatuh dari seseorang, dimana usia
atau umur erat kaitannya dengan proses pertumbuhan dan
proses penuaan. Pada lansia yang telah mengalami proses
penuaan, terjadi penurunan fisiologis pada tubuhnya, dan
proses penuaan tersebut berlangsung secara terus menerus.
Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan
fisiologis pada lansia. Perubahan fisiologis yang terjadi
pada sistem muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskuler-
respirasi, indra dan integumen. Perubahan - perubahan
fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi:
1. Sistem muskuloskeletal
Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi
perubahan pada jaringan penghubung, kartilago, tulang,
otot dan sendi.
a). Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

17
1) Kolagen sebagai protein pendukung utama pada
kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan
pengikat mengalami perubahan dan penurunan
hubungan tarikan linear sehingga terjadi
penurunan mobilitas pada jaringan tubuh karena
penuaan. Penuaan menyebabkan perubahan
kualitatif dan kuantitatif pada kolagen sehingga
terjadi penurunan daya mekanik, daya elastik dan
timbul kekakuan (Timiras & Navazio, 2008).
Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab
turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga
menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan
kekuatan otot dan penurunan kemampuan
bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan
berjalan, serta terjadi hambatan dalam melakukan
aktivitas setiap hari (Lewis & Bernstein, 1996).
Dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi
aktivitas sehari hari pada lansia.
2) Kartilago
Karena penuaan jaringan kartilago pada
persendian menjadi lunak dan akhirnya menjadi
rata, sehingga kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi
cenderung ke arah progesif. Proteoglikan yang
merupakan komponen dasar matriks kartilago
berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago
di persendian mengalami kalsifikasi, sehingga
fungsinya sebagai peredam kejut dan permukaan
sendi yang berpelumas menurun, sehingga
kartilago pada persendian rentan terhadap
gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada
sendi besar penumpu berat badan. Akibat

18
perubahan tersebut sendi mudah mengalami
peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak
dan terganggunya aktivitas setiap hari (Sri Surini
& Utomo, 2002).
3) Tulang
Secara fisiologis penuaan berdampak pada
menurunnya kepadatan tulang. Trabecula
longitudinal menjadi tipis dan trabekula
transversal terabsorbsi kembali, sehingga jumlah
spongiosa berkurang dan tulang kompakta
menjadi tipis. Perubahan yang lain berupa
penurunan estrogen sehingga produksi osteoklast
tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium
di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga
tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan
ukuran tulang secara keseluruhannya
menyebabkan kekakuan dan penurunan kekuatan
tulang sehingga berdampak munculnya
osteoporosis yang selanjutnya dapat
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur
(Timiras & Navazio, 2008). Kondisi tersebut
dapat membatasi kemampuan dari lansia dan
menyebabkan lansia mengalami gangguan dalam
aktivitas fisiknya sehari hari.
4) Otot
Perubahan struktur otot karena penuaan
bervariasi pada masing masing orang.
Perubahan tersebut meliputi penurunan jumlah
dan ukuran serabut otot, atropi pada beberapa
serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut
otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan
jaringan penghubung dan lain-lain

19
mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut adalah
penurunankekuatan, otot penurunan fleksibilitas
otot, perlambatan waktu reaksi dan penurunan
kemampuan fungsional (Bonder & Wagner,
1994).
5) Sendi
Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon,
ligamen dan fasia pada lansia mengalami
penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan
jaringan partikular mengalami penurunan daya
lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi
dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi
sehingga sendi kehilangan fleksibilitasnya yang
berdampak pada penurunan luas gerak sendi dan
menimbulkan kekakuan sendi.

2. Sistem Saraf
Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik
dan respons motorik pada susunan saraf pusat dan
penurunan reseptor proprioseptif, hal ini menyebabkan
terjadinya gangguan koordinasi dan kemampuan dalam
beraktivitas pada lansia. Hal ini terjadi karena susunan
saraf pusat pada lansia mengalami perubahan
morfologis dan biokimia. Akson, dendrit dan badan sel
saraf banyak yang mengalami kematian, sedangkan
yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang
berfungsi untuk komunikasi antar sel saraf mengalami
perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan hubungan
dengan sel saraf lain. Daya hantar saraf mengalami
penurunan 10 % sehingga gerakan menjadi lamban.
Akson dalam medula spinalis menurun 37 % (Timiras
& Maletta, 2008). Kondisi tersebut mengakibatkan

