Anda di halaman 1dari 3

Berikut juga tulisan saya yang pernah saya serahkan untuk tugas PSAF 2010.

tulisan di Blog ini


hanya sekedar publikasi saja. daripada tertumpuk di kamar saya atau hanya menjadi file saja di
hard drive saya, saya pikir akan lebih bermanfaat jika dipublikasikan walau hanya sekadar
dalam blog.

Jejas Seluler dan Kematian Sel

Oleh : Muhammad Aris Furqon

Judul : Cedera dan Kematian Selular

Penulis :Lorraine M. Wilson

Sumber : Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. 2003.Patofisiologi konsep klinis proses-


proses penyakit edisi 6 volume 1. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC.

Sel secara harfiah adalah unit dasar kehidupan terkecil yang memiliki manifestasi fenomena
yang berkaita dengan kehidupan sehingga masuk akal bila sel juga merupakan unit dasar
penyakit(1). Sel ini sendiri digambarkan dibatasi oleh membrane sel yang terdiri dari dua lapis
fosfolipid(2). Di membran ini terdapat banyak zat seperti protein, glikolipid, dan kolesterol
yang memiliki funsi tertentu mulai dari sebagai reseptor hormon sampai sebagai alat pelekat
dengan sel-sel di sekitarnya atau dengan matriks jaringan(2).

Sel manusia itu sendiri terdiri dari sitoplasma dan inti (nukleus)(2). Sitoplasma terdiri dari
larutan air dan organel yang tertambat pada tempatnya masing-masing dan di tempat inilah
sebagian besar aktifitas sel berlangsung(4). Inti sel adalah adalah sebuah tubuh berbentuk bulat
yang terdapat pada sel eukariotik , terpisah dari dari sitoplasma dengan membran inti (membran
ini memiliki pori-pori yang menembusnya memungkinkan terjadinya komunikasi dengan
sitoplasma), dan mengandung kromatin, sebuah nuklelus, dan nukleoplasma. Di dalam dalam
inti sel informasi genetik di simpan dan transkripsi RNA berlangsung(4).

Banyak hal yang dapat mengakibatkan cedera dan kematian sel, tetapi yang paling sering adalah
kekurangan nutrisi dan oksigen(1). Sel-sel bergantung pada asupan nutrisi dan oksigen yang
adequat dan kontinu untuk menghasilkan energi yang nantinya digunakan untuk menggerakkan
mesin sel dan mempertahankan integritas berbagai komponen sel(1).

Tipe kedua cedera adalah fisik, yang meliputi gangguan sel yang sebenarnya atau paling tidak
banyak gangguan hubungan spasial yang biasa di antara berbagai organel atau structural satu
atau lebih tipe organel(1). Dengan demikian, cara cedera mekanis dan termal merupakan
penyebab signifikan terjadinya penyakit pada manusia. Selain itu cedera fisik juga bisa terjadi
karena perubahan tekanan yang mendadak, radiasi, dan kejutan listrik meskipun hal ini jarang
terjadi(1).

Cara ketiga yang dapat menyebabkan cedera seluler adalah agen infeksius(1). Organisme
organisme tertentu dapat menyebabkan terjadinya cedera pada sel dengan berbagai cara(1).

Cara keempat yang dapat menyebabkan cedera seluler adalah reaksi reaksi imunologik. Sistem
imun merupakan system yang bertindak untuk mengatasi serangan antigen asing, tetapi pada
beberapa kasus hal ini bersifat merugikan (1)seperti pada kasus autoimun saat sel-sel pertahanan
tubuh justru menyerang sel sel tubuh sendiri atau pada reaksi hipersensitivitas seperti pada
sengatan lebah untuk pertam kali racun yang masuk pada tubuh hanya menyebabkan bengkak
dan sakit pada tempat sengatan, tetapi untuk kedua-kalinya sengatan ini akan memicu reaksi
yang berlebihan oleh sel mast yang telah mengenal racun tadi sebagai antigen asing melalui
terbentuknya imunoglobulin E pada permukaan membran sel mast yang pada akhirnya memicu
anafilaksis(1,3).
Cara yang kelima adalah melalui agen-agen kimia. Tidak hanya zat-zat toksik yang masuk ke
dalam sel-sel dari luar tetapi juga penimbunan substansi endogen dapat mencederai sel (1).

Bila sel mengalami cedera, tetapi tidak mati, sel tersebut akan mengalami perubahan
morfologik(1). Contoh pertama apabila terjadi gangguan pada pembentukan ATP dan aktifitas
membran, hal ini akan menyebabkan sel tidak mampu memompa keluar ion natrium dalam
jumlah yang cukup(1). Jika hal ini terjadi maka air akan bergerak masuk karena osmosis dan
pada akhirnya menyebabkan pembengkakkan seluler(1). Contoh lain adalah steatosis yaitu
munculnya vakuola-vakuola yang berisi lipid yang bisa ditemui pada banyak jenis sel yang bisa
disebabkan oleh hipoksia sehingga mengganggu metabolism seluler dan menimbulkan
penimbunan lemak yang berlebih(1). Pada sel hati, mengkonsumsi alkohol dapat menyebabkan
steatosis karena zat ini bersifat toksik(1,2).

