Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Penyakit ini

menyerang 4 sampai 7 dari 1000 orang. Skizofrenia biasanya menyerang pasien

dewasa yang berusia 15-35 tahun. Diperkirakan terdapat 50 juta penderita di dunia,

50% dari penderita tidak menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita

yang tidak mendapat pengobatan tepat tersebut terjadi di negara berkembang. Di

Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat (skizofrenia) sebesar 0,46%. Sulawesi

Tengah menempati peringkat pertama dari provinsi lain yang berada di Sulawesi

dengan penderita skizofrenia sebesar 0,53%.1

Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai suatu gangguan psikotik,

banyak tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Pada awalnya, Benedict Morel

(1809-1926), seorang dokter psikiatrik dari Perancis, menggunakan istilah dmence

prcoce untuk pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja yang

mengalami perburukan. Kemudian, Emil Kreaplin (1856-1926) yang

menerjemahkan istilah dmence prcoce menjadi demensia prekoks yaitu suatu

istilah yang menekankan proses kognitif (demensia) dan awitan dini (prekoks) yang

nyata. Istilah skizofrenia itu sendiri mulai dicetuskan oleh Eugen Bleuler (1857-

1939) sebagai pengganti demensia prekoks. Bleuler mengidentifikasi symptom

dasar dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A, antara lain : Asosiasi, Afek,

Autisme dan Ambivalensi.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum

diketahui) dan perjalan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deperioreting)

yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh

genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan

yang fundamental dan karakterisktik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek

yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan

intelektual biasanya terpelihara walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat

berkembang kemudian.2

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizen yang berarti terpisah

atau pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia terjadi

pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku.

Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh

gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta

dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.3

Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi

pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai

kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi

skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utama yang terdapat pada

pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid.2 Skizofrenia paranoid

merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan paling stabil,

2
dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien skizofrenia

paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-

gejala paranoid.3

2.2 SEJARAH

Bleuler mencetuskan istilah skizofrenia, yang menggantikan demensia

prekops didalam litelatur. Bleuler berpendapat bahwa istilah untuk

menandakan adanya perpecahan ( Schism) antara pikiran, emosi, dan perilaku

pada pasien yang terkena. Tetapi istilah tersebut keliru dimengerti secara luas

khususnya bagi masyarakat awam, sebagai menandakan kepribadian yang

terbelah (split personality). Kepribadian terbelah (sekarang dinamakan

gangguan identitas disosiatif) adalah suatu gangguan yang berbeda sama

sekali yang dikatagorikan dalam Diagnostik N Statistical Manual of Mental

Disorder Edisi ke-IV (DSM IV) dengan gangguan disosiatif lainnya.

Perbedaan utama yang ditarik Bleuler antara konsepnya tentang

skizofrenia dan konsep Kraepelin tetang demensia prikops adalah bahwa

perjalan yang memburuk tidak diperlukan dalam konsep skizofrenia, seperti

pada demensia prikops.4,5

4A. Untuk lebih menjelaskan teorinya tentang perpecahan mental internal

pada pasien yang terkena, Bleuler menggambarkan gejala fundamental

spesifik untuk skizofrenia termasuk suatu gangguan pikiran yang ditandai

dengan asosiasi longgar. Gejalan fundamental lainnya adalah gangguan

afektif, autisme, dan ambivalensi. Bleuler juga menggambarkan gejala

pelengkap (sekunder) yang termasuk halusinasi dan waham.5

3
2.3 EPIDEMIOLOGI
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan

angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia.

Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5

sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik. Skizofrenia yang

menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawah usia

25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas

sosial.1

Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan risiko

morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir

masa remaja atau awal dewasa. Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun

atau di atas usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset skizofrenia

yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15

sampai 25 tahun, dan untuk wanita usia puncak onsetnya adalah 25 sampai 35

tahun.1

Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung mengalami

hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita lebih

cenderung memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada pria

sebelum awitan penyakit. Secara umum, hasil akhir pasin skizofrenia wanita

lebih baik dibandingkan hasil akhir pasien skizofrenia pria.