20
penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan,
kekuatan otot, refleksi, proprioseptif, perubahan postur
dan peningkatan waktu reaksi. Hal ini dapat dicegah
dengan pemberian latihan koordinasi dan
keseimbangan serta latihan untuk menjaga mobilitas
dan postur (Sri Surini & Utomo, 2002). Latihan untuk
menjaga dan mengoptimalkan kebugaran lansia juga
harus diberikan untuk memaksimalkan kondisi sistem
saraf lansia.
3. Sistem kardiovakuler
Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami
hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung
berkurang karena perubahan pada jaringan ikat katup
jantung mengalami fibrosis. Sinoatrial node (SA node)
dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya
berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler
mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas.
Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan
vaskular sehingga menyebabkan peningkatan takanan
sistole dan penurunan perfusi jaringan (Timiras &
Navazio, 2008). Curah jantung (cardiac output)
menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal
dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi untuk
mencegah terjadinya penumpukan darah (poling of
bload) menurun, sehingga respon terhadap hipoksia
menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat
maksimal (VO2 maksimum) berkurang, sehingga
kapasitas vital paru menurun. Latihan berguna untuk
meningkatkan VO2 maksimum, mengurangi tekanan
darah dan berat badan (Timiras & Navazio, 2008 ).

21
4. Sistem Indera
Semua sistem indera yang berhubungan dengan
keseimbangan statik dan dinamik akan menurun
bersamaan dengan menurunnya usia, seperti
penglihatan (visual) dan vestibular. Perubahan pada
sistem penglihatan (visual) menyebabkan cahaya yang
dihantar ke retina berkurang sehingga ambang visual
meningkat dan daya adaptasi terang-gelap menurun,
ketajaman penglihatan serta jarak pandang menurun.
Penurunan tajam penglihatan pada lansia disebabkan
oleh katarak, degenerasi makuler dan penglihatan
perifer yang menghilang. Pada sistem vestibular terjadi
degenerasi sel-sel rambut dalam makula dan sel saraf.
Karena kondisi tersebut lansia akan kesulitan
memperkirakan jarak dan memposisikan kepala pada
garis keseimbangan sehingga sering terjadi gangguan
keseimbangan fungsional pada lansia (Sri Surini &
Utomo, 2002 ).

b. Kekuatan Otot
Kekuatan otot adalah kekuatan suatu otot atau group otot
yang dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha
yang maksimum. Kekuatan otot diperlukan saat melakukan
aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil
dari adanya suatu peningkatan tegangan otot sebagai respon
motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai
kemampuan otot menahan beban baik berupa beban internal
(internal force) maupun beban eksternal (external force).
Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem
neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem
saraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi,
sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi,

22
maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot
tersebut (Irfan, 2012).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat
agar bisa menggerakan anggota gerak bawah untuk
melakukan gerakan fungsionalnya (Nugroho, 2011).
Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan
kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban
eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi
posisi tubuh. Kemampuan otot untuk mempertahankan
posisi tegak dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot
untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun
dinamis saat melakukan suatu gerakan. Hal tersebut dapat
dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran
tertentu.
Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan
fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot,
elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan
rileksasi, dan kinerja fungsional. Setelah melewati usia 30
tahun, manusia akan kehilangan kira-kira 3 5 % jaringan
otot total per dekade. Penurunan fungsi dan kekuatan otot
akan mengakibatkan yaitu (1) penurunan kemampuan
mempertahankan keseimbangan tubuh, (2) hambatan dalam
gerak duduk ke berdiri, (3) peningkatan risiko jatuh, (4)
perubahan postur. Masalah pada kemampuan gerak dan
fungsi lansia berhubungan erat dengan kekuatan otot yang
bersifat individual. Lansia dengan kekuatan otot quadrisep
yang baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari posisi
duduk dan berjalan 6 meter dengan lebih cepat (Bonder &
Wagner, 1994). Penelitian lain menunjukkan bahwa
kelemahan otot abduktor sendi panggul dapat mengurangi
kemampuan lansia mempertahankan keseimbangan berdiri
pada satu tungkai dan timbulnya gangguan postural.

23
Penurunan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat
meningkatkan risiko jatuh karena penurunan respons
terhadap keseimbangan (Bonder & Wagner, 1994).
Penurunan terhadap respon keseimbangan meyebabkan
timbulnya ganngguan dalam mengontrol keseimbangan.

c. Keseimbangan
Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk
mengontrol pusat gravitasi (center of gravity) atau pusat
massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base
of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu
titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi
berdasarkan tarikan gravitasinya. Pada manusia normal,
pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah dan sedikit di
depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat
gravitasi tersebut berpindah untuk memberikan kompensasi
agar tidak terjadi gangguan yang dapat menyebabkan orang
kehilangan keseimbangannya (Barnedh et al, 2006).
Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap
bagian tubuh dan didukung oleh sistem muskuloskeletal
serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan
keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya
gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan
pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang
tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh yang lain saat
melakukan suatu gerakan (Irfan, 2012). Kemampuan untuk
menjaga keseimbangan antara massa tubuh dengan bidang
tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas
secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014).