Respon lain terhadap cedera adalah sel tersebut mengalami pengurangan massa, secara harfiah
sel menyusut menjadi lebih kecil Reaksi ini disebut atrofi(1,4). Atrofi meliputi autofagositosis,
sel mencerna organel-organelnya sendiri, terhadap organel yang rusak (1,2,4). Organel yang
rusak diasingkan dalam sebuah vakuola tersendiri dan dan dicernakan secara enzimatis oleh
lisosom (1,2). Proses pencernaan ini cenderung meninggalkan bekas yang sedikit demi sedikit
terakumulasi di dalam sel(1).

Namun tidak semua serangan diatas membuat sel mengalami gangguan fungsi. Pada
kenyataannya sel juga memiliki kemampuan adaptasi(1). Contohnya pada sel otot yang
mengalami tekanan yang lebih besar dari keadaan normal akan mengalami hipertrofi(1).
Berlawanan dengan atrofi, hipertrofi adalah proses pembesaran atau secara spesifik adalah
penambahan massa sel(4).

Jika serangan terhadap sel cukup berat maka sel tidak akan lagi mampu menanggulanginya dan
proses metabolisme akan berhenti(1). Pada beberapa poin proses-proses ini menjadi ireversibel
dan secara praktis sel mati(1). Bila hal ini terjadi pada sebuah sel, sekelompok sel, atau jaringan
maka sel atau jaringan tersebut dikatakan mengalami nekrosis(1).

Sel yang mengalami nekrosis tentu mengalami perubahan morfologi. Perubahan yang pertama
ada pada inti sel. Inti sel sel yang nekrosis akan menyusut, memiliki batas yang tidak teratur, dan
jika diwarnai dengan pewarna patologis berwarna gelap(1). Proses ini dinamakan piknosis dan
intinya disebut piknotik(1,4). Kemungkinan lain adalah inti sel akan hancur membentuk
fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar di dalam sel(1). Proses ini disebut
karioseksis(4). Akhirnya, pada beberapa keadaan, inti sel akan tidak dapat lagi diwarnai dan
benar-benar hilang, proses ini disebut sebagai kariolisis(1).

Selain nekrosis ada pola lain kematian sel yang disebut apoptosis. Pola ini sebenarnya telah
terprogram di dalam gen sel(1). Secara sederhana apoptosis bisa disebut proses bunuh diri sel
yang melibatkan enzim untuk mendegenerasi DNA inti dan protein sitoplasmanya sendiri
kemudian mengubah membran plasma sedemikian rupa sehingga dapat segera dikenali oleh sel
fagosit dan segara dibersihkan dari jaringan(1,6).

Apoptosis berguna dalam banyak hal(1). Dalam perkembangan dan pertumbuhan, pembentukan
jari-jari kaki dan tangan pada janin meliputi pembuangan oleh apoptosis pada jaringan di antara
jari-jari tersebut(1). Apoptosis juga berguna dalam menyingkirkan sel-sel tubuh yang berpotensi
menimbulkan ancaman bagi tubuh seperti pada sel-sel yang mengalami kerusakan DNA akan
mengalami apoptosis(1).

Demikian dapat disimpulkan ada lima golongan faktor yang dapat menimbulkan cedera pada sel
yaitu golongan kekurangan nutrisi dan oksigen, fisik, agen infeksius, reaksi imunologik, dan
agen kimia dan . Sel yang diserang akan mengalami cedera. Jika sel mampu bertahan dari cedera
akan mengalami perubahan morfologik yang dapat dikenali dengan mudah. Jika sel tidak
mampu bertahan atas cedera yang dialaminya maka sel akan mati. Kematian sel, sejumlah sel,
atau jaringan dengan perubahan-perubahan morfologis yang terakumulasi disebut nekrosis.
Selain nekrosis terdapat pola lain kematian sel yaitu apoptosis yaitu kematian sel yang telah
terprogram dalam gen sel tersebut.

Daftar pustaka :

1) Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. 2003.Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit


edisi 6 volume 1. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC.

2) Anthony L Mescher. 2010. Junqueiras Basic Histology Text and Atlas. Singapore :
McGrawHill.

3) Karmen Garna Baratawidjaja, Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar edisi ke-8. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI.

4) Douglas M. Anderson. 2007. Dorlands Illustrated Medical Dictionary 31st Edition.


Philadelphia : Saunders Elsevier.

5) Marsha D Ford, Kathleen A Delaney, Louis J Ling, Timothy Erickson. 2001. Clinical
Toxicology 1st Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier.

6) Vinay Kumar. 2001. Robbins Basic Pathology 8th edition. Philadelphia : Saunders Elsevier

Anda mungkin juga menyukai