Anda di halaman 1dari 9

SENYAWA ORGANIK SINTETIS

Masalah senyawa kimia organik mulai mengemuka sesaat setelah PD II (Rand


and Petrocelli, 1985; Walker, 2001). Hal ini terutama ditunjukkan oleh bahan-bahan
kimia sintetis seperti: PCBs (polychlorinated biphenyls), PBBs (polybrominated
biphenyls), TCDD (2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin) dan Dioksin-dioksin terkait,
Furan, PAHs (polycyclic aromatic hydrocarbons), PFCs (perfluorchemicals), dan
berbagai bahan pelarut (solvent) organik.

PCBs dan PBBs adalah bahan kimia industri bersifat lipofilik yang sangat stabil
baik secara kimia maupun biokimia, dan dapat mengalami proses biokonsentrasi dan
bioakumulasi yang sangat kuat yang dapat secara cepat mencapai konsentrasi yang
tinggi dalam jaringan tubuh organisme, terutama predator puncak. Karena konsekuensi
ekologisnya yang sangat tinggi, bahan-bahan kimia tersebut dilarang secara total atau
penggunaannya sangat dibatasi di banyak negara (Walker, 2001). PCBs adalah
kelompok dari sekitar 209 bahan/unsur penyusun (congeners) yang diproduksi oleh
industri kimia. PCBs dengan 5 atau lebih kelompok klorin adalah yang terbanyak dan
terluas diproduksi oleh fabrikan bahan kimia (Walker et al., 1996). PCBs umumnya
digunakan dalam industri elektronika, penerus panas, sistem hydraulic, penyusun
minyak pelumas, bahan pencampur cat dan tinta pada kertas cetak tanpa karbon
(Walker, 2001). Pemaparan pada PCBs dapat berdampak pada perubahan proses
biokimia, struktur sel, dan juga berdampak pada kapasitas reproduksi ikan dan hewan
periaran lainnya (Niimi, 1990). PCBs menjadi penyebab penurunan populasi beberapa
jenis burung pemakan ikan, mamalia laut di Laut Utara (Walker, 2001).

Gambar 1. Struktur Kimia Beberapa Senyawa Organik Sintetis.


64
A. PCBs

PCBs telah digunakan dalam industri sejak tahun 1930-an, pada peralatan listrik,
pabrik cat, plastik, senyawa-senyawa pelapis dan produksi kertas copy tanpa karbon
(sensitif terhadap tekanan). PCB memiliki sifat-sifat fisika-kimia yang luar biasa seperti
sangat stabil, kemampuan menahan dan menyimpan listrik dan panas. Hal ini yang
membuat PCBs menjadi sangat popular dalam industri dengan nama-nama dagang
yang berbeda: Aroclor (Monsanto, AS), Clophen (Bayer, Jerman), Phenoclor (Caffaro,
Italia), Pyralene (Prodelec, Perancis), Kanechlor (Kanegafushi, Jepang), Sovol (Rusia).
Bentuk PCBs komersial bervariasi dari minyak bening hingga bubuk halus, tergantung
kebutuhan aplikasi industrinya. Komposisi senyawa PCBs juga sangat bervariasi,
mengandung antara 20-60% Chlorine (w/w), dengan atom Chlorine yang bervariasi per-
molekulnya.

Secara teoritis, PCBs terdiri atas sekitar 209 senyawa penyusun (dikenal sebagai
congeners) dengan berbagai variasi dalam pola-pola substitusi Chlorine-nya. PCBs
mulai terdeteksi pada sampel lingkungan pada tahun
1960-an. Kelimpahan relatif PCBs dalam lingkungan
banyak ditentukan oleh banyaknya congeners pada
produk komersial, jumlah produk yang terjual dan
terpakai serta persistensi relatif dan transportasi
senyawa di lingkungan. Karena memiliki daya tahah
(persistensi) dan volatilitas yang relatif tinggi, maka
dalam jangka panjang PCBs diprediksi dapat
menjangkau tempat-tempat yang sangat jauh sebagai
konsekuensi transportasi baik di udara/atmosfir maupun dalam air. Oleh karena pola
transportasi tersebut, PCBs sudah terdeteksi di Kutub Selatan dan Kutub Utara, Laut
dalam di Atlantik Utara, dimana tidak ada sumber emisi dari penggunaan langsung di
wilayah-wilayah tersebut (AMAP, 1998). .