24
d. Indeks Massa Tubuh ( IMT )
Dengan bertambahnya usia akan meningkatkan berat badan
karena penumpukan lemak di dalam otot sementara sel otot
sendiri berkurang jumlah dan volumenya, sehingga ada
kecenderungan untuk mengurangi aktifitas fisik karena
obesitas. Hal ini menyebabkan kelemahan fisik yang dapat
membatasi mobilitas yang berpengaruh terhadap
keseimbangan karena menjadi lamban di dalam bergerak
dan kurangnya reaksi antisipasi terhadap perubahan Centre
Of Gravity (COG) serta secara umum akan menurunkan
kualitas hidup lansia.

2). Faktor Ekstrinsik


a). Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko jatuh adalah
penerangan yang tidak baik, lantai yang licin dan basah,
tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang,
dan alat alat atau perlengkapan rumah yang tidak stabil.

b). Latihan atau Aktivitas Fisik


Menurut WHO (2007) salah satu intervensi yang bisa
digunakan untuk memperbaiki faktor fisiologis yang
menyebabkan kejadian jatuh adalah program latihan fisik.
Latihan fisik dapat didefinisikan sebagai sebuah tipe
aktivitas yang direncanakan, terstruktur dan berupa gerakan
tubuh yang berulang ulang yang dilakukan untuk
meningkatkan atau mempertahankan satu atau lebih
komponen kebugaran fisik.

C. Dampak Jatuh Pada Lansia


Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik
dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian

25
jatuh adalah fraktur collum femur. Jenis fraktur lain yang sering
terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas
dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis
yang terjadi antara lain syok setelah jatuh dan rasa takut akan
jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas,
hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-
hari, falafobia atau fobia jatuh meskipun kejadian jatuh yang
dialami tidak menimbulkan cedera fisik (Stanley & Beare, 2006).
Selain dampak diatas, kejadian jatuh pada lansia juga bisa
mennyebabkan komplikasi antara lain:
a) Perlukaan (injury)
Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak
yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya
jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur
misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah,
tungkai atas.
b) Disabilitas
Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang
berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas
akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri dan
pembatasan gerak.
c) Kematian

D. Pencegahan Jatuh Pada Lansia


Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari (Darmojo, 2004), ada 3
usaha pokok untuk pencegahan jatuh yaitu :
a) Identifikasi faktor risiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mencari adanya faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan
assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan
penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh. Keadaan
lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan

26
jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi
tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari
benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga
yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri)
sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan
sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat
aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya
diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka.
WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di
dinding.

b) Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)


Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan
badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah
posisi. Evaluasi yang dapat dilakukan salah satunya dengan
TUG Test untuk menilai mobilitas, keseimbanan dan risiko
jatuh. Bila badan tidak stabil saat berjalan sangat berisiko jatuh,
maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis, latihan
yang bias di lakukan antara lain Otago Home Exercise
Programme yang menitikberatkan pada pelatihan berdasarkan
kemampuan fungsional dan Balance Strategy Exercise yang
menitikberatkan pada mengaturan postur selama melakukan
gerakan. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan
cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah
goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada
saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita
cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus
dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan.

c) Mengatur/ mengatasi faktor situasional.


Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita
lanjut usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan

27
lanjut usia secara periodik. Faktor situasional bahaya
lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan
lingkungan , faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat
dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas
tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan
baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di
anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat
melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh.

28
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Nama Kegiatan


Identifikasi Masalah-masalah Geriatri di Panti Jompo (Penurunan Fungsi
Pendengaran & Penglihatan, Fungsi Digestif dan Risiko Jatuh).

3.2 Lokasi Pelaksanaan


Kegiatan TPP ini akan dilaksanakan di Panti jompo Palembang.

3.3 Waktu Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi ini akan dilaksanakan pada :
Hari :
Tanggal : September 2017
Pukul : 09- Selesai

3.4 Subjek Tugas Mandiri


Pasien lansia yang mengalami Masalah-masalah Geriatri di Panti Jompo
(Penurunan Fungsi Pendengaran & Penglihatan, Fungsi Digestif dan Risiko
Jatuh).

3.5 Alat yang digunakan


1. Alat tulis
2. Checklist
3. Kamera

29
3.6 Langkah Kerja
Langkah-langkah kerja yang dilakukan dalam melaksanakan TPP Identifikasi
Masalah-masalah Geriatri di Panti Jompo (Penurunan Fungsi Pendengaran &
Penglihatan, Fungsi Digestif dan Risiko Jatuh) adalah :
1. Pembuatan proposal TPP
2. Konsultasi kepada Pembimbing TPP
3. Meminta Surat Melaksanakan TPP
4. Pelaksanaan TPP
5. Pembuatan Laporan Pelaksanaan TPP

30
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan Tugas Pengenalan Profesi yang penulis lakukan pada


tanggal 29 September 2017 di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai, peneliti
melakukan identifikasi pada 3 lansia. Adapun identitas pasien sebagai
berikut:
1. Nama : Tn. Jn
Usia : 89 tahun
2. Nama : Ny, W
Usia : 70 tahun
3. Nama : Ny. S
Usia : 80 tahun