2.4 ETIOLOGI
Walapun skizofrenia dibicarakan seakan-akan merupakan penyakit

tunggal, kategori diagnostik dapat termasuk berbagai gangguan yang tampak

dengan gejala perilaku yang agak mirip. Skizofrenia kemungkinan merupakan

4
suatu kelompok gangguan dengan penyebab yang berbeda dan secara pasti

memasukkan pasien yang gambaran klinisnya, respon pengobatannya, dan

perjalanan penyakitnya bervariasi.4,5

2.4.1 Faktor Neurobiologis

Terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan

adanya peran patofisiologi area otak tertentu termasuk sistem limbik,

korteks frontal, cerebellum, ganglia basalis. Keempat area ini saling

terhubung sehingga disfungsi satu area dapat melibatkan proses

patologi primer ditempat lain.4,5. Thalamus dan batang otak juga terlibat

karena peranan thalamus sebagai mekanisme mengintegrasikan dan

kenyataan bahwa batang otak dan otak tengah adalah lokasi utama bagi

neuron aminergik assenden tetapi, sistem limbik semakin merupakan

perhatian dari kebanyakan pengujian untuk membangun teori sebagai

contohnya, satu penelitian tentang kembar yang tidak sama-sama

menderita skizofrenia dengan menggunakan pecitraan resonansi

magnetik dan pengukuran aliran darah serebral.6

Dua area yang menjadi subjek penelitian aktif adalah waktu ketika

suatu lesi neuropatologi terlihat diotak serta interaksi lesi tersebut

dengan sesor sosial dan lingkungan. Dasar penampakan abnormalitas

otak mungkin terletak pada pembentukan abnormal (contohnya migrasi

abnormal neuron disepanjang sel glia radial selama pembentukan) atau

pada degenerasi neuron setelah pembentukan contohnya, kematian sel

terprogram yang terlalu dini seperti yang tampak pada penyakit

(huntington) namun fakta bahwa kembar monozigotik memiliki angka

5
kejadian bersama sebesar 50% menyiratkan adanya interaksi yang

masih sangat sedikit yang diketahui antara lingkungan dan timbulnya

skizofrenia.4,5

Hipotesis dopamin, rumusan yang paling sederhana dari hipotesis

dopamin untuk skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan

dari terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik.4

2.4.2 Faktor Genetika4

Hubungan Presentasi Terjadinya Skizofrenia


Populasi umum 1%
Kembar monozigotik 40 - 50 %
Kembar dizigotik 10 - 15 %
Saudara kandung skizofrenia 10 %
Orang tua 5%
Anak dari salah satu orang tua 10 - 15 %
skizofrenia
Anak dari kedua orang tua 30 - 40 %
skizofrenia
Tabel 1. Risiko Terjadinya Skizofrenia Selama Kehidupan.4
Sadock J. Benjamin & Sadock A. Virginia. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta
: Buku Kedokteran EGC. 2010. Hal : 148

2.4.3 Faktor Psikososial


Jika skizofrenia merupakan penyakit otak, maka penyakit ini

mungkin sejalan dengan penyakit organ lain (contohnya infark

miokardium dan diabetes) yang perjalanan penyakitnya dipengaruhi

stres psikososial. Seperti halnya penyakit kronik lain (misalnya

penyakit paru kongestif kronik) terapi obat sendiri jarang memadai

6
untuk memperoleh perbaikan klinis maksimal oleh sebab itu, klinisi

sebaiknya mempertimbangkan faktor psikososial yang memengaruhi

skizofrenia. Meskipun secara historis para pembuat teori menyatakan

faktor psikososial berperan dalam terjadinya skizofrenia.4

2.5 PATOFISIOLOGI
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmiter juga diidentifikasi

sebagai penyebab skizofrenia. Ketidakseimbangan terjadi antara lain pada

dopamin yang mengalami peningkatan dalam aktivitasnya. Selain itu, terjadi

juga penurunan pada serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-

aminobutyric acid (GABA) yang pada akhirnya juga mengakibatkan

peningkatkan dopaminergik. Neuroanatomi dari jalur neuronal dopamin pada

otak dapat menjelaskan gejala-gejala skizofrenia.6

Gambar 3. Terdapat 5 (lima) jalur dopamin pada otak.12


Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahls
Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 26.