Data tentang produksi global dan penggunaan PCBs telah dikumpulkan selama
lebih dari 4 dekade, dan dari data-data tersebut besar kemungkinan PCBs akan tetap
berada di lingkungan untuk jangka waktu yang sangat lama. Pada penghujung tahun
1980, estimasi mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 374.000 ton PCBs di
lingkungan, dimana 232.000 ton terdapat dalam perairan laut, 3.500 ton dalam perairan
tawar dan sekitar 1.580 ton tersirkulasi dalam atmosfir (Tanabe, 1988). Masih menurut
Tanabe, diestimasi masih ada sekitar 783.000 ton PCBs yang masih tersimpan dalam
65
gudang atau bunker bawah tanah, yang sewaktu-waktu
berpotensi untuk memasuki lingkungan.

PCBs diketahui mengkontaminasi air, sedimen dan


biota laut, serta dapat tinggal dalam lingkungan laut hingga
beberapa dekade. Hal ini karena PCBs kebanyakan
terdapat dalam konsentrasi rendah, namun waktu paruh
degradasi yang sangat lama, bisa mencapai 200 tahun
(bergantung pada jenis dan variasi congeners-nya) (Moore
et al., 2002).

PCBs Dalam Air Laut

PCBs adalah senyawa yang bersifat hydrophobic yang daya larutnya sangat
rendah dalam air. Sehingga secara umum konsentrasinya dalam air laut sangat rendah,
sehingga teknik kuantifikasinya terbilang sulit. Umumnya dalam air laut yang telah
disaring, konsentrasinya hanya dalam kisaran pgL-1. Dalam karena sifatnya yang
lipophilic, maka konsentrasinya pada partikel dalam alut cukup tinggi, namun
distribusinya tidak merata di wilayah lautan. Pada lapisan permukaan mikro lautan
(SSM: sea surface microlayer) yang ketebalannya bervariasi antara beberapa m
hingga 1 mm, merupakan wilayah akumulasi PCBs karena kandungan partikel organik
karbon dan lemak yang tinggi pada SSM (Garabetian et al., 1993). Pada SSM
pengayaan konsentrasi bisa mencapai faktor akumlasi kelipatan 3, yang ternyata
banyak dibantu oleh tingginya kandungan minyak pada SSM. Oleh karena SSM juga
menjadi area yang kaya akan mikroorganisme dan zooneuston (termasuk larva
beberapa jenis ikan dan avertebrata), maka SSM menjadi salah satu area yang
mengkhawatirkan dalam hal distribusi dan bioakumulasi PCBs.

66
Nama Dagang, Pabrik dan Negara Penghasil PCBs

PCBs dalam Sedimen Laut

Sedimen merupakan tempat


berkumpulnya antara sampah-sampah
biologis dan fisik yang dianggap sebagai
tempat tenggelamnya berbagai jenis
bahan kimia. Kekhawatiran tentang
sorpsi PCBs yang terkait dengan
sedimen muncul karena banyak jenis
organisme yang menghabiskan cukup
banyak waktu hidupnya (sebagian siklus
atau seluruh hidupnya) di atas atau di dalam sedimen laut. Hal ini yang diduga
memberikan PCBs jalur untuk masuk dalam sistem trofik level. Di sedimen, terjadi
proses transfer bahan pencemar secara langsung dari sedimen atau air-interstitial ke
organisme, hal ini merupakan salah satu jalur utama pemaparan organisme pada
bahan pencemar (Walker and Peterson, 1994). Sorpsi PCBs ke dalam sedimen
merupakan mekanisme utama penghilangan PCBs dari kolom air, sehingga jelas
bahwa konsentrasi PCBs sangat jauh lebih tinggi dibanding pada kolom air. Sedimen
akan menjadi salah satu sumber pelepasan PCBs di lingkungan laut yang akan
memberikan pemaparan kronik pada biota, bahkan pada waktu dimana kontaminasi
PCBs telah dihentikan karena sudah tidak digunakan lagi.

