Anda di halaman 1dari 1

Ayah, sudah kirim uangnya?

Hmm, aku mesti bersabar menunggu balasannya. Sudah tiga kali kukirim pesan ke handphone-nya,
namun belum ada balasan. Sayangnya aku tak punya pulsa untuk menelponnya. Mungkin hari ini aku
bernasib sama, makan mie instan di hari-hari awal bulan ini. Tak kusangka nasibku seperti akhir bulan
kemarin. Lagi-lagi aku mengurung di kamar kos ini. Berselimutkan diri, malas bergerak, dan tak punya
uang untuk membeli makanan untuk malam ini.

Pukul 8 malam. Kuharap hari ini cepat berganti. Kucoba memejamkan mataku. Bunyi-bunyi jangkrik
memekakkan telinga, sambut-menyambut terdengar. Tak kalah, satu-dua suara kodok sawah terdengar
dari arah petakan sawah di seberang sungai. Suara gemericik sungai di samping kamar kos ini perlahan
membawaku pada suara malam. Biarlah kali ini kudengar orkestra konvensional dari suara jangkrik dan
kodok sawah yang minta kawin, ditambah backsound gemericik air dengan tempo tetap yang
menenangkan. Tak ada salahnya waktu tahun pertama aku memilih kamar kos murah ini di samping
sungai yang membelah tanah di dekat Kampusku. Kamar ini menjadi istimewa untukku berdiam diri.
Terutama saat datangnya rasa lapar.

Drrt... Drrt... Drrt...

Handphone-ku bergetar tiga kali. Ada sebuah pesan. Kuharap dari ayahku yang berkata, Uangnya sudah
dikirim, cek di ATM, balas. Dengan langkah malas, aku mengambil handphone-ku yang tergeletak di
atas meja. Aku coba mengerjapkan mata, melihat samar-samar nama pengirim pesan di layar
handphone-ku. Rian, nama itu yang terbaca. Aku menghela napas pelan. Kali ini ada apa lagi...

Jangan lupa! Besok rapat program kerja terakhir kita di sekretariat Bem jam 4 sore! Kita mahasiswa!
Harap kumpul tepat waktu! Terimakasih...

Rapat lagi, setiap minggu rutin rapat program kerja tanpa membuahkan hasil konkrit. Percuma rasanya
ikut rapat besok, kalau ujung-ujungnya semua keputusan yang katanya musyawarah itu berasal dari
keputusan dia seorang, Rian sendiri yang memutuskan. Malas rasanya mengonfirmasikan kehadiran
untuk besok ke Ketua Diktator itu.

Bruukkk... Aku menjatuhkan diri ke kasur.

Kembali menyelimuti diri. Angin malam perlahan masuk lewat celah-celah pintu dan ventilasi kamarku.
Dingin merasuk. Kudekap bantal erat-erat, kusembunyikan keroncong di perutku.

Anda mungkin juga menyukai