Terdapat lima jalur dopamin dalam otak, yaitu :6

7
a. Jalur Mesolimbik: berproyeksi dari area midbrain ventral tegmental ke

batang otak menuju nucleus akumbens di ventral striatum. Jalur ini

memiliki fungsi berhubungan dengan memori, indera pembau, efek

viseral automatis, dan perilaku emosional. Hiperaktivitas pada jalur

mesolimbik akan menyebabkan gangguan berupa gejala positif seperti

waham dan halusinasi6 ;

Gambar 4. Jalur mesolimbik dopamin pada otak yang menyebabkan


gejala positif.6
Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers :
Stahls Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 27.

b. Jalur Mesokortikal: berproyeksi dari daerah tegmental ventral ke

korteks prefrontal. Berfungsi pada insight, penilaian, kesadaran sosial,

menahan diri, dan aktifitas kognisi. Hipofungsi pada jalur mesokortikal

akan menyebabkan gangguan berupa gejala negatif dan kognitif pada

skizofrenia. Jalur mesokortikal terdiri dari mediasi gejala kognitif

8
(dorsolateral prefrontal cortex / DLPFC ) dan gejala afektif (ventromedial

prefrontal cortex / VMPFC) skizofrenia.6

Gambar 5. Jalur mesokortical dopamin pada otak 6


Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers :
Stahls Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 29.

9
c. Jalur Nigrostriatal: sistem nigrostriatal mengandung sekitar 80% dari

dopamin otak. Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra ke basal ganglia

atau striatum (kauda dan putamen). Jalur ini berfungsi menginervasi

sistem motorik dan ekstrapiramidal. Dopamin pada jalur nigrostriatal

berhubungan dengan efek neurologis (Ekstrapiramidal / EPS) yang

disebabkan oleh obat-obatan antipsikotik tipikal / APG-I (Dopamin D2

antagonis).6

Gambar 6. Jalur nigrostriatal dopamin pada otak.6


Sumber : 12Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers :
Stahls Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 32.

d. Jalur Tuberoinfundibular: organisasi dalam hipotalamus dan

memproyeksikan pada anterior glandula pituitari. Fungsi dopamin disini

mengambil andil dalam fungsi endokrin, menimbulkan rasa lapar, haus,

fungsi metabolisme, kontrol temperatur, pencernaan, gairah seksual, dan

ritme sirkardian. Obat- obat antipsikotik mempunyai efek samping pada

fungsi ini dimana terdapat gangguan endokrin.6

10
Gambar 7. Jalur tuberoinfundibular dopamin pada otak.6
Sumber : 12 Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers :
Stahls Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 32.

e. Jalur Thalamus : Jalur kelima berasal dari berbagai tempat, termasuk

periaqueductal gray, ventral mesencephalon, hypothalamus nukleus,

nukleus parabrachial lateral, yang berproyeksi ke thalamus. Namun,

fungsinya masih belum diketahui.6

Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi

dari skizofrenia adalah hipotesa dopamin. Hipotesa ini secara sederhana

menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas

dopaminergik. Hipotesis ini disokong dari hasil observasi pada beberapa obat

antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia dimana

berhubungan dengan kemampuannya menghambat dopamin (D2) reseptor.

11
Gambar 8. Hipotesis dopamin pada skizofrenia.6
Sumber : Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood Stabilizers : Stahls
12

Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 34.