A. Pasien 1

Tn. Jn, laki laki, 89 tahun, dilakukan identifikasi mengenai masalah


masalah kesehatan pada geriatri. Setelah dilakukan identifikasi mengenai
gangguan penglihatan pada Tn. J, ditemukan kesulitan pada saat
mengangkat palpebral superior, keluhan seperti melihat asap, mata berair
dan sering gatal. Selanjutnya dilakukan identifikasi mengenai gangguan
pendengaran pada Tn. J, beliau mengaku bahwa sering mendengar suara
bising yang berdenging, terdapat perasaan yang terasa seperti bergoyang
atau berputar, terdapat kesulitan dalam membedakan arah suara, dan sering
meminta orang lain untuk mengulang perkataannya.
Selain itu, juga dilakukan identifikasi mengenai gangguan digestif
pada Tn. J, dan ditemukan adanya penurunan jumlah saliva dan mulut
kering, jumlah gigi yang tersisa ada 4 buah, perut sering terasa kembung,
disertai keluhan sembelit dimana frekuensi BAB pada Tn. J hanya 1x
dalam sehari. Selanjutnya dilakukan identifikasi mengenai risiko jatuh

31
pada Tn. J, faktor instrinsik yaitu beliau mengaku memiliki keluhan nyari
pada tulang dan sendi terutama pada bagian ekstremitas inferior dan
daerah punggung, serta adanya penurunan kemampunan bergerak dari
duduk ke berdiri, penurunan kemampuan jongkok, penurunan kemampuan
berjalan, penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot. Faktor ekstrinsik yang
diketahui yaitu beliau juga mengaku jika pencahayaan dikamar beliau
cukup baik, namun lantai kamar terasa licin bagi Tn. J dan terdapat tempat
untuk berpegangan. Beliau juga mengaku bahwa beliau memiliki riwayat
jatuh dalam 3 bulan terakhir serta memiliki riwayat hipertensi yaitu
160/100 mmHg.

B. Pasien 2
Pada Ny. W berusia 70 tahun, setelah dilakukan identifikasi masalah
geriatri yang dialami Ny. W yaitu gangguan penglihatan, penurunan fungsi
digestif, dan risiko jatuh. Namun fungsi pendengaran Ny. W masih
berfungsi dengan baik. Gangguan penglihatan yang dialami Ny. W yaitu
keluhan mudah silau, keluhan seperti melihat asap, kesulitan dalam
membaca huruf-huruf kecil, melipatnya kelopak mata bagian tepi atau
margo palpebra ke arah dalam, bulu mata tumbuh ke arah dalam, adanya
keluhan mata sering berair, mata sering gatal karena merasa tertusuk oleh
bulu mata. Pada sistem digestifnya Ny. W yaitu tidak memiliki gigi yang
lengkap lagi. Pada gigi atasnya tersisa 1 gigi, sedangkan gigi bawahnya
tersisa 4 gigi. Ny, W mengeluh mulutnya kering, namun tidak terdapat
kesulitan menelan. Ny. W BAB setiap 2 hari sekali dan tidak ada keluhan
konstipasi ataupun diare. Faktor intrinsik yang menjadi risiko jatuh pada
Ny. W yaitu memiliki keluhan nyeri pada tulang dan sendi terutama sendi
sendi kecil, mengalami penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke
berdiri, terdapat penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot. Namun Ny. W
jarang mengalami jatuh. Faktor ekstrinsik yang diketahui yaitu menurut
Ny. W penerangan kamarnya cukup baik, keadaan lantai kering, dan
terdapat tempat untuk berpegangan.

32
C. Pasien 3
Pada Ny. S 80 tahun, mengalami gangguan penglihatan, pendengaran
dan resiko jatuh. Gangguan penglihatan yang dialami Ny. Si yaitu
kesukaran dalam membaca huruf kecil (penurunan visus), melipatnya
kelopak mata bagian tepi atau margo palpebra ke arah dalam, bulu mata
tumbuh ke arah dalam. Gangguan pendengaran yang dialami Ny. Si yaitu
terdapat kesulitan dalam membedakan arah suara dan meminta orang lain
untuk mengulang perkataannya. Pada sistem digestifnya Ny. Si yaitu
masih memiliki gigi pada bagian atas dan bawahnya. Ny. Si tidak
mengeluh mulutnya kering, sulit menelan, kembung dan keluhan sembelit
serta BAB sekali sehari. Resiko jatuh pada Ny. Si memiliki faktor intrinsik
yaitu mengalami keluhan nyeri tulang dan sendi, kaku sendi, penurunan
kemampuan bergerak dari duduk ke beridiri, berjongkok, berjalan,
penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot serta penurunan keseimbangan
ditandai dengan sering terjatuh.