67
PCBs dalam Organisme Laut

Sebagai konsekuensi dari sifat hidrofobik dan persistensi tinggi dari PCBs, maka
laju bioakumulasi dengan konsentrasi tinggi PCBs banyak ditemukan pada biota
(Stebbing et al., 1992; OSPAR, 2000) . PCBs secara efisien terakumulasi oleh
organisme laut yang diabsorpsi melalui permukaan tumbuh (mis. insang, kulit,
karapaks) atau melalui ingesti makanan yang terkontaminasi, menelan air atau partikel
sedimen.

Setelah masuk ke dalam organisme, PCBs akan terakumulasi dalam jaringan lemak
atau pada lokasi-lokasi yang mengandung lemak seperti membrane sel atau
lipoprotein. Untuk jangka panjang, penggunaan persediaan lemak dapat terjadi pada
saat terjadi kelangkaan bahan makanan, maka terjadi pelepasan PCBs yang akan
berbarengan dengan munculnya toksisitas bagi organisme. Hal ini karena pada saat
kelaparan tersebut, konsentrasi PCBs naik hingga beberapa kali lipat, dan konsentrasi
tinggi ini yang bersifat toksik pada organisme.

Dari kenyataan tersebut, bahwa PCBs lebih menyukai untuk terakumulasi pada organ-
organ tertentu dan jaringan lemak, maka dalam melakukan pemantauan pencemaran
pada jenis-jenis organisme yang berbeda, hal ini harus diperhatikan. Akumulasi PCBs
juga dipengaruhi oleh factor-faktor: usia, kelamin, stadia kematangan gonad, kebiasaan
makan, dsbnya. Patut dicatat, bahwa bioakumulasi merupakan bahan dasar (precursor)
dari seluruh toksisitas bahan kimia, karena tanpa akumulasi, sekecil apapun, maka aksi
toksik pada lokasi/organ target pada organisme tidak akan dapat terjadi.

B. PBBs

Sedangkan PBBs, yang dibentuk dari proses brominasi biphenyl, mulai


diperkenalkan pada awal 1970-an sebagai bahan pemadam api, namun produksinya
dihentikan pada tahun 1974 setelah ditemukannya dampak toksik yang sangat
mematikan bagi hewan ternak. Konsentrasi PBBs yang sangat tinggi ditemukan pada
burung Falcon, burung Camar herring, paus biru, singa laut, kerang dan beberapa jenis
ikan di wilayah perairan Norwegia (Walker, 2001; Brown, 2003).

C. PFCs

PFCs adalah rantai atom-atom karbon yang terfluorinasi penuh yang


panjangnya bervariasi, menghasilkan bahan kimia yang sangat tahan terhadap panas,
bahan kimia, serta tahan terhadap air dan minyak (Brown, 2003). Karena sifat-sifat
68
yang dimilikinya, PFCs banyak digunakan sebagai surfaktan, pengemulsi dan produk-
produk komersial seperti pewarna atau penahan air karpet, tekstil, bahan interior mobil,
penyamak kulit, bahan kemasan makanan, shampoo, pembersih gigi, roll film dan
pelumas kendaraan, sejak tahun 1950-an. Sejak tahun 1980-an, hasil degradasi PFCs
seperti PFOA (perfluorooctanoic acid), PFOSA (perfluorooctane sulfonamide), PFHS
(perfluorohexane sulfonate), PFBS (perfluorobutanesulfonate), PFNA
(perfluorononanoic acid ) dan PFOS (Perfluorooctane sulfonate) telah menjadi bahan
pencemar persisten di lautan yang banyak ditemukan pada paus, ikan tuna, ikan
makaira, ikan salmon, 3 spesies lumba-lumba, burung laut Cormorant, singa laut, elang
laut, penyu dan beruang es, terutama didominasi oleh PFOS (Brown, 2003). Hasil studi
laboratorium menunjukkan bahwa PFOS mampu menembus otak melalui aliran darah,
mengganggu produksi hormon serta bersifat karsinogenik (Austin et al., 2003).