2.6 MANIFESTASI KLINIK

Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan bahwa

tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih

waham atau halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain

yang mengarahkan pada tipe terdisorganisasi, katatonik, afek datar, atau tidak

sesuai.4,5

2.7 KRITERIA DIAGNOSA

Sementara berdasarkan PPDGJ-III untuk memdiagnosis skizofrenia

paranoid harus memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia dan sebagai

12
tambahannya terdapat: Halusinasi dan atau waham arus menonjol, suara-

suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau

halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),

mendengung (humming) atau bunyi tawa (laughing). Halusinasi

pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , atau lain-lain,

perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan

(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity

(delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam,

adalah yang paling khas. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan

pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak


2
menonjol.

Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi

kriteria DSM-IV-TR, yaitu:2

1. Berlangsung paling sedikit enam bulan

2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan,

hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi

3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode

tersebut

4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan

mood mayor, autisme, atau gangguan organik.

Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari

subtipe yang telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas

13
manifestasi perilaku yang paling menonjol. Berdasarkan PPDGJI-III, maka

pedoman diagnostik skizofrenia paranoid (F20.0), yaitu :2

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Sebagai tambahan :

Halusinasi dan/atau waham harus menonjol

a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi

perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi

pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa

(laughing);

b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,

atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi

jarang menonjol;

c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham

dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of

influence), atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan

dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas

Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala

katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol

2.8 DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding pada pasien skizofrenia paranoid adalah gangguan

epilepsi dan psikosis yang diinduksi obat-obatan, keadaan paranoid

involusional, paranoia.2

Diagnosa banding psikiatri biasanya mencakup semoa bentuk gangguan

mood dan skizofrenia. Pada setiap diagnosis banding gangguan psikotik,

14
pemeriksa medis lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab

organik gejala. Riwayat penyalahgunaan obat dengan atau tampak uji

penapisan toksikologi positif dapat mengindikasikan gangguan perinduksi

zat. Keadaan medis sebelumnya, pengobatan, atau keduanya dapat

menyebakan gangguan psikotik dan mood. Setiap kecurigaan terhadap

neurologis perlu didukung dengan pemeriksaan Scan otak untuk

menyingkirkan patologi anatomis dan elektroencefalogram untuk

menentukan setiap gangguan bangkitan yang mungkin (epilepsi lobus

temporalis) dan gangguan psikotik akibat gangguan bangkitan lebih sering

terjadi dari pada yang terlihat pada populasi umum. Gangguan tersebut

cenderung ditandai dengan paranoia, halusinasi, dan ide rujukan.4

2.9 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,

sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan

penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran

mental).2,6 Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan

pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat

berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah.6

Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia paranoid dapat

berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis.

PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGIS
Rawat Inap / Hospitalisasi

Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat di

rumah sakit.6 Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan

15
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan

di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya

fasilitas pengobatan rawat jalan.4 Rawat inap diindikasikan terutama untuk

:1,3

1. Tujuan diagnostik

2. Stabilisasi pengobatan

3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau pembunuhan,

maupun mengancam lingkungan sekitar

4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya, termasuk,

ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang

dan papan

5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga maupun

lingkungan

6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa

Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem

pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat inap.3 Rawat inap

dan layanan rehabilitasi masyarakat juga bertujuan untuk memaksimalkan

kemandirian pasien (contohnya dengan melatih keterampilan hidup sehari-

hari), karena pada pasien dengan gejala sisa (contohnya gejala negatif dan

kognitif) mungkin tidak dapat hidup mandiri.2 Setelah keluar dari rumah

sakit, pasien tersebut perlu di follow-up teratur oleh ahli psikiatri.6

Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial (Sosioterapi)

16
Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah psikoterapi

suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan

maksud mengembalikan penderita ke masyarakat. Terapi perilaku kognitif

(cognitive behavioural therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam

membantu pasien mengatasi waham dan halusinasi yang menetap.

Tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan,

dan tidak secara langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga dapat

membantu mereka megurangi ekspresi emosi yang berlebihan dan terbukti

efektif mencegah kekambuhan.6

Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi

dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Hal ini dimaksudkan

agar pasien tidak mengasingkan diri dan terapi ini sangat penting dalam

menjaga kepercayaan diri dan kualitas hidupnya. Penting sekali untuk

menjaga komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga.6

PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS
Pemberian obat-obat anti-psikosis

Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom psikosis

fungsional) merupakan penatalaksanaan yang utama. Pengobatan anti-

psikosis diperkenalkan awal tahun 1950-an.6 Pemilihan jenis obat anti-

psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan (fase akut atau

kronis) dan efek samping obat.7 Fase akut biasanya ditandai oleh gejala

psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.

Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat

pengobatan simtomatik.6 Obat anti-psikosis efektif mengobati gejala

17
positif pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena

passivity) dan mencegah kekambuhan. Obat-obat ini hanya mengatasi

gejala gangguan dan tidak menyembuhkan skizofrenia. Pengobatan dapat

diberikan secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka

panjang.6

Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia,

pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek

samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan

mengurangi ketaatanberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan

(adherence). Dianjurkan untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau

antipsikosis tipikal, tetapi dengan dosis yang rendah.6

Gambar 9. Sifat obat antipsikotik konvensional adalah kemampuan


mereka untuk memblokir reseptor dopamin D2 khususnya di jalur

18
dopamin mesolimbik. Sehingga akan mengurangi hiperaktivitas pada
jalur dopamin mesolimbik dan mengurangi gejala positif.
Sumber : 11Antipsychotic Agents. Stahls Essential Psychopharmacology. 4 th
Edition. http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas

neurotransmitter dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem

dopaminergik sentral).6 Pada umumnya, pemberian obat anti-psikosis

sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun, setelah semua gejala

psikosis mereda sama sekali. Efek obat anti-psikosis secara relatif

berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih

mempunyai efek klinis.6 Obat anti-psikosis dibagi dalam dua kelompok,

berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:6

1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis generasi I

(APG-I)

Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau tipikal.

Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam

mem-blokade atau menghambat pengikatan dopamin pada reseptor pasca-

sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem

ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), hal inilah yang

diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.7 Oleh karena

kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih efektif untuk gejala positif, contohnya

gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikir yang tidak wajar (waham),

gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan untuk terapi gejala negatif.6

Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki dua kekurangan utama, yaitu :

19
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang cukup

tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup

normal

b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang

mengganggu dan serius. Efek menganggu yang paling utama adalah

akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis


Anjurkan
Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25 - 100 150 - 600
mg mg/hari
Promactil Tab. 100 mg
Meprosetil Tab. 100 mg
Cepezet Tab. 100 mg
Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg
Trilafon Tab 2 - 4 - 8 mg
Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 mg 10 - 15
mg/hari
Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 5 mg 10 - 15
mg/hari
Thioridazine Melleril Tab. 50 - 100 150 - 300
mg mg/hari
Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - 1,5 5 - 15 mg/hari
mg
Dores Tab. 1,5 mg
Serenace Tab. 0,5 - 1,5
mg
Haldol Tab. 2 - 5 mg
Govotil Tab. 2 - 5 mg
Lodomer Tab 2 - 5 mg
Pimozide Orap Forte Tab. 4 mg 2 - 4 mg/hari

Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang


beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).6,7
Sumber : 8Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic
Medication). Edisi 3. Hal 14.

Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam satu

dosis oral harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang stabil

dan telah menyesuaikan dengan efek samping apa pun.7 Prototip kelompok

20
obat APG-I adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini

sampai sekarang masih tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena

ketersediannya dan harganya murah.6

Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang

mempengaruhi ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala

parkinsonisme (efek esktrapiramidal / EPS).6 Semua obat APG-I dapat

menimbulkan efek samping EPS (ekstrapiramidal), seperti distonia akut,

akathisia, sindrom Parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas).7 EFek

samping ini dibagi menjadi efek akut, yaitu efek yang terjadi pada hari-

hari atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat, sedangkan efek

kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun

menggunakan obat.6 Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-I, maka

harus disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai obat

antidotum.