4.2 Pembahasan
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan pada pelaksanaan Tugas
Pengenalan Profesi (TPP), didapatkan 3 orang lanjut usia. Pada Tn. J
ditemukan kesulitan pada saat mengangkat palpebra superior, keluhan seperti
melihat asap, mata berair dan sering gatal. Selanjutnya dilakukan identifikasi
mengenai gangguan pendengaran pada Tn. J, beliau mengaku bahwa sering
mendengar suara bising yang berdenging dan terdapat perasaan yang terasa
seperti bergoyang atau berputar. Tn. J juga mengeluh gatal pada kulit.
Keluhan yang dialami oleh Tn. J merupakan keluhan yang dialami pada
sistem panca-indra. Keluhan tersebut muncul karena perubahan yang bersifat
degeneratif. Menurut Wilardjo & Martono (2015).dengan bertambahnya usia
akan menyebabkan kekendoran seluruh jaringan kelopak mata (involusional).
Pada usia lanjut kulit palpebra mengalami atropi dan kehilangan elastisitas
sehingga menimbulkan kerutan dan lipatan yang berlebihan. Keadaan ini
disebut sebagai dermatokalasis, dengan gejala dan tanda:

33
a. Kesulitan mengangkat palpebra superior
b. Rasa tidak enak di daerah periorbita
c. Terbatasnya lapang pandang superior
d. Keluhan kosmetik
Gangguan pendengaran merupakan suatu keadaan yang menyertai
lanjutnya usia. Dengan semakin lanjutnya usia terjadi degerasi primer diorgan
corti berupa hilangnya sel epitel syaraf, serabut saraf eferen dan aferen di sel
sensorik dari koklea. Keluhan suara berdenging yang dialami oleh Tn. J
merupakan suspect tinitus. Sedangkan keluhan perasaan seperti bergoyang
merupakan masalah gangguan keseimbangan yang akhirnya menyebabkan
jatuh. Berbagai masalah yang mengganggu keseimbangan antara lain adalah
dizziness, light headedness dan vertigo. Kedua hal tersebut merupakan
perubahan fungsi pendengaran yang biasa terjadi pada lansia (Wilardjo &
Martono, 2015).
Sedangkan masalah gatal-gatal merupakan masalah pada sistem
dermatologi. Pada lansia telah terjadi penurunan fisiologis yang akan
menyebabkan penurunan fungsi kulit. Kelainan yang biasanya ditemukan
pada lansia dengan keluhan seperti Tn. J adalah kulit kering (xerosis cutis),
kasar dan bersisik. Keluhan ini biasanya disertai gejala gatal dan dengan
garukan, gosokan, kontak dengan bahan iritan akan menyebabkan mudah
meradang menjadi eczema craquele atau winter eczema (Wilardjo &
Martono, 2015).
Kemudian pada sistem digestif dijumpai keluhan penurunan jumlah
saliva dan mulut kering, jumlah gigi yang tersisa ada 4 buah, perut sering
terasa kembung, disertai keluhan sembelit. Hal ini sesuai dengan yang
disampaikan oleh Stanley (2006) pada lansia dijumpai penurunan fungsi
digestif yang ditandai dengan gigi yang rusak, tanggal atau lepas akan
mempengaruhi proses pelumatan makanan diakibatkan oleh terganggunya
fungsi pengunyah. Selain itu pada lansia ditemukan keluhan mulut kering
karena berkurang jumlah saliva yang akan berdampak pada kesulitan menelan
makanan. Menurun fungsi lambung akan berakibat pada penurunan proses
pencernaan makanan yang akan bermanifestasi sebagai perut kembung. Hal

34
tersebut juga banyak dikeluhkan oleh lansia. Menurut Holson (2002)
konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut.
Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40% orang diatas usia
65 tahun mengeluh konstipasi. Suatu batasan dari konstipasi paling sedikit
dijumpai dua dari keluhan dibawah ini:
a. Konsistensi feses yang keras
b. Mengejan keras saat BAB
c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
d. Frekuensi BAB 2x seminggu atau kurang
Selanjutnya dilakukan identifikasi mengenai risiko jatuh pada Tn. J,
beliau mengaku memiliki keluhan nyeri pada tulang dan sendi terutama pada
bagian ekstremitas inferior dan daerah punggung, serta adanya penurunan
kemampunan bergerak dari duduk ke berdiri, penurunan kemampuan
jongkok, penurunan kemampuan berjalan, penurunan kekuatan dan
fleksibilitas otot. Risiko jatuh pada lansia dipengaruhi faktor internal dan
eskternal. Faktor intrinsik diantaranya adalah usia, kekuatan otot,
keseimbangan, dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Pada faktor usia dijumpai
penurunan fungsi muskuloskeletal yang tandai dengan perubahan pada sistem
muskuloskeletal yang meliputi perubahan pada jaringan penghubung,
kartilago, tulang, otot dan sendi. Perubahan pada kolagen itu merupakan
penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak
berupa nyeri, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan bergerak
dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, serta terjadi hambatan dalam
melakukan aktivitas setiap hari. Selain itu, pada lansia juga terjadi
pengurangan jumlah jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhannya
menyebabkan kekakuan dan penurunan kekuatan tulang sehingga berdampak
munculnya osteoporosis yang selanjutnya dapat mengakibatkan nyeri,
deformitas dan fraktur. Selain itu, jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon,
ligamen dan fasia pada lansia mengalami juga penurunan elastisitas.
Ligamen, kartilago dan jaringan partikular mengalami penurunan daya lentur
dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan
kapsul sendi sehingga sendi kehilangan fleksibilitasnya yang berdampak pada