D. Dioxins

Polychlorinated dibenzo-p-dioxins (PCDDs) dan polychlorinated dibenzofurans


(PCDFs) adalah senyawa aromatik terhalogenasi yang telah diketahui sebagai bahan
pencemar pada hampir seluruh ekosistem di dunia, termasuk udara, perairan tawar,
perairan dan sedimen laut, demikian juga pada ikan, hewan hingga jaringan lemak
(adipose) manusia, susu dan darah. PCDDs dan PCDFs adalah produk sampingan
industri yang terbentuk pada saat memproduksi fenol terklorinasi dan produk-produk
derivatifnya dan senyawa-senyawa terklorinasi lainnya. PCDDs dan PCDFs juga
diketahui sebagai produk sampingan (by-product) yang dihasilkan dari proses
pembakaran limbah perkotaan dan limbah industri, pembakaran bahan bakar minyak,
pembakaran kayu, batu bara dan proses-proses pembakaran/insinerasi lainnya.
PCDDs dan PCDFs juga diketahui terbentuk pada proses pemutihan/pengkilpan kayu
dan kertas, produksi dan proses pendaur-ulangan logam. Struktur individu-individu
senyawa penyusun (congeners) PCDD dan PCDF berbeda menurut tingkat
klorinasinya dan pola urutan rantainya. Terdapat 135 individu PCDFs dan 75 individu
PCDDs. Komposisi by-product PCDD and PCDF sangat bervariasi tergantung
sumbernya. Akan tetapi, analisis kuantitatif PCDDs atau PCDFs di matriks lingkungan
(udara, air atau sedimen) memerlukan prosedur-prosedur yang berbeda untuk dapat
memperoleh hasil preparasi (ekstrak) yang terkonsentrasi dengan baik dan bersih,
sebelum dilanjutkan dengan analisis menggunakan kromatografi gas yang
dikombinasikan dengan teknik spektrofotometri massa. Analisis laboratorium PCDDs
dan PCDFs sangat rumit dan mahal, yang menjadi salah satu faktor pembatas/kendala
69
dalam kegiatan pemantauannya,
terutama di negara-negara
berkembang seperti Indonesia.
Ketakutan terhadap resiko bahaya
terhadap dioxin terutama
disebabkan oleh salah satu
congenernya (2,3,7,8-
tetrachlorodibenzo-p-dioxin atau
TCDD) yang sangat toksik pada
hewan dan manusia. Potensi toksik TCDD terutama disebabkan oleh jumlah dan posisi
atom klorin-nya. Congener yang terklorinasi ini ditemukan memiliki kecenderungan
untuk terakumulasi pada jaringan hewan dan telah ditemukan menjadi salah satu
penyebab keracunan pada manusia.

E. Organotin
Organotins (OT) pertama kali disintesis pada abad ke-19, namun produksi masal
industry meningkat sejalan dengan meledaknya produksi produk-produk plastic sesaat
setalah Perang Dunia II selesai. Dari temuan-temuan yang ada, terbukti bahwa dioctyl
dan dibutyltin merupakan bahan additive sebagai stabilisator PVC (paralon), yang
ditambahkan untuk melawan proses pelapukan khususnya dari terik matahari dan
panas hal ini terkait dengan daya mengikat yang kuat dari Tin pada donor atom seperti
Oksigen dan Sulfur. Karena sifatnya yang sangat mempengaruhi reaksi-reaksi fisiologis
organisme, maka Tri-organotin (TOT) juga digunakan sebagai pestisida, disinfektan
dan fungisida, yang sempat dipasarkan pada tahun 1950-an, namun kemudian dilarang
produksi dan peredarannya. Tri-organotin sebagai Tri-butyltin (TBT) dan Tri-phenyltin
(TPhT) dianggap wajar dan tetap dipasarkan karena sifat toksiknya yang rendah pada
mamalia (Stab, 1995). Pada era 1960-an, cat anti-fouling mengandung TBT mulai
dipasarkan yang kemudian memiliki dampak luas pada organisme laut.