2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis generasi II

(APG-II)

Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi

pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan

obat ini sedikit menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS =

extrapyramidal symptom).7 Obat APG-II disebut juga obat anti-psikosis

baru atau atipikal. Standar emas terbaru untuk pemberian obat anti-

psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat APG-II memiliki

efek samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan

21
antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik

yang lebih luas.6

Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas terhadap

Dopamine D2 Receptors (sama seperti APG-I) dan juga berafinitas

terhadap Serotonin 5 HT2 Receptors (Serotonin-dopamine antagonist),

sehingga efektif terhadap gejala positif (waham, halusinasi, inkoherensi)

maupun gejala negatif (afek tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik

diri).6

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan


Sulpride Dogmatil Forte Tab. 200 mg 300 - 600 mg/hari
Clozapine Clorazil Tab. 25 - 100 mg 25 - 100 mg/hari
Sizoril Tab. 25 - 100 mg
Olanzapine Zyprexa Tab. 5 - 10 mg 10 - 20 mg/hari
Quetiapine Seroquel Tab. 25 - 100 mg 50 - 400 mg/hari
Zotepine Lodopin Tab. 25 - 50 mg 75 - 100 mg/hari
Risperidone Risperidone Tab 1 - 2 - 3 mg 2 - 6 mg/hari
Risperidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Neripros Tab. 1 - 2 - 3 mg
Persidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Rizodal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Zofredal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Aripiprazole Abilify Tab. 10 - 15 mg 10 - 15 mg/hari

Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran (yang


beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).6,7
Sumber : 8Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic
Medication). Edisi 3. Hal 14-15.

Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan

diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi,

bicara kacau), maka obat anti-psikosis atipikal perlu dipertimbangkan.6

22
2.10 PROGNOSIS

Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa

sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa

kepribadiannya selalu akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi

mental).4,5,6 Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bila penderita itu

datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira

sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery).

Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih

didapati cacat sedikit yang mereka masih harus sering diperiksa dan diobati

selanjutnya (social recovery).4,5,6

Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk

menghilangkan gejala.4,5,6 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama,

sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam

lima tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri.4,5,6 Kira-kira 50 persen dari

semua pasien dengan skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali

selama hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal

karena bunuh diri selama periode follow-up 20 tahun.4,5,6 Pasien skizofrenik

laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk melakukan bunuh diri.

Prognosis Baik Prognosis Buruk

Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus

Onset akut Onset tidak jelas

23
Riwayat sosial, seksual, dan Riwayat sosial, seksual, dan
pekerjaan pramorbid yang baik pekerjaan pramorbid yang buruk

Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri, autistic


gangguan depresif)
Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau
janda/duda

Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia


(tidak ada keluarga yang menderita
skizofrenia)
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk
(terutama dari keluarga) untuk untuk kesembuhan pasien
kesembuhan pasien
Gejala positif Gejala negative

Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis

Riwayat trauma perinatal

Tidak ada remisi dalam tiga tahun

Sering timbul relaps

Riwayat penyerangan

Tabel 4. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia.4,5,6


Sumber : 3Skizofrenia. Kaplan & Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Hal 156.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Online Jurnal of Natural Science, Vol.3(2): 18-29 Agustus 2014.

2. Maslim, R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa PPDGJ-III. Jakarta : Ilmu

Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya; 2001. hlm.

46.

3. Jurnal Diagnosis and Management of the Paranoid Schizophrenia with

Positive and Negative Symptoms. J. Medula Unila. Volume 4. Januari 2016.

4. Sadock J. Benjamin & Sadock A. Virginia. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2.

Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2010:147-68.

5. MD. Kaplan I Harold, MD. Sadock. Benjamin, & MD. Grebb. A.K. Jack ,

Sinopsis Psikiatri - Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Edisi

ke-7. Tanggerang : Binarupa Aksara Publisher. 2010:699-744.


12
6. Jurnal Sumber : Psychosis and Schizophrenia. Antipsychotics and Mood

Stabilizers : Stahls Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. Page 26.

25

Anda mungkin juga menyukai