35
penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan kekakuan sendi (Timiras &
Navazio, 2008). Kondisi tersebut dapat membatasi kemampuan dari lansia
dan menyebabkan lansia mengalami gangguan dalam aktivitas fisiknya sehari
hari.
Faktor ekstrinsik yang dapat menyebabkan risiko jatuh adalah
lingkungan dan aktifitas fisik. Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko
jatuh adalah penerangan yang tidak baik, lantai yang licin dan basah, tempat
berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang, dan alat alat atau
perlengkapan rumah yang tidak stabil. Hal ini sesuai dengan keluhan yang
dijumpai pada Tn. J lantai kamar terasa licin. Selain itu Tn. J juga mengaku
bahwa beliau memiliki riwayat jatuh dalam 3 bulan terakhir yang akan
mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis.
Sehingga untuk menghidari risiko jatuh pada lansia perlu dilakukan
identifikasi faktor risiko jatuh, penilaian keseimbangan dan gaya berjalan
(gait), dan mengatasi faktor situasional (Tinetti, 1992; Darmojo, 2004)
Adapun riwayat hipertensi dengan tekanan darah 160/100 mmHg yang
dialami oleh Tn. J merupakan keluhan yang muncul pada sistem
kardiovaskuler. Hal ini sesuai dengan keluhan yang biasa terjadi pada lansia
akan terjadi penambahan massa jantung, ventrikel kiri mengalami hipertrofi
dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada
jaringan ikat katup jantung mengalami fibrosis. Sinoatrial node (SA node)
dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri
dalam menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah
kapiler mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan
fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan sistole dan penurunan perfusi jaringan (Timiras dan
Navazio, 2008).
Pada pasien yang kedua yaitu Ny. W. Gangguan penglihatan yang
dialami Ny. W yaitu keluhan mudah silau, keluhan seperti melihat asap,
kesulitan dalam membaca huruf-huruf kecil dan terlihat bahwa kelopak mata
bagian tepi atau margo palpebra Ny. W melipat ke arah dalam, bulu mata
tumbuh ke arah dalam, adanya keluhan mata sering berair, mata sering gatal

36
karena merasa tertusuk oleh bulu mata. Berdasarkan teori, Gangguan
penglihatan pada lansia dapat berupa perubahan struktur kelopak mata,
perubahan sistem lakrimal, perubahan sensitivitas dan fragilitas pada kornea,
perubahan muskulus siliaris, produksi humor aquous, dan perubahan refraksi
berupa penurunan daya akomodasi, serta adanya perubahan struktur jaringan
dalam bola mata seperti perubahan pada lensa, iris, pupil, dan retina
(Wilardjo & Martono, 2015). Pada Ny. W mengalami keluhan mudah silau
dan keluhan seperti asap yang mana disebabkan karena adanya perubahan
pada struktur jaringan pada lensa. Hal tersebut sesuai dengan teori keluhan
silau (fotofobi) timbul karena kekeruhan lensa pada usia tua (Katarak) akibat
proses penuaan pada kornea dan lensa. Semakin bertambah umur nukleus
makin membesar dan padat, sedangkan volume lensa tetap, sehingga bagian
korteks makin menipis, elastisitas lensa jadi berkurang, indeks bias berubah
(membias sinar jadi lemah). Lensa yang mula-mula bening transparan
menjadi tampak keruh (Sklerosis) (Wilardjo & Martono, 2015). Kesulitan
dalam membaca huruf-huruf kecil dikarenakan adanya perubahan refraksi
pada lansia. Sesuai dengan teori bahwa penurunan daya akomodasi dengan
manifestasi presbiopia dimana seseorang akan kesulitan untuk melihat dekat
dipengaruhi oleh berkurangnya elastisitas lensa dan perubahan pada muskulus
siliaris oleh karena proses penuaan (Wilardjo & Martono, 2015).
Hasil observasi terlihat bahwa kelopak mata bagian tepi atau margo
palpebra Ny. W melipat ke arah dalam, bulu mata tumbuh ke arah dalam,
adanya keluhan mata sering berair, mata sering gatal karena merasa tertusuk
oleh bulu mata. Keluhan-keluhan tersebut disebabkan karena perubahan pada
struktur kelopak mata, yang mana menurut Wilardjo & Martono (2015)
dengan bertambahnya usia akan menyebabkan kekendoran seluruh jaringan
kelopak mata. Perubahan ini yang juga disebut dengan perubahan
involusional terjadi pada m.orbicularis, refraktor palpebra inferion, tarsus,
tendo kantus medial/lateral, aponeurosis muskulus levator palpebra, dan kulit.
Pada sistem digestifnya Ny. W yaitu tidak memiliki gigi yang lengkap
lagi. Pada gigi atasnya tersisa 1 gigi, sedangkan gigi bawahnya tersisa 4 gigi.
Gigi yang rusak, tanggal atau lepas sangat mempengaruhi proses pelumatan