Struktur senyawa Organotin umumnya tetra atau


divalent dengan satu atau lebih ikatan kovalen
kelompok organik. Struktur ini membentuk senyawa
yang secara kimia stabil yang mengandung
kelompok-kelompok alifatik dan aromatik. Pada
fase cair, Tri-organotin mencapai kesetimbangan
dengan anion-anion seperti Cl- dan OH- yang
70
bergantung pada komposisi ion dan pH. Proses peluruhan TBT dan TPhT umumnya
bermula dari proses spesiasi sebagai hydroksida, lalu dilanjtkan dengan proses sorpsi
senyawa organotin ke dalam sedimen. Degradasi dalam cairan (fase aqueous) lebih
cepat dibanding dalam sedimen aerobik maupun sedimen anaerobik.

TBT dalam sedimen dapat terakumulasi oleh organisme bentik, dan proses mobilisasi
TBT dalam sedimen dapat rejadi akibat pengadukan sedimen, yang dapat
mempengaruhi toksisitas TBT dalam lingkungan laut. Sumber utama dari senyawa
organotin dalam lingkungan laut adalah dari penggunaan cat anti-fouling berbasis
trialkyltin (TBT and TPhT). Di- dan mono-organotins muncul sebagai hasil perombakan
TBT dan TPhT dan penggunaan senyawa-senyawa di- dan monoalkylated (butyl,
cyclohexyl dan octyl) sebagai stabilisator PVC dan sebagai katalis dalam produksi
polymer. Produksi dunia organotin disajikan dalam gambar di sebelah kiri atas.

Tabel Bahan Pencemar Organik Persisten menurut Konvensi Stockholm.

71
Pustaka

Alzieu, C., Sanjuan, J., DeltreilJ, . P. and Borel, M. (1986)T in contamination in


Arcachon Bay: effects on oyster shell anomalities. Marine Pollution Bulletin 17,494-
498.
AMAP, 1998. AMAP Assessment Report: Arctic Pollution Issues. Arctic Monitoring and
Assessment Program (AMAP), Oslo, Norway, xiiq 859 pp.
Austin, M.E., Kasturi, B.S., Barber, M., Kannan, K., and Mohan Kumar, S.M.J., 2003.
Neuroendocrine effects of perfluorooctane sulfonate in rats. Environ. Health
Perspectives 111 (2): 1485 1489.
Brown, V., 2003. Causes for Concern: chemicals and wildlife
http:www.panda.org/detox.

Clark RB, 1992. Marine Pollution. Oxford University Press, 161 pp.

Garabetian F, Romano JC, Paul R, Sigoillot JC, 1993. Organic matter composition and
pollutant enrichment of sea surface microlayer inside and outside slicks. Mar
Environ Res 35!:323-339

Moore MR, Vetter W, Gaus C, Shaw GR, Mller JF, 2002. Trace organic ccompound
sin the marine environment. Mar Pollut Bull 45:62-68

OSPAR Commission for the Protection of the Marine Environment of the North-East
Atlantic, 2000. Quality Status Report for the North-East Atlantic, OSPAR
Commission, London, 108 pp.

Stab,JA (1995): Organotin compounds in the aquatic environment. Determination,


occurence and fate. Ph.D. Dissertation, Free University, Amsterdam. 206 p.

Stebbing ARD, Dethlefsen V, Carr M (eds), 1992. Biological effects of contaminants in


the North Sea. Results of the ICES/IOC Bremerhaven workshop. Mar Ecol Prog Ser
(whole issue), 361 pp

Tanabe S, 1988. PCB problems in the future : foresight from current knowledge.
Environ Poll 50:5-28.

Walker MK, Peterson RE, 1991. Potencies of polychlorinated dibenzo-p-dioxin,


dibenzofuran, and biphenyl congeners, relative to 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-
dioxin, for producing early life stage mortality in rainbow trout (Oncorhynchus
mykiss). Aquat Toxicol 21:219-238

Walker, C.H. 2001. Organic Pollutants: an Ecotoxicological Perspective. Taylor &


Francis, London.

Walker, C.H., Hopkin, S.P., Sibly, R.M., Peakall, D., 1996. Principles of Ecotoxicology.
Taylor & Francis, London.

72

Anda mungkin juga menyukai