37
makanan diakibatkan oleh terganggunya fungsi pengunyah (Martono, 2015).
Faktor risiko jatuh pada Ny. W yaitu terdapat pada faktor intrinsik. Ny. W
yaitu memiliki keluhan nyeri pada tulang dan sendi terutama sendi sendi
kecil, penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke berdiri. Ny. W juga
terdapat penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot seperti Ny. W tidak
sanggup lagi untuk mencuci bajunya sendiri. Berdasarkan teori, faktor risiko
jatuh pada lansia dibagi dalam dua golongan besar yaitu faktor intrinsik dan
ekstrinsik. Faktor intrinsiknya yaitu kondisi fisik dan neuropsikiatrik,
penurunan visus dan pendengaran, perubahan neuromuskuler, gaya berjalan,
dan reflek postural karena proses menua (Wilardjo & Martono, 2015). Risiko
jatuh yang dialami Ny. W yaitu adanya penurunan visus yang telah dijelaskan
sebelumnya, dan perubahan neuromuskuler. Keluhan nyeri pada tulang dan
sendi pada Ny. W terutama pada sendi sendi kecil menyebabkan penurunan
pergerakan antar sendi dan menjadi lebih mudah terjatuh. Hal tersebut sesuai
dengan teori, jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia
pada lansia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan
partikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi
degenerasi, erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi sehingga
sendi kehilangan fleksibilitasnya yang berdampak pada penurunan luas gerak
sendi dan menimbulkan kekakuan sendi (Bonder & Wagner, 1994). Selain itu
juga mengalami penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke berdiri. Ny.
W juga terdapat penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot seperti Ny. W tidak
sanggup lagi untuk mencuci bajunya sendiri. Perubahan morfologis pada otot
menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan
kekuatan otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan
rileksasi, dan kinerja fungsional. Setelah melewati usia 30 tahun, manusia
akan kehilangan kira-kira 3-5% jaringan otot total per dekade. Penurunan
fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu penurunan kemampuan
mempertahankan keseimbangan tubuh, hambatan dalam gerak duduk ke
berdiri, peningkatan risiko jatuh, perubahan postur (Bonder & Wagner,
1994).

38
Pada pasien yang ketiga yaitu Ny. S 80 tahun, mengalami gangguan
penglihatan, pendengaran dan resiko jatuh. Gangguan penglihatan yang
dialami Ny. S yaitu presbiopia dan ektropion. Ny. S mengeluh kesukaran
dalam membaca huruf kecil (penurunan visus), keluhan tersebut merupakan
gejala dan tanda presbiopia. Penurunan daya akomodasi dengan manifestasi
presbiopia dimana seseorang akan kesulitan untuk melihat dekat dipengaruhi
oleh berkurangnya elastisitas lensa dan perubahan pada muskulus siliaris oleh
karena proses penuaan (Wilardjo & Martono, 2015). Selain itu, terdapat
kelopak mata bagian tepi atau margo palpebra melipat ke arah dalam, bulu
mata tumbuh ke arah dalam. Hal tersebut merupakan gejala dan tanda dari
entropion.
Gangguan pendengaran yang dialami Ny. S yaitu terdapat kesulitan
dalam membedakan arah suara dan meminta orang lain untuk mengulang
perkataannya. Hal tersebut disebabkan pada fungsi pendengarannya
mengalami gangguan terhadap lokalisasi suara, dan persepsi pendengaran
abnormal. Sesuai dengan teori bahwa pada lansia seringkali sudah terdapat
gangguan dalam membedakan arah suara terutama dalam lingkungan yang
agak bising (Wilardjo & Martono, 2015).
Pada sistem digestifnya Ny. S mengeluh adanya sembelit. Hal tersebut
disebabkan adanya penurunan pada peristaltik usus sehingga menyebabkan
keluhan sembelit. Menurut Stanley (2006), Peristaltik atau gerakan usus yang
semakin menurun dengan menyebabkan semakin lambatnya makanan
bergerak melalui system pencernaan. Keluhan yang sering ditemui selain
sebah, penuh, juga sembelit (sukar buang air).
Faktor resiko jatuh pada Ny. S yaitu adanya faktor intrinsik yaitu
mengalami keluhan nyeri tulang dan sendi, kaku sendi, penurunan
kemampuan bergerak dari duduk ke beridiri, berjongkok, berjalan, penurunan
kekuatan dan fleksibilitas otot serta penurunan keseimbangan ditandai dengan
sering terjatuh.

39
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil TPP ini yaitu:
1. Penurunan fungsi pendengaran yang dialami pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha yaitu gangguan pada lokalisasi suara, persepsi
pendengaran abnormal, dan tinnitus.
2. Penurunan fungsi penglihatan yang dialami pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha yaitu kesulitan pada saat mengangkat palpebral superior,
penurunan daya akomodasi, perubahan struktur lensa dan perubahan
struktur pada kelopak mata
3. Penurunan fungsi digestif yang dialami pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha yaitu berkurangnya jumlah gigi, menurunnya jumlah saliva dan
mulut kering.
4. Risiko jatuh yang yang dialami pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
yaitu sebagian besar disebabkan oleh faktor intrinsik dibandingkan faktor
ekstrinsik. Faktor instrinsiknya yaitu adanya keluhan nyeri pada tulang,
kekauan sendi, penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot, serta adanya
gangguan keseimbangan sehingga beresiko untuk mudah jatuh. Faktor
ekstrinsiknya yaitu lantai kamar yang licin.

5.2 Saran
Adapun saran yang diberikan dari hasil tpp yang telah penulis lakukan yaitu:
1. Mahasiswa diharapkan mempersiapkan dengan baik segala keperluan
yang dibutuhkan sebelum melakukan kegiatan TPP, agar pelaksanaan
TPP dapat berjalan dengan lancar.
2. Mahasiswa meningkatkan kemampuan berkomunikasi agar kegiatan
TPP dapat berjalan dengan baik untuk mecapai tujuan yang diinginkan.

40
LAMPIRAN 1

Ceklist Identifikasi Pada Lansia

Nama :

Usia :

Gangguan penglihatan

No Gangguan Ya Tidak

1 Kesulitan mengangkat palpebra superior

2 Terbatasnya lapangan pandang

3 Keluhan mudah silau

4 Keluhan seperti melihat asap

5 Kesukaran dalam membaca huruf huruf kecil


(penurunan visus)

6 Melipatnya kelopak mata bagian tepi atau margo


palpebra ke arah dalam

7 Bulu mata tumbuh ke arah dalam

8 Mata berair

9 Mata sering gatal

10 Mata merah

11 Tepi kelopak mata membeber atau mengarah


keluar sehingga bagian dalam kelopak atau
konjungtiva tarsal berhubungan langsung dengan

41
dunia luar

12 Konjungtiva palpebra hiperemi dan hipertrofi

13 Konjungtiva bulbi hiperemi

Gangguan Pendengaran
No Gangguan Ya Tidak

1 Apakah terdapat suara bising yang berdenging?

2 Apakah terdapat perasaan tidak stabil yang terasa


seperti bergoyang atau berputar?

3 Apakah terdapat kesulitan dalam membedakan


arah suara?

4 Apakah terdapat penurunan/hilangnya


pendengaran pada suara atau nada tinggi? (sulit
mendengar bunyi yang berfrekuensi tinggi)

5 Meminta orang lain untuk mengulang


perkataannya

6 Respon pasien tidak sesuai dalam percakapan


karena suara-suara terdengar seperti bergumam,
sehingga mereka sulit untuk mengerti
pembicaraan

Gangguan Digestif
No Gangguan Ya Tidak
1 Apakah masih memiliki gigi yang lengkap?
Berapa jumlah gigi?

42
2 Apakah mengalami penurunan jumlah saliva?

Apakah mengalami mulut kering?

Apakah mengalami sulit menelan?

3 Apakah sering merasa perut terasa penuh atau


kembung?

4 Apakah mengalami keluhan sembelit


(Konstipasi)?

Berapa kali frekuensi BAB?

Risiko Jatuh
No Gangguan Ya Tidak
Faktor Intrinsik
1 Apakah lansia memiliki keluhan nyeri pada
tulang dan sendi?

Apakah lansia memiliki keluhan kaku sendi?

2 Apakah lansia mengalami penurunan kemampuan


bergerak dari duduk ke berdiri?

3 Apakah lansia mengalami penurunan kemampuan


jongkok ?

4 Apakah lansia mengalami penurunan kemampuan


berjalan?

43
5 Apakah lansia mengalami penurunan kekuatan
dan fleksibilitas otot?

6 Apakah lansia memiliki keluhan penurunan


keseimbangan, ditandai dengan sering terjatuh?

Faktor Ekstrinsik
1 Apakah penerangan pada kamar pasien baik?
2 Bagaimana keadaan lantai? Apakah basah atau
licin?

3 Apakah terdapat tempat berpegangan? Apakah


tempat berpegangan kuat atau tidak?

44
LAMPIRAN 2

Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Observasi pada pasien 1 Gambar 1. Observasi pada pasien 2

Gambar 3. Observasi pada pasien 3

45

Anda mungkin juga menyukai